BANGSA NUSANTARA dianugerahi Gusti Allah dua orang manusia pilihan yang namanya masih harum
hingga kini. Uniknya, mereka berdua bersaudara darah. Satu lelaki dan satunya
lagi perempuan. Sang adik lahir pada 21 April 1879 dengan nama Raden Ajeng
Kartini. Sedang kakaknya, lahir dua tahun lebih awal di Desa Mayong, Kecamatan
Mayong, Kabupaten Jepara, pada Rabu pahing, 10 April 1877, dengan mengusung
nama Raden Mas Panji Sosrokartono.
Ayah mereka seorang bupati Jepara, R.M.
Adipati Ario Samingun Sosroningrat (periode 1880-1905), yang kemudian menikahi
M.A Ngasirah. Selain Sosrokartono dan Kartini, pasangan ini memiliki enam anak
lain. Dua di antaranya yang tercatat sejarah adalah, P.A.A Sosro Boesono dan R.A
Kardinah.
Sebelum menjadi saksi kelahiran
Sosrokartono, Desa Mayong pernah disinggahi Ratu Kalinyamat pada Abad ke-16
yang membawa pulang jenazah suaminya, Pangeran Kalinyamat, setelah diserang
pendukung Arya Penangsang—dari Kudus. Sambil menuju arah barat ke Pringtulis,
ratu Kalinyamat mulai kelelahan dan berjalan sempoyongan (moyang-moyong). Peristiwa memilukan yang sempat dilihat penduduk
sekitar pada waktu itu, kemudian menjadikan tempat bersejarah tersebut bernama Mayong—seiring
penyesuaian lidah masyarakat).
Sebagai anak priyayi, Sosrokartono
muda cenderung tak menghadapi banyak hambatan berarti saat mengisi masa
kecilnya. Menurut beberapa sumber sejarah, ia sudah mewarisi kecerdasan bawaan
dan sanggup membaca gejala zaman datang saat belum bersekolah.
Berdasar penuturan adikadik R.A
Kartini, saat Sosrokartono masih berusia tiga tahun ia pernah mengumpulkan
semua mainannya menjadi satu. Melihat kelakuan aneh ini, ibunya, M.A Ngasirah,
pun bertanya mengapa ia melakukan hal itu. Bocah Sosrokartono menjawab enteng
bahwa ia mau ke Jepara. Tak lama berselang, ayahnya yang masih menjabat selaku
wedana Mayong, pun diangkat menjadi bupati Jepara.
Kecerdasan Sosrokartono pelahan mulai
teruji ketika menempuh studi di Eropesche
Lagere School (E.L.S), Jepara, yang kemudian dilanjutkan ke Hogere Burger School (H.B.S) di
Semarang. Dari sinilah karir kehidupannya melambung tinggi ketika ia
melanjutkan sekolah ke Leiden, Belanda, pada 1898. Ikhwal inilah ia tercatat
sebagai mahasiswa pribumi pertama di negeri manca.
Setiba di Belanda, Sosrokartono diterima
di sekolah Teknik Tinggi, di Delft. Tetapi karena merasa kurang cocok, ia pun pindah
ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur, setelah melewati ujian negara dengn
materi bahasa Latin dan Yunani. Jurusan inilah yang kelak menjadi penentu kemampuannya
sebagai poliglot (mpu bahasa) kawakan tiada tanding—bahkan hingga saat ini. Selama
menjadi mahasiswa, ia kerap dipanggil dengan sebutan De Javanese Prins (Pangeran dari Tanah Jawa) atau De Mooie Sos (Sos yang Tampan).
Panggilan itu tersemat bukan semata
kerana Sosrokartono berdarah biru, tapi memang karena posisi sosialnya sudah
bernilai tinggi. Ia terus melatih diri dan tumbuh sebagai seorang intelektul. ”Kartono,
intelektual yang menguasai 17 bahasa asing itu, mudah diterima kalangan elite di
Belanda, Belgia, Austria, dan bahkan Prancis. Ia berbicara dalam bahasa
Inggris, Belanda, India, Cina, Jepang, Arab, Sanskerta, Rusia, Yunani, Latin.
Bahkan, Ia juga pandai berbahasa Basken (Basque), suatu suku bangsa Spanyol,”
kata Mohammad Hatta dalam memoarnya.
Herry A. Poeze (1986) mencatat,
Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa
Timur dan 17 bahasa Barat. Solichin Salam dalam Sebuah Biografi (terbitan Yayasan Pendidikan Sosrokartono, 1979)
menambah lagi sepuluh bahasa Nusantara dalam daftar bahasa yang dikuasai
Sosrokartono.
Sekarang coba kita telusuri, mahasiswa Strata 1 mana yang
gairah belajarnya sekuat Sosrokartono? Besar kemungkinan, ia tak hanya melulu
duduk di ruang perkuliahan, tapi juga melanglang ke banyak tempat di Eropa
sambil terus belajar, belajar, dan belajar mengenali manusia dari pelbagai suku
bangsa.
Seniman Belanda, Van Eeden dalam buku
hariannya bertitimangsa 4 Mei 1915 menulis perihal kekagumannya pada Sosrokartono.
"Ia orang Jawa yang simpatik, sangat terpelajar. Ia
sama sekali tidak
tertutup atau
pendiam. Saya lebih merasakannya sebagai bangsa saya sendiri
daripada gerombolan
Eropa yang berkeluyuran di Scheveningen itu."
Demikian tulis Van Eeden sebagaimana dikutip
Elisabeth Keesing dalam Betapa Besar Pun
Sebuah Sangkar: Hidup, Suratan dan Karya Kartini terbitan PT Djambatan
perwakilan KITLV pada 1996.
Pembimbing utama Kartono di Leiden
adalah Profesor Dr. Johan Hendrik Kern, seorang indolog dan orientalis mumpuni.
Kartono muda yang nampak begitu istimewa bahkan dibandingkan mahasiswa dari
Eropa sekalipun, lantas menjadi murid kesayangan Kern. Meski baru pindah
kampus, Kern sudah menyuruhnya bicara di Kongres Sastra Belanda di Gent,
Belgia, pada September 1899.
Dalam
kongres yang membicarakan masalah bahasa dan sastra Belanda di pelbagai negara
itu, Sosrokartono mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia Belanda yang tak
dipenuhi pemerintah jajahan dalam pidatonya yang berjudul Het Nederlandsch in Indie (Bahasa
Belanda di Hindia Belanda). Seruan patriotik agar Belanda mengajarkan
bahasanya lebih luas bagi rakyat Jawa itu, dimuat di majalah bulanan Neerlandia, sebulan kemudian (Oktober
1899). Berikut ini kami nukilkan isi pidato Sosrokartono tersebut:
“Saya
minta dengan sangat dan bersungguh-sungguh,
hendaklah kepada insulinde
ditumpahkan cinta kasih yang wajib diberikan kepada mereka sebagai hak
miliknya. Hai, kamu bangsa penjajah, pada tangan kirimu kamu menggenggam
lambang utusan/ajaran untuk damai di antara sesama manusia, dengan tangan
kananmu kamu memegang tongkat lambang peradaban, maka dari itu hidupkanlah rasa
persaudaraan antara bangsamu dan bangsa yang engkau jajah.”
Dalam bagian lain pidatonya, Sosrokartono
antara lain mengungkapkan:
“Dengan
tegas saya menyatakan diri sebagai musuh siapa pun yang akan membikin kami (Hindia
Belanda) menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak-injak
tradisi serta adat kebiasaan kami yang luhur lagi suci. Selama matahari dan
rembulan bersinar, mereka akan saya tantang!”
Kecemerlangan Sosrokartono dipungkasi
dengan gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden dalam
bidang bahasa dan sastra pada 1908. Tahun yang sama, berdiri pula Budi Utomo di
Hindia Belanda. Tiga tahun sebelumnya, juga sudah berdiri Serikat Priyayi
bentukan Tirto Adhi Suryo. Dua organisasi ini yang menjadi penerus semangat
juang H.O.S Cokroaminoto dengan mendirikan Serikat Islam.
Mohammad Hatta (1982), juga menjuluki
Sosrokartono sebagai manusia jenius, berdasar kisah perjamuan makan para kaum
etis (Mr. Abendanon, Mr. CT van Deventer, Christiaan Snouck Hurgronje, dan Prof.
Hazeu) yang dihadiri Sosrokartono sebagai intelektual yang disegani. Kaum etis
itu ingin mengemplang utang kolonial mereka dengan, antara lain, membantu
Sosrokartono merampungkan disertasi doktoralnya. Namun, Sosrokartono menjawab
tawaran itu dengan sebuah satir:
”Sorry
heren werden geëerd, de schuld is de enige van mijn schatten. Ik koester de
enige die ook zal nemen van mijn heer?
(Maaf tuan-tuan yang terhormat, utang itu adalah satu-satunya harta saya. Harta
saya satu-satunya itu akan tuan ambil juga dari saya?)”
Jawaban tersebut jelas meluncur dari
mulut seorang yang memiliki kepercayaan diri tinggi, kemampuan berbahasa
mumpuni, dan kecanggihan nalar yang teruji dengan baik. Sosrokartono memang
menolak mentahmentah tawaran tiga tokoh yang cukup disegani pemerintah Belanda
itu. Namun yang bisa kita garis bawahi adalah, jawaban itu ia sampaikan di
negeri mereka. Bukan di Hindia Belanda. Sebuah tolok ukur bagi kita tuk memahami
betapa sosok Sosrokartono memiliki keberanian khas seorang kesatria tanah Jawa.
Wartawan
Perang dan Perantau yang Kaya Raya
DALAM ranah jurnalistik, menjadi wartawan perang
adalah tantangan besar, bukti kematangan meliput berita, sekaligus tonggak posisi
bagi seorang wartawan setelah masa tugas bertahun lamanya. Sosrokartono
berhasil meraih posisi tersebut usai meninggalkan ranah akademik karena
ditelikung oleh Snouck Hurgronje. Di tengah perantauannya, bagai pucuk dicinta
ulam pun tiba, pada 1917, koran Amerika The
New York Herald Tribune, menerbitkan edisi International Herald Tribune di kota Wina, Austria.
The
New York Herald adalah koran
yang diterbitkan di New York dan bertahan hidup sedari 1835 sampai 1924. Pada
Perang Dunia I, koran ini juga terbit dalam edisi Eropa. Surat kabar ini
kemudian menggabungkan diri dengan The
New York Tribune, menjadi The New
York Herald Tribune yang terbit sampai hari ini. Sosrokartono berhasil
merebuat posisi sebagai wartawan perang mereka, setelah menyisihakan para
pesaingnya yang gagal menyusun berita dalam 30 kata. Sedang Sosorokartono
menyusun berita itu (sebagai bagian dari persyaratan) jadi 27 kata dalam bahasa
Prancis, Inggris, dan Rusia.
Selama bertugas sebagai wartawan
perang, Sosrokartono diberi gelar mayor oleh The New York Herald Tribune tapi ia tak mau memegang senjata.
Alasannya sederhana sekali, “Saya tidak akan menyerang orang, karena itu saya
pun tak akan diserang. Jadi apa perlunya membawa senjata?” kata Kartono,
seperti dikutip dalam naskah Drs. RMP
Sosrokartono, Sarjono-Satrya Pinandita karya Amin Singgih.
Belgia, Jerman, Prancis, Swiss, dan
Austria, adalah area tugas Sosrokartono sebagai koresponden harian Amerika The
New York Herald Tribune selama
Perang Dunia I (1914-1918) berkecamuk. Salah satu keberhasilan Sosrokartono
sebagai wartawan perang adalah ketika berhasil memuat hasil perjanjian rahasia
antara tentara Jerman yang menyerah dan tentara Prancis yang menang perang.
Padahal perundingan antara Stresman
yang mewakili Jerman, dan Foch yang mewakili Prancis itu berlangsung secara
rahasia dalam sebuah gerbong kereta api di sekitar hutan Compaigne,
Prancis, dan dijaga sangat ketat. Tak sembarang orang apalagi wartawan boleh
mendekati tempat perundingan dalam radius 1 km. Menilik kemampuannya bergaul
dengan begitu banyak orang, belum lagi posisi sosial yang ia nikmati di Eropa,
ada dua kemungkinan yang bisa penulis ajukan terkait bagaimana cara
Sosorokartono bisa melansir berita perdamaian Perang Dunia I itu.
Pertama, ia melakukan pendekatan sangat persuasif pada
para para ajudan dari kedua utusan negara itu. Kendati mereka tak terlibat
dalam pembicaraan perdamaian, setidaknya mereka mendengar apa yang
dibicarakan-disepakati oleh Stresman dan Foch mewakili negara masingmasing.
Maka para ajudan itu jelas menjadi sasaran empuk bagi Sosrokartono dalam
menggali berita.
Kedua, Sosrokartono tak harus bersusah payah menggali
data melalui para ajudan tersebut, karena yang bertugas menjadi penerjemah
kedua utusan negara yang bertikai itu adalah dirinya sendiri. Secara logis,
penulis sangat meyakini analisa yang kedua ini. Maka bukan soal yang sulit bagi
Sosrokartono untuk menuliskan berita perdamaian itu menjadi sebuah berita yang
saat itu sedang dinantikan dunia internasional.
Stresman dan Foch sebagai juru runding Perang Dunia I |
Tak lama setelah Perang Dunia I usai,
kemampuan bahasa Sosrokartono juga mengantarnya menjadi juru bahasa tunggal di
Volken Bond atau Liga Bangsa-Bangsa, sedari 1919 sampai 1921. Meskipun pada
kemudian hari ia geram menyaksikan politik organisasi cikal bakal PBB itu, yang
ia nilai tak netral. Ia pun meninggalkan Jenewa, tempat Volken Bond bermarkas,
dan pindah ke Prancis untuk menjadi mahasiswa pendengar di Universitas
Sorbonne, jurusan psikometri dan psikoteknik.
Sosrokartono tertarik mendalami ilmu
kejiwaan setelah mendapat arahan dari seorang dokter di Jenewa, Swiss. Dokter
itu sempat melihat Sosrokartono menyembuhkan seorang anak kerabatnya, berusia
12 tahun, yang tak sadarkan diri setelah terserang demam tinggi, hanya dengan
meletakkan telapak tangannya di dahi si anak. Tapi Sosrokartono tak lama kuliah
di Sorbonne. Pada 1921, pemerintah Prancis mengangkatnya sebagai pegawai tinggi
dengan jabatan atase Kedutaan Besar Prancis di Den Haag.
Jenis
pekerjaan yang ditekuni Sosrokartono jelas berbanding lurus dengan pendapatannya.
Pada masa itu ia telah mengumpulkan gaji mencapai US$1.250 per bulan.
"Dengan gaji sebanyak itu, ia dapat hidup sebagai miliuner di Wina,"
tulis Hatta dalam memoarnya.
Namun dibalik karir yang melejit itu,
Sosrokartono tetap menyusun langkah merebut kemerdekaan negerinya tercinta dari
jarak ribuan kilometer. Dalam semua literatur tentang Sosrokartono, ia telah ikut
mendirikan Indische Vereeniging di
Belanda pada awal abad ke-20 itu. Hal itu bisa dibuktikan dalam dokumen
pendirian Indische pada 1908 yang
kemudian berubah nama dua kali menjadi Indonesische Vereeniging (1922), dan
Perhimpunan Indonesia (1925), dengan membubuhkan nama Sosrokartono bersama
Hussein Djajadiningrat, Noto Soeroto, Notodiningrat, dan Soemitro Kolopaking.
Hussein Jayadiningrat, adik Achmad Jayadiningrat,
pada kemudian hari berhasil mencatatkan namanya sebagai peraih summa cum laude dalam bidang kajian
sejarah di Leiden dan tampil sebagai peraih gelar doktor pertama dari Nusantara—setelah
beberapa tahun sebelumnya Sosrokartono digagalkan oleh Snouck.
Perjalanan Sosro berakhir di
Southampton, Inggris, saat ia menulis surat perpisahan kepada pasangan
Abendanon dari kapal Grotius, 5 Juli 1925. Surat ini beserta dua surat lain
dimuat di Surat-Surat Adik R.A. Kartini terbitan Djambatan (2005).
Dalam surat itu, De Mooie Sos (Sos yang Tampan) yang tengah berada dalam perjalanan
pulang ke Jawa, menghaturkan maafnya tak sempat berpamitan kepada pasangan
Abendanon yang tinggal di Amsterdam.
"Saya bertekad memperbaiki dan menyelamatkan
kehidupan saya. Ada keinginan dan kemauan, dan di atas itu, ambisi tuk
menyumbangkan pengalaman-pengalaman yang telah saya dapat kepada bangsa
saya."
Maka Sosrokartono pun mengakhiri petualangannya
di Eropa pada 1925 setelah mengembara selama 29 tahun.
Berlabuh di Tanah Pasundan
DI SEBUAH RUMAH PANGGUNG di Jalan Pungkur No. 7,
Bandung (sekarang tepat di seberang terminal Kebon Kalapa), pernah berdiri rumah
pengobatan bernama Pondok Darussalam. Rumah inilah yang menjadi pelabuhan
terakhir Sosrokartono setelah ia kembali dari Eropa.
Rumah panggung itu terbuat dari kayu
dengan dinding bambu. Dibangun memanjang membentuk huruf L sepanjang Jalan
Pungkur. Sosrokartono diminta menempati gedung itu oleh RM Soerjodipoetro, adik
Ki Hajar Dewantara.
Gedung
inilah yang menjadi saksi kesaktian Sosrokartono yang mengobati pasiennya hanya
dengan mencelupkan telunjuk ke dalam air di gelas. Jari telunjuk itu adalah
simbolisasi dari huruf alif (١) yang jadi ciri khas beliau saat mengobati orang sakit. Kenapa huruf
alif?
Ja’far Ash-Shadiq ra (dalam Schimmel, 1996:
230) mengungkapkan: ”Tuhan membuat huruf Hijaiyyah sebagai induk segala benda;
indeks dari segala sesuatu yang bisa dilihat... Segala sesuatu bisa diketahui
melalui huruf.”
Kemampuan ajaib Sosrokartono inilah
yang membuat ia digelari persoonlijke magnetisme
oleh seorang dokter yang anak kerabatnya disembuhkan oleh Sosrokartono ketika
masih melanglang buana di Eropa.
Menurut Budya Pradipta, Ketua
Paguyuban Sosrokartanan Jakarta dan dosen tetap bahasa, sastra, dan budaya Jawa,
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, mengatakan, “Darussalam adalah bekas
gedung Taman Siswa, Bandung. Eyang Sosro di sana karena diminta menjadi
pimpinan Nationale Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional) milik Taman
Siswa.”
Kelak gedung ini juga pernah dipakai
oleh Partai Nasional Indonesia pimpinan Bung Karno, dan Indonesisch Nationale
Padvinders Organisastie pimpinan Abdoel Rachim, mertua Bung Hatta.
Guru-guru di sekolah Taman Siswa itu
antara lain, Ir. Sukarno, Dr. Samsi, Mr. Sunario SH, dan Mr. Usman
Sastroamidjoyo. RMP Sosrokartono juga ikut aktif dalam kegiatan politik saat
zaman pergerakan nasional Indonesia. Kegiatan Sosrokartono dapat dilihat dari
laporan para pejabat kolonial Belanda.
Dalam laporan rahasia yang dibuat Van
Der Plas pejabat Adviseur Voor Inlandse Zaken tertulis kalau (Doctorandus) Drs. Sosrokartono termasuk
pelopor gerakan nasional Indonesia dan tidak dapat dipercaya oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Ada lagi laporan dari Komisi Istimewa
yang terdiri Herwerden dan Toxopeus langsung kepada Ratu Wilhelmina, yang
berisi kalau Sosrokartono penganjur swadesi
dan sangat berbahaya bagi berlangsungnya ketenteraman dan kedamaian di Hindia
Belanda.
Kayanto Soepardi, 63 tahun, putra
seorang asisten Sosrokartono, menuturkan ingatannya, “Darussalam tak pernah
sepi. Tamunya beragam. Sedari orang Belanda, pribumi, hingga Cina peranakan. Ia
juga pernah melihat Bung Karno datang menemui Sosrokartono.
Saat itu Sosrokartono sedang menggoreskan
huruf alif di atas kertas putih seukuran prangko dan menyelipkannya ke dalam
peci Bung Karno, entah untuk apa. Sementara Bung Karno dan kawan-kawan
seperjuangannya, kerap datang ke Darussalam guna belajar bahasa pada
Sosrokartono.
Masih menurut Kayanto, Sosrokartono tidak
pernah lepas dari sebuah tongkat, beskap berwarna putih lengan panjang, sebuah
topi (mirip mahkota) warna hitam, dan mengalungkan tasbih yang menjuntai hingga
ke dada. Janggutnya sebagian sudah memutih, sorot matanya tajam, dan lebih
banyak diam.
Berbekal pengetahuan dan kecakapan
berbahasa yang dikuasai Sosrokartono, ia pernah memberanikan diri menemui
Gubernur Jenderal W. Rooseboom pada 14 Agustus 1899, sebelum berangkat ke
Batavia guna memangku jabatannya yang baru.
Solichin Salam dalam Drs. RMP Sosrokartono, Sebuah Biografi
(terbitan Yayasan Pendidikan Sosrokartono, 1979) menyebutkan, dalam pertemuan tersebut
Sosrokartono meminta kepada Rooseboom untuk benar-benar memperhatikan pendidikan
dan pengajaran kaum pribumi di Hindia Belanda.
Willem Rooseboom yang lahir di
Amsterdam pada 9 Maret 1843, adalah gubernur Hindia Belanda yang masuk kategori
anomali. Ia mengemban posisi tertinggi di Hindia Belanda dari tahun 1899 hingga
1904, mengantar Hindia Belanda memasuki abad XX dari abad XIX.
Ia termasuk gubernur jenderal Hindia
Belanda dari kalangan militer yang memulai karirnya di sana sejak berusia 14
tahun, sebagai kadet hingga menjadi
pengajar di Sekolah Tinggi Militer (1874). Pada 1884, ia dipilih sebagai
anggota parlemen Kerajaan Belanda, dan duduk di sana selama tujuh tahun.
Kemudian ia kembali berdinas sebagai
Direktur Sekolah Tinggi Militer sampai diangkat sebagai gubernur jenderal
Hindia Belanda. Perhatiannya banyak tercurah pada divisi pertahanan. Ia juga
melakukan penelitian, untuk mencari jawaban atas rendahnya kesejahteraan
masyarakat di Jawa dan Madura. Selesai memangku jabatannya di Hindia Belanda, ia
kembali ke Den Haag dan lebih banyak menarik diri dari publik, dan meninggal dalam
sepi pada 6 Maret 1920.
Ajaran Luhur Sosrokartono
SELAMA di Bandung, Sosrokartono sering melakukan tarak brata: tak mau menikmati kemewahan.
Bahkan dalam beberapa hari, beliau hanya makan dua buah cabe atau sebuah
pisang. Selanjutnya ia jadi suka berpuasa tanpa berbuka dan bersahur, dan juga
tidak tidur selama berhari-hari, biasanya sampai 40 hari lebih.
Hasil
olah batin, olah raga, olah cipta, dan olah rasa itu tak syak kita sebut
sebagai laku spiritual. Hasil dari olahan itu menghasilkan Catur Mukti, yaitu satunya
pikiran, perasaan, perkataan, perbuataan:
Pikiran yang Benar: Cinta Kasih - Belas
Kasih – Simpati - Tenang dan Seimbang.
Perasaan yang Benar.
Perkataan yang Benar.
Perbuatan yang Benar.
Nulung pepadane, ora nganggo mikir wayah,
waduk, kantong. Yen ana isi lumuntur marang sesami (Menolong sesama tanpa
peduli pada waktu, perut, kantong. Bila ada sesuatu, diperuntukkan kepada
sesama manusia). Ungkapan itu ditulis Sosrokartono pada 12 November 1931.
Beberapa ajaran lain Sosrokartono yang
sempat terwariskan dan kini dikenal sebagai Kantong Bolong adalah:
١.
Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji.
(Kaya tanpa Harta/Kaya Hati; Sakti tanpa Ilmu).
٢.
Trimah mawi pasrah (rela menyerah
terhadap keadaan yang telah terjadi).
٣.
Suwung pamrih tebih ajrih (jika tak
berniat jahat, tidak perlu takut).
٤.
Langgeng tan ana susah tan ana bungah
(tetap tenang, tidak kenal duka maupun suka).
٥.
Anteng manteng sugeng jeneng (diam
sungguh-sungguh, maka akan selamat sentosa).
Lima
pesan itu tercantum di nisan sebelah kiri Sosrokartono yang jasadnya dimakamkan
di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah. Di sebelah kiri makam Kartono
terdapat makam ibunya, Nyai Ngasirah, dan bapaknya, RMA Sosroningrat.
Di dinding pagar besi di makam
Sosrokartono, terpasang tulisan huruf (١) alif dalam bingkai kaca seukuran 10R. Di bawahnya terdapat
foto Sosrokartono mengenakan setelan jas a
la orang Barat.
Menurut juru kunci (kuncen) makam tersebut, Sunarto, makam
Sido Mukti awalnya adalah tanah seluas 2 hektar, pemberian pemerintah Hindia
Belanda kepada Aryo Condro Negoro, Bupati Kudus ke-3 yang juga buyut Sosrokartono.
Ia menambahkan tanah tersebut diberikan, karena jasa besar Aryo Conro Negoro
yang telah berhasil memakmurkan masyarakat Kudus dan melepaskan masyarakat dari
masa pageblug.
Sebagai penutup, kami ingin memberi
sebuah catatan kecil terkait bagaimana menyikapi laku hidup Sosrokartono dan
jasa besarnya pada bangsa ini.
Pertama, bersama Tirto Adhie Suryo dan khususnya Cokroaminoto,
Sosrokartono laik disebut sebagai sufi penggerak revolusi yang andilnya tak
bisa dinafikan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Kedua, perlu dilakukan penelitian mendalam terkait
siapa guru spiritual yang menjadi mursyid Sosrokartono sebelum atau setelah ia
kembali ke Nusantara. Sebab tak bisa dimungkiri bahwa tindak-tanduknya selama
di Bandung, adalah perilaku kesufian yang sangat kentara jejaknya.
Ketiga, pemerintah Republik Indonesia harus membuka mata
lebih lebar. Dibanding Kartini, adiknya—yang bahkan bila dibandingkan dengan
Dewi Sartika saja, jelas tak sepadan, Sosrokartono sangat pantas diangkat
sebagai pahlawan bangsa.
Lantas pada siapakah sosok sehebat Sosrokartono menimba ilmu yang sedemikian linuwih? Berdasar telusur data yang berhasil kami lakukan, jawabannya adalah pada salah seorang tokoh yang kini pusaranya berada di kaki Gunung Salak, Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Tokoh itu adalah Eyang Santri, yang semasa muda bernama Pangeran Joyokusumo. Ia adalah salah satu kerabat dekat Trah Mangkunegaran, karena masih cucu kandung Pangeran Sambernyowo (Mangkunegoro I) dari Pangeran Prabuamijoyo. Pada masa itu, Keraton Mangkunegaran berhubungan sangat rapat dengan trah para bangsawan Madura terutama Pamekasan, karena bantuan mereka pada konflik Mataram sebelum Giyanti 1755. Bukti kedekatan hubungan itu adalah pernikahan Pangeran Prabuamijoyo yang dijodohkan ayahnya dengan Puteri Ayu Trikusumo, puteri Pangeran Cakraningrat penguasa Pamekasan.
Pada
awal 1900-an, HOS Cokroaminoto dengan ditemani Sosrokardono juga kerap mampir
ke rumah Eyang Santri. Bahkan sebelum membentuk afdeeling A Sarekat Islam di Garut, keduanya juga meminta doa restu
pada Eyang Santri. Pangeran kelana dan ahli sufi dari Yogyakarta, Suryomentaram,
juga pernah datang berguru ke Cidahu saat usianya masih sangat belia. Bung
Karno ketika masih belajar pada Cokroaminoto di Rumah Peneleh, Surabaya, pun
pernah nyantri pada Eyang Santri.
Lantas pada siapakah sosok sehebat Sosrokartono menimba ilmu yang sedemikian linuwih? Berdasar telusur data yang berhasil kami lakukan, jawabannya adalah pada salah seorang tokoh yang kini pusaranya berada di kaki Gunung Salak, Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Tokoh itu adalah Eyang Santri, yang semasa muda bernama Pangeran Joyokusumo. Ia adalah salah satu kerabat dekat Trah Mangkunegaran, karena masih cucu kandung Pangeran Sambernyowo (Mangkunegoro I) dari Pangeran Prabuamijoyo. Pada masa itu, Keraton Mangkunegaran berhubungan sangat rapat dengan trah para bangsawan Madura terutama Pamekasan, karena bantuan mereka pada konflik Mataram sebelum Giyanti 1755. Bukti kedekatan hubungan itu adalah pernikahan Pangeran Prabuamijoyo yang dijodohkan ayahnya dengan Puteri Ayu Trikusumo, puteri Pangeran Cakraningrat penguasa Pamekasan.
Eyang Santri |
Pangeran
Joyokusumo lahir pada 1770. Semasa remaja, ia banyak berguru dengan para ulama,
bahkan ia sampai belajar mengaji dan mendalami ilmu agama di Pasiriyan, Jawa
Timur. Ia juga bersahabat dengan Pangeran Sosroningrat dan Pangeran Jungut
Mandurareja yang juga merupakan kakak dari Raden Mas Sugandi yang kelak menjadi
Pakubuwono V. Adanya hubungan saudara antara Pangeran Joyokusumo dengan para pangeran
dari Kasunanan Solo menjadikan ia kian akrab dengan sastra Jawa. Raden Mas
Sugandi diangkat menjadi Putera Mahkota Pakubuwono sekitar 1811 M dan bergelar
Adipati Anom Amangku Negoro III. Di masa inilah Pakubuwono IV memberikan
latihan bagi Adipati Anom untuk mempelajari seluruh aspek kehidupan masyarakat,
susastra dan segala permasalahan sosial, sebagai bekal menjadi raja. Adipati
Anom dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja dan Pangeran Sosroningrat dalam menyusun
dasar-dasar pemerintahan, serta meminta Pangeran Joyokusumo sebagai penasihat putera
mahkota.
Lantas
bagaimana juntrungannya Pangeran Joyokusumo bisa sampai ‘mental’ jauh dari Solo
hingga ke Jawa Barat? Kisah ini erat kaitannya dengan
peristiwa perang Jawa yang legendaris itu. Sebab beliau turut terlibat mengatur
siasat membantu Pangeran Diponegoro melawan VOC. Ketika VOC berhasil menangkap
sang Pangeran Diponegoro, maka tak ayal Pangeran Joyokusumo pun terkena
imbasnya. Beliau pun melarikan diri hingga kemudian menetap di Cidahu sampai
akhir napasnya pada usia 159 tahun. Ia menjadi saksi berlangsungnya kekalahan
Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan. Ia juga dikunjungi banyak ahli kebatinan
dan para pemimpin politik. Selain Sosrokartono, pada 1880-an ia sempat dikunjungi
oleh Wahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi
pendidikan bagi kaum pribumi dalam menghadapi zaman modern.
Pada
suatu pagi yang dingin, Wahidin naik Gunung Salak dan berupaya menemui Eyang
Santri. Setiba di kediaman beliau, Wahidin disuruh mandi di kolam air panas dan
bermeditasi. Usai itu, Eyang Santri mengajarkan padanya tentang rasa
kebangsaan, harga diri sebagai manusia dan kekuatan batin. Dari dasar-dasar
yang ditanamkan Eyang Santri-lah maka Wahidin merasa kuat membangun rasa
kebangsaan sebuah bangsa yang baru, Bangsa Indonesia. Selain Wahidin yang kerap
datang ke rumah Eyang Santri adalah Dirk Van Hinloopen Labberton ahli teosofi
Belanda yang belajar filosofi kebatinan Jawa.
Kini, banyak orang yang bahkan tak
mengenal dan sulit melafalkan nama Sosrokartono. Hidup selibat yang ia jalani dalam sepi,
seolah menjadi penjelas betapa dirinya adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sebagai
generasi pelanjut, kita, bertanggungjawab penuh atas ketakpedulian ini. []
sangat inspiratif
ReplyDeleteKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
ReplyDeleteKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.