Dalil dan Dalih

oleh Candra Malik*

old man/dali
Dalil itu penting. Dalih juga penting. Berdalil sepertinya menjadi sangat penting ketika berdalih saja tidak cukup mendukung kepentingan kita. Tapi, dalil juga bisa digunakan sebagai dalih. Mengambil dalil tertentu untuk tujuan tertentu pula. Berdalih sesuatu untuk menguatkan dalil tentang sesuatu pula. Dalil dan dalih menjadi segendang seperiangan. Menjadi lagu bertalu-talu.

Lihatlah televisi, sesekali. Dalil pilihan telah berubah jadi nyanyian. Dialunkan sebagai keindahan yang sesungguhnya memang tak terelakkan, tapi disertai kehilangan arti. Dunia pertunjukan lebih menghendaki tontonan daripada tuntunan. Dan seperti lautan, dalil ibarat buih-buih yang menggelembung dalam arus surut dan pasang. Tanpa disadari, kita kehilangan samudera makna.

Sebaik-baik karya memang yang sejak awal membuka kemungkinan multi-tafsir. Tidak mengherankan jika Maha Karya dari Maha Pencipta juga terus-menerus ditafsiri secara berbeda oleh siapa saja. Tapi, apa jadinya jika makna dipaksakan? Apa jadinya jika bahkan kata pun harus dipilihkan? Insan pun kehilangan kesejatian. Dalil justru kita jadikan jumawa melebihi manusia.

Kitab suci sepatutnya dibaca dengan tatacara yang kudus pula. Tidak dengan tengkar dan silang pendapat. Jika pun menghadapi pendekatan-pendekatan yang berlainan, jangan kemudian ayat-ayat Ilahi dijadikan alasan untuk saling berjauhan. Atau rasa curiga memberi kita prasangka: daripada dijauhi, lebih baik lebih dulu menjauhi? Bukankah petunjuk seharusnya menebar sejuk?

Tuhan menurunkan firman tentu saja bukan untuk menaikpitamkan aku, kau, dan liyan. Dalam kehidupan, manusia mengalami lupa dan lalai. Manusiawi jika kita suka berbantah dan berdebat. Tapi, agama mengajari mengingat dan mengingatkan. Jika agama memang kebenaran, sebaiknya lekas berhenti saling menyalahkan. Toh membenarkan itu bukan dengan cara menyalahkan.

Dalil dan dalih memang berpasangan. Tidak punya dalil, masih punya dalih. Tidak memiliki dalih, siapa tahu masih bisa memilih dalil. Naqli dan aqli tak digunakan untuk membela kebenaran, namun justru diperuntukkan membela pembenaran. Perbedaan yang tidak jarang berujung perpecahan seringkali disebabkan oleh pemaknaan yang tak didasarkan atas kearifan kita sendiri.

Betapa benar Allah dengan segala firman-Nya. Allah memastikan dalam (QS Al-Hijr [15]: 9): "Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami yang menjaga (memelihara) kemurniannya." Kita sangka kita telah menyentuh air, padahal itu cuma basahnya. Allah adalah Sebaik-baik Penjaga dan penjagaan Allah niscaya paling baik. Maka, mustahil kemurnian Al-Quran dapat ternodai.

Manusia adalah himpunan dalil. Baik maupun buruk perbuatannya, selalu ada dalam dalil. Terhadap perbuatan baik, Allah menyediakan imbalan berupa pahala, dan janji surga. Terhadap perbuatan buruk, Allah menyediakan imbalan berupa dosa, dan ancaman neraka. Tapi, Allah Maha Pengampun dan Maha Mengampuni. Sebaik-baik hukuman adalah pengampunan dan sebaik-baik kembali adalah kepada Allah.

Sangat disarankan untuk mengambil dalil sebagai tumpuan, namun kiranya tak ada anjuran untuk menggunakan dalil sebagai dalih. Lebih dari itu, kita selayaknya belajar dari pengalaman Wabishah saat bertanya kepada Rasul Muhammad SAW tentang kebajikan dan dosa. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasul menjawab, "Mintalah fatwa pada hatimu. Mintalah fatwa pada dirimu."

Muhammad SAW menjelaskan bahwa kebajikan adalah tiap perbuatan yang membuat hati dan jiwa tenang. Dosa adalah perbuatan yang membuat hati dan jiwa terombang-ambing. Jujur saja, setiap manusia sesungguhnya sadar telah berbuat buruk pada detik pertama ia melakukannya. Persoalannya adalah kita semakin terbiasa tidak jujur kepada diri sendiri, apalagi kepada orang lain.

Hati nyaris tak pernah berhenti berkata. Namun, siapa kini yang masih setia untuk mendengarkan kata hati? Jika kesabaran ada batasnya, maka kesetiaan adalah garisnya. Allah bersama orang-orang yang bersabar. Sering kali kita tidak cukup sabar untuk memberi kesempatan kepada hati untuk berkata. Pikiran terlalu cepat menyambar: jika bukan dalil, dalih yang diambil.

Tidak ada yang salah dari mendalilkan kebaikan dan kebenaran. Tidak pula tidak bisa dibenarkan jika berdalih atas perbuatan. Fatwa bisa datang dari mana saja, namun tetap diri kitalah yang paling mengerti kenyataan dan keadaan kita sendiri. Mengelabuhi dengan gerak-gerik itu mudah, tapi toh hati tidak tinggal diam. Hati mencatat sendiri gerak-gerik sang pemiliknya.

Hatiku adalah penilaiku. Hatimu adalah penilaimu. Tak perlu orang lain untuk mencatat setiap rinci tindak-tanduk kita. Sebab, hati kita sendiri yang merekam seluruh rinciannnya. Lantas pada kemudian hari, hati akan berbicara kepada tuhannya. Kata hati yang selama hayat tidak kita dengarkan akan bertutur kepada Sang Mahamendengar dan Mahamelihat. Dan, satu noktah kesombongan saja akan memenuhi laporan tentang betapa buruk amal perbuatan seorang manusia. Na'udzu billahi min dzalik. []


*Candra Malik, Praktisi Tasawuf yang bergiat dalam kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan.

1 comment:

  1. matur nuwun atas kiriman paginya yang menyenangkan hati, Kang Candra. *salim dan peluk

    ReplyDelete

Total Pageviews