Story Book Garden -Hunter Valley, Australia |
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terimakasihku tuk pengabdianmu.
Engkau bagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa … Tanpa tanda jasa.
Lirik “Hyme Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” karya Sartono
(Madiun, Jawa Timur, 29 Mei 1936) yang ia gubah pada medio 1980-an, dan telah menjadi
lagu wajib yang kerap dinyanyikan siswa sekolah tingkat Sekolah Dasar (SD)
hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) di antero Indonesia itu, jadi terasa sumir
belakangan ini. Siapa pun Anda yang pernah menggemakan lagu itu semasa SD
sebelum era Milenium, cobalah lagi menyanyikannya dengan segenap perasaan
berdasar fenomena terbaru zaman kita. Bayangkanlah bagaimana rusaknya perasaan
anak korban kekerasan seksual yang dilakukan gurunya sendiri, ketika ia harus
menyanyikan lagu itu di dalam kelas atau saat upacara bendera? Silakan bandingkan
dengan kenangan yang telah Anda bangun di masa lalu, dan benturkanlah dengan
kondisi masa kini? Hasilnya? Anda tetap akan gagal merasakan apa yang sedang
dialami dan diderita oleh mereka ...
Bagaimana itu bisa terjadi? Mudah saja menjawabnya. Karena generasi termuda Nusantara adalah korban kekerasan
terencana dengan tekanan luarbiasa besar yang kita lakukan secara sadar dan beramairamai. Anak usia TK sudah
harus membawa tas yang begitu berat, dan dipaksa menghapal pelajaran yang sudah
jelas tidak ia butuhkan dalam masa perkembangannya; Anak SD keranjingan bukan
main pada game daring yang didominasi
perkelahian, perusakan, tumpah darah, pembunuhan; Siswa SMP-SMA diteror pihak
sekolah dengan sekian ancaman ketidaklulusan, belajar tambahan, biaya ini-itu
yang tak jelas juntrungannya. Saking terterornya, bahkan ada banyak siswi
setingkat SMP dan SMA yang merelakan keperawanan mereka pada oknum “guru” yang mengiminginya kelulusan dengan
nilai bagus berikut uang senilai Rp500 ribu–Rp1 juta—seperti kasus yang
terjadi di Sumatera Selatan, hasil laporan Tribunnews.com
pada Jumat, 16/05/2014.
Tontonan di televisi juga ikut andil mengubah sistem
penelaahan mereka atas hidupnya kini. Sila disimak judul sinetron dan Film Televisi (FTV) berikut: Sumpah Pocong Di Sekolah, Aku
Dibuang Suamiku Seperti Tisu Bekas, Makhluk Ngesot, Merebut Suami Dari
Simpanan, 3x Ditalak Suami Dalam Semalam, Aku Hamil Suamiku Selingkuh, Pacar
Lebih Penting Dari Istri, Ibu Jangan Rebut Suamiku, Istri Dari Neraka a.k.a Aku
Benci Istriku, Sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda, Pashmina Aisha, ABG Jadi
Manten, Ganteng-Ganteng Srigala, Diam-Diam Suka. Tonton dan telaahlah
sendiri. Anda akan tahu seberapa bermutu dan bergunanya tayangan itu bagi
anakanak kita.
Masih ada lebih banyak tontonan lain hasil tayangan lima
program televisi yang patut dikritisi. Sebuat saja Sinema Indonesia dan Sinema
Akhir Pekan (ANTV), Sinema Pagi (Indosiar), Sinema Utama Keluarga (MNC TV), Bioskop
Indonesia Premier (Trans TV). Menyaksikan tayangan tersebut, Anda yang masih
waras pasti hanya bisa mengelus dada dan mengembuskan napas panjang. Miris …
Internet, juga moda paling raksasa yang meracuni generasi
muda kita. Berita pembunuhan terbaru, dilansir setiap hari; kasus kekerasan
seksual dipajang sebanyak mungkin demi mengejar rangking di Alexa. Semata karena
perputaran pundi uang, bukan kemaslahatan kehidupan. Dua jenis berita itu saja, sudah bikin sesak dada. Karena
pengulangan beritanya—berikut cara melakukan kejahatan tersebut, yang nyaris
tanpa kenal waktu, besar kemungkinan terjulang di kemudian hari oleh pelaku baru—yang notabene adalah
pembaca berita sejenis ini beberapa waktu sebelumnya. Ingat, pikiran manusia
mudah dipengaruhi hanya dengan katakata yang terus diulang sebanyak puluhan
sampai ratusan kali.
Masalah lain yang tak kunjung disadari adalah, sebagian besar orangtua, menerapkan secara mutlak pada anaknya, apa yang dulu mereka dapat dari orangtuanya juga. Itulah kenapa Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhahu menitipkan pesan
begini, “Didiklah anakmu dengan cara mereka, bukan dengan cara bagaimana engkau
dibesarkan oleh orangtuamu dulu.”
Anda yang merasa tahu arti kedisiplinan setelah ditempa
sangat keras oleh ayah yang anggota militer, serta-merta melakukan hal yang
sama pada anak yang lahir dari rahim zaman global. Hasilnya, ia disiplin tapi
membangkang.
Anda yang terbiasa didamprat orangtua ketika kecil, juga
mendamprat anak Anda saat ia tidak patuh, akan menghasilkan anak yang penurut
tapi penakut. Paling tidak, ia kehilangan kepekaan pada lingkungan dan sulit
mengambil keputusan atas begitu banyak hal dalam hidupnya kelak.
Anda yang jadi tahu lebih banyak hal di luar rumah dari guru
di sekolah, kemudian menganggap itu akan terjadi pada anak Anda saat ini. Sedang
pada saat bersamaan, pekerjaan Anda jauh lebih berarti tinimbang keluh kesahnya
di hadapan Anda pada malam hari, sehingga hanya akan menghasilkan anak yang
memendam kekecewaan luarbiasa pada hidupnya.
Masih terlalu banyak kecacatan dan kegagalan yang dialami
para orangtua dalam mendidik anak—yang dengan begitu mudah menyalahkan guru di
sekolahnya yang salah didik. Padahal kenyataannya, si anak sudah salah arah
sejak dari rumah, dan semakin tak tentu arah ketika berhadapan dengan “gurunya”
yang sudah bersusah payah menganggap semua murid adalah anak sendiri—yang notabene
bukan terlahir dari rahimnya. Jadi sampai kapan pun, murid bagi guru tetap
menjadi yang lain, bukan bagian dari
dirinya sendiri—yang terbelah begitu banyak secara esensial.
Kesalahkaprahan konsep guru di sekolah Abad Modern adalah tugas besar yang harus segera
dibenahi. Bagi kebanyakan orang, menjadi guru itu prestise dan membanggakan. Padahal
sejatinya, menjadi guru itu sama dengan menjadi murid secara bersamaan. Seorang
yang berikrar menjadi guru, harus memiliki kemampuan memantulkan perilaku
muridnya yang urakan jadi sebuah laku kesabaran tak berujung. Seorang guru yang
bijak, juga harus punya keterampilan mengolah emosinya sendiri saat menghadapi
murid yang gemar bikin onar, dan memantulkannya jadi perilaku yang santun.
Guru itu pembelajar sejati. Karena ia adalah tempat
muridnya menggugu dan meniru. Sedang murid, adalah cermin kecil bagi gurunya. Pada
tingkat yang paling subtil, semua murid adalah guru bagi dirinya sendiri, semua
guru adalah murid bagi diri sendiri. Guru bukan sumber jawaban atau corong
data-informasi. Murid bukan tong kosong yang harus diisi hari demi hari—dengan pengetahuan
segudang yang terkadang sama sekali tak ia butuhkan dalam hidupnya. Pepatah
yang mengatakan bahwa, guru kencing berdiri,
murid kencing berlari, jadi tak tepat jika sudah menggunakan pemahaman
seperti itu.
Sekarang penulis ingin bertanya, adakah sekolah yang
menanamkan kesadaran seperti di atas pada gurugurunya? Apakah ada guru yang
memiliki epistemologi sebagaimana tertera di atas? Nampaknya ada, tapi di atas
kertas, terlalu banyak sekolah di negeri ini yang makin tak paham kenapa mereka
harus berdiri dan ada. Sebagai bekal penalaran, mudah saja menyamakan sekolah
hari ini (pada semua jenjang) dengan sebuah penjara. Hampir sebagian besar
siswanya akan bersorak jika tiba waktu istirahat atau pulang. Bahkan tak sedikit
yang bergembira bila datang berita kematian ke sekolahnya, karena itu berarti, waktunya
bertakziah. Saat yang tepat meninggalkan pelajaran tanpa beban.
Pun tak sulit menyamakan sekolah pada masa kini, dengan
sebuah pabrik.
Serbaneka Sekolah yang Simpang Siur
Ada terlalu banyak jenis sekolah yang kian hari membuat benak
calon siswanya pusing tujuh keliling. Berikut ini adalah embelembel di belakang
kata sekolah yang bisa penulis ingat:
Swasta; negeri; PGRI; berbasis teknologi informasi; internasional;
inklusif; Islami; Katholik; home schooling;
online (dalam jaringan).
Secara label, nampaknya mereka berbeda. Tapi secara
praksis, sama saja. Di dalam sekolahsekolah itu, guru selalu benar, muridnya pasti
bengak. Kalau guru disalahkan, muridnya jelas kurang ajar. Tak tahu sopan
santun. Murid yang tak patuh pada sekolah, dikenai sangsi, atau dikeluarkan. Tak
ada ruang untuk tidak setuju pada keputusan sekolah. Seolah sekolah adalah
sumber kebenaran mutlak dan tak bisa diganggu gugat. Persis seperti Gereja di Abad Pertengahan. Lantas apa pula maksudnya
jika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
sekolah diartikan sebagai tempat belajar-mengajar serta tempat menerima dan memberi
pelajaran?
Kenapa sekolah begitu mudah memupus kesempatan anak yang
berandal saat ingin membina dan memperbaiki dirinya? Kenapa sekolah tak pernah menganggap
mereka sebagai anak yang harus diselamatkan? Kenapa sekolah menilai anak
sejenis itu semata karena akhlaknya, dan bukan berdasar bakat alamiah yang terpendam
dalam dirinya? Kenapa sekolah hanya menilai muridnya berdasar deret ukur dan
angka belaka, bukan karena mereka manusia yang sedang mengembangkan diri? Kenapa banyak sekolah yang begitu antusias pada siswa ilmu bumi dan eksak (IPA)
tinimbang pada siswa humaniora (IPS)? Kenapa siswa yang menggeluti kesenian di
sekolah, selalu dimusuhi dan tak teperhatikan, sementara mereka yang menggeluti
Kelompok Ilmiah Remaja digadanggadang setinggi pohon kelapa?
Padahal, "Anakanak hidoep dan toemboeh sesoeai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menoentoen toemboehnya kodrat itoe," demikian pesan Ki Hadjar Dewantara.
Padahal, "Anakanak hidoep dan toemboeh sesoeai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menoentoen toemboehnya kodrat itoe," demikian pesan Ki Hadjar Dewantara.
Sekolah yang Membebaskan
Subjudul di atas terambil dari Teologi Pembebasan a la Paulo Freire yang lahir di Recife,
sebuah kota pantai timur laut Brasil pada 1921. Freire yang juga aktivis agama,
berusaha melawan dominasi gereja Katholik dengan sebuah keyakinan, harus ada
pendidikan yang mampu memberikan pemahaman akan kebebasan berakidah. Berdasar itulah
ia menerbitkan bukunya yang pertama pada 1967, Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan.
Pendidikan di sekolah, setidaknya harus melibatkan tiga
unsur sekaligus dalam hubungan dialektis yang ajeg, yakni: Pengajar ~> Pelajar
atau anak didik ~> Realitas dunia. Ketiga hal itulah yang mestinya mampu
diolah pihak sekolah, agar menumbuhkan kesadaran pada alam pikiran siswanya. Kesadaran
yang kemudian berjenjang jadi tiga tingkat: kesadaran magis, kesadaran naïf,
dan kesadaran kritis.
Sekolah mestinya
tak lagi membebani muridnya dengan setumpuk pekerjaan rumah, segudang buku
paket, lembar kerja siswa, segunung hapalan rumus, dan bimbingan belajar—yang aneh
bin ajaib. Apa pula gunanya belajar di sekolah jika setelah pulang, siswa harus
pula ikut bimbingan belajar? Lantas apa yang dipelajarinya di sekolah?
Sudah saatnya
para siswa diberi kesempatan bebas dari indoktrinasi;
Mengenyam pendidikan agama secara terbuka;
Mengenyam pendidikan agama secara terbuka;
Bebas menentukan mata pelajaran apa yang hendak ia ikuti;
Bergembira ria sepanjang mengikuti pelajaran;
Belajar membuang penyeragaman;
Ditawari pilihan untuk tidak sepakat pada banyak hal, dan
percaya pada pilihannya sendiri;
Belajar membebaskan diri dari segala perintah dan ancaman;
Terlatih mendisiplinkan diri tanpa tekanan;
Tahu cara memimpin dari mereka yang dipimpin;
Jadi pengikut yang kritis & loyal di bawah arahan pemimpin
yang baik;
Sanggup melarang diri sendiri dari melakukan kesalahan
dan kecurangan; dan
Sekolah harus berani membuka diri selebar mungkin
menerima kenyataan, bahwa kata skhole,
scola, scolae, skhola yang
berasal dari Bahasa Latin, atau yang
kini kita sebut sekolah, berarti: waktu luang atau waktu senggang. Sekolah
adalah kegiatan pada waktu luang bagi anakanak dalam kegiatan utama mereka,
yaitu bermain dan menghabiskan waktu menikmati masa kanakkanak dan remaja.
Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca
huruf, mengenal tentang moral (budi pekerti), dan estetika (seni). Tiga pengetahuan
dasar manusia yang paling penting dipelajari dan dimiliki.
Saat ini, Sartono
tetap hidup sederhana di rumahnya yang berdinding kayu di Jalan Halmahera Nomor
98, Kelurahan Oro-Oro Ombo, Kecamatan Kartoharjo, Madiun. Ia mukim bersama
istrinya, Damiyati—yang juga pensiunan guru SD setempat. Keduanya tidak dianugerahi
keturunan oleh tuhan. Lagu apa yang kemudian akan digubah Sartono, jika ia
mengetahui betapa sebagian besar “guru” zaman kita, hanyalah seonggok daging
berjalan ... dan sumber utama tumbuhkembang benih fasis dalam diri anak didiknya.
Benang merah yang bisa kita simpul dari pembabaran dan penalaran di atas adalah, seperti yang disampaikan seorang kuncen budaya mumpuni, Radhar Panca Dahana, pada penulis, “Kita membiayai sendiri kejatuhan mental, kerusakan moral, dan kebiadaban anakanak bangsa ini sejak mereka tumbuh di rumah hingga besar di sekolah. []
Benang merah yang bisa kita simpul dari pembabaran dan penalaran di atas adalah, seperti yang disampaikan seorang kuncen budaya mumpuni, Radhar Panca Dahana, pada penulis, “Kita membiayai sendiri kejatuhan mental, kerusakan moral, dan kebiadaban anakanak bangsa ini sejak mereka tumbuh di rumah hingga besar di sekolah. []
Siswa di Cina yang diberi waktu tidur 20 menit oleh gurunya, demi kualitas belajar yang lebih baik |
No comments:
Post a Comment