Kaidah Emas Kehidupan


6 Juni, 116 tahun silam, menitis seorang anak manusia Nusantara yang kelak dikenal dunia sebagai Sukarno. Dialah salah seorang tetua negara-bangsa besar bernama Indonesia.
Hingga hari ini, belum lahir lagi seseorang dengan kemampuan sebesar dirinya. Jangankan di negara yang ia bangun, di tingkat mancanegara pun tidak.
Ada apa dengan bangsa manusia? Apa yang menyebabkan peradaban yang kita kembangkan sejauh ini tak memunculkan lagi sosok manusia tangguh yang daya jangkaunya melampaui zaman? Hidup jenis apa yang sesungguhnya sedang kita jalani? Di mana sejatinya hidup diletakkan Tuhan?
Pertanyaan itu perlu kita jawab sebagai makhluk sempurna—puncak penciptaan-Nya. Jika berhasil menemukan jawaban, niscaya tak satu pun kita berani mengikrar je pense donc je suis/cogito ergo sum/i think therefore i am/aku berpikir maka aku ada.
René Descartes (1596-1650) yang baik lagi alim itu sama sekali tak bersalah ketika mencetuskan narasi eksistensi yang kemudian diamini di Barat sana. Saat itu, ia hanya belum khatam mengkaji kitab Ibn Rusyd yang berjudul Tahafut at-Tahafut (Kerancuannya Kerancuan) para filosof.
Andai Descartes hidup di abad kita yang cerewet ini, ia pasti pusing kepala. Manusia modern punya postulat baru: aku berkata maka aku ada. Padahal jika lidah adalah hulu dari kata-kata, maka di manakah hilirnya? Rendra menjawab pertanyaan ini dalam salah sebuah bait puisinya yang berjudul Paman Doblang, "dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata."
Descartes yang religius pun terjebak pada keinginannya menjadi filosof. Bukan jadi manusia paripurna. Padahal, sejak kemunculan tradisi berfilsafat di Yunani, Socrates telah mengingatkan betapa bahayanya mengandalkan nalar semata. Akal rasional.
Toh pada galibnya, hidup takkan membuka tabir pada mereka yang gemar mencari pembenaran pada akal sehat saja. Soal benar dan salah. Ibn Rusyd yang sudah uzur baru tersadar ia terlampau jauh dari kebaikan hidup sejak bertemu bocah bernama Ibn 'Arabi—yang kelak tampil sebagai bijak bestari besar Islam asal Seville, Andalusia (kini Spanyol).
Modal terbesar hidup bukan setinggi apa ilmu kita, sebanyak apa harta kita kumpulkan, bergudang doktrin-dogma yang kita yakini, atau hafalan ayat dari kitab suci. Bukan.
Tak perlu terlalu rungsing melihat segala fenomena dunia fana ini sebab kita tak selamanya di sini. Namun, kebajikan hidup yang telah dijalani para pendahulu kita ternyata bertahan lebih lama ketimbang usianya.
Wabishah bin Ma'bad pernah mendatangi nabi akhir zaman, Muhammad SAW, dan bertanya tentang kebaikan. Sang Nabi pun menjawab, "Mintalah fatwa pada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa saja yang menenteramkan hati, sedangkan dosa (keburukan) adalah apa saja yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun banyak orang memberi fatwa yang membenarkanmu."

Hidup yang agama
Dari tujuh miliar umat manusia abad 21 ini, 16 persennya memilih atheis. Artinya, mereka yang memilih hidup dengan beragama masih lebih banyak.
Lantas, apa alasan utama kita harus beragama? Mencari selamat atau manfaat? Selamat dari apa? Manfaat bagi siapa? Jika tak memeluk agama, lantas kenapa? Padahal sebagian besar kita memulai karier beragama melalui doktrinasi-dogmatisasi orangtua. Bukan berdasar pencarian, apa pula kegelisahan.
Adakah dengan bekal agama kita serta-merta menjadi benar? Bila memang iya, kenapa sesama umat beragama malah saling menyalahkan?
Bilamana agama sumber kebijaksanaan, lalu kenapa para penganutnya saling berbalahan dan sampai berbunuhan? Andai tolok ukur menganut agama agar menjadi pemegang tunggal kebenaran, maka tak salah kiranya Hitler membentuk fasisme. Dalam hal ini, Nazi merupakan semacam ejawantah sebuah " agama" yang salah kaprah. Entahlah.
Para nabi dan rasul Tuhan terusir bahkan dibunuh oleh kaumnya, hanya kerana dianggap mengganggu kemantapan pemberhalaan berkedok ekonomi yang dikelola para pemegang kekuasaan.
Maka itulah, tak usah resah melihat agama dipolitisasi. Toh pada awal kemunculannya pun, fitnah sudah sedemikian rupa menggerogoti.
Abad demi abad perjalanan sebuah agama, selalu saja ada segelintir oknum yang memanfaatkannya sebagai mesiu pertikaian umat manusia. Tantangan sekaligus tugas kita yang utama adalah, mencari titik temu agama dalam kehidupan. Membangun landasan terkuat yang bisa menjawab apakah kita terlahir untuk beragama, atau agama yang hadir untuk kita.
Sejatinya tak ada yang pantas untuk kita banggakan dengan status agama. Islam atau bukan, kemanusiaan kita yang dipertanyakan. Agama diturunkan tidak untuk mengajari manusia jadi perusuh apalagi membunuh.
Bila ada manusia yang merasa yakin benar dan karena itu ia ingin selamat sendiri, sesungguhnya ia telah melampaui batas. Kehadiran kita di dunia ini saja sudah anugerah terbesar dan keajaiban yang nyata. Sebab, tak satu manusia di bumi ini yang pernah memesan pada tuhan ingin memeluk Buddha, berjenis kelamin perempuan, lahir di Isreal, anak Fir'aun, punya ayah semacam George Bush, atau martir pada konser Ariana Grande.
Semoga waktu kita cukup untuk terus berbuat baik hingga nafas kita kembali mengudara. Atas dasar itu, mari merenungi kehadiran kita di sini. Kenapa kita mengada di bumi jika akhirnya harus meniada?
Kelak nanti bila telah tiada, sejatinya apa yang membuat kehadiran kita dikenang oleh manusia lain? Apakah lantaran kita beragama? Berpendidikan tinggi? Jadi presiden atau rakyat jelata?
Benarkah seseorang baru benar-benar mati jika tak ada lagi orang yang menyebut-mengingat namanya dalam kehidupan? Jadi apalah kiranya yang sedang kita cari dalam hidup ini? []

11 Ramadhan 1438 H

Persembahan sederhana kepada Bung Karno

Dimuat di Kompas.com pada 06/06/2017, 12:23 WIB

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews