Pohon Ibu


TEKA-TEKI hidup itu, satu di antaranya terletak pada bagaimana sejarah kita berjalin-kelindan dengan sekian banyak ras yang sudah dilahirkan-diciptakan oleh paradaban manusia. Maka untuk mengurainya, dibutuhkan pemahaman mendalam dan kerja keras yang bahkan tidak semudah membayangkan matahari tenggelam di laut. Itulah yang mendasari bangsa Arab untuk menciptakan disiplin ilmu sirah. Berasal dari kata syajarah yang dalam bahasa Indonesia bermakna pohon keluarga. Analogi yang sangat jenial ini bukan dipilih sembarangan. Pohon, dengan percabangan dahan dan rimbunan daun yang dimilikinya, jadi representasi paling memadai untuk membayangkan bagaimana riwayat keluarga kita tumbuh dan berkembang. Berdasar disiplin mendasar ini pula, kini kita mengenal ilmu sejarah untuk memahami seluk-liku masa lalu secara akurat.

       Maka alasan yang sama di atas, juga kami gunakan untuk merenungkan riwayat keluarga sendiri, dan tautannya dengan keluarga lain, dengan manusia yang ada di kitaran keluarga kami. Demi memberi penghormatan dan tanpa mengurangi rasa hormat pada pihak Ayah, kami lebih memilih Ibu sebagai awalan. Dasar pikirnya sederhana saja. Ibu dan pohon yang sudah ia suburkan dalam dirinya, jadi bukti paling nyata warisan ayah kepada anak cucunya nanti. Termasuk kami. Karena itulah, dengan bangga kami akan menukilkan sekelumit kisah keluarga berikut ini berbekal satu pohon besar yang sudah tumbuh di pekarangan ingatan Ibu. 

Secara fenomenologis, ibu tertua yang kami kenal sekarang adalah Nenek dari pihak Ibu kandung. Usianya yang jauh lebih tua dibanding republik ini, tak membuatnya surut dalam menatap hidup. Ingatan yang ia miliki masih seterang hari siang. Sorot matanya tajam. Kondisi tubuhnya tak diragukan berada dalam kondisi sehat walafiat. Hanya tulang belakang tubuhnya saja yang mulai membungkuk. Selain itu, wajahnya yang sekarang adalah wajah yang nyaris serupa saat kami kecil dulu. Nenek awet muda dengan tumbuh-kembang para anak cucunya.

Dari dalam diri Nenek, tuhan menganugerahi potensi besar untuk mengandung 12 orang anak. Enam lelaki dan enam perempuan. Di kemudian hari, dua anak lelakinya meninggal di usia muda. Dua anak perempuannya juga wafat, di usia yang sama: 56 tahun. Masih belum cukup. Dua menantu dari kedua anak lelaki Nenek yang tertua, pun tutup usia di angka 56. Di taman pemakaman umum, kuburan mereka berderetan seolah sudah saling membuat janji untuk tidur selamanya dalam posisi berdampingan. Lagi-lagi, dari anak lelaki yang tertua, Nenek kehilangan dua cucu perempuan. Masing-masing satu cucu perempuan lagi dari anak perempuannya yang ketiga dan ketujuh, serta dua cucu lelaki dari anak perempuannya yang kelima. Dua cucu yang meninggal terakhir itu, bernasib sama dengan generasi pertama di pohon keluarga kami: wafat di usia muda.

Pemaparan kami di atas sepintas mirip sekali dengan jalinan cerita sebuah roman epik. Tapi sampai di sini, bisakah kalian menangkap gejala unik pada Pohon Ibu yang sudah ditanam Nenek?
...
Semoga kalian benar, kawan.
Jawabannya adalah rantai keluarga yang berulang. Dari kepulangan yang terkini ke kota kelahiran, Medan, kami mengamati satu persatu apa yang kemudian terjadi pada sisa anak Nenek, 41 orang cucu, dan 23 cicitnya. Harus diakui, betapa semua yang terjadi pada kami adalah perulangan sejati. Benar-benar mengulang. Begitu saja dan tanpa bisa dihentikan. Beberapa yang kami tahu pernah terjadi pada Nenek—untuk tidak gegabah menyebut semua, terjadi pada kami secara merata. 

Nasib Nenek yang pernah dimadu Kakek, diukir lagi oleh anaknya yang kelima. Lalu diteruskan pula oleh anak perempuan pertama dari si anak kelima itu. Kisah Kakek yang dengan mudah meninggalkan Nenek di usia paruh abadnya, kembali diulang oleh anak lelakinya yang kesebelas, mantu lelakinya dari anak keenam, dan kami, yang lahir dari anak ketujuh. Tragis. Sampai di sini, kami berusaha menyimpulkan dengan secermat mungkin, betapa Pohon Ibu kami tumbuh di lahan gambut. Nampak subur tapi mematikan. Tapi hingga di usia ke-80, Nenek masih tetap tersenyum meski telah ditimpa sekian kemalangan yang tak terperi itu.

Lantas bagaimana memahami kondisi perulangan itu? Secara teologis kita bisa beroleh jawabannya dari Hadis Nabi Muhammad Saw yang mengatakan bahwa, “Kullu mauludin yuladu alal fitrah, fainnaha abawaihi au ummihi yuhawwidani au yumajjisanihi." (HR. Bukhari dan Muslim): setiap bayi terlahir dalam keadaan fithah (suci) sesungguhnya ayahnyalah atau ibunyalah yang menjadikannya menjadi Yahudi atau Majusi (kaum penyembah api).” Sebuah Hadis yang menggambarkan kondisi keberagamaan anak manusia berdasar garis keturunannya. Mari kita ulas Hadis ini secara pelahan. Maulud itu artinya lahir atau kelahiran. Fitrah bisa dipahami sebagai kondisi asali (primordial) yang terwarisi dalam diri kita melalui garis orangtua. Jadi pola apa yang sudah digurat oleh siapa pun kita, akan terwaris dengan sempurna pada setiap anak turunan kita—meski dengan cara yang nampaknya berbeda.

Secara harfiah, agama pantas disebut sebagai pedoman hidup. Masyarakat modern menyebutnya sebagai ideologi. Kita yang awam menamainya sebagai idealisme. Jadi apa pun yang sudah kita tanam dalam jiwa, tubuh, dan pikiran, jika ditilik secara fisiologis-biologis, jelas mewaris pada mereka yang kelak menjadi anak kita. Karena anak adalah cermin terbaik bagi para orangtua. Inilah yang menjadi alasan mendasar bagi para orangtua yang marah jika anaknya melakukan kesalahan—fatal atau tidak. Karena besar kemungkinan, orangtuanya malu melihat hal yang sama terulang pada anak-anaknya. Seperti aib lama yang kembali dibuka dari Kotak Pandora.


Mencari Jalan Keluar dari Labirin Takdir
Secara psikologis nampaknya akan sulit menghindar dari kondisi yang sudah kami gambarkan di atas. Betulkah begitu? Nanti dulu.
“Banyak jalan menuju Roma.” Begitu pesan dari pepatah kuno Eropa untuk kita resapi.

Lantas apa yang bisa dilakukan kalau begitu? Saran terbaik kami dapat dari Ibu sendiri. Beliau menyarankan pada kami—berdasar apa yang sudah ia lakukan sebelumnya, untuk memutus lingkaran perulangan Pohon Ibu itu secara elegan, dan menanam pohon baru dalam diri kita yang sudah tentu baru. Caranya? Kurbankan diri dengan diri sendiri. Tanpa mengharap belas kasih dari siapa pun kecuali dari Dia yang memiliki Kasih Sayang tiada tara. Tanam benih baru perlawanan atas semua pengaruh negatif yang ada dalam diri kita. Ini seperti klise. Tapi tidak jika kita mau sedikit lebih dalam untuk merenung. Karena tidak semua kita diwariskan sifat buruk oleh kehidupan. 

Tradisi kurban, sebagaimana yang diajarkan oleh Islam, dianggit dari peristiwa historis antara Nabi Ibrahim as dan anaknya, Nabi Ismail as. Dalam soal dua nabi besar itu, kami akan menggunakan ulasan terbaik dari mistikus besar Islam dari Andalusia, Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi. Dalam karya monumentalnya, Fusus Al-Hikam, Ibn ‘Arabi memberi label Keindahan pada Ismail dan Cinta yang memesona pada Ibrahim. Sikap penyerahan sepenuhnya yang dilakukan Ismail atas mimpi ayahnya itulah yang kemudian membuat Allah mencintainya sebagai hamba. Berkah cintai-mencintai ini yang membuat Ismail berada dalam kondisi yang sedemikian indah.

Ibrahim yang tabah, dijuluki khalil (Intim) karena ia telah berhasil mencakup (takhallala) semua esensi (keapaan) Sifat Ilahi. Demikian yang ditegaskan Ibn ‘Arabi. Itulah hadiah terbesar yang beliau terima setelah melewati masa tersulit pascapenyembelihan Ismail yang kemudian diganti Allah dengan seekor kibas. Masih berdasar Ibn ‘Arabi dalam Fusus (2004: 125), “… kita ditentukan hanya melalui diri kita sendiri sebagai esensi. Sesungguhnya kitalah yang menentukan diri kita sendiri melalui kita sendiri yang merupakan arti dari kalimat, “Allah mempunyai alasan yang jelas lagi kuat.” (QS: Al-An’am; 149).

Penjelasan Ibn ‘Arabi di atas, adalah gambaran filsafat eksistensi Islam yang adekuat. Jauh lebih mumpuni tinimbang eksistensialisme model Ludwig Feuerbach atau Karl Marx. Allah selalu mengedepankan prinsip emansipatoris dalam soal keduniawian dan baru ikut campur dalam ranah batiniah. Karena hanya Dia yang berwenang membuka selubung misteri-Nya sendiri di hadapan kita. Maka dari itu, tak semua manusia beroleh kesempatan yang sama untuk berada sangat dekat dengan-Nya, kecuali mereka yang diberkati dan diberi kemudahan.  

