SEPERTI Da Vinci Code racikan Dan Brown, dan Sejarah "Hitam" yang berhasil dibaca sandinya oleh Jonathan Black, bangsa Nusantara juga punya model sejenis. Kalangan bijak bestari negeri ini biasa menyebutnya Sengkala (sandiasma) atau kriptogram. Satu di antaranya berbunyi, "Sirna ilang kertaning bumi." Pola penyandian ini sudah berlangsung sejak era Ratu Shima di Kalingga (Abad-7 M), bahkan mungkin lebih tua lagi. Sebagian ahli Nusantara malah meyakini kehadiran Sengkala sejak dua alaf silam.
Inggris, Prancis, dan Belanda tahu persis modal besar bangsa Nusantara sebagai pewaris sah pengatur dunia. Maka dikirimlah Thomas Stamford Raffles guna mengacak Kode Pakubuwono yang akan kita warisi. Pada 20 Juni 1812, ia membawa 1200an serdadu Eropa-India, menyerang Keraton Jogjakarta. Segenap artileri langsung membombardir keraton seisinya tanpa tedeng alingaling. Para prajurit yang tak siap dan malah sudah menyerah, ditumpas habis. Pakaian kebesaran Shri Sultan Hamengkubuwono II dan abdi dalemnya, dilucuti. Tak terkecuali kancing emas dan berlian yang melekat pada pakaiannya.
Penyerangan tanpa perlawanan itu, berhasil menjarah uang, perhiasan, gamelan, wayang, keris, pusaka, dan terutama ribuan manuskrip yang diwariskan turun temurun. Di dalamnya, tertera falsafah kehidupan masyarakat Nusantara, undangundang tata negara warisan Majapahit, dan syairsyair bernuansa kebijaksanaan. Harta tak ternilai itu dimuat dalam lima pedati penuh. Dibawa ke Inggris dan India. Sebagian lainnya tenggelam bersama kapal pengangkutnya di lepas pantai Singapura. Pada kemudian hari, Raffles menerbitkan ribuan benda hasil rampokannya dalam The History of Java. Buku babon ini dikagumi masyarakat akademik—termasuk oleh sejarahwan Indonesia didikan Belanda. Kini, sedikit sekali dari kita yang tahu bahwa Kode Pakubuwono yang digurat dalam bentuk gancaran (prosa naratif) itu, adalah petunjuk utama memecahkan rahasia kehidupan dari masa lalu—yang sangat berguna pada hari ini.
Sangga Buana
SERATUS tujuhbelas tahun usai Perjanjian Giyanti (Palihan Negari) ditandatangani Keratuan Mataram Islam yang diwakili Susuhunan Pakubuwono III, Sultan Hamengku Buwono I (Mangkubumi), dan Nicholas Hartingh (mewakili begundal VoC), yang kemudian berdampak pemecahan Mataram jadi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, sejatinya para pemimpin Jawa sejatinya tak terlalu patuh betul dengan penjajah Belanda. Pun dengan Belanda. Mereka tahu betapa orang Jawa yang hendak itindas, sangat njawani (mafhum) cara membawa dan menempatkan diri dalam setiap kondisi yang sedang dialami. Keduanya saling intai dan terus mengamati dari jarak paling dekat. Namun Belanda tetap bisa dikelabui. Susuhunan Pakubuwono III (PB III/Raden Mas Suryadi) berhasil membangun sasandi dalam keratuannya, yang tak bisa diketahui para penjajah paling pintar sekali pun.
Pada 1782 M/1708 Jawa (Naga Muluk Tinitihan Janma), PB III mendirikan Panggung Sangga Buana (Songgo Buwono [PSB]), tempat mengintai gerak-gerik wong londo di Surakarta, dan juga difungsikan sebagai sarana ia bersamadhi. Sasandi yang disamarkan di PSB, terletak pada atapnya yang berbentuk tudung saji. Di atas tudung itu, bertengger sebuah penangkal petir sekaligus ornamen naga terbang bermahkota yang ditunggangi seorang ksatria sedang memanah. Model penyandian ini masuk kategori sengkala memet. Bukan lagi surya(candra) sengkala yang lazim disebut sengkala lamba. Para sultan Mataram lah yang memulai tradisi sengkala memet ini, yang kemudian banyak bertebaran pada keriskeris Jawa. Lantas bagaimana cara membacanya? Kiyai Ageng Yosodipuro I tetap menyandikannya sebagai sengkala lamba. Hasilnya?
Naga Muluk Tinitihan Janmo juga berfungsi sebagai penunjuk arah. Keblat (kiblat). Disimbolkan dalam watak bilangan jadi angka 4. Naga bermakna rakyat kebanyakan, dan mahkota simbol kekuasaan. Setelah merdeka dari penjajahan Belanda, kendali pemerintahan kelak akan dipegang rakyat dan bukan lagi berbentuk kerajaan. Kapan terjadinya perkiraan (Rinaras) itu? Kata rinaras berwatak bilangan 6. Kerana PSB dibangun oleh PB III, maka diperoleh pula kata Tri (3) dan Buwono (1). Maka muncullah sengkala lamba yang berbunyi "Keblat Rinaras Tri Buwono (4631)." Jika ingin dibaca, penyandian itu harus dibalik. Lalu terkuak angka 1364 H yang bila dikonversi ke dalam tahun Masehi menjadi 1945.
Kemampuan tingkat tinggi (linuwih) Raden Mas Suryadi ini sering disebut masyarakat Jawa sebagai weruh sak durunge winarah (tahu sebelum kejadiannya). Beliau telah melihat bahwa kelak anak turunannya sendiri dari garis Raden Mas Malikul Kusno (Pakubuwono X), akan menjadi seorang ksatria yang mengendarai naga terbang bermahkota (Kusno Sosrodiharjo/Sukarno). Ia memimpin rakyatnya melawan Belanda dan kita pun merdeka sebagai Indonesia. Jika mempelajari seluk-beluk kehidupan Sukarno sedari kecil, maka kita akan mengerti kenapa sosok yang satu ini sedemikian istimewa dan kemudian malih menjadi manusia paling dibenci seperti bandit dan dicintai selaik dewa—dalam skala dunia modern. []
12-13 Ramadhan 1438 H
No comments:
Post a Comment