Karwan-e-Masoomeen |
ANAK MANUSIA ini lahir di
sebuah gurun terpencil pada Senin, 12 Rabiul Awal 570 M. Gunung
Paran jadi saksi ia tumbuh dan berkembang di antara kedegilan kaumnya yang
gemar mengubur hiduphidup bayi perempuan mereka; menukar istri sendiri dengan
istri orang lain; menyembah empat patung besar di kitaran Ka’bah—rumah kuno
kakek mereka semua, Ibrahim. Sedari usia belia, anak ini yang diberi nama
Muhammad oleh kakeknya, Abdul Muthalib, sudah menjadi kebanggaan warga Makkah
disebabkan budi pekertinya yang luhur. Ketika masih belasan tahun, ia bahkan
pernah dimintai bantuan memecahkan masalah peletakan Hajar Aswad oleh para
tetua Quraisy—yang nyaris membuat penat pikiran mereka.
Dari
semua anak muda di Makkah kala itu, hanya ia yang tak pernah peduli pada
gadisgadis cantik anak bangsawan Quraisy. Sebaliknya, ia malah jadi buah bibir
di kalangan kembang Makkah—bahkan hingga jadi bahan obrolan serius seorang
janda kaya terhormat, Siti Khadijah binti Khuwailid. Dalam sejarah Makkah,
mungkin hanya Muhammad seorang yang dilamar perempuan kaya yang telah menikah
dua kali. Khadijah dan Muhammad pun menikah. Muhammad berusia 25, sementara
Khadijah 40 tahun.
Pamor Muhammad terus menanjak hinga usianya memasuki angka 40 dan ia menjadi
pembukti dari nubuah para orakel dan ahli kitab—nabi terakhir akan muncul dari
balik Gunung Paran. Ya, Jibril as mendatanginya ketika di Gua Hira’. Membawa
dan menyerahkan padanya (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5). Persis setelah kejadian itu,
yang bertepatan dengan malam ke 17 Ramadhan 610 M, Muhammad beroleh gelar baru
sebagai nabi dan rasul sekaligus. Di belakang namanya, tersemat pujian salam
yang kini lazim diucapkan umat Muslim sedunia dengan lafal sallallahu
‘alaihi wasallama (Saw).
Karir kenabian Muhammad tidak melejit semudah yang
diceritakan banyak buku sejarah yang berkaitan tentangnya. Ia telah belajar
mengulum duka dan perih sedari kecil. Ketika masih berusia dua tahun, ia telah
ditinggal wafat ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib. Memasuki usia kelima,
giliran Aminah binti Wahab, ibunya yang meninggal. Dua tahun berselang, kakek
sekaligus pelindung utamanya yang juga kepala suku Quraisy—pemegang kendali
Makkah, Abdul Muthalib, mangkat. Ketika perawatan dan penjagaannya berpindah
tangan pada Abu Thalib, pengganti kakeknya, Muhammad telah melambari hidupnya
dalam waktu yang melulu pilu dan sepi. Inilah visi yang kerap membawanya
memanjat bukit menuju Gua Hira’ nyaris setiap malam.
Sepanjang perjalanan spiritualnya mencari keesahan tuhan,
Muhammad memang benarbenar bersih, polos (ummiy)
dari ajaran manusia mana pun. Ia murni dididik oleh Allah Swt. Bahkan melebihi
apa yang pernah diajarkan Allah pada Adam as sebelum beliau turun ke bumi.
Muhammad tak hanya terampil memilin kisah sedih hidupnya, tapi ia tetap tampil
percaya diri—bahkan melambung tinggi di antara pemuda Makkah sebayanya.
Sebelum
ditahbis oleh Allah menjadi nabi, Muhammad adalah manusia paling netral di
Makkah. Ia dikagumi semua kalangan. Disanjung setara kakek moyang penduduk
Makkah, Nabi Ismail as. Ia pintar berbicara (tabligh), laik dipercaya (amanah),
kejujurannya (siddiq) tersiar hingga
ke Syam, dan ia cerdas (fathanah)
luar biasa. Perawakannya sedang untuk ukuran masyarakat Arab. Sorot matanya tajam.
Alis matanya melengkung nyaris bertemu di dahi. Jidatnya lebar. Rambutnya menjuntai
sebahu. Tubuhnya senantiasa wangi kasturi meski tanpa parfum sama sekali. Bila berjalan
ia seperti sedang menuruni bukit. Di wajah Muhammad terwaris ketampanan Nabi
Yusuf as yang lembut, dan tentu leluhurnya, Ismail as. Perangainya halus. Etos
kerjanya tak tertandingi siapa pun—baik semasa di Makkah maupun Madinah.
Persis ketika Allah memilih beliau sebagai nabi pada usia
keempat puluh, kondisinya jadi sedemikian paradoks. Para petinggi Makkah yang
notabene adalah pamannya sendiri, dirundung dilema tak tertanggungkan. Mereka
berkepentingan besar pada ekonomi Makkah dan ritus ziarahnya, namun terusik
oleh syiar keponakan mereka tentang Islam. Ketajaman visi profetik Muhammad
melalui pandangan matanya, menembus jauh ke relung jiwa para peziarah yang
keras kepala dan degil. Padahal mereka yang merasa tatanan teologi pagannya
dirusak Muhammad, sejatinya juga mengakui dan mengamini bahwa apa yang dikerjakan
Muhammad, benar. Muhammad menjelma jadi musuh tersayang bagi Quraisy.
Sebagai pemegang kendali puncak zaman aksial, Muhammad
mengajak dunia kuno Makkah masuk ke zaman baru. Ia melarang penguburan bayi
perempuan hiduphidup; menanamkan cinta kasih pada anak yatim dan para janda;
menghapus perbudakan, menyamaratakan posisi perempuan dengan lelaki; dan yang
utama adalah, menegaskan bahwa hanya dengan mengikuti millah (ajaran) Ibrahim, leluhur mereka yang hanif, manusia bisa
mencapai posisi tertinggi sebagai kekasih tuhan di dunia.
Pelahan tapi pasti, Hamzah si petarung dan Singa Padang
Pasir, mengaitkan hati pada keponakannya sendiri. Menyusul Hamzah yang lain,
kini lazim dikenal sebagai Umar ibn Khattab ra. Kedua orang ini pernah didoakan
langsung oleh Muhammad kepada Allah agar mereka segera menjadi Muslim. Tapi
tugas kenabiannya belum selesai. Makkah masih merajalela. Bahkan kian sulit
dimengerti. Quraisy memboikot generasi awal Muslim selama tiga tahun. Memutus
semua jalur kehidupan agar kaum Muslim jera mengkhutbahi mereka.
Rantai penyiksaan ini masih dilengkapi lagi dengan meninggalnya
Abu Thalib sang pelindung sejati, disusul istrinya tercinta, Khadijah, pada
619. Bani Hasyim pun limbung. Tanpa Abu Thalib, mereka tak bisa menjamin
keselamatan Muhammad di Makkah. Masa inilah yang kemudian dikenal dalam sejarah
sebagai Tahun Kesedihan. Dua tahun berselang, Muhammad yang setahun sebelumnya
dipertemukan waktu dengan enam orang penduduk Yastrib (Madinah) dan membuat
Perjanjian Aqabah, hijrah ke Madinah ditemani Abu Bakar ra, sahabatnya.
Sementara di Makkah, 12 orang pemuda terbaik Quraisy hampir saja menghabisi
nyawa bocah Ali bin Abi Thalib ra yang dengan gagah berani tidur di ranjang
sepupu tuanya—yang sedang beranjak keluar Makkah bersama Abu Bakar ra.
Setelah
mukim di Madinah, Islam tumbuh pesat pascaPerang Badr yang dimenangkan kaum
Muslim. Pamor Islam pun terangkat di seantero Semenanjung Arabia. Satu per satu
suku yang bertikai di Madinah berdamai setelah tiga suku Yahudi terbesar di
sana, Khajraj, Nadir, Qainuqa, diusir keluar. Semua di bawah sumpah Muhammad
yang mereka puja. Pelarian Makkah ini malah beroleh simpati berlebih di kotanya
yang baru. Bahkan ketika sepuluh tahun kemudian Muhammad memimpin Fath al-Makkah (Pembebasan Makkah) bersama
10,000 tentara Muslim, Abu Sufyan yang cerdas dan telah menjabat sebagai penguasa
Makkah, takjub bukan kepalang. Ia sama sekali tak bisa mencandra bagaimana
seorang gembala bisa berubah sedemikian cepat menjadi raja di Jazirah Arabia.