Semua sifat (baik-buruk), mewaris secara organik-kolektif dalam diri tiap manusia. Jika berhasil menemukan pertalian dari pesan itu, kita akan segera mengamini apa yang telah diajarkan para nabi besar dan orang-orang suci yang pernah dilahirkan ke dunia. Pesan mereka berlainan, tapi kandungan maknanya sama: jadilah orang berguna untuk yang lain dan hidup ini. Ora et labora. Hidup untuk berkarya. Tempatkan diri kita di antara yang lain sesuai kadar yang dibutuhkan. Jangan kurang apalagi lebih. Hidup serba kurang itu, sama saja dengan hidup berkelebihan. Jika sikap kita dalam menjalaninya, melulu mengedepankan ketidakpuasan.

Mencontoh perilaku baik dan kebijaksanaan yang sudah dicontohkan para manusia bijak itu bagus. Tapi memformulasi kehidupan mereka untuk dipindahkan dalam hidup kita, jelas suatu masalah. Sederhana saja memahaminya. Mereka hidup di zaman yang berbeda, dan ingatlah, setiap zaman akan melahirkan anak-anaknya sendiri. Hanya satu saja kaidah hidup ini yang tak pernah berubah secara simultan, “Jangan perlakukan orang lain dengan cara yang tidak kau inginkan terjadi padamu.” Kini kita mengenalnya sebagai Kaidah Emas.

Meski telah diajarkan sepanjang usia manusia di muka bumi, tapi baru Konfusius (551-479 SM) sang guru bijak dari Cina yang merumuskan kaidah itu dengan penerapan yang tepat guna; tenggang rasa. Kita tinggal mencandrai kondisi hati sendiri, mencari pusat derita, dan menolaknya dengan sedemikian rupa untuk tak terjadi lagi pada siapa pun melalui diri kita. Tenggang rasa yang berhasil kita terapkan itu kelak akan membangun budaya memaaafkan yang efeknya jauh lebih besar tinimbang menuntut balas. Hal yang paling sederhana untuk dilakukan jelas adalah memaafkan diri sendiri. Memaafkan semua khilaf dan nista yang pernah kita lakukan di masa lalu, dan terutama, mengakuinya dengan besar hati. Lagi-lagi, di hadapan diri sendiri. 

Salah satu perkara terpelik manusia modern saat ini adalah, berusaha sekuat tenaga menerima kehadiran orang lain tanpa melibatkan empati dan simpati. Melainkan melulu di atas kepentingan pribadi. Tak ayal bila laku individualistik merebak begitu kental. Kita kerap gagal memanusiakan kemanusiaan kita di depan manusia lain. Karena kita tak membuka peluang bagi diri ini untuk melebur dalam sekian ragam kehidupan, yang semaraknya akan sama saja dengan apa yang terjadi dalam diri sendiri. Sepi di luar, ramai di dalam.

Tulisan sederhana ini tidak dialamatkan untuk menceramahi siapa pun kalian yang menyempatkan diri untuk membacanya. Kami hanya berusaha untuk membagi banyak hal sebagaimana kami telah belajar begitu banyak pada kalian dan hidup kita ini. Kita hanya perlu belajar dengan tekun untuk semua yang sudah dibentangkan hidup sedari mula kita dilahirkan. Belajar ikhlas atas semua yang sudah kita torehkan selama ini. Seperti Nenek yang dengan tabah tetap belajar tersenyum manis, meski jauh di lubuk hatinya, pahitlah yang terasa. Semua kondisi yang menyesakkan dada itu kerap kita sebut sebagai musibah, cobaan, atau ‘azab. Kata yang terakhir itu, secara harfiah berarti manis. Sebagai bukti dari upaya Allah menyapa kita demi mengingatkan betapa Dia selalu ada untuk kita. Selalu. 

Kita semua memiliki potensi yang sama untuk menanam Pohon Ibu sendiri. Memilih benih terbaiknya, menyiramnya hari ke hari, melakukan perawatan sebaik mungkin, melihat dahannya tumbuh kuat di batang yang terus membesar dengan lingkaran kambium sempurna. Dalam lingkaran seperti inilah hidup kita harus diputar. Lahir dengan kesempurnaan dan mati dalam kesempurnaan yang sama. Karena itulah sejatinya hidup: melingkar dan terus melingkar sepanjang masa. Sepanjang yang bisa diciptakan oleh kita sebagai makhluk Langit yang berjalan di bumi. Nenek, terimakasih untuk semua yang telah terberi selama ini. []

ilustrasi oleh JesusCareaga 


2 comments:

  1. Mirip wejangan nikahan, Bang. Hehehe...

    ReplyDelete
  2. siapa tahu memang ada yang mau nikah, dik. kan jadi berguna

    ReplyDelete

Total Pageviews