Pelabuhan Airmata


Aku... Selalu suka sehabis | Hujan di Bulan Desember ...
Seperti Pelangi | Setia | Menunggu hujan | Reda
~Efek Rumah Kaca

MALAM berhasil memeluk istriku dalam dekapannya yang purba. Ia tak lagi meraung-meronta, dan mengatakan apa saja yang tersimpan di dasar hatinya. Ia, tak ubahnya seorang anak kecil yang kelelahan usai bermain. Airmatanya mengering di pipi. Rambutnya acak-acakan. Sedang di wajahnya, tersirat sebuah luka mendalam yang tak terjamah oleh tanganku yang lemah. Aku menggendongnya pelahan ke dalam kamar, karena angin malam menembus masuk ke ruang tengah rumah kami, lalu merebahkan tubuhnya yang dingin di atas ranjang. Di sampingnya, aku hanya bisa tepekur meratapi diri. Menerawang jauh ke sebuah masa yang tiba-tiba saja mampu menerbitkan rinduku pada ayah. Rindu yang selalu kutunaikan dalam sebuah surat yang ia tulis, persis sehari sebelum aku dilahirkan.
Anakku,
Sebagai seorang lelaki, seorang suami, dan seorang ayah, ada sesuatu yang harus ayah jelaskan. Sesuatu yang selama ini gelap dalam ingatanmu. Apa yang nanti akan ayah ceritakan, boleh saja kau sebut dengan riwayat keluarga, atau sekadar sebuah kenangan dari masa lalu yang bisa kau buang di mana saja sekehendakmu. Tapi terlebih dulu pahamilah apa yang sebenarnya terjadi. Baru setelah itu kau boleh menilai ayah sesuka hati, seperti yang mungkin kau inginkan selama ini. Sebelumnya, bukalah pintu hatimu untuk memaafkan kami orangtuamu, terutama memaafkan ayah yang selalu gagal mendidikmu menjadi lelaki yang baik. Menjadi suami nomor satu untuk istrimu. Menjadi ayah yang akan dibanggakan oleh anakmu kelak.
Dulu, kau terlahir dalam kondisi yang mengenaskan. Ayah yang pengangguran, sempat nyaris kehilangan daya untuk membiayai persalinan ibumu. Padahal, kakekmu adalah saudagar kain kesohor di Medan Kota. Di Pajak[1] Beruang tepatnya. Sementara nenekmu, adalah perempuan terpandang yang tangannya teramat ringan membantu siapa saja di luar rumah mereka. Keduanya, warga Muhamamadiyah yang paling disegani di masyarakat. Tapi untuk menantu dan anak sendiri, kekayaan mereka jadi teramat mahal untuk dibagikan begitu saja. Di rumah tiga lantai itu, kami hanya bisa mengutuki takdir tanpa tahu harus berbuat apa. Sementara kau sedang kelaparan dan kehausan di tengah lumbung emas dan bendungan air susu.
Ayah dan ibumu selalu bermain kucing-kucingan dengan orangtua-mertua sendiri, demi mencuri sepinggan nasi dan segelas susu sekadar mengisi perutmu. Bahkan untuk mandi saja, dibutuhkan selang panjang yang harus ayah masukkan melalui plafon kamar mandi dari belakang rumah. Kau benar-benar bayi mungil yang sengsara. Mungkin kau tahu betapa kedua orangtuamu sudah bersusah payah untuk menghidupimu. Karena itulah, kau tak pernah menangis terlalu lama di kala malam menjelang, walaupun tak setetes susu mengalir di mulutmu yang masih wangi surga itu.
Tak lama kemudian, kakekmu memberi izin kepada ayah untuk menjadi sopir dari mobil angkutan yang ia miliki, dengan syarat: kami harus angkat kaki dari rumah mewahnya sejauh mungkin. Setiap hari, ayah harus memeras peluh menempuh jalur Kampung Lalang-Pinang Baris, demi mencari sesuap nasi untuk kalian. Ayah sanggup menantang terik matahari dan menembus hujan. Demi mengenyangkanmu dengan sesuap nasi atau makanan apa saja yang bisa ayah beli.
Saat usiamu sudah memasuki bulan ketiga, beban di pundak ayah sedikit berkurang. Bibimu mulai sering menyambang. Sesekali ia membawakanmu buah-buahan segar, atau beberapa stel pakaian baru. Lain waktu, ia membawa sekarung beras lengkap dengan beberapa bahan makanan pokok yang cukup untuk diolah selama sebulan penuh. Ia betul-betul menyayangimu laiknya anak sendiri. Meski di usianya yang ke-30, tak seorang lelaki pun ia terima dalam hidupnya. Bahkan hingga menghembuskan napas terakhir, ia lebih memilih hidup selibat tinimbang mengurusi cintanya yang selalu kandas di ujung jalan.
Sialnya, keringanan tangan bibimu malah ayah salahartikan. Semangat juang ayah mulai mengendur. Di kantong ayah mulai jarang tersisa uang sisa hasil setoran, karena keburu habis di sebuah rumah makan yang dijaga oleh seorang gadis cantik asal Langkat. Parasnya yang menawan, membuat ayah harus membelah hati dan membagi perasaan. Hampir di setiap sore gadis itu ayah ajak berkeliling kota, usai menuntaskan trayek terakhir. Ayah berharap, kau membaca bagian ini sebagai seorang lelaki. Ya, kita sedang berbicara atas nama kelelakian.
Hari ke hari, gelagat aneh itu terendus juga oleh ibumu. Naluri keperempuanannya setajam pisau. Gagal mendapatkan penjelasan dari ayah, ia pun bertekad bulat menguntit pada suatu senja. Terminal Pinang Baris yang disesaki penumpang antarkota, jadi saksi sejarah bagi kami kelak. Di usiamu yang masih kencur itu, ibumu harus berbesar hati melihat ayah merangkul gadis itu di bangku depan mobil yang diamanahkan kakekmu sebagai obat bagi kemalasan ayah semasa bujangan.
Kami tertangkap basah. Badai dan prahara pun tak terelakkan. Ayah tak mampu lagi berkelit di hadapan ibumu yang tangguh itu. Sempurnalah sudah. Sejujurnya ayah malu harus menuliskan bagian ini. Tapi apa mau dikata. Hidup adalah sejarah. Semua yang sudah terjadi, harus tetap diceritakan apa adanya. Kendati arang sudah menjadi abu, meski bubur tak lagi nasi, masa lalu tetap masa lalu. Kita, hanya bisa mengingat dan membacanya sebagai bagian kecil dari hidup yang sudah dititipkan tuhan dengan begitu indah.
Ayah lanjutkan.
Demi menghindarkanmu dari kerunyaman rumah tangga kami, kau sudah terlebih dulu dibawa oleh bibimu ke Lubuk Kuda di bilangan Sei Kera—tempat ia dan dua adik lelakinya memulai hidup baru setelah ditinggal pergi atukmu[2] dari pihak ibu, ke rumah madunya, di Pangkalan Berandan. Sementara ayah, mulai kehilangan kejernihan berpikir. Tanpa tedeng aling-aling dan jejak kaki, ayah pergi meninggalkan ibumu yang hanya bisa menangisi segala kebodohanku dalam haru-biru nasibnya.
Baru setelah beberapa lama, ibumu beroleh kabar dari seorang karibnya, bahwa ayah minggat ke Jakarta. Tak mau menanggung malu—juga demi memertahankan mahligai perkawinan kami, ibumu berniat menyusul, dengan kesadaran siap menanggung sekian banyak risiko di tanah yang antah-berantah. Ia menjual semua mahar perkawinan kami demi mengongkosi perjalanan, juga sebagai bekal hidupnya selama mencari ayah. Bibimu yang tak pernah mengerti sengkarut politik rumah tangga, tak mampu menahan langkah adiknya. Ia hanya bisa menelan ludah sambil meyakinkan diri untuk ke sekian kali; bahwa pernikahan hanya akan menimbulkan penyakit hati yang datang berulang-ulang. Tanpa henti.
“Apa kau yakin mau menyusul suamimu ke Jakarta?”
“Iya, Kak. Awak indak punya pilihan lain. Macam mana mengurus anak ini kalau ayahnya tak ada?”
“Buat apa lagi kau kejar lelaki macam tuh. Tak ada gunanya dia hidup di dunia ini!”
“Kakak takkan paham. Hidup berumahtangga itu berbeda dengan sendirian.”
“Tapi coba kau tengok emak kita. Dulu, waktu ayah pergi ke Brandan, kita berduabelas tetap bisa tumbuh besar, hanya dengan keringat yang diperasnya setiap hari. Tak cukupkah itu jadi pelajaran buatmu?”
 “Hidup itu punya pilihannya masing-masing, Kak. Emak memilih diam dengan alasan yang mungin takkan bisa kita pahami sampai sekarang. Awak, memilih yang lain. Dia itu hidup awak, Kak. Sejak kecil kami sudah saling mengenal. Dia lelaki yang baik. Awak tahu itu. Biar sekarang dia pergi dan meninggalkan rasa sakit di hati ini, itu bukan berarti dia bisa disalahkan sepenuhnya. Kak, untuk cinta, apa yang tak masuk akal sekali pun, mesti kita jalani ...”
