Menanam Kebaikan

Sumber foto: wiggleles.com

Kisah sederhana nan menawan ini dimulai dari pohon cendana. Kejadiannya berlangsung dua tahun lalu. Berlatar sebuah rencana serah terima masa lajang sahabat saya, Ghazal dengan kekasih terakhirnya, yang akan ia langsungkan pada September 2011. Ghazal yang gemar menjaga keseimbangan hidupnya, berkenan menggelar sebuah acara pernikahan yang ramah lingkungan. Maka tak heran jika ia berniat membagi ribuan bibit pohon cendana kepada semua tamu yang akan hadir di resepsi pernikahan mereka. Tak cukup sampai di situ, mereka pun memilih salah satu pantai di Bali sebagai lokasi acara.

Menyadari cendana bukan pohon yang bisa mudah diperoleh begitu saja, Ghazal pun memulai penelusuran untuk mencarinya. Sampai kemudian pencarian itu berhenti di sebuah situs dalam jaringan yang jelas-jelas berisi cendana dan seluk likunya. Tanpa pikir panjang, Ghazal langsung mengontak si empunya situs.

“Halo, dengan Bapak Cendana?” tanya Ghazal.
“Ya betul. Siapa di sana? Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya Ghazal dari Ubud. Begini, Pak Cendana. Dalam waktu dekat saya akan menikah, dan berencana membagi-bagikan 2500 pohon cendana kepada tamu yang hadir, secara gratis.”
“Wah, rencana yang bagus sekali.”
“Kira-kira berapa ya harga keseluruhannya, Pak?”
“Kirim saja alamat resepsinya. Nanti saya antar.”
“Tapi harganya berapa, Pak? Dana saya sangat terbatas.”
“Anda dengar ‘kan tadi saya bilang apa? Kirim saja alamatnya …”
“Oh begitu. Ehm … baiklah, Pak. Kami menikah pada Jumat, 2 September 2011 di Pantai Sanur.”
“Tunggu saja ya. Terimakasih sudah menelepon saya.”

Klik. Telepon di seberang sana pun tertutup. Ghazal hanya bisa melongo. Baru kali ini dia berbicara dengan orang seaneh & semisterius Pak Cendana. Sementara Ghazal sedang melongo, adegan kita pindahkan ke Pak Cendana dulu. Usai menutup telepon, ia juga mengalami kebingungan. Hanya berbeda takaran. Bagaimana cara mengantar ribuan cendana itu ke Bali? Sedang dalam saat bersamaan, dana yang ia miliki tak terlalu banyak untuk mengantarnya sampai ke lokasi. Pak Cendana pun memanggil Budiman, orang kepercayaannya.

“Berapa ongkos truk untuk membawa barang ke Bali, Bud?” tanya Pak Cendana serius.
“Sekitar Rp7 jutaan, Juragan.”
“Kok mahal sekali? Rp3 juta bisa nggak?”
“Mana bisa, Gan. Itu harga standar.”
“Okelah. Coba kita tunggu apa kata alam.”

Juragan pun berlalu dari Budiman. Lantas ia pergi mengikuti langkah kakinya. Di perempatan jalan raya, mobil yang ia kendarai tetiba tertahan oleh sebuah truk yang entah kenapa berhenti begitu saja. Demi menghindari kemacetan, Juragan pun memarkir mobilnya di depan truk yang sedang mogok itu, lalu menghampiri sopirnya yang tengah sibuk memeriksa mesin.

“Kenapa, Mas?”
Ndak tahu, Pak. Perasaan tadi baik-baik saja kok.” jawab si sopir sekenanya.
Mata Juragan lalu tertumbuk pada plat mobil truk yang berinisial N tersebut. Dalam pikirannya seketika berkelebat sebuah ide sederhana.
“Ini mobil baru sampai dari Malang atau sebaliknya, Mas?”
“Mau pulang, Pak. Penginnya sih cari sewa yang bisa diangkut.”
Sorot mata Juragan pun bercahaya.
“Cocok kalau begitu.”
“Apanya yang cocok, Pak?”
“Saya punya angkutan untuk dibawa. Mau?”
“Boleh. Mau dibawa ke Malang?”
“Bukan. Tapi ke Bali. Kira-kira berapa ongkosnya?”
Mata si sopir truk menerawang ke segala penjuru. Petanda ia sedang menghitung ongkos yang akan ia tawarkan pada Juragan.
“Rp3 juta cukup, Pak.”
“Oh ya? Akur deh kalau begitu.”
“Tapi sebelumnya, Bapak telepon bos saya dulu di Malang. Sekadar memberitahu kalau ada sewa yang saya bawa. Setelah itu, barang bisa langsung masuk ke bak truk, Pak.”
“Beres. Gampang itu.” tutup Juragan santai.
Dengan penuh semangat, si sopir masuk ke dalam dan menyalakan mesin truknya.
“Loh, itu bisa nyala mesinnya? Tadi bukannya mogok?” sela Juragan sebelum mereka bergegas.
Sopir truk hanya termangu di depan stir—sambil memastikan bahwa yang sedang ia alami bukan mimpi.

***

Setiba di Bali, Budiman langsung menemui Ghazal untuk menyerahkan cendana pesanannya.
“Benar dengan Mas Ghazal?”
“Iya betul. Ada apa, Mas?”
“Saya Budiman, Mas. Utusannya Juragan.”
“Juragan? Maksudnya siapa ya?”
“Mas Ghazal memesan bibit cendana ‘kan? Sekarang Juragan sudah sampai di mana, Mas?”
“Aha ... Jadi yang dimaksud dengan juragan itu Pak Cendana ya? Sebentar saya telepon dulu ya.”

Usai menelepon, Ghazal kembali menghampiri Budiman.
“Mas Budiman. Itu truk isinya apa ya?"
"Cendana, Mas."
“Hah?! Satu truk itu isinya pohon cendana semua?”
“Iya. 2500 pohon. Kenapa, Mas Ghazal? Kurang ya?”
“Aduh! 2500 pohon? Bukan kurang juga sih. Tapi ... Bagaimana ya cara ngomongnya.”

Di pikiran Ghazal segera bergelayut masalah baru: bagaimana cara membayar cendana sebanyak itu?

Keesokan paginya, Pantai Sanur menjadi saksi bersatunya dua insan dalam mahligai pernikahan. Ghazal resmi menyerahkan janji setianya kepada sang kekasih. Para tamu undangan yang berdatangan, diberi sebuah pohon cendana setelah mereka memasukkan donasi ke dalam salah sebuah dari dua kotak yang diletakkan Ghazal di gapura masuk resepsinya. Hingga matahari rebah di cakrawala, semua wajah nampak sumringah. Tapi tidak dengan si mempelai pria—yang sedang menghampiri Juragan di hotel tempat ia menginap bersama Budiman.

“Maafkan saya, Juragan ...” rona muka Ghazal hilang cahayanya.
“Maaf untuk apa?”
“Dua kotak donasinya hilang diambil orang.” suaranya datar dan pelan. Persis seperti Ghazal, Juragan pun menimpali dengan gaya yang sama.
“Ya ampun ... Orang itu beruntung sekali bisa dapat rezeki nomplok. Ghazal, hari ini kau benar-benar telah menjadi manusia berguna bagi orang lain yang sedang kesulitan.”
“Bukan begitu, Gan. Kotak itu sengaja kami siapkan agar uangnya bisa dipakai membayar pohon-pohon cendana yang sudah Juragan bawa ke sini.”
“Hei ... Apa aku tidak salah dengar? Sedari awal kau menelepon, apa ada kusebutkan berapa biaya yang harus dibayar untuk cendana-cendana itu?”
“Nggak sih ...”
“Nah, apalagi yang harus dipusingkan. Ghazal sahabatku. Aku datang ke sini untuk turut meramaikan hari bahagiamu. Aku datang untuk belajar berbahagia darimu, dengan membawa cendana-cendana itu. Karena ada orang yang mau mengapresiasinya. Semua cendana itu untuk kalian ...”
Dua bola mata Ghazal seketika menjadi kaca yang berkilauan.
“Juragan tidak sedang bercanda ‘kan?”

Juragan hanya menggeleng kecil. Lalu Ghazal segera menghambur memeluknya erat-erat. Saat itu, Juragan terlihat lebih muda sepuluh tahun dari usianya yang nyaris setengah abad. Rambutnya yang keperakan berkilauan diterpa sinar matahari sore yang menembus masuk melalui jendela hotel. Juragan yang tubuhnya lebih kekar dibanding Ghazal, balas memeluk sahabat saya itu. Selebihnya, saya tak tahu apa yang mereka rasa dan simpan di dalam hati masing-masing.
***

Keesokan hari, Ghazal beserta rombongan keluarga barunya hendak bertolak ke Singaraja, guna menggelar ritual meditasi yang sudah dari jauh hari rutin dilaksanakan. Setelah seremoni kecil-kecilan, mereka pun berpamitan pada Juragan dan juga Budiman. Lalu keduanya segera bergegas mengemasi barang masing-masing. Karena waktu menginap di hotel sudah habis.
            Budiman yang hapal persis tabiat Juragan sejak lama, tak berani melontarkan pertanyaan apa-apa. Padahal ia tahu dan sadar, di dompet Juragan sudah tak ada uang sepeser pun. Di luar dugaan, apa yang dipikirkan Budiman itu disambut oleh Juragan.                                                                                                                   
               “Kau tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah, Bud?” tanya Juragan singkat.
“Ya dipikirkan baik-baik, Gan.”
“Masalah lebih mudah terurai tanpa dipikirkan sambil BERJALAN. Karena berjalan ampuh membersihkan pikiran dari pikiran—juga ketegangan.”
“Maksudnya, Gan?”
“Ayo kita berjalan-jalan ke Pantai Kuta!”

Seperti kerbau dicokok hidugnya, Budiman pun turut ke mana kaki Juragan melangkah, setelah menitip barang bawaan di warung di dekat pantai. Persis setelah melewati pintu gerbang masuk Pantai Kuta, keduanya berpapasan dengan serombongan anak muda. Dari penampilan luar, mereka jelas terlilhat seperti para aktivis pecinta alam. Sekonyong-konyong, satu dari mereka berteriak keras.

“Juragannn!”
Anak muda itu berlari mendekati orang yang baru saja dipanggilnya.
“Hei, Binsar! Juragan menyambut tangan Binsar yang ingin menyalaminya.
“Sedang apa di sini, Gan?”
“Lagi jalan-jalan, Bin. Kalian?”
“Biasa, Gan, mau lihat subak di Ubud. Ini kebetulan sedang lewat saja.”
“Sudah lama juga ya kita tak jumpa?”
“Iya, Gan. Nah mumpung ketemu, pakai ini!” Binsar mencopot cincin dari jari manisnya. Cincin yang mengikat batu safir warna biru.
“Wah, hadiah yang menyenangkan, Bin. Terimakasih ya sudah mempercayakan jariku untuk memakainya.”
“Terimakasih juga sudah mau menerimanya, Gan. Kami tak bisa lama nih. Lain waktu kita ngobrol-ngobrol lagi ya.”
Tanpa banyak basa-basi mereka pun berpisah seolah tak pernah ada pertemuan. Lalu Juragan mengajak Budiman duduk di tepi pantai sambil menikmati matahari yang mulai tenggelam di laut. Saat mereka baru saja duduk di atas pasir putih, melintas dua orang manula asal Jerman, yang kemudian berhenti dan berjalan ke arah Juragan.

“Halo ...! Apakah cincin yang Anda pakai itu dijual? Suami saya menginginkannya.”
“Silakan ...” jawab Juragan tenang.
“Oh ... senang sekali mendengarnya. So?”
“Silakan ...”   
“Berapa Anda akan menjualnya untuk kami?”
“Berapa pun yang Anda mau, Madame?”
Oh yeah?” si Madame berbalik badan menghampiri suaminya yang berdiri di tepi pantai. Tak jauh dari tempat duduk Juragan. Sejurus kemudian ia datang lagi.
“Bagaimana kalau Rp17 juta?”
Tanpa melewati proses tawar-menawar harga, batu safir itu sudah berpindah tangan ke Madame Jerman—secepat ia diberi oleh Binsar kepada Juragan. Selepas kedua warga asing itu pergi, Budiman dan Juragan hanya berbagi senyum simpul yang merekah di bibir mereka. Senyum paling indah yang pernah terbit di Pantai Kuta. [] 


* Sejatinya kisah ini benar-benar nyata. Saya berusaha menulisnya ulang sedetil mungkin, sesuai kejadian asli. Hanya nama-nama tokoh saja yang disamarkan demi menjaga privasi individu yang bersangkutan. 

4 comments:

  1. Ini cerita yang luar biasa, seperti sebuah lingkaran kebaikan. Terima kasih sudah menuliskannya :)

    ReplyDelete
  2. semoga kita juga bisa menjadi agen kebaikan di banyak tempat di muka bumi ini ya, neng Evi. berakar di sini, berbuah di mana-mana ...

    ReplyDelete
  3. inspiratif, jadi semangat untuk menanam. :)

    ReplyDelete
  4. O juragan!
    dimana-mana kau bisa menemukan utusan-utusan Tuhan yang menghampirimu ya!

    ReplyDelete

Total Pageviews