Pohon Lebaran

Salvador Dali


Kampung kami punya harta karun tersembunyi. Berada persis di depan rumah masa kecilku. Harta itu berupa pohon raksasa yang rindang. Dahannya menjulur jauh. Rantingnya bercecabang ke tiap penjuru mata angin. Sulurnya jatuh hingga menyentuh bumi. Dedaunannya lebat, sehingga tetes hujan tak jatuh ke tanah jika kami berlindung di bawahnya. Pohon ini adalah arena bermain banyak anak kampung. Termasuk aku. Jika bermain di situ, kami sering lupa waktu dan tak pernah ingat pulang ke rumah pada sore hari. Bahkan saking lelahnya bermain seharian, kami sering tertidur di bawah pohon dan ketika bangun, tubuh kami sudah berada di atas ranjang masingmasing. Konon kata para orangtua, sulur pohon lah yang menggendong kami pulang ke rumah--dalam kondisi tertidur pulas. Kami menyebutnya Pohon Lebaran.

            Pohon Lebaran baru akan bersemi daun jelang akhir Ramadhan. Dari batangnya yang tua lagi purba, akan menguar bau harum tiada tara. Kata para leluhur kampung, "Itu aroma surga yang menyelusup ke dunia." Pada malam ganjil sepekan terakhir Ramadhan, pohon itu memancarkan cahaya yang berpendaran ke antero kampung. Masih kata leluhur, "Saat seperti itu, malaikat turun dan bergelantungan di dedaunannya." Kami yang jadi warga termuda, hanya bisa mengamini pesan leluhur itu tanpa pernah tebersit ingin bertanya.

            Satu hal yang benarbenar kuingat adalah, Pohon Lebaran bisa diajak bicara. Meski ia tak bersuara, tapi siapa pun yang mengajaknya berbincang, pohon itu akan mengirimkan jawabannya ke hati lawan bicaranya. Selain menjawab semua pertanyaan, ia juga bisa menyerap segala gundah gulana si penanya, kesedihan, nestapa, dan derita. Itulah kenapa Pohon Lebaran jadi begitu sering disambangi siapa saja, dari mana pun mereka berasal. Pernah suatu hari datang seorang bisu-tuli ke situ. Mulutnya komat-kamit seolah membaca mantra. Meski tanpa suara, aku yang saat itu berada di samping si bisu masih tak bisa memercayai, setelah itu, ia benarbenar mampu berbicara dan mengucapkan kata demi kata, dengan terbata. Ajaib.

            Kerana tumbuh di pekarangan rumah, aku tak menaruh perhatian khusus pada Pohon Lebaran. Kecuali sekadar menikmati pemandangan yang sering terjadi di bawahnya. Hingga suatu kali, suatu waktu, semua berubah begitu cepat. Nenek yang membesarkanku, pergi ke langit. Katanya, ia ingin membangun pondok kecil di sana. Di antara pondok lain yang telah dibangun kakek, ayah, dan ibu. Andai aku tahu nenek akan pergi, pasti aku akan mengikutinya ke langit. Kerana di rumah, hanya tinggal nenek pelipur laraku. Nenek adalah ayah, juga ibu bagiku. Kendati aku tak tahu apakah aku memang harus berayah-beribu.

            Malam perdana kepergian nenek, airmataku meluap tak tertahan. Aku bahkan tak tahu kenapa airmata itu tumpah ruah sedemikian rupa. Aku juga tak mafhum, kenapa di hatiku tetiba meruak pilu bertalutalu. Persis di malam lebaran, malam ke 99 nenek pergi, Pohon Lebaran dilibas petir dan angin puyuh. Usai shalat 'Ied, banyak orang yang menyempatkan diri datang ke pekarangan rumah kami tuk menyampaikan salam terakhir padanya. Ternyata akar pohon itu telah menjalar jauh ke perut bumi, dan nyaris merobohkan rumah kami saat ia tumbang. Maka warga sepakat memotongnya hingga jadi bagian terkecil.


            Detik itu juga, jantungku seolah berhenti berdegup. Waktu menciut. Ruang mengkerut sebesar jeruk purut. Dari dalam hatiku mendadak bermunculan ribuan kata yang segera ingin belingsatan. Aku ingin mengadukan kesepian yang tak bertepi ini. Tapi pada siapa ... Hari ini lebaran. Tahun ke seribu empat ratus tiga puluh lima. Rumah dan keluarga kami yang terus membesar jadi melompong hambar. Meski kutahu, nenek baru saja datang dengan senyum yang meruapkan aroma seribu bunga. Sementara katakata yang ingin terucap, hanya sanggup menetes dari dua bola mataku. []

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews