Foto dokumentasi Antara |
BAKAL presiden yang masih berusia 44 tahun, tengah bersiap menghadapi momen terindah dalam hidupnya. Hingga kini, ia adalah presiden termuda yang pernah tercatat sejarah peradaban modern. Ia berjalan pelan namun mantap.
Di belakangnya, mengiring seorang lelaki paruh baya berkacamata tebal. Berperawakan kecil. Berpengaruh besar. Dialah Bung Hatta. Di hadapan mereka sudah berdiri tegak tiang pelantang suara. Mirip seperti yang sering digunakan para rocker ketika konser di atas panggung.
Pelantang suara itu telah disiapkan oleh Gunawan untuk Bung Karno, demi menyiarkan kabar kemerdekaan Indonesia ke seantero dunia. Barangkali, hanya Bung Karno satusatunya tokoh kenegaraan yang punya ikatan emosional dengan pelantang suara.
Nyaris semua pidato Bung Karno sebelum dan sesudah kemerdekaan, takkan bisa lepas dari benda itu. Ia sadar betul suaranya adalah pusaka. Ia tak ingin menyiakan kekuatan itu. Ia pun mafhum betapa rakyat ingin mendengar setiap apa saja yang akan disampaikannya pada rapat akbar, kapan-di mana saja. Foto dokumentasi Antara yang jadi pelengkap tulisan ini, adalah bukti nyata absahnya.
Sejauh ini, belum ditemukan catatan resmi yang menyatakan kapan kali pertama Bung Karno menggunakan pelantang suara saat berpidato. Kecuali pidato pertamanya ketika berusia jelang duapuluhan saat menggantikan Cokroaminoto pada sebuah rapat Sarekat Islam.
Namun cerita dibalik momen pidato Bung Karno, selalu sama. Para pendampingnya sejak era Partai Nasional Indonesia, hingga deretan ajudan kepresidenan, pasti harus memastikan bahwa kabel pelantang suara tersambung ke alat perekam milik jurnalis lokal-internasional. Terutama ke saluran Radio Republik Indonesia, yang siap mengudarakan isi pidato secara langsung ke penjuru Indonesia.
Pada 1948, Gunawan yang menjadi orang paling bertanggungjawab atas pelantang suara Proklamasi, menyerahkan benda keramat itu pada Sekjen Kementerian Penerangan, Haryoto. Pada 1959, Haryoto menyerahkannya pada Sang Proklamator sebagai hadiah milad ke-58. Pelantang suara dan kelantangan pidato Bung Karno saat di podium, seolah perpaduan manis yang sulit dipisahkan.
Sebagian besar generasi kedua republik ini yang masih hidup, hapal betul aura magis Bung Karno di podium–lengkap dengan pelantang suara yang berdiri tegak di depannya. Berkat alat itulah, suara Bung Karno menggelegar-menyebar ke segala arah. Merasuk ke telinga dan sanubari puluhan ribu rakyat yang berjubelan menatap pemimpin kebanggaan mereka. Kendati harus berdiri berjamjam lamanya.
Mantan gubernur DKI semasa masih menjadi perwira muda Angkatan Laut, pernah dihinggapi penasaran mendengar pidato Bung Karno secara langsung. Ketika rasa penasarannya itu terlampiaskan, ia tak sadar telah berdiri hampir tiga jam. Tersihir pidato dahsyat presidennya. Sosok patriot yang sampai hari ini pun sulit dibandingankan dengan para presiden dunia yang pernah ada.
Dari semua riwayat pidato fenomenal Bung Karno, hanya ada satu yang luput dari amatan para sejarahwan, yaitu ketika ia mesti tampil pada saat terindah hidupnya sebagaimana telah diterakan di paragraf awal. Memang, sebelum membacakan Proklamasi, Bung Karno telah menubuat kemerdekaan bangsa kita berdasar amatannya tentang Perang Pasifik.
Namun malam Jumat nan bersejarah itu, harus ia lalui dalam kondisi serba tak siap. Tubuhnya letih luarbiasa dihantam malaria. Teks Proklamasi ditulis di atas secarik kertas bekas yang ia temukan sembarang. Bendera merah-putih jahitan Fatmawati, istrinya, dibuat dari kain perca. Sedang tiangnya pun, diperoleh dari sebilah bambu yang tak lagi berguna.
Mereka yang hadir pada saat itu, juga sedikit saja. Benar-benar di luar kebiasaan yang sering dialami Bung Karno selaku oratur ulung–di mana ia berada di situ rakyat merubungnya. Kondisi sepahit ini, masih ditambah Jepang yang mengawasi kitaran rumahnya di Jalan Pegangsaan.
Ketika waktu membacakan Proklamasi tiba, kegarangan Bung Karno sebagai singa podium, tak muncul sama sekali. Ia dan Bung Hatta tampil di muka rakyat dengan wajah dilematis. Bung Karno malah tampak kuyu. Prosesi ikrar kemerdekaan yang jauh dari kesan megah, telah dikumandangkan. Malah secara datar saja. Gegap sorak-sorai pun tiada sama sekali. Pukul sepuluh sepagi itu, dua orang anak manusia baru saja menahbiskan diri menjadi wali sebuah bangsa bernama: Indonesia. []
Omah Mangkat, 5 Dzulkaidah 1437 H
No comments:
Post a Comment