Cokroaminoto duduk di paling kanan |
"Setinggi-tinggi
ilmu, sepintar-pintar siasat, semurni-murni tauhid."
~H.O.S
Cokroaminoto
SEABAD kurang dua hari sebelum saya
lahir pada Agustus 1982, seorang jabang bayi yang kelak jadi manusia bijak
bestari dan terangkat pamornya ke puncak tertinggi kehidupan, lahir di Bakur,
Ponorogo, Jawa Timur, pada 16 Agustus 1882. Bayi ini adalah cicit dari seorang
ulama kenamaan, disegani, dan telah
mencetak pemimpin dan ulama kawakan Nusantara, Kyai Bagus Kesan (Hasan)[i]
Besari. Pemimpin dan pengasuh Pondok Pesantren Tegalsari di Desa Tegalsari,
Kabupaten Ponorogo, Karesidenan Madiun.
Sekadar menyebut dua
nama santri Kiyai Kesan Besari yang masih harum namanya hingga kini adalah, Paku
Buwana II atau Sunan Kumbul, Raja Kerajaan Kartasura; dan Raden Ngabehi
Ronggowarsito (wafat 1803 M), seorang pujangga Jawa yang masyhur.
Raden Mas Cokroamiseno,
orangtua dari bayi yang mujur itu, kemudian menamai anak keduanya, Umar (Oemar)
Said Cokroaminoto. Dari duabelas anaknya nanti, Cokroaminoto-lah satusatunya
mutiara hitam yang dititisi trah leluhurnya yang terpuji itu. Kakeknya, Raden Mas
Adipati Cokronegoro, pernah menjabat sebagai bupati Ponorogo. Hanya dengan
merunut rantai kakek dan buyutnya, kita bisa mengerti mengapa sosok Cokroaminoto
bisa sampai meraksasa seperti yang terekam sejarah negeri ini.
Langgar Ponpes Tegalsari pada Abad-19 |
Diakui atau tidak,
diamini pun ditolak, pada kenyataannya hidup ini sangat dekat dengan perkastaan
dalam tradisi Hindu. Berikut ini kami sodorkan data-fakta terkait pentingnya
belajar memahami syajaratun (pohon
keluarga)—yang kini kita kenal sebagai ilmu sejarah.
Dr. Tim La Haye dalam
bukunya You and Your Family, membuat diagram
silsilah dua orang yang hidup pada abad 18. Orang pertama, Max Jukes,
penyelundup alkohol yang tidak bermoral. Orang kedua, Dr. Jonathan Edwards,
pendeta saleh dan pengkhotbah kebangunan rohani. Jonathan menikah dengan
seorang perempuan beriman dan menganut filsafat hidup yang baik. Melalui silsilah
kedua orang ini ditemukan bahwa dari Max Jukes terdapat 1.026 keturunan: 300
orang mati muda, 100 orang dipenjara, 190 orang pelacur, 100 orang peminum
berat. Dari Dr. Edwards terdapat 729 keturunan: 300 orang pengkhotbah, 65 orang
profesor di universitas, 13 orang penulis, 3 orang pejabat pemerintah, dan 1
orang wakil presiden Amerika.
Berdasar diagram yang
dibuat Dr. Tim La Haye tersebut, kita bisa melihat bahwa kebiasaan, keputusan
dan nilai-nilai dari generasi terdahulu sangat memengaruhi kehidupan generasi
berikutnya.
Mari kembali pada
kehidupan Cokroaminoto muda.
Usai menamatkan
sekolah Ongko Loro, Cokro melanjutkan
studinya ke OSVIA (Opleidings School Voor
Inlandsche Ambtenaren) di Magelang, dan pada 1902, ia berhasil
menyelesaikan studinya di sana.
Raden Ajeng Suharsikin,
puteri seorang patih wakil bupati Ponorogo yang bernama Raden Mas Mangunsomo,
pun ia sunting sebagai istri yang lantas berganti nama menjadi Raden Ayu Cokroaminoto.
Perempuan ini dikenal berbudi pekerti halus,
perangainya baik, dan cekatan. Walaupun tidak tinggi pendidikan sekolahnya,
namun ia sangat menyukai pengajaran dan pengajian agama.
Menurut
asal-usulnya, ia keturunan Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir di Madiun. Jadi
antara Cokroaminoto dan Suharsikin, sama dibesarkan dan mewarisi trah unggul di
zamannya.
Ikhwal berseteru
dengan pengusaha Belanda yang semenamena terhadap karyawannya, Cokroaminoto
yang tampil sebagai pembela si buruh, memilih hengkang. Masalah bertambah ketika
ia kembali ke rumah mertuanya, Mangunsumo. Tindakan Cokro itu malah tak beroleh
dukungan sama sekali. Sebab Mangunsumo adalah seorang pejabat yang mengabdi
pada dawuhnya kolonial Belanda.
Perselisihan dua
generasi beda zaman itu, menelan korban. Cokro harus angkat kaki, lantas merantau
ke Semarang pada 1905. Melalui H. Hasan Ali Surati, seorang saudagar kaya dari
India yang menjadi ketua Perkumpulan Manikem, Cokro diperkenalkan pada empat
pengurus Sarekat Dagang Islam (SDI) yang sedang menjajaki pembukaan cabang di
Surabaya. Merasa tak menemukan tantangan berarti, sambil melakukan penjajakan, ia
kemudian memutuskan pindah ke Surabaya.
Sebelum bergabung dengan
SDI, Cokro sempat menjadi Ketua Panti Harsoyo. Ia juga bekerja pada sebuah
firma, Kooy & Co, dan pabrik gula, Rogojampi, sebagai seorang chemiker.
Sambil itu, ia pun
tak lupa meluangkan waktu menambah ilmu pengetahuan. Pada 1907-1910, ia kembali
mengikuti pendidikan di sekolah B.A.S (Burgerlijke
Avond School). Ketika SDI afdeling Surabaya berdiri dan Cokro bertindak
sebagai ketua, maka manusia pilihan tanah Jawa itu pun mulai unjuk gigi. Seperti
tersirat dalam pidato yang ia sampaikan pada Juni 1912:
Kita
mencintai bangsa ini, dan dengan ajaran agama (Islam), mari berusaha sepenuhnya
mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa ini. Kita, mencintai negeri
yang telah menyaksikan kelahiran kita
...
Pidato ini
sekaligus menjadi penanda pemindahan tampuk kepemimpinan SDI dari Haji
Samanhudi ke Umar Said Cokroaminoto. Nama SDI pun berubah menjadi Sarekat Islam
(SI) sejak didirikan pada 1905. Berdasar itulah, Cokro menyatakan bahwa SI
bukan organisasi politik, dan bertujuan meningkatkan perdagangan antarbangsa,
membantu anggotanya yang mengalami kesulitan ekonomi serta mengembangkan
kehidupan relijius dalam masyarakat Nusantara.
Upaya mewujudkan asas
tersebut, dibuktikan Cokro dengan mendirikan surat kabar pada setiap afdeling
SI. Dua di antaranya yang terbesar adalah Utusan
Hindia dan Fajar Asia. Satu lagi,
majalah Al-Jihad.
Geliat Cokro ini
mulai menggelisahkan pihak kolonial Belanda, setelah tujuh dekade sebelumnya mereka
berhasil meredam perjuangan Diponegoro. Kali ini tugas mereka jauh lebih berat.
Karena yang digerakkan Cokro adalah pikiran orang se-Nusantara. Ia tampil
menjadi mesiah bagi begitu banyak orang yang telah pupus harapannya. Cokro menyimpan
harapan itu dalam sorot matanya yang tajam. Meski perawakannya sedang belaka,
namun dalam rambatan suaranya tersimpan ledakan besar zaman yang siap bergegas.
Suatu ketika, Cokroaminoto pernah mengalami sakit keras, sehingga beberapa kali mengalami pingsan (tidak sadarkan diri). Beberapa tabib berusaha untuk menyembuhkannya, namun hasilnya sia-sia.
Pada suatu malam, ketika terbaring lemah, tibatiba Cokroaminoto yang saat itu sedang membaca al-Quran, memekik …“Ada tamu, Ada Tamu.”Salah seorang kerabat yang menungguinya bertanya, “Siapa?Beliau berujar, “Rasulullah... Rasulullah!” dan ia pun pingsan.Kejadian yang sama, ternyata terulang pada keesokan harinya. Namun secara ajaib, penyakit Cokroaminoto berangsur berkurang.Melalui salah seorang terdekatnya, Cokroaminoto mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah memberi pelajaran membaca beberapa ayat Al-Quran kepadanya.
Kisah kedatangan Rasulullah Saw ini, sebagaimana ditulis oleh Amelz, dalam bukunya H.O.S. Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya terbitan 1952.
H.O.S Cokroaminoto |
Melampaui Bangsawan Pikiran
KEMUNCULAN Cokroaminoto, masih diikuti
seorang tokoh lain yang juga menggerakkan pikiran massa, Tirto Adhisuryo (Bapak
Pers Indonesia). Keduanya sama berjuang dengan pena, sama menggunakan perserikatan,
dan pendampingan hukum. Beda tegasnya adalah, SI berhasil melampaui sekat
bangsawan pikiran sebagaimana yang digaungkan Tirto melalui Sarekat Priyayi
yang ia dirikan. Merujuk pada namanya saja, kita akan mudah mengerti bagaimana
SI bisa meraup anggota hingga 2,5 juta orang.
Pencapaian luarbiasa
mengagumkan bila merujuk pada zaman itu.
Daya pikat Cokro pun
segera menyeruak ke seantero negeri. Tapi yang paling membekas justru terjadi
di rumahnya sendiri—yang digandakan fungsinya oleh Sukarsihin menjadi tempat
indekos. Kala itu, pelajar yang mondok di rumah Cokro sekitar 20 orang.
Kebanyakan dari mereka bersekolah di M.U.L.O (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), atau H.B.S (Hollands Binnenlands School).
1915. Seorang guru
paruh baya, Raden Sukemi Sosrodiharjo bergegas penuh semangat mengantar anaknya
yang akan segera menjadi siswa H.B.S Surabaya. Takdir membawa sang anak pada
rantai pertemanan orangtuanya yang mengenal dengan baik Cokroaminoto. Kerana letak
H.B.S yang tak begitu jauh dari rumah Cokro di Jalan Peneleh, maka sempurnahlah
takdir itu. Raden Sukemi pun menitipkan anaknya, Kusno Sosrodiharjo pada De Ongekroonde van Java (Raja Jawa Tanpa
Mahkota) sebagaimana kolonial Belanda menjuluki Cokro.
Di rumah Cokro,
Kusno yang kini kita kenal sebagai Ir. Sukarno, mukim seatap bersama para siswa
yang sudah lebih dulu menetap. Ada Semaun, Alimin, Sampurno, Muso, Kartosuwiryo,
bahkan Tan Malaka—selain Darsono (sekretaris pribadi Cokro), Agus Salim
(sekretaris SI), dan Abdul Muis, rekan seperjuangan Cokro di Dewan Rakyat (Volksraad).
Bentuk awal rumah Cokro
bisa diketahui dari penuturan Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia.
“Pada
seperempat jalan jauhnya masuk ke gang itu berdirilah sebuah rumah buruk dengan
paviliun setengah melekat. Rumah itu dibagi
menjadi sepuluh kamar-kamar kecil, termasuk ruang loteng. Keluarga Pak Cokro
tinggal di depan; kami yang bayar-makan di belakang. Loteng
yang disebut-sebut Sukarno sampai hari ini masih terawat. Luas ruang atas
sekira 2x4 meter itu dibiarkan kosong
melompong. Lubang kecil di tembok menjadi satu-satunya celah sinar matahari
untuk menerangi ruangan.”
Persemaian benih kepemimpinan pun terjadi begitu indah. Para
pelajar H.B.S itu, yang satu di antaranya kelak menjadi presiden Republik
Indonesia pertama, tahu persis bagaimana induk semang mereka mengurusi
organisasi sebesar SI. Saking besarnya, Cokro terpaksa harus mendirikan Centraal
Sarekat Islam (CSI) sebagai pengawas begitu banyak afdeling yang telah berdiri
di tiap daerah Nusantara. Tujuannya adalah:
“Yang
kita inginkan adalah: sama rasa, terlepas dari perbedaan agama. CSI ingin
mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian rupa sehingga mencapai
(tahap) pemerintahan sendiri.”
~dalam “HetS.I.
Congres,” De Indische Gids, 40, 1918.
1917. SI berubah
menjadi partai.
Pada 25 November
1918, Cokro mengajukan “Mosi Cokroaminoto” yang menuntut Belanda membentuk
parlemen dari dan oleh rakyat.
Belanda mengabulkan mosi itu dan mengangkat Cokro menjadi
anggota Volksraad (Dewan Kehormatan
Hindia Belanda yang berkantor di Batavia [Jakarta]), bersama Cipto
Mangunkusumo, dan Abdul Muis. Kesempatan besar ini ia gunakan untuk menggugat
kolonial Belanda dari jarak dekat melalui D.A Rinkes, sahabatnya, yang juga
adalah orang kepercayaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Idenburg.
Akibat keberanian Cokro
menggugat kedegilan kolonial Belanda, ia harus mendekam di penjara selama tujuh
bulan. Kelakuan menarik Cokro ini, kelak diulangi muridnya, Sukarno, ketika
memanfaatkan Jepang mendirikan PETA (Pembela Tanah Air) dan menjadikan dirinya
alat “propaganda” Jepang ke seantero Nusantara—yang sejatinya adalah upaya
mendepak penjajahan dan mendirikan pemerintahan sendiri.
1920. Cokro
dijebloskan Belanda ke penjara selama tujuh bulan, lalu bebas tanpa syarat karena
terbukti tak bersalah. Belanda kembali memintanya duduk dalam Volksraad, namun Cokro menolak karena ia
tidak mau bekerja sama lagi dengan kolonial Belanda.
ώ
SELEPAS keluar dari penjara, Cokroaminoto
masih terus bergegas menyongsong zaman baru yang terus bergerak. Hanya saja ia
sudah menua dan tampak keletihan. Para pemuda yang ia didik di Peneleh mulai
tampil satu persatu di panggungnya masingmasing.
17 Desember 1934.
Cokroaminoto memungkasi usianya pada angka 52 tahun. Jasadnya dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan, Pekuncen, Yogyakarta. Cokro pergi melanjutkan perjalanan
spiritualnya dengan menitipkan Siti Utari pada Sukarno, Utaryo (Anwar), Harsono
(Mustafa Kamil), Siti Islamiyah, Sujud Ahmad, dan sebuah buku monumental
berjudul Islam dan Sosialisme.
Kenapa Cokro menitipkan
Utari pada Sukarno? Karena Sukarno adalah murid adicitanya yang paling ia
banggakan, paling cerdas, dan sedikit banyak, bermiripan dengannya—malah dalam
soal berpidato, Sukarno jauh lebih dahsyat dibanding gurunya itu. Meskipun begitu,
suatu saat Sukarno pernah berkata penuh ketakziman dengan redaksi seperti ini:
“Seandainya Pak
Cokro tidak meninggal lebih cepat, beliau pasti menjadi presiden kita yang
pertama, bukan saya. Karena dibanding beliau, saya ini tidak ada apaapanya.”
Berdasarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 59011961, tanggal 9 November 1961, Haji
Umar Said Cokroaminoto diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Di
Jakarta dan banyak tempat lain di Indonesia, namanya diabadikan sebagai nama
jalan.
Sukarno, murid yang
sangat tahu cara membalas budi baik gurunya itu, mungkin pernah dititipi amanah
tuk melanjutkan perjuangan merebut kemerdekaan. Pantas bila di antara keduanya,
sulit dicari titik pembeda. Keduanya, pemimpin besar.
Cokroaminoto adalah
raja Nusantara tak bermahkota.
Sukarno, adalah presiden
sebuah negara berdasar mimpi besar gurunya sendiri.
Barangkali, sambil
mengenang dengan manis peran gurunya itu, sebelum menjadi proklamator bersama
Mohamad Hatta—dan presiden Republik Indonesia, Sukarno kerap mengingat dengan
baik ucapan Cokroaminoto yang menggelora ini, "Jika kalian ingin menjadi
Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator."
[]
Catatan
akhir:
[i] Semua bentuk peyorasi terkait
penulisan nama seperti pada kasus Kiyai Hasan Besari dan penggunaan ejaan lama
Hindia Belanda, saya tiadakan demi memudahkan pembaca dalam melakukan
penelaahan. Selain menghindari upaya pengerdilan yang sengaja ditanam Belanda
melalui politisasi nama sebagaimana yang diingatkan Bung Karno dalam
otobiografinya. Beliau melarang tegas namanya ditulis dengan ejaan Soekarno
dengan alasan di atas, kecuali untuk tanda tangannya yang sudah kadung tertera
di teks Proklamasi.
No comments:
Post a Comment