Mengukir Pasir di Atas Air


SEKARANG tiba saatnya menggunakan pandangan mata elang. Satu jenis pandangan yang hanya akan sebelah-menyebelah saja, takkan mungkin terlihat utuh, karena sejatinya, hanya ada dua manusia yang sedang mencoba menjadi satu. Menjadi apa yang sama-sama mereka harap dan mimpikan sepenuh hati. Selaiknya sebuah cerita, maka ia harus menemui persimpangan yang akan saling menyilang jalan, bagi siapa saja yang melaluinya. Begitulah cara hidup ini menggaris wajah manusia detik ke detik. Secara pasti dan meyakinkan.
            Setelah hari pengakuan dosa itu akhirnya terjadi dan dilewati hampir setahun lamanya, Galat tak lagi bisa memberikan secuil pun cinta pada Nadira dan kedua anak mereka, Lingga dan Prameswari. Kini bukan hanya ranjang mereka yang kesepian ditinggal tuannya, rumah mungil itu juga ikut menggigil kedinginan akibat ruang yang membeku di setiap inchi. Pintu depan sudah sangat jarang diberi kesempatan terbuka. Cat di tembok rumah sudah mengelupas pelahan. Sebagian lumut mulai merambati tembok yang malang itu, karena si pemilik rumah tak lagi terusik oleh keberadaannya.
            Daundaun jendela dibiarkan menganga, bahkan hingga malam datang menjelang. Galat sudah tak sanggup menyentuh istrinya meski itu hanya sekadar kecupan hangat di garis kening. Ada begitu banyak waktu yang mereka biarkan berlalu dalam sendu. Tak lagi ada yang bisa diceritakan saat malam turun ke bumi. Jalinan ikatan keduanya mulai mengendur digerus masa lalu yang telah porak poranda. Galat hanya tahu bahwa di hatinya kini, telah bersarang segumpal amarah yang tak tahu harus dilampiaskan pada siapa. Amarah yang terpendam itu sudah memasuki titik didih, siap meledak, dan hanya tinggal menunggu waktu saja.
            Galat tak ubahnya seperti zombie yang diberi kesempatan hidup berkeliaran, tapi tak diberi hak lagi untuk mencecap rasa, menikmati indahnya pengalaman berbagi apa saja bersama Nadira. Ia sudah mati sebelum mati. Rambutnya tak lagi tertata rapi. Cambang dan janggut di wajahnya mulai memanjang tak beraturan. Wajah itu pun jadi tirus dan kusut masai. Hantaman derita yang ditanggungnya, membuat hidup yang selama ini menyenangkan, tak ubahnya malam gelap tanpa rembulan. Gelap yang berkepanjangan.
            Tubuhnya menciut dimakan derita mendalam itu. Kaki dan tangannya seolah lumpuh. Sementara ia harus merelakan diri kehilangan begitu banyak hal yang selama ini telah dimiliki dan menjadi kebanggaannya secara pribadi. Kedua anaknya yang lucu, bukan lagi hiburan sejati seharihari. Mereka masih terlalu dini untuk mengetahui skenario model apakah yang sedang diperankan oleh kedua orangtuanya. Anakanak tak berdosa itu, terpaksa harus terseret masuk dalam arus balik rumahtangga orangtua mereka, yang tak lagi bisa dikendalikan.
Sesekali, ia pergi dari rumah dan tak kembali barang dua-tiga hari. Melupakan anak-istrinya yang hanya bisa menangis dalam hati. Sepanjang hari ia hanya berjalan dan terus berjalan. Menapaktilasi segala yang pernah ia lalui sejak awal keluarga yang ia bangun, berdiri tegak di masyarakat. Namun malang tak bisa ditepis. Aib yang sudah terbuka bagai kotak Pandora dari Yunani itu—telah menebarkan aroma busuk kejahatan manusia yang kini lekat dalam keluarga kecilnya. Aroma yang bahkan sudah menguar hingga di pekarangan rumah mereka.
Elan vital yang sudah ia pupuk dengan susah payah, seketika lenyap tak tentu rimbanya. Ke mana pun ia menyapu pandangan, wajah ayahnya adalah gambaran paling tegas dari yang bisa ia lihat secara grafis dalam ingatannya. Ia adalah simbol pertarungan mematikan antara sebuah kepercayaan dengan pengkhianatan yang niscaya. Seperti semua manusia yang memang sama lemahnya, ia masih terus mencari langkah termudah untuk bisa lepas dari rumah duka yang hanya bisa menyanyikan sebuah ode kepedihan sepanjang waktu.
Kini ia tak lagi bisa memahami apa itu yang disebut dengan kepercayaan, kasih, dan sayang. Kepercayaan sudah menjadi barang antik yang harganya selangit. Apalagi ceritanya dengan kasih-sayang? Setali tiga uang. Kepercayaan yang telah ia semai baikbaik selama ini, rusak sudah karena ulah sang ayah. Sejarah memaksa mereka menjadi sekeping mata uang yang kedua sisinya saling melengkapi. Sementara kasih-sayang untuk keluarga kecilnya, menguap jadi kabut gelap yang pekat. Setiap kali menjejakkan langkah, tercium aroma pengkhianatan yang begitu menyakitkan. Ia masih tak sanggup membayangkan jika semua yang terjadi itu, ternyata sudah dan sedang berlangsung dalam hidupnya.
Bebungaan yang dulu bermekaran di taman hatinya, juga layu begitu saja. Tangkainya rapuh digerogoti pilu. Batangnya busuk menjelang mati. Akarakar yang mengidupinya selama ini, bergegas menjadi kenangan paling menyakitkan yang mengenangnya pun tak pernah ia rencanakan samasekali. Hidup jadi sebegitu keras. Tiada berwarna. Relungrelungnya tak lagi bisa dimasuki sesuka hati. Di sepanjang jalan yang masih diketahuinya sebagai kenangan, ia punguti satu-persatu harapan yang sudah beku ditikam waktu.
Harapan yang sudah berceceran di sepanjang jalan itu, mungkin jadi petanda paling mudah baginya untuk meyakini bahwa, semua yang coba ia pertahankan hanya kesiasiaan paripurna. Tak ada satu pun jaminan untuk bisa mengulangnya bersama waktu. Andai pun itu bisa dilakukan, ia harus bersiap lagi untuk mundur teratur ke belakang sana, lalu terluka untuk kali yang kedua. Namun bila ingin tetap menatap jauh ke depan sana, bayanganbayangan buruk mulai menghantui pikirannya. Tentang ia yang gagal mengurusi anak-istri; atau tak becus menjadi lelaki; mungkin juga manusia yang hidupnya sangat tidak berguna. Jika sudah begitu kondisi yang terbayangkan, ia hanya punya dua pilihan paling masuk akal: lari dari kenyataan atau mengakhiri semua dengan kematian.
Melarikan diri bersama kenyataan pahit, memang bukan pilihan yang menyenangkan. Tapi membayangkan kematian mengambang di depan mata juga jelas sama peliknya. Ia memang terlahir sebagai lelaki yang kerap gagal mengambil keputusan. Tak pernah berani mengambil resiko apa pun yang ditawarkan hidup padanya. Bagi lelaki kita ini, ia harus tetap memelihara masa depan dalam benaknya, tapi selalu gagal membayangkan bagaimana masa depan itu pelahan tercipta, jika kondisi yang dialami harus segetir ini.
Rumah rapuh yang ia diami hari ke hari, tak lagi sanggup ia topang sendirian. Istrinya sudah tak peduli dengan semua yang terjadi padanya—karena ia sendiri pun selalu abai dengan rangkaian ingatan biografis di belakang sana. Meski sama-sama membungkam mulut dan semakin sulit berbagi, sebenarnya mereka masih menunggu ada keajaiban yang akan datang melalui bahasa yang tak lagi diwakili kata. Keajaiban yang akan menyiram kemarau setahun dan menghapus jejak luka dalam hidup mereka. Tapi keajaiban tinggal jadi mimpi belaka. Ia takkan pernah datang sampai kapan pun. Sebab hidup bukan soal melangkah dan berhenti sejenak untuk menarik napas, tapi perkara memamah luka menjadi kebahagiaan sejati.
Malam di Ciputat mulai menanjak menuju dini hari. Seekor burung hantu bertengger di batang pohon kamboja tua. Matanya menyapu ke sekeliling Taman Pemakaman Umum Cimanggis. Menambah kesan misteri dari suasana yang lengang. Kosong melompong. Seorang lelaki usia 30-an baru saja masuk ke kompleks pemakaman itu. Tak ada satu pun orang di sekitaran taman pemakaman yang peduli, apa yang sebentar lagi akan terjadi pada salahsebuah makam yang ada di situ. Makam yang di dalamnya dulu, dikebumikan seorang korban kecelakaan lalu lintas dengan tubuh hancur luluh. Kini, gundukan di makam itu sedang dicangkuli oleh anak si ahli kubur, lelaki itu. Wajahnya merah padam dengan gigi gemeretakan. Segenap tenaga ia kerahkan demi membongkar makam itu secepatnya.
Setelah hampir satu jam melakukan penggalian, akhirnya si penggali menemukan apa yang ia inginkan: selembar kain kafan dan seonggok tulang-belulang ayahnya sendiri. Saat pagi tiba, ratusan warga di sekitar heboh menyaksikan kuburan yang dibongkar itu, telah terisi penuh oleh air warna darah. Sejak malam itu, ia tak pernah lagi kembali ke rumahnya, juga tak mau tahu tentang kabar anak-istrinya. Bersama kain kafan usang dan seonggok tulang sang ayah, ia terus berjalan ke mana kaki melangkah. Jika malam datang, kafan itu adalah selimutnya. Bila siang, tulang-belulang itulah teman bicaranya sepanjang hari. Sejak malam itu pula, ia telah melakukan sebuah perhitungan kepada sang takdir, yang membawanya pada sebuah kenyataan tentang hidup dalam nista dan kehinaan. Tanpa masa lalu, dan masa depan.


LIMA tahun sudah bahtera mereka berlayar di samudera luas yang tak bertepi. Lima tahun lamanya mereka sama mengukir janji di atas ikatan yang suci. Lima tahun yang seolah berjalan seperti lima abad. Lebih dikarenakan ada begitu banyak masa lalu mereka yang belum terselesaikan, dan terus mengendap dalam ingatan. Mereka, selalu bersitegang jika masa lalu itu dikeruk bersama dari kedalaman sejarah keluarga masingmasing. Dua keluarga yang tak ubahnya air dan api. Saling membakar tapi menyiramnya lagi. Nampak serasi memang. Tapi itu hanya di permukaan. Cinta mereka benarbenar tak bisa ditakar berdasar kuantitas. Pun tak bisa dikatakan berkualitas. Setelah ditinggal pergi oleh suaminya, ia semakin tak tahu terbuat dari apakah cinta itu sejatinya?
Semua bermula dari hantu yang datang dari masa lalu, yang terus mendekam dalam pikirannya selama bertahuntahun. Hantu yang sanggup mencekat tenggorokannya dari berkata-kata. Merasuk dalam setiap tetes darah, dan dengan gagah berhasil merusak semua yang awalnya bahagia. Hingga tanpa ia sadari, hantu itulah yang terus menemaninya ke mana saja ia melangkah. Ke masa lalu atau ke masa depan. Hilir mudik tak tentu arah. Dibanding ketakutannya pada kematian, hantu itu jauh lebih beralasan untuk ditakuti. Bukan perkara sosoknya yang menyeramkan, tapi karena ancaman perpisahan yang ditebarkannya di setiap ruang di rumah mereka.  
Rumah kecil yang sekarang teronggok sepi itu, sedang disiram gerimis dalam requim yang indah. Rinainya jatuh sempurna di atap yang tak lagi mampu menahan panas, tak lagi bisa menolak dingin menusuk udara malam. Rumput teki yang tumbuh liar di pekarangannya, bernyanyi riang menyambut gerimis yang datang. Meski bukan hujan, gerimis juga sudah cukup berarti untuk membasahi kering kerontang berkepanjangan. Hingga hari menjelang dini, gerimis tetap setia bertahan tanpa membawa hujan. Membuat malam kuyup dan menggigil sendiri.
Sambil terus menghitung gerimis di malam itu, ia teringat akan dongeng Shalem yang dulu pernah ia ceritakan pada kedua anaknya. Sebuah dongeng indah yang bercerita tentang pahitnya hidup yang terbuang. Kini dongeng itu telah mencukupkan dirinya mewujud dalam hidup yang nyata. Ia baru tersadar bahwa dongeng itu tak ubahnya sebuah ramalan yang ia sampaikan sendiri pada buah hatinya, terutama pada anak lelakinya yang entah sampai kapan harus kehilangan ayahnya. Anak lelaki yang masih terlalu ranum itu tentu tak tahu, akan seperti apa susah dan beratnya kelak menjawab pertanyaan tentang, “Siapa ayahmu dan ke mana ia sekarang?”