Agama Cinta
KETIKA Muhammad hampir
tiba di ujung kerja kenabiannya pada 632 M, seluruh suku di Arabia selatan
praktis menjadikannya raja. Warisan etos Islam yang ia tinggalkan di atas
landasan cinta hidup dan mati, terus merangsek ke Syam, Damaskus, Kufah,
Basrah, Iraq, Andalusia (Spanyol) Mesir, selatan Afrika hingga ke samudra
terjauh, Nusantara. Tonggak kampiun Islam benarbenar terjadi manakala Sultan
Fatih meremukkan Byzantium dan merebut ibukota mereka, Konstantinopel pada 1453
M. Fatih jadi pewujud ramalan Muhammad Saw yang adalah kakek buyutnya—satu alaf
sebelum ia menjadi sultan Turki Ustmani.
Muhammad yang ummiy
ini, telah berhasil merangkum dan memadukan dua ajaran pendahulunya (Musa as
dan Isa as), dengan Kaidah Emas kemanusiaan—yang isinya beririsan dengan
Sepuluh Perintah Tuhan sebagaimana terekam dalam Kitab Keluaran 20: 2-17 dan
Ulangan 5:6-21;
Aku adalah tuhan di hadapanmu.
Janganlah engkau membuat bagimu patung,
atau yang menyerupai apa pun hal yang ada di langit, atau yang ada di bumi,
atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
Janganlah engkau menyebut nama Allah
Tuhanmu secara percuma.
Ingatlah hari Sabath (Sabtu), dan
kuduskanlah enam hari engkau bekerja dan lakukanlah segala pekerjaanmu.
Hormatilah ayah-ibumu.
Janganlah engkau membunuh.
Janganlah engkau berzinah.
Janganlah engkau mencuri.
Janganlah engkau mengucapkan saksi dusta
tentang sesamamu.
Janganlah engkau menginginkan rumah
sesamamu, istri sesamamu, atau hamba lelakinya, atau hamba perempuannya, atau
lembunya, atau keledainya, atau apa pun yang dimiliki tetanggamu.
Sebelum
dan pascakenabian, Muhammad punya antusiasme berlebih pada kemanusiaan. Ia
gemar bermain pada anak kecil, terutama pada cucunya sendiri. Sejarahwan
mencatat kebiasaannya yang sering memanggul Umamah, cucu perempuannya, menuju
ke masjid saat shalat Shubuh. Bahkan di dalam shalat pun, Umamah tetap ia
biarkan di bahunya hingga shalat tuntas dilaksanakan.
Selain
mengagumi anak kecil, Muhammad juga gemar bersenda gurau dengan tigabelas orang
istrinya. Riwayat termasyhur terkait ini adalah kisah tentang perlombaan
larinya dengan ‘Aisyah binti Abu Bakar ra. Suatu kali, saat ‘Aisyah masih belia
dan cekatan, beliau mengajaknya berlomba lari yang kemudian dimenangkan oleh istrinya.
Lalu beliau pun berseru. “Kelak nanti aku akan membalasnya.” Bertahun kemudian,
setelah tubuh ‘Aisyah tak lagi langsing, Muhammad kembali mengajaknya beradu
lari. Hasilnya, Muhammad keluar sebagai pemenang dan dengan bangga berkata,
“Kemenangan ini untuk membalas kekalahanku waktu itu.”
Dua
kebiasaan Muhammad tersebut, terasa “ganjil” bagi masyarakat Arab kala itu. Keganjilan
ini, masih ia lengkapi dengan menjadikan senyum sebagai ibadah. Hal sederhana
yang memang menjadi ciri khasnya. Muhammad adalah pemilik senyum terindah yang
pernah dianugerahkan tuhan pada manusia. Perkara senyum ini pun menemu
monumennya dalam sebuah kisah. Ada seorang Yahudi yang kecanduan meludahi
Muhammad dari atas balkon rumahnya saat sang nabi melintas di bawah. Alihalih
marah atau membalas, Muhammad malah menyunggingkan senyum menawannya pada si
Yahudi.
Hingga
pada suatu hari, si Yahudi absen meludahi Muhammad—yang dengan serta merta
malah mencarinya. Setelah beliau menyelidik, ternyata si Yahudi sedang sakit
dan meringkuk di ranjang. Tanpa berpikir panjang, Muhammad malah menjenguk dan
mendoakan kesembuhannya. Di luar dugaan, akhlak terpuji ini kemudian membuat si
Yahudi membuka hatinya untuk Islam. Ya, Al-Quran yang dibawa Muhammad telah
dengan sangat tegas menafikan hukum Taurat, “Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi.” Muslim lebih diperintahkan
menahan diri dari berselisih pun berperang, dan sebisa mungkin berada pada
posisi terdepan sebagai pengampun dan pemberi maaf.
Kendati
Muhammad adalah penyayang keluarga, tapi nyaris seluruh hidupnya tersita untuk
umat yang sedang ia bina. Manusia agung ini tak memiliki rumah. Di mana pun ia
berada, selalu saja ada yang merubung. Meski ketika ia telah tiba di pondokan para
istrinya. Halaman pondok mereka kerap disesaki oleh kuda dan unta milik tetua
suku Badui yang datang menyambangi Muhammad. Baik itu bersifat meminta
perlindungan maupun berdiplomasi terkait perselisihan mereka dengan Abu Sufyan,
penguasa ibunya ibukota Arab, Makkah.
Pada
Senin pagi, 12 Rabiul Awal (8 Juni 632), Muhammad Sang Nabi tak kuasa lagi memimpin
shalat Shubuh. Abu Bakar ra beroleh kesempatan darinya memimpin shalat
berjamaah. Para sahabatnya bisa merasakan apa yang sedang dipendam Muhammad,
apalagi mereka baru saja melaksanakan Haji Wada’
(Haji Perpisahan). Mungkin itulah shalat paling dramatis yang terjadi sepanjang
Masjid Nabawi berdiri. Abu Bakar ra dan para sahabat lain, tak kuasa menahan
lelehan airmata. Ada sesak yang bersarang di dada mereka kala itu.
Sepulang
dari shalat, Muhammad merebahkan kepalanya di pangkuan Fatimah az-Zahra ra dan
menitip pesan singkat yang jelas ia tujukan pada umatnya:
"Wahai
umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati
dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, Sunnah dan Al-Quran.
Sesiapa yang mencintai Sunnahku, berati mencintaiku dan kelak orangorang yang
mencintaiku, akan bersamasama masuk surga bersamaku."
Fatimah ra sepenuhnya mengerti bahwa ayahnya sedang berusaha melepas napas terakhirnya
satu demi satu. Hingga ia pun menyadari, sahabat para malaikat itu telah
dijemput pulang oleh Izrail as dan Jibril as menuju kekasihnya ke Sidrat al-Muntaha. Madinah pun gempar.
Para perempuan menangis meratap. Umar bersikukuh meyakini sahabatnya tak
mungkin mati. Pada hari yang agung itu, Madinah dilambari cahaya redup matahari
dan isak tangis memilukan penduduknya. Anshar dan Muhajirin kehilangan
pegangan.
Namun
masa berkabung tersebut tak berlangsung lama. Abu Bakar ra tampil menggantikan
Muhammad Saw yang telah mangkat. Suatu kali ia menyambangi Fatimah az-Zahra ra,
bunga indah keluarga sahabatnya, dan bertanya, “Ya Fatimah, adakah amalan ayahmu
yang mungkin belum sempat kulakukan?”
“Ada,”
sahut Fatimah.
“Apakah
itu,” buru Abu Bakar ra.
“Kau
takkan mampu meniru dan melakukannya.”
“Sebegitunya
kah? Tapi amalan apa itu duhai, Fatimah?”
“Ayahku
selalu mengunjungi seorang pengemis buta Yahudi yang ada di pasar dan
menyuapinya—setelah mengunyahkan makanan itu dengan mulutnya sendiri. Meskipun
si pengemis itu kerap memakinya.”
“Subhanallah ... Baiklah, aku akan
melakukannya besok.”
Keesokan
hari, berangkatlah Abu Bakar ra ke pasar yang dimaksud Fatimah ra. Di salah
satu sudut pasar, ia mendapati seorang pengemis buta sedang menanti belas
kasihan para pelintas. Sambil menahan lelehan airmata karena teringat kemuliaan
sahabat sekaligus kekasihnya, Abu Bakar ra pun menghampiri si pengemis.
“Siapa
kau?” tanya si pengemis.
“Aku
sahabatmu, yang biasa menyuapimu makan,” jawab Abu Bakar ra.
“Demi
tuhan, ke mana saja kau selama ini? Aku mengkhawatirkanmu dari tipu daya
Muhammad si pendusta itu. Kau harus berhatihati padanya.”
Mendengar
umpatan si pengemis, airmata Abu Bakar ra pun tumpah ruah. Ia terisak sambil
menyembunyikan suara tangisnya.
“Aku
lapar. Adakah kau membawakanku makanan?” tanya si pengemis.
Abu
Bakar yang sedang terisak pilu itu pun, mulai mengunyahkan makanan yang ia
bawa, lantas menyuapkannya pada si pengemis—yang seketika malah memburunya
dengan pertanyaan.
