Manusia Paling Dicintai di Muka Bumi

Karwan-e-Masoomeen

ANAK MANUSIA ini lahir di sebuah gurun terpencil pada Senin, 12 Rabiul Awal 570 M. Gunung Paran jadi saksi ia tumbuh dan berkembang di antara kedegilan kaumnya yang gemar mengubur hiduphidup bayi perempuan mereka; menukar istri sendiri dengan istri orang lain; menyembah empat patung besar di kitaran Ka’bah—rumah kuno kakek mereka semua, Ibrahim. Sedari usia belia, anak ini yang diberi nama Muhammad oleh kakeknya, Abdul Muthalib, sudah menjadi kebanggaan warga Makkah disebabkan budi pekertinya yang luhur. Ketika masih belasan tahun, ia bahkan pernah dimintai bantuan memecahkan masalah peletakan Hajar Aswad oleh para tetua Quraisy—yang nyaris membuat penat pikiran mereka.

           Dari semua anak muda di Makkah kala itu, hanya ia yang tak pernah peduli pada gadisgadis cantik anak bangsawan Quraisy. Sebaliknya, ia malah jadi buah bibir di kalangan kembang Makkah—bahkan hingga jadi bahan obrolan serius seorang janda kaya terhormat, Siti Khadijah binti Khuwailid. Dalam sejarah Makkah, mungkin hanya Muhammad seorang yang dilamar perempuan kaya yang telah menikah dua kali. Khadijah dan Muhammad pun menikah. Muhammad berusia 25, sementara Khadijah 40 tahun.

            Pamor Muhammad terus menanjak hinga usianya memasuki angka 40 dan ia menjadi pembukti dari nubuah para orakel dan ahli kitab—nabi terakhir akan muncul dari balik Gunung Paran. Ya, Jibril as mendatanginya ketika di Gua Hira’. Membawa dan menyerahkan padanya (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5). Persis setelah kejadian itu, yang bertepatan dengan malam ke 17 Ramadhan 610 M, Muhammad beroleh gelar baru sebagai nabi dan rasul sekaligus. Di belakang namanya, tersemat pujian salam yang kini lazim diucapkan umat Muslim sedunia dengan lafal sallallahu ‘alaihi wasallama (Saw).

            Karir kenabian Muhammad tidak melejit semudah yang diceritakan banyak buku sejarah yang berkaitan tentangnya. Ia telah belajar mengulum duka dan perih sedari kecil. Ketika masih berusia dua tahun, ia telah ditinggal wafat ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib. Memasuki usia kelima, giliran Aminah binti Wahab, ibunya yang meninggal. Dua tahun berselang, kakek sekaligus pelindung utamanya yang juga kepala suku Quraisy—pemegang kendali Makkah, Abdul Muthalib, mangkat. Ketika perawatan dan penjagaannya berpindah tangan pada Abu Thalib, pengganti kakeknya, Muhammad telah melambari hidupnya dalam waktu yang melulu pilu dan sepi. Inilah visi yang kerap membawanya memanjat bukit menuju Gua Hira’ nyaris setiap malam.

            Sepanjang perjalanan spiritualnya mencari keesahan tuhan, Muhammad memang benarbenar bersih, polos (ummiy) dari ajaran manusia mana pun. Ia murni dididik oleh Allah Swt. Bahkan melebihi apa yang pernah diajarkan Allah pada Adam as sebelum beliau turun ke bumi. Muhammad tak hanya terampil memilin kisah sedih hidupnya, tapi ia tetap tampil percaya diri—bahkan melambung tinggi di antara pemuda Makkah sebayanya.

Sebelum ditahbis oleh Allah menjadi nabi, Muhammad adalah manusia paling netral di Makkah. Ia dikagumi semua kalangan. Disanjung setara kakek moyang penduduk Makkah, Nabi Ismail as. Ia pintar berbicara (tabligh), laik dipercaya (amanah), kejujurannya (siddiq) tersiar hingga ke Syam, dan ia cerdas (fathanah) luar biasa. Perawakannya sedang untuk ukuran masyarakat Arab. Sorot matanya tajam. Alis matanya melengkung nyaris bertemu di dahi. Jidatnya lebar. Rambutnya menjuntai sebahu. Tubuhnya senantiasa wangi kasturi meski tanpa parfum sama sekali. Bila berjalan ia seperti sedang menuruni bukit. Di wajah Muhammad terwaris ketampanan Nabi Yusuf as yang lembut, dan tentu leluhurnya, Ismail as. Perangainya halus. Etos kerjanya tak tertandingi siapa pun—baik semasa di Makkah maupun Madinah.

            Persis ketika Allah memilih beliau sebagai nabi pada usia keempat puluh, kondisinya jadi sedemikian paradoks. Para petinggi Makkah yang notabene adalah pamannya sendiri, dirundung dilema tak tertanggungkan. Mereka berkepentingan besar pada ekonomi Makkah dan ritus ziarahnya, namun terusik oleh syiar keponakan mereka tentang Islam. Ketajaman visi profetik Muhammad melalui pandangan matanya, menembus jauh ke relung jiwa para peziarah yang keras kepala dan degil. Padahal mereka yang merasa tatanan teologi pagannya dirusak Muhammad, sejatinya juga mengakui dan mengamini bahwa apa yang dikerjakan Muhammad, benar. Muhammad menjelma jadi musuh tersayang bagi Quraisy.

            Sebagai pemegang kendali puncak zaman aksial, Muhammad mengajak dunia kuno Makkah masuk ke zaman baru. Ia melarang penguburan bayi perempuan hiduphidup; menanamkan cinta kasih pada anak yatim dan para janda; menghapus perbudakan, menyamaratakan posisi perempuan dengan lelaki; dan yang utama adalah, menegaskan bahwa hanya dengan mengikuti millah (ajaran) Ibrahim, leluhur mereka yang hanif, manusia bisa mencapai posisi tertinggi sebagai kekasih tuhan di dunia.   

      Pelahan tapi pasti, Hamzah si petarung dan Singa Padang Pasir, mengaitkan hati pada keponakannya sendiri. Menyusul Hamzah yang lain, kini lazim dikenal sebagai Umar ibn Khattab ra. Kedua orang ini pernah didoakan langsung oleh Muhammad kepada Allah agar mereka segera menjadi Muslim. Tapi tugas kenabiannya belum selesai. Makkah masih merajalela. Bahkan kian sulit dimengerti. Quraisy memboikot generasi awal Muslim selama tiga tahun. Memutus semua jalur kehidupan agar kaum Muslim jera mengkhutbahi mereka.

            Rantai penyiksaan ini masih dilengkapi lagi dengan meninggalnya Abu Thalib sang pelindung sejati, disusul istrinya tercinta, Khadijah, pada 619. Bani Hasyim pun limbung. Tanpa Abu Thalib, mereka tak bisa menjamin keselamatan Muhammad di Makkah. Masa inilah yang kemudian dikenal dalam sejarah sebagai Tahun Kesedihan. Dua tahun berselang, Muhammad yang setahun sebelumnya dipertemukan waktu dengan enam orang penduduk Yastrib (Madinah) dan membuat Perjanjian Aqabah, hijrah ke Madinah ditemani Abu Bakar ra, sahabatnya. Sementara di Makkah, 12 orang pemuda terbaik Quraisy hampir saja menghabisi nyawa bocah Ali bin Abi Thalib ra yang dengan gagah berani tidur di ranjang sepupu tuanya—yang sedang beranjak keluar Makkah bersama Abu Bakar ra.

Setelah mukim di Madinah, Islam tumbuh pesat pascaPerang Badr yang dimenangkan kaum Muslim. Pamor Islam pun terangkat di seantero Semenanjung Arabia. Satu per satu suku yang bertikai di Madinah berdamai setelah tiga suku Yahudi terbesar di sana, Khajraj, Nadir, Qainuqa, diusir keluar. Semua di bawah sumpah Muhammad yang mereka puja. Pelarian Makkah ini malah beroleh simpati berlebih di kotanya yang baru. Bahkan ketika sepuluh tahun kemudian Muhammad memimpin Fath al-Makkah (Pembebasan Makkah) bersama 10,000 tentara Muslim, Abu Sufyan yang cerdas dan telah menjabat sebagai penguasa Makkah, takjub bukan kepalang. Ia sama sekali tak bisa mencandra bagaimana seorang gembala bisa berubah sedemikian cepat menjadi raja di Jazirah Arabia.  

Agama Cinta
KETIKA Muhammad hampir tiba di ujung kerja kenabiannya pada 632 M, seluruh suku di Arabia selatan praktis menjadikannya raja. Warisan etos Islam yang ia tinggalkan di atas landasan cinta hidup dan mati, terus merangsek ke Syam, Damaskus, Kufah, Basrah, Iraq, Andalusia (Spanyol) Mesir, selatan Afrika hingga ke samudra terjauh, Nusantara. Tonggak kampiun Islam benarbenar terjadi manakala Sultan Fatih meremukkan Byzantium dan merebut ibukota mereka, Konstantinopel pada 1453 M. Fatih jadi pewujud ramalan Muhammad Saw yang adalah kakek buyutnya—satu alaf sebelum ia menjadi sultan Turki Ustmani.   

           Muhammad yang ummiy ini, telah berhasil merangkum dan memadukan dua ajaran pendahulunya (Musa as dan Isa as), dengan Kaidah Emas kemanusiaan—yang isinya beririsan dengan Sepuluh Perintah Tuhan sebagaimana terekam dalam Kitab Keluaran 20: 2-17 dan Ulangan 5:6-21;
Aku adalah tuhan di hadapanmu.
Janganlah engkau membuat bagimu patung, atau yang menyerupai apa pun hal yang ada di langit, atau yang ada di bumi, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
Janganlah engkau menyebut nama Allah Tuhanmu secara percuma.
Ingatlah hari Sabath (Sabtu), dan kuduskanlah enam hari engkau bekerja dan lakukanlah segala pekerjaanmu.
Hormatilah ayah-ibumu.
Janganlah engkau membunuh.
Janganlah engkau berzinah.
Janganlah engkau mencuri.
Janganlah engkau mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.
Janganlah engkau menginginkan rumah sesamamu, istri sesamamu, atau hamba lelakinya, atau hamba perempuannya, atau lembunya, atau keledainya, atau apa pun yang dimiliki tetanggamu.

Sebelum dan pascakenabian, Muhammad punya antusiasme berlebih pada kemanusiaan. Ia gemar bermain pada anak kecil, terutama pada cucunya sendiri. Sejarahwan mencatat kebiasaannya yang sering memanggul Umamah, cucu perempuannya, menuju ke masjid saat shalat Shubuh. Bahkan di dalam shalat pun, Umamah tetap ia biarkan di bahunya hingga shalat tuntas dilaksanakan. 

Selain mengagumi anak kecil, Muhammad juga gemar bersenda gurau dengan tigabelas orang istrinya. Riwayat termasyhur terkait ini adalah kisah tentang perlombaan larinya dengan ‘Aisyah binti Abu Bakar ra. Suatu kali, saat ‘Aisyah masih belia dan cekatan, beliau mengajaknya berlomba lari yang kemudian dimenangkan oleh istrinya. Lalu beliau pun berseru. “Kelak nanti aku akan membalasnya.” Bertahun kemudian, setelah tubuh ‘Aisyah tak lagi langsing, Muhammad kembali mengajaknya beradu lari. Hasilnya, Muhammad keluar sebagai pemenang dan dengan bangga berkata, “Kemenangan ini untuk membalas kekalahanku waktu itu.”

Dua kebiasaan Muhammad tersebut, terasa “ganjil” bagi masyarakat Arab kala itu. Keganjilan ini, masih ia lengkapi dengan menjadikan senyum sebagai ibadah. Hal sederhana yang memang menjadi ciri khasnya. Muhammad adalah pemilik senyum terindah yang pernah dianugerahkan tuhan pada manusia. Perkara senyum ini pun menemu monumennya dalam sebuah kisah. Ada seorang Yahudi yang kecanduan meludahi Muhammad dari atas balkon rumahnya saat sang nabi melintas di bawah. Alihalih marah atau membalas, Muhammad malah menyunggingkan senyum menawannya pada si Yahudi.

Hingga pada suatu hari, si Yahudi absen meludahi Muhammad—yang dengan serta merta malah mencarinya. Setelah beliau menyelidik, ternyata si Yahudi sedang sakit dan meringkuk di ranjang. Tanpa berpikir panjang, Muhammad malah menjenguk dan mendoakan kesembuhannya. Di luar dugaan, akhlak terpuji ini kemudian membuat si Yahudi membuka hatinya untuk Islam. Ya, Al-Quran yang dibawa Muhammad telah dengan sangat tegas menafikan hukum Taurat, “Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi.” Muslim lebih diperintahkan menahan diri dari berselisih pun berperang, dan sebisa mungkin berada pada posisi terdepan sebagai pengampun dan pemberi maaf.   

Kendati Muhammad adalah penyayang keluarga, tapi nyaris seluruh hidupnya tersita untuk umat yang sedang ia bina. Manusia agung ini tak memiliki rumah. Di mana pun ia berada, selalu saja ada yang merubung. Meski ketika ia telah tiba di pondokan para istrinya. Halaman pondok mereka kerap disesaki oleh kuda dan unta milik tetua suku Badui yang datang menyambangi Muhammad. Baik itu bersifat meminta perlindungan maupun berdiplomasi terkait perselisihan mereka dengan Abu Sufyan, penguasa ibunya ibukota Arab, Makkah.

Pada Senin pagi, 12 Rabiul Awal (8 Juni 632), Muhammad Sang Nabi tak kuasa lagi memimpin shalat Shubuh. Abu Bakar ra beroleh kesempatan darinya memimpin shalat berjamaah. Para sahabatnya bisa merasakan apa yang sedang dipendam Muhammad, apalagi mereka baru saja melaksanakan Haji Wada’ (Haji Perpisahan). Mungkin itulah shalat paling dramatis yang terjadi sepanjang Masjid Nabawi berdiri. Abu Bakar ra dan para sahabat lain, tak kuasa menahan lelehan airmata. Ada sesak yang bersarang di dada mereka kala itu.

Sepulang dari shalat, Muhammad merebahkan kepalanya di pangkuan Fatimah az-Zahra ra dan menitip pesan singkat yang jelas ia tujukan pada umatnya:
"Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, Sunnah dan Al-Quran. Sesiapa yang mencintai Sunnahku, berati mencintaiku dan kelak orangorang yang mencintaiku, akan bersamasama masuk surga bersamaku."

Fatimah ra sepenuhnya mengerti bahwa ayahnya sedang berusaha melepas napas terakhirnya satu demi satu. Hingga ia pun menyadari, sahabat para malaikat itu telah dijemput pulang oleh Izrail as dan Jibril as menuju kekasihnya ke Sidrat al-Muntaha. Madinah pun gempar. Para perempuan menangis meratap. Umar bersikukuh meyakini sahabatnya tak mungkin mati. Pada hari yang agung itu, Madinah dilambari cahaya redup matahari dan isak tangis memilukan penduduknya. Anshar dan Muhajirin kehilangan pegangan.

Namun masa berkabung tersebut tak berlangsung lama. Abu Bakar ra tampil menggantikan Muhammad Saw yang telah mangkat. Suatu kali ia menyambangi Fatimah az-Zahra ra, bunga indah keluarga sahabatnya, dan bertanya, “Ya Fatimah, adakah amalan ayahmu yang mungkin belum sempat kulakukan?”
“Ada,” sahut Fatimah.
“Apakah itu,” buru Abu Bakar ra.
“Kau takkan mampu meniru dan melakukannya.”
“Sebegitunya kah? Tapi amalan apa itu duhai, Fatimah?”
“Ayahku selalu mengunjungi seorang pengemis buta Yahudi yang ada di pasar dan menyuapinya—setelah mengunyahkan makanan itu dengan mulutnya sendiri. Meskipun si pengemis itu kerap memakinya.”
Subhanallah ... Baiklah, aku akan melakukannya besok.”

Keesokan hari, berangkatlah Abu Bakar ra ke pasar yang dimaksud Fatimah ra. Di salah satu sudut pasar, ia mendapati seorang pengemis buta sedang menanti belas kasihan para pelintas. Sambil menahan lelehan airmata karena teringat kemuliaan sahabat sekaligus kekasihnya, Abu Bakar ra pun menghampiri si pengemis.
“Siapa kau?” tanya si pengemis.
“Aku sahabatmu, yang biasa menyuapimu makan,” jawab Abu Bakar ra.
“Demi tuhan, ke mana saja kau selama ini? Aku mengkhawatirkanmu dari tipu daya Muhammad si pendusta itu. Kau harus berhatihati padanya.”
Mendengar umpatan si pengemis, airmata Abu Bakar ra pun tumpah ruah. Ia terisak sambil menyembunyikan suara tangisnya.
“Aku lapar. Adakah kau membawakanku makanan?” tanya si pengemis.
Abu Bakar yang sedang terisak pilu itu pun, mulai mengunyahkan makanan yang ia bawa, lantas menyuapkannya pada si pengemis—yang seketika malah memburunya dengan pertanyaan.
“Benarkah kau sahabatku yang baik hati itu?”
“Ya, aku sahabatmu.”
“Bukan! Kau pasti bukan dia. Makanan yang kau kunyahkan tak sehalus yang ia kunyahkan untukku. Tanganmu juga tak selebut tangannya,” sergah si pengemis.
Sontak tangis Abu Bakar ra meledak. Ia tak kuasa lagi menutupi kesedihannya di hadapan pengemis buta Yahudi itu.
“Hei, kenapa kau menangis?”
“Maafkan aku. Kau benar, aku memang bukan sahabatmu yang baik hati itu. Aku datang untuk menggantikannya.”
“Memangnya ke mana dia? Apakah dia baikbaik saja”?
“Sahabatmu yang baik hati itu telah meninggal, kemarin. Ia adalah Muhammad Saw, orang yang selalu kau caci-maki tanpa tedeng alingaling ...”
“Apa katamu? Jadi selama ini aku mencaci orang yang telah mengasihiku sedemikan lembut?! Alangkah celakanya hidupku! Ternyata apa yang ia sampaikan benar. Muhammad sabahatku memang seorang nabi. Maka mulai hari ini, aku mengikrarkan diri jadi pengikutnya dan semoga Allah mengampuni  semua dosaku.” 

Adegan paling memilukan sepeninggal Muhammad Saw adalah ketika tiba waktu shalat. Bilal bin Rabbah ra, pria berkulit hitam asal Afrika dan pemilik suara emas yang biasa mengumandangkan azan, tak sanggup lagi menunaikan tugasnya. Posisinya semasa Muhammad masih hidup tak tergantikan oleh siapa pun, kecuali saat perang, atau keluar kota. Karena ia nyaris tak pernah berpisah dengan Sang Nabi, kemana pun beliau pergi. Kepergian Muhammad jelas memukulnya hingga ke ulu hati.

Dua sejarahwan Islam terkemuka, Thabari dan Ibn Ishaq merekam peristiwa ini dengan amat sangat indah. Ketika Khalifah Abu Bakar ra meminta Bilal menjadi muazin kembali, Bilal ra berkata dengan hati pilu nan sendu, “Biarkan aku jadi muazin Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan muazin siapa pun lagi.”

Abu Bakar ra terus mendesaknya, dan Bilal pun bertanya: “Dahulu, ketika engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf, apakah engkau membebaskanku karena dirimu atau karena Allah?” Abu Bakar ra hanya terdiam.
“Jika engkau membebaskanku karena dirimu, maka aku bersedia jadi muazinmu. Tetapi jika engkau membebaskanku karena Allah, maka biarkan aku dengan keputusanku.” Abu Bakar ra pun tak bisa lagi mendesak Bilal ra agar kembali mengumandangkan azannya.

            Tak lama berselang, sebab kesedihan ditinggal Muhammad Saw yang mengendap dalam  hati Bilal ra, ia pun pergi meninggalkan Madinah. Mengikuti pasukan Fath al-Islam menuju Syam, dan kemudian bermukim  di Homs, Syria. Setelah sekian lama Bilal ra tak mengunjungi Madinah, suatu malam, Muhammad Saw hadir dalam mimpinya dan menegur, “Ya Bilal, wa maa hadzal  jafa’?: Hai, Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?”

Bilal pun bangun dalam kondisi terperanjat. Ia segera mempersiapkan perjalanan ke Madinah, demi menziarahi kekasihnya. Setiba di Madinah, Bilal ra yang sudah beranjak tua, tersedu sedan melepas rasa rindunya di makam Muhammad Saw. Saat itu, datang dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Mereka adalah cucu tersayang Nabi Saw, Hasan ra dan Husein ra. Bilal ra yang sedang dirundung pilu pun memeluk kedua cucu kekasihnya itu. Salah satu dari keduanya lantas berkata, “Paman, maukah engkau mengumandangkan azan untuk kami, sekali saja? Demi mengenang kakek kami.” Umar bin Khattab ra yang telah jadi khalifah dan turut melihat pemandangan mengharukan itu, juga memohon agar Bilal ra berkenan mengumandangkan azan lagi.

Demi menghormati masamasa indah yang telah ia lalui bersama Nabi, Bilal ra pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat tiba, ia naik ke tempatnya dulu biasa mengumandangkan azan. Saat lafaz ‘Allahuakbar’ ia kumandangkan, mendadak seluruh Madinah senyap. Segala kegitan terhenti. Seluruh penghuni kota terkejut mendengar suara yang telah bertahuntahun hilang dan begitu dirindukan, telah kembali. Ketika Bilal ra mengumandangkan ‘Asyhadu an laa ilaha illallah,” penduduk Madinah berlarian ke arah sumber suara sembari mengucap takbir, bahkan para gadis dalam pingitan pun keluar dari rumahnya.

Saat Bilal ra mengumandangkan ‘Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah,’ Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan memilukan. Semua menangis, teringat masamasa indah bersama Nabi, dan Umar bin Khattab ra adalah yang paling keras tangisnya. Sementara Bilal ra, tak sanggup meneruskan azan. Suaranya tercekat di tenggorokan. Airmatanya jatuh berderaiderai.

Hari itu, Madinah kembali mengenang masa indah saat Muhammad Saw masih menjadi bagian penting di sana. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti beliau di oasis ini. Azan yang tak bisa dirampungkan itu, adalah azan terakhir Bilal ra. Ia tak pernah bersedia lagi mengumandangkan azan, sebab kesedihan yang segera mencabikcabik hatinya mengenang seseorang yang telah mengangkat derajatnya begitu tinggi.

Apa yang dilakukan Bilal ra dan seluruh penduduk Madinah, sejalan dengan Hadis sahih Bukhari urutan ke-15 berikut ini:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Dari Anas ra ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, "Tidak sempurna keimanan seseorang di antara kalian hingga ia lebih mencintaiku daripada kedua orangtuanya, anaknya, dan semua manusia."

Fakta yang tak bisa dibantah hingga hari ini adalah, ajaran Islam warisan Muhammad Saw telah menjadi agama dengan penganut terbesar di planet biru kita. Jumlah penduduk dunia pada 2013 adalah 7,021,836,029 jiwa, dengan sebaran agama: Islam 22,43%, Kristen Katolik 16,83%, Kristen Protestan 6,08%, Orthodok 4,03%, Anglikan 1,26%, Hindu 13,78%, Buddha 7,13%, Sikh 0,36%, Yahudi 0,21%, Baha’i 0,11%, lainnya 11,17%, Non-Agama 9,42%, dan Atheis 2,04% (www.30 days.net, 2014).

Sebagai negara, Indonesia adalah lokus Islam terbesar dunia. Pada 2010, penganut Islam di Indonesia sekitar 205 juta jiwa atau 88,1 persen dari total jumlah penduduk. Muslim di Indonesia juga dikenal dengan sifatnya yang moderat dan toleran (Kompas, 2012). Ada begitu banyak Muslim di dunia ini yang rela mati demi memperjuangan agama Muhammad Saw. Menyanjung dan menghormatinya setinggi langit. Menjaga peninggalannya sebaik mungkin. Termasuk melestarikan ajarannya dalam praktik maupun dalam lembaran kertas. Ya, buku tentang sosok agung ini memang sudah tak terhitung jumlahnya.

            Armstrong menulis dalam bukunya Muhammad: Prophet Out Time (2007), “Muhammad secara paradoks menjadi sosok pribadi yang tak lekang oleh waktu justru karena beliau begitu berakar dalam periodenya sendiri. Kita hanya bisa memahami pencapaian ini jika mau mengerti apa yang dihadapinya pada saat itu. Agar dapat melihat sumbangsih apa yang bisa diberikannya atas kesulitan yang sedang menimpa kita saat ini, kita mesti memasuki dunia tragis yang menjadikannya nabi hampir seribu empat ratus tahun silam, di puncak sebuah gunung yang sepi, tak jauh dari tepian kota suci Makkah.”

Muhammad Saw memang telah tiada lima belas abad silam. Tapi dari Kota Tuhan yang telah dihidupinya, ia telah membangun imperium Islam dunia sekaligus menyiapkan pranata masyarakat global, hari ini. Ditilik dari segi mana pun, nyaris tak ada alasan yang bisa membantah jika sejarah manusia telah mencatatkan nama Muhammad Saw sebagai spirit zaman. Kita berutang telalu banyak pada sosok agung yang sangat dicintai penduduk bumi dan penghuni langit ini. []


No comments:

Post a Comment

Total Pageviews