KAMI
bersua dalam kesederhanaan belaka.
Saat
aku sedang diminta berbicara di depan sekelompok mahasiswa pecinta seni, tetiba
terbit senyum dari salah seorang yang duduk di bagian belakang. Senyum itu mengembang
sempurna. Milik sebuah mulut yang agak lebar tapi dengan paduan bibir yang
sangat tipis. Selama aku berdiri di hadapan mereka, senyum itu terus saja
terkembang. Tak ubahnya layar kapal diembus angin menderu. Kukira itulah senyum
yang agak memesona, selama mataku terbuka mengarungi tiga dekade hidup.
Usai
berbicara di depan para mahasiswa, kuberi mereka kesempatan bertanya. Persis seperti
yang kuduga, senyum itu kembali merembang. Bahkan kini memberanikan diri
bertanya. Ya, senyum itu bertanya padaku tentang kenapa setiap senyum bisa
berbeda dan mengandung makna tersendiri. Jujur kuakui, itulah pertanyaan paling
sulit yang sungguh tak mampu kujawab. Tapi ketika aku mulai geragapan karena
pertanyaan yang memusingkan kepala tersebut, senyum itu malah kian menawan. Menerobos
jauh ke relung hatiku.
Usai
menghadiri acara tersebut, aku bergegas pulang sambil menyembunyikan kesal atas
pertanyaan yang tak mampu kujawab. Lucunya, senyum itu malah memohon agar
mengizinkannya ikut bersamaku. Antara kesal, bingung, dan malu, aku pun
mengiyakan permintaannya. Kami berjalan beriringan dalam sepi. Namun yang
membuatku agak tenang, senyum itu tak lagi bertanya tentang pertanyaannya yang
tak terjawab. Ia tetap dengan senyumnya. Sepanjang perjalanan, banyak mata memandangi
kami begitu aneh. Seolah mata mereka sedang menelanjangiku. Namun senyum yang
berjalan di sisi kananku, tak kenal jemu. Ia terus tersenyum. Kadang malaumalu,
kadang tersipu. Lain waktu ia tersenyum simpul. Kali lain ia menghangat. Bak
pagi yang baru tiba dari perjalanan malam.
Ketika
tersadar setelah menyapu pandangan ke sekeliling, aku baru tahu, bahwa
orangorang itu tak memiliki mulut. Mereka pasti tak tahu apa arti senyum dalam
hidupnya. Ternyata aku tengah berada di antara orang yang tak tahu bahwa senyum
adalah salah satu bagian paling mengagumkan dari kehidupan.
Seperempat
abad kemudian, saat hidup makin hambar dan sulit dimengerti, aku pulang ke
rumah. Aku mandi air perasan bunga tujuh rupa. Mengganti pakaianku dengan
setelah kain warna putih, kemudian menaburinya dengan parfum wangi kasturi. Lantas
membujur kaku di lambaran sajadah. Saat itulah—ketika tubuhku sudah tak lagi
gerak, anak-cucuku berulang kali mengatakan bahwa kakek mereka tidur begitu
tenang, dengan senyum yang sedap dipandang. []
No comments:
Post a Comment