Mendengar penjelasan ibumu itu, Bibi menciut. Ia merasa dirinya kalah kelas di hadapan ibumu. Usia dan pengalaman terkadang tak berjalan bersisian. Maka kali itu, ia mafhum. Memahami cinta dan urusan rumah tangga, sama peliknya dengan mengenali diri sendiri. Usianya yang terpaut hampir sepuluh tahun di atas ibumu, tak membuatnya jadi lebih paham bagaimana memaknai cinta. Ada ruang kosong yang belum pernah terisi di hatinya. Sedang untuk mengisi ruang itu, dibutuhkan kekuatan mental luarbiasa—yang untuk menyuburkannya saja, harus dengan darah, keringat, airmata.
“Jadi pukul berapa besok kau berangkat?”
Insyaallah, sore. Sekitar pukul empat, Kak. Tolong, jangan kasih tahu emak. Awak indak mau menambah beban pikirannya. Nanti kalau sudah di Jakarta, baru Kakak boleh cerita. Semoga Allah selalu menaungi emak dan keluarga kita dengan Cahaya-Nya.
“Amin. Pun begitulah denganmu. Pasti ada jalan terang di depan sana. Kau jaga diri dan anakmu baik-baik ya. Bersabarlah selalu.”
“Iya, Kak. Terimakasih.”
Berdasar cerita ibumu, setelah itu mereka berangkulan. Di wajah masing-masing meleleh airmata haru yang jadi petanda bahwa mungkin itulah hari terakhir mereka bersua. Dari dalam saku celana kordorainya, bibimu mengeluarkan sebuah amplop. Di dalamnya, ada sejumlah uang yang ia sisihkan dari honor mengajar karate di Inkai Medan. Lalu ia genggamkan amplop itu di tangan kanan ibumu.
Keesokan harinya, ibumu sudah berada di Pelabuhan Belawan yang hawanya menyengat jangat. Ditemani Bibi, ibumu tersaruk-saruk menyeret sebuah koper sambil menggendongmu yang pulas tertidur di bahunya. Ribuan manusia berkumpul di bawah sengat matahari. Mereka tengah bersiap menghadapi sebuah perpisahan. Ada yang pergi, juga kembali. Melepas kepergian orang tercinta dan mengantarnya, memang menjadi beban tersendiri yang terkadang sulit ditanggungkan. Aku tahu itu. Tapi begitulah hidup manusia. Tak semua yang ada di sisi kita, bisa terus begitu selalu. Mesti ada waktu yang disisihkan demi merelakan ketiadaan mereka. Hidup itu adalah kedatangan, kepergian, kelahiran, kematian. Hanya itu. Siapa yang tak siap dengan kodrat alami ini, akan terasa sulit baginya menjalani hidup di dunia.
Di dermaga tiga, kapal fery Sinabung Jaya sudah mulai disesaki penumpang. Mereka berjejalan menaiki tangga satu per satu. Di antrean paling belakang, ibumu bersiap naik setelah menitipkanmu pada bibi karena banyaknya barang yang ia bawa. Sambil tergesa-gesa menapaki tangga dan mengangkut barang bawaannya, ia alpa denganmu yang sudah meraung di tepian dermaga. Dengan alasan yang tak pernah Ayah ketahui hingga kini, bibi membawamu pergi. Sementara terompet kapal sudah bertiup berkali-kali. Tangga naik pun diangkat bebarengan dengan para awak kapal yang menarik sauh.
Tak lama berselang, hujan Desember menyiram debu di pelabuhan. Ibumu hanya bisa menekan perasaannya sedalam mungkin. Ia makin tak mengerti dengan hidupnya sendiri. Kenapa hanya untuk cinta, ada sekian pengorbanan yang mesti dilakukan. Sore itu, ibumu mencatat perairan Belawan dalam sejarah hidupnya sebagai tempat paling menggiris hati sedunia. Aku, ayahmu, adalah orang yang paling bertanggungjawab dari semua yang terjadi setelah itu. Anakku, beruntunglah kita yang pernah mengenal derita. Karena dibalik penderitaan, ada sejumput bahagia terselip, yang akan melatih kita mendengar banyak keluhan dan terampil mengurai luka. []





[1] Di masyarakat Melayu Deli, pajak sama artinya dengan pasar dalam bahasa Indonesia kontemporer.
[2] Terambil dari kata datuk dalam bahasa Melayu Deli.

3 comments:

  1. Bagus cerpennya :)
    Terharu bacanya.

    ReplyDelete
  2. terimakasih, Nala. tapi ini bukan cerpen loh. melainkan novelet. jadi bagian kecil dari sebuah novel yang sedang kususun

    ReplyDelete
  3. Selalu berfikir positif adalah kuncinya

    ReplyDelete

Total Pageviews