Melilau Masa Depan



Kemarin dan esok adalah hari ini, begitu syair yang diguritkan Rendra dalam salah satu puisinya yang indah. Secara sederhana, puisi itu mudah dicerna. Bahkan teramat mudah. Tak ada yang lebih nyata tinimbang hari ini. Kemarin sudah pergi digilas waku. Masa depan belum lagi ada, dan boleh jadi takkan pernah ada—jika hidup kita berakhir hari ini. Jadi konsep masa lalu-depan-nanti, jelas sangat bergantung pada subjektifitas masing-masing manusia yang memahaminya. Namun sebagai sebuah terma, lalu-kini-nanti jelas tak bisa dihapus begitu saja pada ranah kognitif.


Dalam tulisan ini, aku tak ingin bertindak sebagai penyair, atau fisikawan kuantum semacam Einstein dengan premis E=MC²-nya. Aku hanya ingin sekadar berbagi tentang sebuah jalan rahasia yang sudah kutempuh berpuluh tahun lamanya. Hingga mengantarkanku ke sini. Di masa kini. Masa yang dulu jelas kuanggap sebagai masa depan. Masa yang kabur tak tentu arah. Gelap gulita jalannya. Maka untuk membuat kondisi seperti itu tepermanai, aku tak pernah menggantung hidupku pada sebuah cita-cita.

Sejak kali pertama mengenal kata cita-cita, dan kerap mendengarnya terucap di bibir teman sekelas, kawan sepermainan, sanak semenda, atau orang kebanyakan, aku sama sekali tak pernah punya penjelasan memadai tentang apa itu cita-cita, harapan, atau impian. Aku cuma kepengin menjadi orang baik yang berguna untuk banyak orang dan kehidupan. Itu saja. Aku tak pernah terpikir kelak menjadi presiden, pilot, insinyur, dokter, guru, ilmuwan, seniman, pesohor, musisi, kiyai, dll. Ternyata, hingga hari ini masih begitu banyak guru & orangtua yang sibuk bertanya pada murid dan anak-anaknya, mau jadi apa kelak mereka?

Secara pribadi, aku merasa beruntung tidak pernah ditanyakan hal seperti itu oleh orangtua. Tak satu kali pun. Ibu misalnya, hanya menitip petuah sederhana padaku sekira 13 tahun lalu, “Ibu hanya ingin melihatmu jadi anak yang bisa dibanggakan.” Bahkan setelah itu, Ibu sama sekali tak pernah mengulang-ulang pesannya di telingaku bila anaknya ini terjebak di jalan buntu. Ibu hanya menyunggingkan seulas senyum, menyeduhkanku secangkir kopi, lalu duduk di hadapanku sambil bercerita tentang sejarah keluarga. Ajaib! Jalan buntu di benakku pun terkuak. Belakangan baru kusadar, yang beliau lakukan adalah memberi contoh. Berbagi pengalaman. Bukan dikte. Bukan teguran atau celaan. Bukan pula bualan.

Ibu benar-benar tak pernah pusing dengan pilihan hidupku yang tak punya cita-cita. Kendati banyak kawan yang menudingku sebagai orang tak berpendirian. Padahal dalam banyak kasus, cita-cita yang mereka usung setinggi langit, jelas tak mampu membuat mereka jadi manusia berpendirian dengan prinsip unggulan. Sebagai anak kampung yang dibesarkan di antara banyak kisah mengagumkan para leluhur, terutama tentang kelucuan masa kecil sendiri, aku jadi teringat perihal bagaimana masa kecilku berlangsung seperempat abad silam.

Sebelum malam menyelimuti tidurku, Ibu nyaris tak pernah absen membacakan dongeng Nusantara atau Kisah Seribu Satu Malam. Sesekali beliau menyelipkan juga kisah para nabi & rasul tuhan. Terkadang tentang riwayat orang besar yang terekam dalam sejarah. Menariknya, Ibu bukan hanya mahir bercerita. Ia pun mengajariku cara membaca cerita itu, menulisnya ulang, menggambar ilustrasinya sesukaku sendiri, dan yang paling menyenangkan, membelikan buku-buku terkait tema di atas untuk kubaca sendiri bila ia sedang berhalangan karena harus duduk semalaman di atas sajadah hingga Shubuh menjelang.

Majalah Bobo, komik Kungfu Boy, Doraemon, Tapak Sakti, buku sejarah para nabi, rasul, & wali Allah, jadi bacaan wajib yang akan kulahap habis untuk dibaca tanpa dipaksa sama sekali. Dari situlah, tradisi membacaku terlatih dengan baik. Hingga puncaknya adalah, Ibu menghadiahiku buku setebal 3000-an halaman saat khitan di kelas enam SD. Buku itu bak raksasa. Selain memang bercerita tengan sejarah hebat seorang manusia dari masa lalu di kota Makkah. Ya, sejarah hidup Rasul Muhammad Saw itu baru kukhatamkan saat duduk di bangku SMA kelas dua.

Sejak di bangku SD hingga lulus kuliah, kegilaanku membaca, juga menulis, tak pernah berhenti. Siapa pun kawan sekelas yang pernah memintaku untuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka, pasti akan mendapati halaman belakang di bagian sampul buku mereka penuh dengan tulisanku—yang pernah suatu kali kubacai, isinya benar-benar menggemaskan dan bikin geli sendiri. Beberapa dari mereka malah tak terkejut mengetahui bahwa kini aku menjadi penulis, bekerja di penerbitan, dan jadi pegiat buku untuk membangun peradaban.

Aku pun terkadang suka tersenyum sendiri mengetahui terlalu mudahnya hidup memberikan apa yang selama ini tak pernah kuminta. Dikala sebagian besar teman sepermainan dan saudara sepupu yang seumuran belum lagi berhasil menggapai cita-citanya menjadi sosok yang mereka bayangkan, aku malah sudah sampai di puncak yang mereka dambakan itu. Semata karena pekerjaan yang kugeluti sebagai editor akuisisi. Kini aku berteman dengan temannya presiden Bolivia, presiden Chile, mantan wakil presiden Indonesia, ilmuwan, seniman, pilot, insinyur, dokter, guru, pesohor, musisi, kiyai, dan berjenisrupa profesi yang jadi idola cita-cita banyak orang.

Sampai di sini, aku jadi merasa beruntung pernah diberi kesempatan hidup oleh Yang Mahahidup. Kendati tak pernah diberi pengarahan apa pun tentang bagaimana menyelenggarakan hidup saat di dalam kandungan, ternyata Beliau sudah menyerahkan peta kehidupanku sedari kecil dulu. Peta yang sudah kugenggam erat di tangan, lekat di benak, dan tinggal ditelusuri saja jalurnya—guna menemukan harta karun apa yang sudah dipersiapkan-Nya di ujung terjauh hidupku nanti. []  

1 comment:

  1. Menarik sekali. Jadi penasaran sama buku yang tebal itu. Pengen pinjem ahahaha

    ReplyDelete

Total Pageviews