Pemimpin Kuba Fidel Castro menerima Presiden Indonesia Ir Sukarno di ibu kota Havana. AP Photo/BBC |
USIA Sukarno
saat membela dirinya di hadapan sidang Landraad (Pengadilan) Bandung pada 18
Agustus 1930, ketika membacakan “Indonesia Klaagt Aan” (Indonesia Menggugat)
yang mendunia itu, masih 29 tahun. Sangat belia untuk ukuran seorang aktifis
politik yang juga memimpin rekan seperjuangannya melawan tirani Belanda.
Penjara Banceuy adalah saksi bisu kelahiran karya monumental Sukarno itu, yang
pada kemudian hari memang tampil penuh-menyeluruh memimpin bangsanya di hadapan
masyarakat dunia.
Indonesia Menggugat yang dibaca Sukarno selama dua hari berturutan itu,
berisi sindiran keras, tajam, dan menohok ulu hati Gubernur Jenderal Hindia
Belanda, Andries Cornelis Dirk de Graef, dan jajaran koloninya. Meski di atas
kertas pembelaan itu sangat masuk akal, bernas, bahkan berwawasan global,
Sukarno tetap tak beroleh haknya bebas dari tuduhan melanggar pasal 153, 161,
169, dan 171, buatan kolonial yang di dalam aktenya berisi pelanggaran ingin memberontak. Siapa pun yang
melanggar pasal ini, maka gubernur jenderal yang berkuasa, bebas menjatuhkan
vonis tanpa peradilan yang lazim dikenal dengan istilah internir (dibuang di
dalam negeri) dan eksternir (ke luar negeri).
Maka seberapa semangat pun Sukarno
membela diri dan bangsanya, ia tetap harus mendekam di dalam Penjara Sukamiskin
selama empat tahun lamanya. Sejak dipenjarakan di Banceuy, Sukarno mulai
memasuki fase perjuangan mental bagi dirinya sendiri. Ia yang baru saja tampil
menjadi pemimpin muda bersemangat baja, harus mulai mengalami ujian demi
ujian—yang jelas berguna sebagai modal besar memimpin bangsanya. Ende, Bengkulu,
Padang, Parapat, Muntok, adalah beberapa wilayah yang masyarakatnya turut andil
membentuk pribadi Sukarno hingga seperti yang kini kita kenal.
Sebelum tampil membacakan Proklamasi pada 17 Agustus
1945, Sukarno yang telah dipilih sebagai presiden oleh 50 orang anggota BPUPKI,
masih istikomah berjuang. Terbukti dari pidato yang ia sampaikan. Berikut ini
saya nukilkan isi pidato itu, yang masih sedikit sekali diketahui orang
Indonesia.
“Saudara-saudara
sekalian! Saya telah minta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu
peristiwa maha-penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa
Indonesia telah berjuang, untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah
beratus-ratus tahun! Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan itu ada
naik dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita.
Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional
tidak berhenti-henti. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita
menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun
tenaga kita sendiri, tetap kita percaya kepada kekuatan sendiri.
Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib-bangsa dan
nasib-tanah-air di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani
mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka
kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat
Indonesia, dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat,
bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami nyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah
proklamasi kami:
Proklamasi
Kami bangsa
Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai
pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17
Agustus 1945.
Atas Nama
Bangsa Indonesia,
Soekarno –
Hatta
Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada satu
ikatan lagi yang mengikat tanah-air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita
menyusun Negara kita! Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia, –merdeka kekal
dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.
Menggugat
Dunia
Sukarno sadar betul perjuangannya belum selesai. Bahkan
masih panjang. Imaji kebangsaan yang sudah ia gadang sedari sekolah di HBS
Surabaya, baru saja terejawantah. Surat yang ia bacakan, jelas ditujukan untuk
dunia. Bukan Belanda atau Jepang. Sejak berdiri membaca pembelaannya di
Bandung, Sukarno telah meleburkan diri dalam gagasan besar kebangsaan. Sebab ia
tidak menjuduli pembelaannya itu dengan Sukarno Menggugat.
Keyakinannya sebagai pemimpin besar revolusi, tumbuh kian
membuncah. Purwarupa Manusia Indonesia
Pertama tercitra pada dirinya. Ia kemudian dikenali sebagai Bung (Karno)
Besar. Semua orang sama besar di hadapannya. Sebab tak ada orang kecil bagi
Bung Besar.
Setiap anak negeri ini adalah orangorang besar yang
berhak atas perjuangan Indonesia merdeka, termasuk para pelacur. Sebab tanah
ini bukan tanah suci. Tanah ini tanah pusaka, yang menjaga siapa pun tumpah
darahnya.
Bung Besar paham itu. Maka ia menjaga anak-anak
Indonesia. Ia paham komunis. Tapi tidak membencinya. Ia tidak membela sosialis.
Namun tidak juga menghinanya.
Bung Karno yang nasionalis sejati, hanya menghardik
kapitalis, karena berusaha merebut tanah pusaka. Ia hanya menegur para
penjajah, lantaran berusaha mengaturatur pemilik tanah pusaka. Ia hanya menegur
Amerika, sebab berusaha melangkahi orangorang Indonesia.
Jika ada orang kecil bagi Bung Karno, maka tak ada
Marhaen di negeri ini. Jika ada orang kecil baginya, maka takkan ada Sarinah
bagi kita. Jika ada orang kecil, tak juga ada Riwu Ga dan Darham dalam sejarah
kita. Bahkan Sariko, sipir Belanda yang bertugas menjaganya di Banceuy, jatuh
cinta pada revolusi Indonesia.
Bung Karno malah dengan sadar mengajak para pelacur Kota
Kembang menjadi agen rahasianya dalam pendirian Republik—sebelum dibuang
Belanda ke Ende. Masih dalam rangkaian pembuangan, di Padang pun ia mengajak
dan mendidik barisan pelacur untuk mengelabui tentara Jepang.
Maka menjadi wajar ketika Bung Karno telah didapuk selaku
presiden, fotonya dipajang secara terhormat di kamar rumahrumah bordil. Ia
mafhum. Sebab para pelacur itulah penyumbang dana bagi perjuangannya ketika
masih memimpin Partai Nasional Indonesia di Bandung.
Sejarah telah membuktikan kemampuan unik Bung Karno
membesarkan siapa pun orang yang berdekatan dengannya. Ia tak hanya rela
didekati. Lebih dari itu, menerima dengan lapang dada dan hati yang terbuka.
Wajah Dunia
yang Sama
LIMABELAS tahun usai kemerdekaan, Sukarno kembali
menunjukkan kelasnya sebagai pemimpin kaliber dunia. Ia masih tampak gagah,
berkacamata, berpeci hitam, dengan setelan jas dan celana pantalon putih,
lengkap dengan jam merk Rolex melingkar di pergelangan tangan kanannya, sat
naik ke podium paling terhormat sedunia pada Jumat, 30 September 1960. Di
hadapan para pembesar negara-bangsa yang hadir di gedung Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam Sidang Umum ke-XV itu, ia menyampaikan pidato sepanjang 47
halaman, berjudul “To Build the World Anew” (Membangun Tatanan Dunia Baru).
Pidato itu sarat tenaga perlawanan. Perwakilan dari suara
jutaan manusia tertindas dari negerinya, bangsa Asia, dan juga Afrika. Pidato
yang tak berteletele dan langsung menusuk jantung peradaban dunia pada paragraf
keempatnya. Mata para hadirin yang sebagian besar adalah presiden dari negara
Eropa dan tentu Amerika, sontak kena colok oleh kobaran semangat yang ia
gelorakan. Saat itu, bahkan hingga kini, belum pernah ada lagi singa podium
yang sanggup memaksa para penentu dunia mendengar suaranya yang menggelegar,
dan meminta mereka melaksanakan manifesto yang ia bacakan. Ia seolah
mengejawantah jadi pemimpin dunia sesungguhnya.
Lelaki sarat perbawa itu, yang usianya telah menginjak
angka 59, masih perkasa dan bertaji baja. Lima tahun sebelumnya, ia mengajak
para pendiri negara di Asia-Afrika berkonferensi di Bandung, demi menciptakan
wajah dunia yang lebih cerah tinimbang apa yang telah dibangun oleh
imperialisme dan kolonialisme. Lalu di depan para kolonialis-imperialis moderen
di PBB, ia mengaku jijik melihat tingkah polah bangsa kulit putih yang merasa
mengungguli bangsa lain—terutama bangsanya, Indonesia.
Amerika, selaku negara pemenang Perang Dunia II, yang
mengusung demokrasi, ia tusuk tepat di jantung peradabannya. Presiden pemberani
itu mengatakan bahwa nasionalisme yang digemakan Declaration of Independence,
adalah kakek imperialisme, dan bapaknya kapitalisme. Sedang bagi bangsa Asia
juga Afrika, nasionalisme telah memantik semangat pembebasan menuju
kemerdekaan. Ia mengaku terilhami Lincoln, Lenin, Cromwell, Garibaldi, Mazzini.
Namun tokoh yang dikaguminya adalah Sekao Toure, Nehru, Nasser, Norodom
Sihanouk, Mao Tse Tung, dan Nikita Krustcev.
Ia menuding Amerika yang tak adil dengan menolak
keanggotaan Tiongkok (sekarang China) di PBB. Ia pun mempertanyakan Amerika
yang terus meniup gelora Perang Dingin dengan Uni Soviet. Pada Jumat bersejarah
itu, mata para pembesar Amerika dan Eropa terbeliak melihat seorang manusia
Timur tampil begitu percaya diri. Lengkap dengan kecerdasan tutur dan rasio
yang ia miliki.
Negara Indonesia yang baru 15 tahun ia pimpin, memang
bukan negara Islam. Tapi pidatonya yang fenomenal itu, ia buka dengan (QS.
al-Hujurat [49]: 13), "Hai, sekalian
manusia, sesungguhnya aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki
dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsabangsa dan bersukusuku agar kamu
sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia di antara
kamu sekalian, ialah yang lebih takwa kepada-Ku."
Nukilan ayat al-Quran itulah modal utama terbesar baginya
untuk menelanjangi kepongahan bangsa Barat. Usai membongkar kegalatan
Declaration of Independence dan Manifesto Komunis yang gasal, ia mengajukan
tawaran menarik tentang adicita baru berkelas dunia, Pancasila. Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan Global, Musyawarah Mufakat, dan Keadilan Dunia.
Sepotong ayat al-Quran itu pula yang lantas membuat para
raja negeri berasas Islam kebakaran jenggot. Setidaknya, sejak era moderen
dibingkai PBB dengan sekian pembakuan terorganisir, tak satu pun pemimpin Arab
yang mengutip al-Quran dalam pidato mereka dan menggelorakannya dalam
perjuangan melawan kolonialisme. Sukarno yang tak berdarah Arab itulah pemimpin
pertama sebuah negara, yang cergas membacakan ayat al-Quran di forum
internasional.
Seakan tak puas menguliti dunia Barat, Sukarno yang
berbicara atas nama 92 juta rakyatnya, memungkasi pidato legendaris itu dengan
kalimat yang bahkan hingga hari ini belum juga berani dilontarkan oleh para
pemimpin Asia:
"Kami tidak berusaha mempertahankan dunia yang kami
kenal, kami berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik.
Kami berusaha membangun suatu dunia yang sehat dan aman.
Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana setiap orang dapat hidup dalam
suasana damai. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana terdapat keadilan
dan kemakmuran untuk semua orang. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana
kemanusiaan dapat mencapai kejayaan yang penuh.
Telah dikatakan bahwa kita hidup di tengah-tengah suatu
revolusi harapan yang meningkat. Ini tidak benar! Kita hidup di tengah-tengah
revolusi tuntunan yang meningkat. Mereka yang dahulunya tanpa kemerdekaan, kini
menuntut kemerdekaan. Mereka yang dahulunya tanpa suara, kini menuntut agar
suaranya didengar. Mereka yang dahulunya kelaparan kini menuntut beras,
banyak-banyak dan setiap hari.
Bangunlah dunia ini kembali! Bangunlah dunia ini kokoh,
kuat, dan sehat! Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai
dan persaudaraan. Bangunlah dunia yang sesuai dengan impian dan cita-cita umat
manusia. Putuskan sekarang hubungan dengan masa lampau, karena fajar sedang
menyingsing. Putuskan sekarang hubungan dengan masa lampau, sehingga kita bisa
mempertanggungjawabkan diri terhadap masa depan."
Atas keberanian yang luarbiasa itu, setahun kemudian di
Kairo, Mesir, Sukarno dinobatkan sebagai Pahlawan Islam oleh para
pendiri-pembangun bangsa di seantero Asia-Afrika. Penobatan itu pula yang
lantas menginspirasinya membentuk gerakan Non-Blok. Sebuah gerakan yang dengan
penuh perhitungan matang, merangkul masyarakat dunia guna menyadari betapa kita
semua setara di bawah kaki langit. Sama mencintai perdamaian. Sama menginginkan
kebahagiaan.
Kini, 71 tahun sudah Indonesia merdeka. Namun wajah dunia
hanya bersalin rupa. Sekadar merias diri dengan tampilan baru. Bedanya sedikit
saja. Amerika tak lagi bisa mengendalikan dirinya. Keluarga bankir Rockefeller,
Morgans, Warburgs, Rothschild, adalah biang kerok dibalik kebrutalan Amerika
pascaPerang Dunia I yang mereka gelorakan sendiri. Perang demi perang, teror
demi teror, terus diciptakan secara sengaja. Agar kemiskinan merajalela dan
perbudakan moderen kian sulit dilawan. Utang pun digelontorkan atas nama
penggusuran tirani demi mendirikan sebuah negara demokrasi. Padahal semua itu
semata mengukuhkan hasrat Rockefeller cs membangun one world government (satu pemerintahan dunia).
Soviet yang kini menjadi Rusia, sudah tak lagi komunis.
Mereka aktif berdagang senjata di medan pertempuran mana pun yang pecah di
seantero dunia. Mereka tak benarbenar menjadikan Amerika sebagai rival secara
politis. Melainkan murni urusan pengaturan dunia, ekonomi, dan bisnis global.
Seperti Obama, Putin juga dikendalikan mafia yang terdiri dari para baron
minyak dan senjata. Tak heran bila negaranegara di bawah kendali Rusia saat ini
sedang bersusah payah melepaskan diri dari jeratan kebangkrutan dan bubar
jalan.
China juga setali tiga uang dengan Amerika dan Rusia.
Sejak tak lagi menamai diri dengan Negeri Tirai Bambu, negara-bangsa tua ini
pun mulai melirik kue ekonomi yang bisa mereka rebut. Xi Jinping tak benarbenar
serius meneruskan kiprah komunisme di negara ini. Nama Mao Tse Tung (Zedong)
sudah tinggal kenangan. China lebih serius masuk ke pusaran pengendali dunia
melalui pengelolaan kapitalisme tingkat akut. Tak seperti Amerika dan Rusia,
nafsu imperialis-kolonialis China lebih tersamar melalui dukungan tersembunyi
pada Suriah, Iran, dan Indonesia—dengan mengajak mereka ke dalam Blok Selatan.
Blok besar yang selama ini luput dan tak bisa diduduki Amerika dan Rusia.
Jadi, wajah dunia seperti yang dulu dikutuki Sukarno, tak
pernah berubah sama sekali. Demokrasi, komunis, sosialis, liberalis, hanya
utopia semu yang digantang sebagai adicita (ideology).
Dunia sama sekali tak membutuhkan adicita itu sebagai panduan kemakmuran-kesejahteraan
manusia. Namun jika ditilik lebih menjeluk, siapakah pemimpin dunia kita yang
dengan berani menyuarakan perkara itu selain Hugo Chávez dan Mahmoud
Ahmadinejad? Bagaimana dengan presiden Indonesia? Ah, nampaknya kita hanya
sedang berenang di air yang keruh. []
Ren
Muhammad © 17 Agustus 2016
No comments:
Post a Comment