“Benarkah
kau sahabatku yang baik hati itu?”
“Ya,
aku sahabatmu.”
“Bukan!
Kau pasti bukan dia. Makanan yang kau kunyahkan tak sehalus yang ia kunyahkan
untukku. Tanganmu juga tak selebut tangannya,” sergah si pengemis.
Sontak
tangis Abu Bakar ra meledak. Ia tak kuasa lagi menutupi kesedihannya di hadapan
pengemis buta Yahudi itu.
“Hei,
kenapa kau menangis?”
“Maafkan
aku. Kau benar, aku memang bukan sahabatmu yang baik hati itu. Aku datang untuk
menggantikannya.”
“Memangnya
ke mana dia? Apakah dia baikbaik saja”?
“Sahabatmu
yang baik hati itu telah meninggal, kemarin. Ia adalah Muhammad Saw, orang yang
selalu kau caci-maki tanpa tedeng alingaling ...”
“Apa
katamu? Jadi selama ini aku mencaci orang yang telah mengasihiku sedemikan
lembut?! Alangkah celakanya hidupku! Ternyata apa yang ia sampaikan benar.
Muhammad sabahatku memang seorang nabi. Maka mulai hari ini, aku mengikrarkan
diri jadi pengikutnya dan semoga Allah mengampuni semua dosaku.”
Adegan
paling memilukan sepeninggal Muhammad Saw adalah ketika tiba waktu shalat. Bilal
bin Rabbah ra, pria berkulit hitam asal Afrika dan pemilik suara emas yang
biasa mengumandangkan azan, tak sanggup lagi menunaikan tugasnya. Posisinya
semasa Muhammad masih hidup tak tergantikan oleh siapa pun, kecuali saat perang,
atau keluar kota. Karena ia nyaris tak pernah berpisah dengan Sang Nabi, kemana
pun beliau pergi. Kepergian Muhammad jelas memukulnya hingga ke ulu hati.
Dua
sejarahwan Islam terkemuka, Thabari dan Ibn Ishaq merekam peristiwa ini dengan
amat sangat indah. Ketika Khalifah Abu Bakar ra meminta Bilal menjadi muazin
kembali, Bilal ra berkata dengan hati pilu nan sendu, “Biarkan aku jadi muazin
Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan muazin siapa pun lagi.”
Abu
Bakar ra terus mendesaknya, dan Bilal pun bertanya: “Dahulu, ketika engkau
membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf, apakah engkau membebaskanku
karena dirimu atau karena Allah?” Abu Bakar ra hanya terdiam.
“Jika
engkau membebaskanku karena dirimu, maka aku bersedia jadi muazinmu. Tetapi
jika engkau membebaskanku karena Allah, maka biarkan aku dengan keputusanku.”
Abu Bakar ra pun tak bisa lagi mendesak Bilal ra agar kembali mengumandangkan
azannya.
Tak lama berselang, sebab kesedihan ditinggal Muhammad Saw
yang mengendap dalam hati Bilal ra, ia
pun pergi meninggalkan Madinah. Mengikuti pasukan Fath al-Islam menuju Syam, dan kemudian bermukim di Homs, Syria. Setelah sekian lama Bilal ra
tak mengunjungi Madinah, suatu malam, Muhammad Saw hadir dalam mimpinya dan menegur,
“Ya Bilal, wa maa hadzal jafa’?: Hai, Bilal, kenapa engkau tak
mengunjungiku? Kenapa sampai begini?”
Bilal
pun bangun dalam kondisi terperanjat. Ia segera mempersiapkan perjalanan ke
Madinah, demi menziarahi kekasihnya. Setiba di Madinah, Bilal ra yang sudah
beranjak tua, tersedu sedan melepas rasa rindunya di makam Muhammad Saw. Saat
itu, datang dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Mereka adalah
cucu tersayang Nabi Saw, Hasan ra dan Husein ra. Bilal ra yang sedang dirundung
pilu pun memeluk kedua cucu kekasihnya itu. Salah satu dari keduanya lantas berkata,
“Paman, maukah engkau mengumandangkan azan untuk kami, sekali saja? Demi mengenang
kakek kami.” Umar bin Khattab ra yang telah jadi khalifah dan turut melihat pemandangan
mengharukan itu, juga memohon agar Bilal ra berkenan mengumandangkan azan lagi.
Demi
menghormati masamasa indah yang telah ia lalui bersama Nabi, Bilal ra pun
memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat tiba, ia naik ke tempatnya dulu
biasa mengumandangkan azan. Saat lafaz ‘Allahuakbar’
ia kumandangkan, mendadak seluruh Madinah senyap. Segala kegitan terhenti. Seluruh
penghuni kota terkejut mendengar suara yang telah bertahuntahun hilang dan
begitu dirindukan, telah kembali. Ketika Bilal ra mengumandangkan ‘Asyhadu an laa ilaha illallah,” penduduk
Madinah berlarian ke arah sumber suara sembari mengucap takbir, bahkan para
gadis dalam pingitan pun keluar dari rumahnya.
Saat
Bilal ra mengumandangkan ‘Asyhadu anna
Muhammadan Rasulullah,’ Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan memilukan.
Semua menangis, teringat masamasa indah bersama Nabi, dan Umar bin Khattab ra
adalah yang paling keras tangisnya. Sementara Bilal ra, tak sanggup meneruskan
azan. Suaranya tercekat di tenggorokan. Airmatanya jatuh berderaiderai.
Hari
itu, Madinah kembali mengenang masa indah saat Muhammad Saw masih menjadi
bagian penting di sana. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti beliau
di oasis ini. Azan yang tak bisa dirampungkan itu, adalah azan terakhir Bilal ra.
Ia tak pernah bersedia lagi mengumandangkan azan, sebab kesedihan yang segera
mencabikcabik hatinya mengenang seseorang yang telah mengangkat derajatnya
begitu tinggi.
Apa
yang dilakukan Bilal ra dan seluruh penduduk Madinah, sejalan dengan Hadis
sahih Bukhari urutan ke-15 berikut ini:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Dari Anas ra ia berkata,
Rasulullah Saw bersabda, "Tidak sempurna keimanan seseorang di antara kalian
hingga ia lebih mencintaiku daripada kedua orangtuanya, anaknya, dan semua manusia."
Fakta
yang tak bisa dibantah hingga hari ini adalah, ajaran Islam warisan Muhammad
Saw telah menjadi agama dengan penganut terbesar di planet biru kita. Jumlah
penduduk dunia pada 2013 adalah 7,021,836,029 jiwa, dengan sebaran agama: Islam
22,43%, Kristen Katolik 16,83%, Kristen Protestan 6,08%, Orthodok 4,03%,
Anglikan 1,26%, Hindu 13,78%, Buddha 7,13%, Sikh 0,36%, Yahudi 0,21%, Baha’i 0,11%,
lainnya 11,17%, Non-Agama 9,42%, dan Atheis 2,04% (www.30 days.net,
2014).
Sebagai
negara, Indonesia adalah lokus Islam terbesar dunia. Pada 2010, penganut Islam
di Indonesia sekitar 205 juta jiwa atau 88,1 persen dari total jumlah penduduk.
Muslim di Indonesia juga dikenal dengan sifatnya yang moderat dan toleran (Kompas,
2012). Ada begitu banyak Muslim di dunia ini yang rela mati demi memperjuangan
agama Muhammad Saw. Menyanjung dan menghormatinya setinggi langit. Menjaga
peninggalannya sebaik mungkin. Termasuk melestarikan ajarannya dalam praktik
maupun dalam lembaran kertas. Ya, buku tentang sosok agung ini memang sudah tak
terhitung jumlahnya.
Armstrong menulis dalam bukunya Muhammad: Prophet Out Time
(2007), “Muhammad secara paradoks menjadi sosok pribadi yang tak lekang oleh
waktu justru karena beliau begitu berakar dalam periodenya sendiri. Kita hanya
bisa memahami pencapaian ini jika mau mengerti apa yang dihadapinya pada saat
itu. Agar dapat melihat sumbangsih apa yang bisa diberikannya atas kesulitan
yang sedang menimpa kita saat ini, kita mesti memasuki dunia tragis yang
menjadikannya nabi hampir seribu empat ratus tahun silam, di puncak sebuah
gunung yang sepi, tak jauh dari tepian kota suci Makkah.”
Muhammad Saw memang telah tiada lima belas abad
silam. Tapi dari Kota Tuhan yang telah dihidupinya, ia telah membangun imperium
Islam dunia sekaligus menyiapkan pranata masyarakat global, hari ini. Ditilik dari
segi mana pun, nyaris tak ada alasan yang bisa membantah jika sejarah manusia telah mencatatkan nama Muhammad Saw sebagai spirit zaman. Kita berutang telalu banyak
pada sosok agung yang sangat dicintai penduduk bumi dan penghuni langit ini. []
No comments:
Post a Comment