Pohon kamboja di pekarangan yang mulai menyemak, masih tampak seperti dulu. Tetap kecil tapi juga tidak membesar. Persis seperti harapan yang ia miliki selama ini. Pohon itu, telah dengan setia menyaksikan keluarganya tumbuh menuju kehancuran. Lembar demi lembar daunnya telah mencatat dengan baik apa yang selama ini sudah terjadi di dalam rumah yang kini hampa. Menyaksikan pohon itu tumbuh kesepian, ia seperti melihat bagaimana keluarga yang ia bangun kerap diwarnai sunyi berkepanjangan.
Demi mengusir sepi yang terus merambat di tiap jengkal rumahnya, sesekali ia berusaha memetik rindu dari dedaunannya yang mulai meranggas. Rindu pada ibu. Pada masa lalu. Pada kebahagiaan sejati. Ia yakin betul, ada banyak rindu yang melekat di dedaunannya. Rindu dendam yang kini telah membuatnya terpuruk hingga ke titik nadir. Ia jelas merindukan suaminya yang dulu. Lelaki yang semula tidak ia cintai sepenuh hati, terlupakan, terpinggirkan, tapi ternyata benarbenar ia butuhkan kehadirannya. 
Menyadari himpitan derita yang kini ia alami, sekali waktu sempat terbit dalam benaknya untuk pergi menyambangi Sungai Januari di barat sana. Lalu menceburkan diri di dalam arusnya, dan hilang sempurna ditelan Laut Jawa. Tapi setiap kali keyakinan buta itu menyeruak masuk dalam pikirannya, suara tangis anak lelakinya selalu berhasil membatalkan niatan itu. Selalu begitu di sepanjang waktu tersulit yang harus ia lalui. Sungai Januari hanya tinggal menjadi sungai belaka. Sungai yang telah dengan cukup anggun menjadi saksi bisu dari berjalannya sebuah takdir dua anak manusia yang hatinya tergiris luka mendalam. 
Kini, setahun sudah ia ditinggal begitu saja oleh suaminya—yang pergi tanpa pesan. Memikirkan apa yang sedang ia lakukan dan apa yang sedang terjadi pada sang suami, sama pentingya dengan memikirkan masa depan kedua anak mereka. Dari 12 bulan yang ada, Desember punya arti penting bagi keluarganya. Itulah bulan di mana ayah mertuanya pergi meninggalkan istrinya, demi menghapus jejak masa lalu yang ia toreh bersama seorang perempuan lain. Jauh di lubuk hati, ia mengamini sendiri apa yang sekarang dilakukan suaminya, tak jauh beda dengan yang dulu dilakukan oleh ayahnya. Entah kini ia juga sedang berada di pelukan perempuan lain dan sudah merengkuh hidup baru bersama perempuan yang telah ia temukan itu. Pikiran buruknya terus berkecamuk tak terkendali, terutama bila mengingat lelaki dari masa lalu yang kerap datang ke dalam mimpi suaminya
Lelaki itu, yang berulang kali menjadi sumber pertikaian mereka, memang sudah tak lagi ada di dunia yang masih ia hidupi kini. Namun bekas yang ditinggalkannya, terus tumbuh besar. Ia tak tahu bagaimana harus menyebut anak kedua yang telah ia lahirkan itu. Menganggapnya sebagai anak haram, jelas bukan jawaban bijak. Tapi menerimanya dengan dada lapang, masih terasa berat untuk ditimbang. Kendati naluri keibuannya lebih kuat untuk merawat anak itu dengan segenap cinta dan kasih-sayang yang tersisa dalam dirinya.
Ibarat sebuah pohon, sebagai seorang ibu, ia adalah tempat bernaung kedua anaknya sampai kapan pun juga. Bahkan ketika mereka juga telah melahirkan anakanaknya sendiri. Dengan segala kebijaksanaan, ketulusan, dan ketabahan hati, hanya ibu yang sanggup menanggung beban derita dan keluh-kesah anak-anaknya, sambil tetap menyembunyikan derita yang ia alami nun jauh di dasar hati. Hanya ibu yang rela berbagi nyawa pada anak-anaknya tanpa terkecuali, demi mempertahankan sebuah kehidupan yang dulu pernah ia perjuangkan matimatian. Pilihan itulah yang kini mulai disadarinya. Sekarang ia benarbenar sadar dan memahami, apa arti seorang perempuan dalam hidup ini.
Berdasar kesadaran baru itulah, ia mulai memupuk lagi spirit hidupnya yang hampir meredup. Setidaknya, ia masih meyakini sepenuh hati, bahwa harapan harus selalu dipelihara, disirami, agar senantiasa subur sepanjang masa. Sebab di depan sana, sejauh mata memandang di batas cakrawala kehidupan, masa depan belum lagi terkubur. Ada sebuah tanjung di samudera biru hidup ini yang tetap setia menanti siapa pun manusia yang menghidupinya, untuk menjemput impian dan membawanya bersama secercah cahaya terang. Itulah yang disebut Tanjung Harapan.
Hidup yang sudah sebegitu keras ia alami, takkan pernah berhenti melahirkan cerita-cerita baru, menguntainya, dan mengantarkan semua cerita itu hingga titik akhir. Pada kematian yang sudah menunggu dengan tekun, dan selalu datang tepat pada waktunya. Kini ia tak lagi mengagumi senandung kisah tentang Juni yang indah, karena ternyata semua kisah anak manusia, indah dalam perjalanannya. Hanya mereka yang hatinya gelap tersaput awan hitam sajalah yang takkan pernah bisa mengamini seberapa indah sejatinya hidup ini.
Pelahan ia bangun dari mimpi buruk yang sudah teramat lama bersarang dalam ingatannya. Lalu ia menyibak mimpi itu dengan penuh khidmat. Sebagai langkah awal dari hidup baru yang sudah siap untuk ditatah. Jika sebagian besar manusia menganggap mimpi tak lebih dari tidur yang berbunga, ia mengambil pilihan berbeda. Baginya, mimpi adalah bagian penting kehidupan yang harus diberi penghormatan mendalam. Karena sebuah mimpi, telah berhasil mengantarnya pada sebuah babak baru kehidupannya yang nampak musykil, karena ia seolah sedang mengukir air di atas pasir. Detik itu juga ia memutuskan kembali melangkah ke masa lalu, demi membereskan beragam kisah yang masih silang sengkarut.

HANYA sepelemparan batu dari Monumen Nasional, berdiri sebuah bangunan tua bergaya Art Deco bercampur Art Nouveau, yang dulu dialamatkan sebagai tempat peristirahatan terakhir para pembesar Batavia dan beberapa tuan tanah Tionghoa. Jan Pieterzoon Coen yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pun, mau mendiami tempat ini—setelah makamnya dipindahkan dari Gereja Nieuw Hollandsche Kerk di sisi barat Stadhuis, yang masing masing kini terkenal sebagai Museum Wayang dan Museum Fatahillah.
Selain JP Coen, ada juga JHR Kohler, jenderal penakluk Aceh; AV Michiels, tokoh militer Belanda yang merebut Buleleng, Bali; Dr. HF Roll pendiri STOVIA (sekolah kedokteran zaman Belanda); Olivia Marianne Raffles yang kecantikannya melegenda di Kebun Raya Bogor; tokoh opera era 1930-an, Miss Riboet; dan Soe Hok Gie si pejuang muda, yang sempat dimakamkan di sini pada 1967. Semua nisan yang tertancap di pemakaman, terukir rapi dan indah, serta dibuat berdasar ciri dari orang yang dikebumikan. Roll misalnya, yang nisannya dibentuk seperti sebuah buku, adalah perwujudan terimakasih Pemerintah Hindia Belanda akan jasanya semasa hidup sebagai tokoh pendidikan.  
Setelah mengarungi waktu yang teramat panjang sedari 28 September 1795, kini masyarakat Jakarta lebih mengenal tempat yang dulu bernama Kerkhof Loan itu sebagai Museum Taman Prasasti. Di dalam areal yang dihibahkan oleh WV Halventius, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-29 itu, terdapat sebuah taman. Dari dekorasinya terang sekali taman ini mengikuti gaya pemakaman para pembesar dunia di Champ du Ellysse, Paris. Di bagian tengah terdapat sebuah kereta kencana yang dulu pernah begitu angkuh melenggang di atas jalanan Batavia, dan membuat kaum pribumi hanya bisa menelan ludah menatap keanggunannya. Ada juga beberapa lampu taman. Dipasang bebarengan dengan bangku besi gaya Eropa yang hanya cukup diduduki dua orang saja. Berada di taman ini, sama dengan melihat masa lalu yang disusun secara cermat berikut keangkeran yang hilang di balik kelopak bunga kamboja dengan balutan warna putih kekuningannya. Sempurna.
Di salah sebuah bangku taman itu, duduk dua orang anak manusia yang sedang mengulum gelisah. Itulah pertemuan mereka setelah terpisah hampir lima tahun lamanya. Perpisahan yang tak pernah diharapkan tapi harus terjadi dan tak bisa dihindari, dan menumpas semua mimpi mereka tentang indahnya hidup bersama di bawah satu atap bernama cinta. Kini keduanya bertemu lagi sambil membawa remahremah harapan yang sudah berserakan di belakang hidup mereka. Serta harapan yang rusak oleh sekian banyak kepentingan yang beradu tegang. Keduanya sama tak bisa menjawab bagaimana hidup mereka bisa menjadi sedemikian getir. Semua terjadi begitu saja, dan di taman itulah sekarang mereka berada—sambil membawa pecahan memori yang dengan sekuat tenaga dikumpulkan satu demi satu.  
“Jadi sekarang kau sudah tahu terbuat dari apakah cinta kita, Sidra?”
“Kamu sendiri?”
Keduanya terdiam sekian jenak. Waktu membeku di kitaran mereka.
“Kenapa kita harus bertemu lagi, Nadira?”
“Aku merindukanmu ...”
“Padahal dulu kau pergi begitu saja tanpa memberiku kesempatan mempertahankanmu.”
“Buat apalagi membicarakan masa lalu? Bukankah kamu sendiri adalah orang yang tak pernah peduli dengan semua yang telah lampau?”
“Lantas apa yang membuat kita jadi harus seperti sekarang ini?!”
“Maafkan aku, Sidra ...”
“Sudah sejak mula kau kumaafkan. Bahkan sebelum bibirmu sempat mengucapkannya beberapa lama setelah kita terpisah.”
“Betapa bodohnya aku telah meninggalkanmu dulu. Kamu sudah memberi begitu banyak hal yang sampai kapan pun tak bisa kubalas. Semua kuterima sebagai hadiah yang indah dan layak dikenang sepanjang masa. Meski selama lima tahun aku menjadi istri lelaki lain, tapi di dalam hati aku tak pernah kehabisan cinta untukmu. Karena aku memang tak pernah benarbenar mencintainya.”
“Nadira. Kau seperti anak kecil yang meratapi mainannya yang rusak.”
“Terserah apa katamu. Aku memang terlalu naif. Teramat menjijikkan buatmu. Tapi ketauhilah, bagiku, kamu masih tetap yang terbaik. Karena kamu adalah lelaki yang pertama kucintai; pertamakali menciumku; dan tamu pertama yang hadir di pesta pernikahanku. Aku sampai tak bisa mengerti, sebenarnya hatimu itu diciptakan tuhan dari apa?”
“Aku hanya mengikuti apa yang tersirat di dalam hatiku saja. Karena aku percaya, tuhan menitipkan pesan sucinya untuk hidup ini di dalam hati setiap manusia. Itu juga yang telah diajarkan oleh para orang suci dan guru bijak manusia sejak dulu sekali.”
“Itulah yang selalu kukagumi darimu. Kamu bisa dengan begitu mudah memelajari dan memahami kebijaksanaan manusia—bahkan nyaris tanpa guru. Sedang aku, hanya bisa menyusahkanmu saja.”
“Jadi ... Bagaimana nasib keluargamu sekarang, Nadira?”
“Aku tak tahu harus berbuat apa setelah ia pergi. Sudah setahun ini ia tak lagi pulang ke rumah kami.”
“Bedebah ...”
“Kabar terakhir yang pernah kudengar dari seorang tetangga, ia hidup menggelandang dari satu tempat ke tempat lain, dengan tubuh yang dibalut oleh kain kumal. Rambutnya awut-awutan dan mulai memanjang. Anakanak kecil mengolokoloknya ketika ia melintasi perkampungan, tempat orangtua tetanggaku itu tinggal.”
“Lalu kau membiarkannya begitu saja?”
“Aku sudah kehabisan tenaga dan pikiran untuk mengurusi kepergiannya yang tanpa alasan itu.”
“Tidak mungkin bisa begitu.”
“Sepenuhnya aku menyadari betapa semua yang terjadi satu per satu sekarang ini, hanya sekadar pembalasan tuhan dan perulangan takdir belaka. Dulu, aku yang pergi begitu saja meninggalkanmu. Kini aku yang dipaksa menerima mentahmentah kepergiannya.”
“Tapi kenapa dia pergi? Apa yang telah kau lakukan? Adakah orang ketiga di antara kalian?”
“Ehm ... Kamu benar-benar mau mendengar ceritaku? Aku khawatir kamu akan marah bila aku menceritakannya.”
 “Ceritalah.”
“Orang ketiga seperti yang kamu maksud itu memang ada. Orang yang datang dari masa lalu ...”
“Siapa?”
“...”
“Siapakah orang itu?”
“Kamu.”
“Hah?! Bagaimana mungkin? Aku tak pernah mengganggumu lagi setelah malam menyedihkan itu. Kau pasti sedang berbohong, Nadira.”
“Tapi aku selalu menyebut namamu dalam tidurku yang gelisah. Suamiku mendengarnya berkalikali. Sekuat tenaga aku menyembunyikan rahasia yang kusimpan di dalam hati itu selama bertahuntahun, tapi ternyata aku tak sanggup memendam cintaku kepadamu lebih lama.”
Kebohongan itu kian mengalir sempurna tanpa beban, dan langsung menghunjam ke jantung Sidra.
“Aku benarbenar tidak mengerti dengan apa yang kau inginkan.” Sidra  mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Menatap resah ke arah Nadira yang duduk di sebelah kirinya.
“Aku juga tak mengerti dengan diriku sendiri. Karena selalu terjebak dalam kondisi yang menyesakkan dada. Kenapa takdir bisa begini kejam menyiksaku? Ayahku pergi meninggalkan ibu saat aku masih terlalu dini mengurai luka. Aku pergi darimu, dan kini, suamiku yang raib entah ke mana. Seolah ada lingkaran setan yang ‘kan terus melingkari hidupku hingga di tepian sana.”
“Tak usah menyalahkan takdir. Tuhan sudah teramat baik dalam hidup kita.”
“Itu kamu! Aku tak pernah merasakan bagaimana indahnya kebaikan yang tadi kamu katakan.”
Nadira pun tertunduk lesu. Di matanya tergambar beban derita yang tak tepermanai. Airmatanya yang sejak tadi mengambang tertahan, pelahan tumpah ruah bak air bah. Ia menangis tanpa bisa lagi bersuara. Pita suaranya sudah mulai rusak setelah hampir setahun lamanya menangis dalam sepi. Dalam diam. Taman itu seketika berubah menjadi ladang memori yang sudah sekian lama ia pendam. Di hadapannya kini, semua yang telah terjadi seolah kembali terulang begitu jelas. Seterang matahari siang.
“Lalu apa yang bisa kulakukan untukmu?”
Nadira masih terdiam dalam tangisnya.
“Katakanlah ...”
Angin berdesau pelan. Menyapu wajah kedua anak manusia itu.
“... Maukah kamu kembali untukku?”
Kini Sidra yang terdiam seribu bahasa. Tatapan matanya menerawang jauh ke depan. Ke sebuah masa yang pernah begitu menyakitkan baginya.
“Maukah kamu?”
“Apa alasanmu mengatakan itu?”
“Aku kesepian ...”
“... dan kau tidak sanggup menanggungnya sendirian?”
Nadira menyeka airmatanya yang kini sudah mulai mengering disaput angin.
“Kau betulbetul egois. Kau tak pernah menimbang seberapa rusaknya perasaanku saat kau pergi dulu. Tapi tak apalah. Sekarang aku bisa mengerti dengan pilihanmu itu. Aku juga sudah memaafkan dan menerima semua yang telah terjadi di antara kita. Karena itulah, aku ingin menatap fajar baru dalam hidup ini. Fajar yang takkan pernah bisa kita saksikan bersama lagi. Dengan segenap cinta yang masih kita miliki saat ini, maafkanlah aku karena tak bisa mengabulkan permohonanmu. Aku, tak pernah mengharapkan kau kembali.”
Airmata itu pun kembali menitik.
“Nadira. Aku sudah melupakan semua yang terjadi di belakang sana. Termasuk yang pernah kita rajut bersama. Waktu telah mengajariku berdamai dengan masa lalu. Berdamai dengan diri sendiri. Terimakasih atas semua yang telah terberi selama ini. Semoga tuhan membalasnya setimpal. Kuharap, kau takkan pernah kembali lagi. Mari belajar menerima apa yang tak pernah kita minta, dan belajarlah memberi apa yang sudah kita terima.”
“Kamu ...”
Sidra sudah bangkit dari duduknya. Lalu berjalan pergi meninggalkan Nadira menatap punggungnya yang mulai hilang lamatlamat. Dari sekian banyak momen yang bisa ia amati di sekelilingnya, itulah momen kepergian paling tegas yang pernah terjadi. Kepergian dan perpisahan seolah dua mata pisau yang sekarang mengerat ulu hatinya sampai hancur tercabikcabik. Malam menghitam sempurna. Tanpa bintang dan rembulan. Sementara Nadira tetap sendirian ditikam sepi berkepanjangan. Sambil menatap sebuah prasasti bertarikh 4 Desember 1762 yang bertuliskan:
Soo gy nu Syt Was ik Voor Deesen Dat Jk nv Ben Svlt gy ook weesen jvk: Di sinilah kami berbaring seperti kelak Anda. Di sinilah Anda berdiri seperti kami dahulu.” 

Aku,  Nadira. Tanpa nama belakang. Karena nama itu telah kukubur jauh di masa lalu. Nama yang tak ingin lagi kusebut sampai kapan pun. Entahlah. Kendati hanya sebuah nama, tapi bagiku tetap jadi siksaan dan beban sejarah. Aku sama sekali tak mengamini keyakinan Shakespeare yang mengatakan, "Apalah arti sebuah nama." Aku hanya ingin menciptakan hidup yang sederhana, tanpa nama yang melukai hati. []


“Bunda ... Bunda, aku punya cerita nih...”
“Aku juga punya cerita buat Bunda.”
“Aku dulu yang cerita, Kak.”
“Kakak dulu ...”
“Aku!”
“Loh, kok malah bertengkar. Memangnya kamu punya cerita apa, Prameswari?”
“Cerita tentang makhluk dari cahaya yang sayapnya membentang seluas langit dan bumi,[1] Bunda.”
“Oh ya? Itu pasti cerita yang seru.”
“Itu ‘kan ceritaku ...” sergah Lingga
“Bukan! Itu bukan cerita dari kakak. Tapi dari ustadz yang mengajar ngaji di masjid, Bunda.”
 “Bunda mau kok dengar cerita itu. Coba ceritakan, Prameswari. Ayo...”
“Jadi... makhluk dari cahaya itulah yang membantu manusia pertama membangun rumah tuhan. Makhluk itu juga yang membuatkan manusia bahtera ketika ada banjir raya. Selain pernah menghancurkan kampung orangorang zalim dengan satu teriakan saja, ia juga pernah mengangkat sebuah kota ke langit sana, lalu membantingnya hingga hancur berkepingkeping.”
“Wah... Makhluk itu pasti hebat sekali ya ...”
“Ada lagi, Bunda. Kata ustadz, ia yang mengajarkan manusia membaca dan menulis, dan mengantarkan seorang manusia suci ke Langit ketujuh untuk menemui Tuhan. Makhluk dari cahaya itu, adalah penjaga bumi sejak diciptakan pertama kali, penenteram hati manusia, teman bermain anakanak kecil, dan yang menjawab setiap doa manusia dengan hadiahhadiah menarik. Waktu kecil, apakah Bunda pernah bermain bersamanya?”
Perempuan itu hanya tersenyum kecil.
“Kamu mau main sama dia?”
“Nanti saja. Aku mau titip doa ke dia dulu.”
“Kamu mau titip doa apa, Prameswari?”
“Aku kepengin lihat ayah ... Kenapa ayah tidak pernah pulang, Bunda?”
Perempuan itu tak menjawab sepatah pun.
“Apakah ayah diculik oleh orang jahat?”
Hening belaka.
“Bunda! Kenapa diam saja? Ayo jawab, Bunda. Jawab..!”
Foto dalam pigura yang digenggam Prameswari pun terjatuh ke lantai. Kacanya pecah berserakan. Gambar wajah perempuan cantik yang tersenyum kecil di dalamya, sudah nampak buram setelah sekian tahun lamanya tumpas digerus waktu. []





[1] Makhluk dari cahaya itu adalah Jibril a.s. Segala penjabaran menarik tentang malaikat utama ini, bisa dibaca dalam karya Muhammad Syahir Alaydrus, Jibril Alaihis Salam: Menjejak Langkah Malaikat Pembawa Wahyu. Mizania, 2011.

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews