Senyum yang Sedap Dipandang[i]


KAMI bersua dalam kesederhanaan belaka.

Saat aku sedang diminta berbicara di depan sekelompok mahasiswa pecinta seni, tetiba terbit senyum dari salah seorang yang duduk di bagian belakang. Senyum itu mengembang sempurna. Milik sebuah mulut yang agak lebar tapi dengan paduan bibir yang sangat tipis. Selama aku berdiri di hadapan mereka, senyum itu terus saja terkembang. Tak ubahnya layar kapal diembus angin menderu. Kukira itulah senyum yang agak memesona, selama mataku terbuka mengarungi tiga dekade hidup.

Usai berbicara di depan para mahasiswa, kuberi mereka kesempatan bertanya. Persis seperti yang kuduga, senyum itu kembali merembang. Bahkan kini memberanikan diri bertanya. Ya, senyum itu bertanya padaku tentang kenapa setiap senyum bisa berbeda dan mengandung makna tersendiri. Jujur kuakui, itulah pertanyaan paling sulit yang sungguh tak mampu kujawab. Tapi ketika aku mulai geragapan karena pertanyaan yang memusingkan kepala tersebut, senyum itu malah kian menawan. Menerobos jauh ke relung hatiku.

Usai menghadiri acara tersebut, aku bergegas pulang sambil menyembunyikan kesal atas pertanyaan yang tak mampu kujawab. Lucunya, senyum itu malah memohon agar mengizinkannya ikut bersamaku. Antara kesal, bingung, dan malu, aku pun mengiyakan permintaannya. Kami berjalan beriringan dalam sepi. Namun yang membuatku agak tenang, senyum itu tak lagi bertanya tentang pertanyaannya yang tak terjawab. Ia tetap dengan senyumnya. Sepanjang perjalanan, banyak mata memandangi kami begitu aneh. Seolah mata mereka sedang menelanjangiku. Namun senyum yang berjalan di sisi kananku, tak kenal jemu. Ia terus tersenyum. Kadang malaumalu, kadang tersipu. Lain waktu ia tersenyum simpul. Kali lain ia menghangat. Bak pagi yang baru tiba dari perjalanan malam.

Ketika tersadar setelah menyapu pandangan ke sekeliling, aku baru tahu, bahwa orangorang itu tak memiliki mulut. Mereka pasti tak tahu apa arti senyum dalam hidupnya. Ternyata aku tengah berada di antara orang yang tak tahu bahwa senyum adalah salah satu bagian paling mengagumkan dari kehidupan.

Seperempat abad kemudian, saat hidup makin hambar dan sulit dimengerti, aku pulang ke rumah. Aku mandi air perasan bunga tujuh rupa. Mengganti pakaianku dengan setelah kain warna putih, kemudian menaburinya dengan parfum wangi kasturi. Lantas membujur kaku di lambaran sajadah. Saat itulah—ketika tubuhku sudah tak lagi gerak, anak-cucuku berulang kali mengatakan bahwa kakek mereka tidur begitu tenang, dengan senyum yang sedap dipandang. []








[i] Mengunggah ide dari kumpulan cerpen Ahmad Tohari, Mata yang Enak Dipandang.

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews