Agama Mata Pedang


FENOMENA takfir (pangafiran) mewabah lagi di Jakarta. Sekelompok orang yang mengaku Muslim, sayangnya terlibat dalam pewabahan ini. Semua atribut keislaman, lebih tepatnya kearaban, melekat di tubuh mereka. Sedari tasbih, jubah, sorban, hingga pola ucap yang melulu terarabisasi. Namun bila menilik jalan pikiran mereka, kita seolah menyaksikan perulangan sejarah Islam generasi pertama (1 H/7 M).

Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu'anhu adalah pemantik pertikaian umat Muslim generasi perdana. Latarnya, kekecewaan atas keputusan politik 'Ali. Bukan perbedaan keyakinan atau aqidah yang berseberangan.

Mu'awiyah yang bersaudara dengan Utsman, meminta Khalifah 'Ali bin Abi Thalib (pengganti Utsman) agar memberantas komplotan pembunuh itu. Keputusan 'Ali jauh dari tuntutan itu. Ia hanya mengizinkan hukumqishash (balas) pada si pembunuh saja. Urusan persaudaraan darah ini, kemudian merebak jadi perkara besar politik.

Mu'awiyah bangkit memberontak 'Ali sebagai pemimpin sah umat yang ditunjuk oleh dewan Ahlul Halli wa l-Aqdi (terdiri dari para Sahabat terpandang). Perang pun pecah. Sebagai pemimpin besar Islam kala itu, juga jenderal perang Rasulullah, 'Ali dan pasukannya nyaris menumpas Mu'awiyah bin Abu Sufyan. 

Kekalahan Mu'awiyah urung terjadi setelah Amr bin Ash, komandannya, mengusulkan agar ia mengangkat mushaf (lembaran) al-Quran yang ditancapkan pada mata tombak. 'Ali mafhum. Mereka sepakat berdamai (tahkim-arbitrase). Efek dominonya adalah, kawanan kecil dari pasukan 'Ali yang kemudian malah membelot. Sejarahwan Islam menemukan catatan untuk mereka yang kemudian bernama Khawarij. Kata jamak dari kharij, yang artinya keluar dari barisan.

Target kelompok kecil ini hanya dua. Membunuh Mu'awiyah dan 'Ali. Berdasar keyakinan bahwa mereka pelaku dosa besar. Padahal latarnya jelas. Lagi-lagi, kekecewaan politik belaka. Mereka lupa, Nabi Muhammad Saw pernah dan teramat sering mengalami penindasan politik dari masyarakat Quraisy--kaumnya sendiri. Terutama ketika ia harus dengan lapang dada menandatangani Perjanjian Hudaibiyah. Berisi pelarangan memasuki tanah kelahirannya, Makkah, selama sepuluh tahun. 

Pelajaran lain yang juga tak kalah penting adalah, saat Nabi Muhammad terusir dari Makkah dan kemudian mengamini tawaran sekelompok Yahudi yang meminta bantuannya membenahi Yatsrib (sekarang Madinah). Perjanjian itu kemudian dibalas dengan keislaman mereka secara sukarela, setelah Muhammad Saw berhasil memenuhi janjinya. Ia mengubah Madinah menjadi Munawarah. Kota yang berkilauan cahaya kebaikan. Jadi kotanya yang ia cintai, sebagaimana Makkah al-Mukarramah.


Berislam dalam Waktu
Jika kita belajar dari teori sejarah Ibn Khaldun (bapak ilmu sejarah dunia) tentang hukum siklus sejarah, maka demikian pula yang terjadi dalam riwayat panjang Islam masa ke masa. Mu'awiyah yang tampil sebagai pemenang lantaran gagal terbunuh oleh Khawarij, kemudian mendirikan dinasti baru bernama Umayyah. Dinasti yang bertahan hampir seabad ini, kelak dihancurkan Abu l-Abbas as-Saffah, keturunan Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim, paman Nabi Muhammad Saw dari jalur ayah.

Lembaran tulisan ini tidak dimaksudkan mengurai rantai sejarah Islam hingga hari ini. Tapi mari becermin pada apa yang terjadi di dunia kita sekarang. Suriah, Libya, Lebanon, Mesir, Sudan, Ethiopia, Afghanistan, Irak, Filipina, dan Indonesia, semua dilatari atas klaim benar-salah. Khususnya, upaya pembangkangan pada pemerintah (uli l-'amri).

Terlepas dari pendomplengan isu adicita antara demokrasi Amerika dan komunis Rusia-China, para pelaku kekerasan berwacana Islam, kerap muncul dari barisan sakit hati politik. Jika dirunut rantai darah dan keguruannya, mereka akan terpaut dengan Ibn Muljam (pembunuh Khalifah 'Ali), Ibn Qayyim al-Jauziyah, 'Abdullah bin 'Abdul Wahab, Ibn Taymiyyah.

Golongan yang dinamai Esposito sebagai peminum ramuan mematikan (lethal coctail) ini, mengabaikan sepenuhnya misi besar kenabian Muhammad Saw yang diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia dan membawa rahmat bagi semesta alam. Kerana itulah mereka meyakini penuh bahwa kebenaran berpihak pada kubunya. Bukan pada kubu lain yang notabene juga Muslim.

Kebuntuan memahami Islam secara baik dan kaffah, jadi faktor lain pembentuk mereka. Bahkan ada satu sempalan lagi dari kaum Khawarij yang yakin betul bahwa persoalan besar manusia hari ini akan terjawab dengan mendirikan khilafah Islam. Romantisme buta ini jelas berbahaya. Mereka benarbenar menutup mata pada fakta dinasti kekhilafahan--non Khulafa ar-Rasyidun--yang sebagian besarnya berangkat dari pertumpahan darah.

Dalam kancah perpolitikan dunia modern pun, tak kurang banyaknya pemimpin negara-bangsa yang juga Muslim. Tapi kenyataannya, jauh panggang dari api. Muslim atau bukan, tak menjamin kualitas kepemimpinan. Tanpa tasbih, sorban, jubah, Sukarno berhasil meramu perjuangan bangsa kita merebut kemerdekaannya. Mandela yang bukan Muslim, berjaya di Afrika. Gandhi yang Hindu, jadi kecintaan India. Chavez yang Katolik, dipuja di Venezuela.

Agama dan ajarannya, memang bisa dijadikan sandaran pengelolaan kehidupan. Tapi bukan berarti para pemeluknya harus kehilangan kewarasan berpikir, dan kejernihan hati. Kehancuran sebuah bangsa di masa lalu, cenderung terjadi ikhwal kasus keributan agama yang ditunggangi pegiat politik yang berambisi kuasa. Nyaris semua agama dunia era kita, punya riwayat kelam seperti ini.

Semua ayat suci yang sudah diturunkan tuhan ke muka bumi, tak cukup hanya dijadikan korpus belaka. Ia memang berjarak dengan penganutnya secara ruang. Namun tidak secara waktu. Dalam Islam misalnya, ada ayat yang berbunyi, "Wa l-ashri. Inna l-insana lafi khusrin: Demi masa (waktu). Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian." (QS. al-'Asr [103]: 1-2)

Jadi, kerugian terbesar manusia bukan terletak pada di ruang mana ia hidup. Melainkan seberapa cakap ia memeriksa rambatan waktu yang ia lalui dalam hidupnya. Bukan waktu lalu atau yang akan datang. Melainkan waktu kini. Di sini. Sekarang. Manusia wajib memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Jadi apa pun kita, waktulah yang kelak menentukan seberapa berkualitas hidup kita.

Keniscayaan ini yang menyita habis kehidupan para penganjur kebaikan pada setiap zaman. Mereka sadar dan paham betul, waktu pasti kan melindasnya. Maka tak ada pilihan lain kecuali hidup bersama waktu yang berawal tapi tak berakhir. Jalan terbaik mewujudkan itu adalah, menjadi agen kebaikan bagi manusia dan makhluk tuhan lainnya. Hanya dengan begitulah, nama mereka harum sepanjang masa. Hidup mereka pun abadi dalam sejarah manusia. []


Dimuat di www.nu.or.id pada Senin, 19 Desember 2016 | 09:30

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews