Indonesia yang Tak Lagi Bertaji




KETIKA Fidel Castro wafat pada Sabtu, 26 November 2016 dalam usia 90 tahun, ingatan saya langsung melesat menuju 1960 silam. Saat Castro dan Guevara yang berhasil menggulingkan diktator Batista, mengundang Sukarno mengunjungi Kuba.

Setiba di Bandara Havana, Sukarno disambut bak pahlawan besar. Rakyat Kuba tergerak menanti kedatangannya, lantaran Castro langsung yang menunggu Si Bung Besar itu.
Suasana revolusi masih sangat kentara di sana. Bahkan iringan mobil Sukarno di jalan raya dengan mudah dihentikan, hanya karena pemimpin konvoi hendak meminjam penyulut api pada sopir yang membawa Sukarno, demi menghisap cerutunya.
Selanjutnya Sukarno dibawa ke Istana dan di tempat khusus, Castro memintanya agar berkenan mengajari konsep-konsep revolusi.
“Tuan Sukarno, negara ini memiliki semangat tersendiri dalam mewujudkan perubahan. Kami berdiri di sini sendirian. Dikelilingi negara perkebunan tinggalan Spanyol dan Portugal. Kami juga berdekatan dengan rajanya kapitalis dunia, Amerika Serikat.”
“Setiap waktu kami berjaga agar jangan sampai rudal Amerika menimpa kota kami, dan kami terpaksa bersekutu dengan Uni Soviet agar aman. Memang Mao meminta kami agar bersama-sama membangun persekutuan politik, tapi karena Uni Soviet menolak bila Mao ikut campur, maka kami terpaksa melepaskan Mao, walau itu menyakitinya.”
“Padahal kami merasa kami mandiri, tidak bergantung kepada negara lain seperti negara Tuan, Indonesia.”
Pernyataan panjang Castro tersebut segera ditimpali oleh Sukarno dengan jawaban yang mengagumkan, bahkan visioner.
 “Begini, Yang Mulia Castro... Sebuah negara pertama-tama harus mandiri. Itu persyaratan terbesar sebuah revolusi. Ia tidak boleh bergantung kepada siapa-siapa, kekuatan dirinya sendiri yang menjadi ukuran.”
“Sebuah negara harus memiliki kemandiriannya, karena kemandirian, ia akan mendapatkan tiga hal: Kehormatan, Kemanusiaannya dan Kepandaiannya. Nah, untuk mencapai ini kita harus tegar menghadapi badai godaan.”
“Saya sendiri akan melawan bila negara kami dikelilingi koloni-koloni yang kemudian akan berkembang sebagai sebuah ancaman.”
Lalu Castro pun bertanya.
“Jadi apa yang harus dilakukan Kuba?”
Sukarno menjawab tandas.
“Apa yang harus dilakukan adalah, pertama-tama Yang Mulia harus menganalisa kekuatan modal. Apa yang bisa dijadikan alat untuk mandiri. Lalu gunakan modal itu 100 persen untuk kesejahteraan umum. Bagi saya, kesejahteraan umum itu sumber kebahagiaan rakyat. Negara tidak boleh menjadi tempat bagi penggarong atas nama kapital, atas nama komoditi.”
Tak lama berselang, ajaran Sukarno ini kemudian benar-benar dipegang dan dijalankan Kuba. Setelah kunjungan Sukarno, Castro memerintahkan UU Kesejahteraan Umum. Rumah Sakit, sekolah, dan sarana publik, dibuat sebaik mungkin demi kesejahteraan rakyatnya.
Sampai saat ini fasilitas kesehatan publik Kuba merupakan yang terbaik sedunia, sebab rakyat mendapatkan hak-hak kesehatannya. Sekolah pun diadakan secara gratis dan dibiayai negara.
Sementara Sukarno harus bertungkus lumus dan wafat dalam rumah sempit yang tak layak bagi orang sebesar dirinya.
Sukarno memang telah tiada. Meski semua idenya tak turut dikuburkan. Namun di Indonesia kini, terjadi penggarongan luarbiasa.
Emas kita dirampok perusahaan asing. Ladang-ladang gas, ladang-ladang minyak, lahan kelapa sawit dan karet, bukan lagi untuk kesejahteraan umum. Semuanya digarong tanpa sedikit pun mengalir jadi sarana kesejahteraan umum.
Rakyat dibiarkan hidup secara minimal—semata demi tidak menyebut mereka melarat. Rakyat miskin mati rebutan zakat dan tunjangan.
Ratusan ribu kaum perempuan kita eksodus ke luar negeri. Berangkat tanpa kehormatan dan martabat sebagai manusia Indonesia yang cerdas dan terdidik, tapi sebagai manusia yang pasrah dan kalah.

Politik Bebas Aktif
Sejak era kepemimpinan Sukarno berakhir, haluan politik Indonesia berubah arah. Politik bebas-aktif yang dicetuskan Mohammad Hatta, kini menguap. Kita tak lagi bisa menilik politik luar negeri Indonesia yang mengarah ke sana.
Jika pun ada dan itu masih bisa diharapkan, hanya pada penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (April, 2015)—yang kerap kali hanya menghasilkan perjanjian kerjasama antarnegara Non-Blok di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, maritim, dan militer.
Sedang bagaimana upaya penanganan konflik di sebagian negara Afrika dan dunia Islam, nyaris tak menjadi wacana serius konferensi.
Memang, konferensi Asia Afrika menghasilkan tiga dokumen yaitu Pesan Bandung 2015, Deklarasi penguatan kemitraan strategis Asia dan Afrika, dan Deklarasi kemerdekaan Palestina.
Dokumen deklarasi kemerdekaan khusus Palestina ini yang sulit diikuti rekam jejaknya pada Pemerintahan Jokowi. Namun kita bisa mencari persamaannya dengan era Sukarno saat masih menjabat presiden Republik Indonesia.
Selain getol mengumandangkan kesetaraan manusia, Sukarno dan pemerintahannya tak lelah menyemangati negara-negara Afrika dan sebagian negara Asia agar merebut kemerdekaan mereka.
Tak hanya itu. Indonesia juga tampil paling depan ketika memberi pengakuan kemerdekaan pada sebuah negera yang baru lahir. Vietnam contohnya.
KAA pada Abad- 21 hanya sekadar nostalgia saja, karena belum ada posisi bersama maupun kerjasama luas antara negara-negara Asia dan Afrika. Konferensi ini pun sekadar menjadi ajang bagi China dan Jepang yang sedang berebut pengaruh di pasar Asia dan Afrika.
Khusus China, hingga kini sudah menjalin hubungan ekonomi yang intensif dengan berbagai negara di Afrika, yang memiliki sumber alam yang sangat mereka butuhkan.
Mantan menteri luar negeri Nigeria, Bolaji Akinyemi menerangkan, KAA dulunya seperti "Inkubator bagi negara-negara berkembang yang baru merdeka. Tapi sekarang KAA tidak diperlukan lagi karena negaranegara itu sudah ‘berkembang menjadi besar."
Politik bebas-aktif tak lagi terlihat tajinya. Kerjasama Selatan-Selatan yang dijalin Jokowi lebih merupakan tanggapan dini atas potensi kemunculan Trump sebagai pengganti Obama.
Ada pun pola kerjasama yang ia bangun dengan anak-anak muda brilian di Silicon Valley, California, semata demi melebarkan sayap ekonomi teknologi informasi Indonesia yang berpotensi besar di pasar dunia.
Padahal sejak negara ini didirikan, para tetua bangsa kita mafhum betul bahwa alinea pertama preambule UUD ’45 harus dilaksanakan. Sebab itu bukan hanya slogan belaka.
Sukarno tak pernah jemu mengingatkan soal ini dalam setiap pidato dan lawatannya ke negeri manca.
Dua pidato legendaris Sukarno yang menyinggung soal politik bebas-aktif ini terekam saat ia bicara di sidang umum ke-XV PBB dengan mengangkat tema besar “To Build the World Anew (Membangun Tatanan Dunia Baru)” pada 30 September 1960, dan pidato Jas Merah yang disampaikan Sukarno pada perhelatan dirgahayu Republik Indonesia ke-22 pada 17 Agustus 1967.
Pidato di PBB itu sarat tenaga perlawanan. Perwakilan dari suara jutaan manusia tertindas dari negerinya, bangsa Asia, dan juga Afrika. Pidato yang tak bertele-tele dan langsung menusuk jantung peradaban dunia pada paragraf keempatnya.
Saat itu, bahkan hingga kini, belum pernah ada lagi singa podium yang sanggup memaksa para penentu dunia mendengar suaranya yang menggelegar, dan meminta mereka melaksanakan manifesto yang ia bacakan. Ia seolah mengejawantah jadi pemimpin dunia sesungguhnya.
Ia menuding Amerika yang tak adil dengan menolak keanggotaan China di PBB. Ia pun mempertanyakan Amerika yang terus meniup gelora Perang Dingin dengan Uni Soviet.
Seakan tak puas menguliti dunia Barat, Sukarno yang berbicara atas nama 92 juta rakyatnya, memungkasi pidato legendaris itu dengan kalimat yang bahkan hingga hari ini belum juga berani dilontarkan oleh para pemimpin Asia—setelahnya:
"Kami tidak berusaha mempertahankan dunia yang kami kenal, kami berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik. Kami berusaha membangun suatu dunia yang sehat dan aman. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana setiap orang dapat hidup dalam suasana damai. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana terdapat keadilan dan kemakmuran untuk semua orang. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana kemanusiaan dapat mencapai kejayaan yang penuh. Bangunlah dunia ini kembali! Bangunlah dunia ini kokoh, kuat, dan sehat! Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan. Bangunlah dunia yang sesuai dengan impian dan cita-cita umat manusia.”
Jika pun Indonesia pernah melakoni politik bebas aktif pascaSukarno, sifatnya tak lebih hanya merespon situasi politik dunia secara sporadis. Sebagai contoh, mengirim Pasukan Garuda ke Bosnia, Irak, Kongo, dan Lebanon.
 Selain itu, hampir sulit mencari jejak politik bebas-aktif Indonesia pada era Reformasi. Bahkan konflik Palestina dan Timur Tengah yang berkepanjangan pun, nyaris tak tersentuh.
Jika pun ada Rumah Sakit Indonesia yang telah berdiri di Palestina, itu bukan hasil kerjasama antarnegara. Melainkan buah manis dari kerja keras Yayasan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C).
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar dunia, mestinya Indonesia jelas berkepentingan di Timur Tengah sana. Sayang, kebijakan Pemerintahan Jokowi tak memberikan porsi khusus untuk ini.
Kendali kuasa IMF, NATO, dan PBB, di Istana, masih lebih kuat tinimbang kebebasan bangsa kita berpolitik dalam kancah global.
Setelah Ahmadinejad, Chavez, dan Castro, pamit dari gelanggang dunia, kini tak lagi ada sosok pemimpin negara yang berani mengobarkan perlawanan pada neokolonialisme dan imperialisme Barat yang terus bercokol di banyak negara Asia-Afrika.
Indonesia hari ini, belum juga tampil sebagai salah satu tonggak penentu arah kebijakan dunia. []

Dimuat di Kompas.com pada Senin, 5 Desember 2016 | 21: 48 WIB 

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews