Seabad lalu di kota Paris, dua pemikir besar dunia saling
berbalahan tentang satu tema yang hingga kini masih tetap renyah dibahas, yaitu
Islam. Mereka adalah Syaikh Muhamad
Abduh (1849 – 1905), ulama besar Mesir, dan Joseph Ernest Renan (1823 – 1892),
filsuf kawakan Perancis yang juga pengamat dunia Timur Tengah.
Diskusi mereka tentang Islam berakhir dengan pernyataan Renan berikut, “Saya tahu persis
kehebatan semua nilai Islam dalam Al-Quran. Tapi tolong tunjukkan satu komunitas
Muslim di dunia yang bisa menggambarkan kehebatan ajaran Islam itu?”
Kita tak tahu persis apakah reaksi
Abduh saat mendengar pertanyaan Renan?
Pun kita tak tahu siapa di antara mereka yang kemudian
tampil sebagai pemuka diskusi.
Namun yang jelas, Abduh tak mungkin alpa mengingat betapa
komunitas Muslim yang ditanya Renan pernah ada dalam sejarah Islam. Beberapa kota
berikut ini pernah menjadi saksi bisunya: Madinah al-Munawarah, Makkah, Damaskus,
Baghdad, Granada, Madrid, Barcelona, Toledo, Sevilla, Isfahan, Samarkand, Istambul,
Bukhara, Iskandariah. Tapi itu dulu. Sekarang, lain cerita.
Pertanyaan Renan tersebut memang tak menemu jawabnya pada
masa Islam kiwari. Hal itu dibuktikan oleh beberapa peneliti George Washington
University yang menyusun lebih dari seratus nilai luhur Islam yang dicuplik
dari Al-Quran serta budi pekerti Rasulullah Muhammad Saw. Mereka mendata lebih
dari 200 negara berbekal sederet indikator yang mereka sebut sebagai islamicity index demi mengukur seberapa
islami negara-negara tersebut. Hasilnya? Aotearoa (Tanah Berawan Putih Panjang) dinobatkan sebagai negara paling islami. Padahal Kristen adalah agama mayoritas
di sana meskipun masyarakatnya termasuk yang paling sekular di dunia. Kita,
biasa menyebut daerah ini sebagai Selandia Baru.
Apa kabar Indonesia? Jangan khawatir dan bersedih. Negara
kita tercinta ini diapresiasi pada urutan ke-140. Tak jauh beda dengan negara
lain yang mengaku secara terang bahwa Islam adalah landasan pijak kehidupannya.
Apa sejatinya yang sedang terjadi pada bangsa Nusantara?
Bukankah kita negara dengan penganut Islam terbanyak di
dunia?
Apakah Islam telah mengalami pemerosotan demikian parah hingga
ke titik nadir?
Lantas apa peran ulama dan cendekiawan Islam kita selama
ini?
Sudah tak mampukah pondok pesantren, universitas
berbendera Islam, Nadlatul
Ulama, dan Muhammadiyah menggembleng umat?
Agar bisa menjawab pertanyaan di atas, tak dibutuhkan
riset panjang dan berlembar halaman kerja ilmiah. Cukup hanya dalam sepersekian
detik saja. Mari sejenak kita menyelam dalam diri sendiri. Bercerminlah pada
telaga kehidupan kita. Lihat dan renungilah apa yang telah kita lakukan dan apa
yang sedang terjadi kini.
Sebanyak 946,814 lelaki di Jawa Barat ternyata ‘berhidung belang.’ Parahnya,
sebanyak 520,748 di antaranya adalah kepala rumah tangga dengan istri dan anak. Itu baru
di Jawa Barat. Bagaimana dengan provinsi lain?
Sedari 2011-2014, ada 5,223 kasus pelecehan seksual pada
anak. 60 persen korbannya adalah anak lelaki dan pelakunya, lelaki dewasa. Penyimpangan
seksual ini akan terus meruak karena mengandung potensi laten. Belum lagi jika ditambah
dengan pelecehan seksual yang menimpa kaum perempuan. Lelaki Indonesia juga harus dibela. Sebagian besar iklan pakaian dalam, sekadar menyebut contoh, adalah teror libido yang dilakukan kaum kapitalis neo-liberal dengan begitu frontal. Titiknya, tersebar di banyak papan reklame, televisi, dan di ruang publik. Rantai setan ini jelas sulit diputus jika kita hanya berpangku tangan belaka.
Para guru yang dilaporkan muridnya karena tindakan cabul atas
nama kelulusan sekolah—serta ayah yang gemar meniduri putri kandungnya sendiri,
juga jelas tak bisa dianggap remeh.
Kedegilan manusia modern yang masih bisa disertakan dalam
tulisan sederhana ini adalah perilaku korup, fasis, dan teror, yang kian sulit
dimengerti. Hal yang paling harus digarisbawahi, sebagian besar pelaku
kebejatan moral itu, Muslim. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang tampak
baik di permukaan.
Pantas jika di Nusantara ini ada istilah Islam KTP (Kartu Tanda Penduduk). Semata menggugurkan kewajiban beribadah demi
mengincar surga dan menghindari neraka. Berangkat haji bolak-balik sambil terus
memupuk rasa bangga sebagai orang yang berlimpahan harta. Masjid bertebaran di manamana
tapi tak ada jamaah shalatnya. Para penda’i terus bermunculan. Tapi kepentingannya selalu bukan
untuk umat, melainkan memperkaya diri sendiri. Islam hari ini, kerap
diposisikan sebagai agama yang bisa menyediakan jawaban apa saja terkait urusan
duniawi dan ukhrawi. Bukan sebagai
tindakan pencegahan. Amar ma’ruf nahi
munkar. Lantas apa yang masih bisa kita lakukan?
Sulit betul mencari Muslim yang berhasil meng-atasi semangat kelompok, sektarian, suku. Bagai mencari
jarum dalam sekam, bahkan tak banyak lagi Muslim yang percaya pada spirit ukhuwah Islam dan menjadikannya sebagai
rahmat sekalian alam. Islam tak lagi kentara unsur kesamarataannya. Malah dangkal dan terkesan kaku. Kita gagal
membumikan Islam dan membuktikan bahwa salah agama Samawi (Langit) ini memang diperuntukkan bagi makhluk langit yang
berjalan di bumi.
Nilai Luhur & Etos Keislaman
Agar kajian ini jadi lebih mudah dicerna, kami sertakan sebuah tawaran jalan keluar yang berhasil terumuskan, yaitu nilai luhur & etos penanda Islam yang
harus dijadikan laku keseharian. Nilai penanda ini dianggit dari sifat dan
akhlak Rasul Muhammad Saw yang telah ia lakukan selama 63 tahun hidupnya di
dunia:
Selalu mengucap salam. Jenis sapaan ini diambil dari Assalam (Maha
Mendamaikan), salahsatu nama Allah Swt yang diletakkan di bumi. Maka
sebarkanlah ucapan "salam" agar dunia terasa damai.
“Seorang Muslim adalah orang yang di sekitarnya selamat
dari tangan dan lisannya.” Al-Hadis
“Keutamaan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang
tak bermanfaat.” Al-Hadis
“Sesiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka
hormati tetangga ... Hormati tamu ...
Bicara yang baik atau diam.” Al-Hadis
Gemar menolong dan berbuat baik. Sebagaimana yang diperintahkan
Allah dalam Al-Quran, “… Dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh,
Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS Al-Maidah [5]: 2)
"Sekiranya Aku
(Allah) menghendaki, niscaya manusia dijadikan satu umat saja, tetapi Allah
hendak mengujimu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka
berlombalah berbuat kebaikan.” (QS Al Maidah [5]: 48)
Condong pada ibu dan istri (feminis-matriarchal). Dasarnya adalah dua dalil ini; "… Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sesekali
janganlah kamu mengatakan pada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah pada mereka perkataan mulia." (QS Al-Isra'
[17]: 23).
Pernah suatu ketika datang seorang lelaki menghadap
Rasulullah Saw dan bertanya, "Ya Rasulullah, siapa dari manusia yang
paling berhak aku utamakan? Rasul bersabda, "Ibumu." Lelaki tersebut
bertanya kembali, "Kemudian siapa lagi?" Rasul bersabda,
"kemudian ibumu." Lelaki tersebut kembali bertanya, "Kemudian
siapa lagi?" Rasul bersabda, "kemudian ibumu." "Kemudian
siapa lagi?" tanyanya. Rasul kembali bersabda, "Kemudian ayahmu."
(HR Muslim)
“Orang
mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya dan
sebaikbaik kamu ialah yang paling baik pada istrinya.“ (HR Tirmidzi)
“
Orang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik pada keluarganya,
dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian pada keluargaku. “ (HR
Imam Tirmidzi, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban serta dishahihkan
oleh Al-Albani )
“Tidaklah
memuliakan perempuan kecuali orang yang mulia, dan tidaklah menghinakan
perempuan kecuali orang yang hina.” (HR.Ibnu Asakir).
Lemah lembut. “Maka
disebabkan rahmat dari Allah (kepadamu Muhammad s.a.w), engkau telah bersikap
lemah lembut kepada mereka. Kalaulah engkau bersikap kasar lagi keras hati,
tentulah mereka akan menjauhkan diri darimu. Oleh itu maafkanlah mereka
(mengenai kesalahan yang mereka lakukan terhadap engkau, dan mohonlah ampunan
bagi mereka, dan juga bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (permasalahan
keduniaan) itu. Kemudian setelah engkau berazam (untuk membuat sesuatu) maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang
bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran [3]: 159)
Gemar membaca dan gandrung pada pengetahuan | Jujur (shiddiq)
| Bisa dipercaya (amanah) | Cerdas (fathanah) | Menyampaikan kebaikan (tabligh) | Ikhlas | Berada di jalan tengah (muqtashid) | Adil | Bersih | Tepat waktu
| Perasa | Mencintai fakir miskin dan anak yatim | Tepa selira | Teguh
pendirian (istiqomah) | Rendah hati (tawadhu’) | Senantiasa banyak berpikir |
Sedikit beristirahat | Tidak berbicara bila tak ada keperluan | Terampil berbicara
dengan tutur kata yang baik dan sopan | Pandai mensyukuri nikmat Allah | Membela
kebenaran yang terinjak | Tersenyum dan tertawa selaik embun yang dingin | Melayani
umat | Tidak membela kepentingan pribadi dan mengedepankan kepentingan bersama
|
Memuliakan pemimpin dan orang yang lebih tua | Menyayangi yang lebih muda | Memberi
penghormatan pada setiap orang sesuai kadar dan posisinya | Sabar | Tidak
mengecewakan hati orang lain | Riang gembira | Menutupi aib orang lain | Tidak silau
pujian | Cermat dan berhatihati menentukan sikap | Bertafakkur | Mudah memaafkan
siapa saja yang bersalah | Penyantun | Tidak merasa lebih baik dibanding orang
lain | Mandiri | Sama rata sama rasa | Gemar mengunjungi orang sakit dan
menghadiri pemakamannya, kendati si sakit adalah non-Muslim atau munafik | Mendahului
menyambut orang lain yang dijumpai |
Melayani tamu | Pemalu | Memperhatikan
wajah orang yang diajak berbicara | Tidak pernah mempermalukan orang akibat
kesalahannya | Tidak mengeluhkan perilaku atau perkataan orang lain | Sedikit
tertawa dan banyak menangis | Berhati lapang | Pemberani | Menundukkan pandangan
mata | Anti-prasangka buruk pada siapa pun | Menjadi rahmat bagi alam semesta dan isinya, sebagaimana yang
disampaikan ayat berikut; “Tiadalah Kami
mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan untuk menjadi Rahmat bagi sekalian
alam.” (QS Al-Anbiya [21]: 107)
Masih banyak lagi nilai kehidupan yang telah diajarkan
Rasul pada kita, dan belum sempat kami dedahkan pada tulisan ini. Semuanya adalah
syarat utama menjadi Manusia Sempurna (al-Insan
al-Kamil). Selama kita menjadi Muslim, tak ada pilihan lain untuk tidak
mempraktikkannya dalam laku keseharian. Semoga Allah berkenan menuntun kita
semua, cara menjadi manusia bijak bestari. Semoga pula Allah bersedia menunjuki
kita jalan pulang menuju pada-Nya. Allahumma
arinal asya’ kamahiya …
No comments:
Post a Comment