Orang-Orang Mustahil di Bawah Tanah Nusantara

kabarindiependen.com 



JUDUL di atas terinspirasi dari status sederhana Gus Candra Malik di laman Fesbuknya pada Senin, 1 Desember 2015 pukul 14:26, yang diunggah dari Pulau Dewata. Status itu dialamatkan beliau pada sedulur kami tercinta, Yandhi Siji Ae dan Ogeb Sidhartaisme yang berasal dari “bangsa tipis” (lagi-lagi dari Gus Candra).

Dibaca sepintas, katakata itu terdengar aneh. Tapi tidak bagi kami. Justru kata itu mengandung spirit sendiri yang bisa diterjemahkan sebagai segolongan orang yang sulit dimengerti—bahkan sampai kiamat tiba. Tulisan ini, tidak akan dialamatkan pada dua anak manusia yang sudah cukup terlunta dari hidupnya masingmasing itu. Sekalikali tidak. Kami malah akan melengkapinya dengan sebuah riwayat yang dijamin takkan pernah Anda baca di media massa paling arusutama sekalipun. Perkara benar-salah atau Anda tak percaya, bukan urusan kami. Sila ditanggung sendiri.

Berhubung karena yang akan kami tulis adalah rahasia dari rahasia sekelompok orang rahasia, maka tulisan ini akan mengandung banyak kode dalam batang tubuhnya. Dijamin sulit dipecahkan jika hanya dengan menggunakan nalar lulusan S3 jebolan Universitas Harvard.

Sebuah bangsa sebesar Nusantara ini tak melulu digerakkan oleh mereka yang namanya sohor di jagat perpolitikan sejak zaman kerajaan hingga kini. Sama sekali tidak. Malah sebaliknya. Mereka yang namanya selama ini tak tercantum di buku sejarah normal, adalah pelaku utama dibalik kejadian penting yang datang silih berganti. Sekadar memancing rasa ingin tahu dan ingatan panjang pembaca sekalian, silakan telusur sendiri siapa itu Semar, Syaikh Subakir, Sabdo Palon, Noyo Genggong, Mpu Baradah (Barāda), Mpu Tantular, Eyang Santri, Tirto Adhi Suryo, Raden Mas Panji Sosrokartono, Matahari, John Lee, dan Benjamin Ketang.

Itu baru sedikit dari para pemilik nama yang hidupnya seolah dilindas waktu. Kami punya lebih banyak nama lagi yang tersimpan rapi di lemari ingatan. Kali ini, satu dari nama itu akan kami ceritakan—meski hanya sekilas, dan itu pun diramu dalam bentuk fiksi.

***

Gus Ireng sedang tercenung di kediamannya di bilangan Gondosedih, selatan Jakarta. Rumah bercorak Eropa Abad Tengah itu, mewah. Sangat mewah untuk ukuran orang kampung macam dia. Meski trah keluarganya tak syak disebut sembarangan. Gus Ireng berdarah biru tulen, bahkan hingga sampai ke Lembu Peteng, Ken Arok yang kenamaan itu.

            Tak tahan menyaksikan kelakuan Suharto yang tak jua mau lengser ke prabon pada 1998, Gus Ireng melangkahkan kakinya menuju sebuah Ferrari yang sedang nangkring di garasi rumahnya. Ia pun segera memacu kuda jingkrak merah itu menuju kediaman seseorang yang kemampuan IQ-nya melampaui Isaac Newton, Galileo Galilei, bahkan Albert Einstein, yang disebut sebagai ilmuan terhebat sepanjang masa pada Abad moderen.

            Parepa, adalah tokoh flamboyan yang sedang diincar oleh Gus Ireng. Setiba di tempat tujuan, ia langsung disambut oleh tuan rumah yang memang sudah menunggunya. Mereka berdua segera menuju ke ruang bawah tanah demi menjaga kerahasiaan yang kan menjadi bahan perbincangan mereka. Meski sudah di bawah tanah, Parepa diminta oleh Gus Ireng untuk memadamkan lampu dan mematikan semua CCTV agar tak ada yang bisa merekam pertemuan mereka selain ingatan, malaikat, dan tuhan.

            Pertemuan singkat mereka kemudian menghasilkan sebuah kesepakatan. Parepa bersedia meminjamkan kapal pesiar mewahnya untuk digunakan Gus Ireng mengarungi tujuh samudera. Itulah tugas paling berat sekaligus gila yang ia peroleh dari Gusti Allah, tuhan penguasa jagat. Air dari tujuh samudera itu harus ia kumpulkan sebagai syarat merontokkan dominasi akut Suharto dan kroninya yang sudah menjerat Indonesia selama tiga dekade lebih—setelah ia membunuh bos-nya sendiri secara pelahan, Sukarno.

            Ruangan bawah tanah yang gelap itu pun seketika pengap karena disesaki oleh kepulan asap kretek yang diembuskan Gus Ireng sepanjang ia bertemu Parepa.

            “Parepa, kita pasti berhasil. Allah ndak pernah bercanda meskipun Dia Maha Lucu.”
            “Saya sepenuhnya percaya padamu, Gus.”
            “Kalau Suharto jatuh nanti, siapkan dirimu ya.”
            “Allright, baik, saya siap. Sudah sana pergi. Jangan terlalu lama di sini. Mari kuantar keluar.”
            “Tak usah. Di luar sana sudah ada anjing Cendana. Cukup nyalakan lampu dan aku sudah tak lagi sini. Doakan aku, Parepa.”

            Parepa pun menuruti perintah Gus Ireng. Ia meraba tembok tuk mencari saklar lampu. Persis ketika ruangan mulai terang, Gus Ireng sudah lenyap. Padahal Parepa tak mendengar suara derit pintu sama sekali. Bahkan lebih mengejutkan lagi, pintu itu masih terkunci dari dalam.
***

SAMUDERA ANTARTIKA, Hindia, Atlantik, Pasifik, Laut Tengah, dan Laut Karibia, sudah berhasil diarungi Gus Ireng. Tinggal satu samudera lagi yang belum ia sambangi: Laut Cina Selatan, jazirah air paling ganas di dunia dan menakutkan sepanjang masa. Nyaris tak ada satu kapal pun yang bisa lolos dari pusaran raksasa dan badai dahsyatnya sejak masa bangsa Atas Angin singgah di Nusantara.

            Gus Ireng tak peduli pada segala mitos yang diproduksi para perompak di laut itu. Ia terus mengarahkan koordinat tujuan turun ke selatan dari Atlantik. Gus Ireng sudah siap dengan segala risiko yang harus ia tanggung demi masa depan jutaan orang rakyat di negerinya. Kapal pesiar itu terus melaju. Hanya Gus Ireng seorang lah yang berada di dalamnya. Sepanjang pelayaran turun ke selatan, ia terus merapal kalimat astaghfirullah min kulli syai’in... astaghfirullah min kulli aqdin... yang sering dipanjatkan sang penguasa laut, Nabiyullah Khadir as.

            Saat kapalnya mulai masuk ke Laut Cina Selatan, tibatiba Gus Ireng dilamun perasaan tak tepermanai. Di sekelilingnya ia melihat laut menghampar hijau. Angin beraroma lumut. Nun jauh di sana, segelung badai sedang dipersiapkan langit. Dari laut, angin menyedot udara melalui pusaran nan legendaris itu. Gus Ireng sadar ia sedang mendekati bahaya. Pengetahuan navigasi kelautan yang ia miliki, tak cukup mumpuni untuk menghindari pusaran itu. Namun sesuatu yang tak terduga, terjadi.

            Melalui teropong yang diarahkan Gus Ireng ke pusaran tersebut, tampaklah sesosok manusia berjubah hijau sedang keluar dengan tenang—dari dalam laut. Lalu ia berjalan dengan langkah kaki yang masingmasingnya bisa melampaui satu kilometer. Maka tak lama kemudian, lelaki berjubah hijau itu pun sudah berada persis di depan kapal pesiar yang dikemudikan Gus Ireng.

            Gus Ireng segera mematikan mesin kapal. Kali ini ia begitu tenang. Segala paniknya tuntas pias. Ia tahu sedang akan berhadapan dengan siapa. Maka tanpa dikomando, ia segera menurunkan sekoci dan langsung menuju ke lelaki berjubah hijau.

            “Assalamu’alaikum, ya nabiyallah...” Gus Ireng menguluk salam sambil mencium kaki lelaki berjubah hijau.

            “Wa’alaikumsalam, ya walidi. Ini air yang engkau cari,” lelaki misterius itu mengulurkan tangannya yang muncul dari balik jubah hijau.

            Gus Ireng menyambut tangan yang memancarkan cahaya kehijauan itu dengan takzim. Bahkan saat itu, ia sudah tersedu sedan—menyadari betapa itikadnya beroleh ridha dari penguasa laut dunia dan tentu, Gusti Allah.

            “Tunaikan segera tugasmu. Aku merestui dan meridhai,” pungkas lelaki berjubah.”

Usai menerima air dalam botol yang diambil dari Laut Cina Selatan itu, Gus Ireng kembali ke kapalnya. Ketika ia sudah naik ke geladak, matanya terbelalak lebar. Saking tak percayanya dengan apa yang ia lihat, Gus Ireng menampar bolak-balik pipi kiri-kanannya demi memastikan bahwa ia tak sedang bermimpi. Ya, kapal pesiar itu sudah bersandar di Pantai Marina, Ancol, Jakarta Utara.

Pendaratan Gus Ireng itu bertepatan dengan 12 Mei 1998. Hari yang telah ia ketahui dari Allah, sebagai ajal dari pemerintahan Suharto. Syarat utama telah ia peroleh. Maka saatnya menunggu syarat formalitas menggelinding ke publik, yaitu demo mahasiswa se-Indonesia atas pertemuan rahasia Suharto dengan Michel Camdessus, Direktur IMF. Orang bodoh dari Prancis ini pun sudah berada di bawah kendali Gus Ireng yang sudah mengatur pertemuannya dengan Suharto serapi mungkin. Jadi, waktu kejatuhan Suharto tinggal menunggu gong saja.



Persis ketika air dari tujuh samudera itu disiram dari atas Jakarta oleh Gus Ireng, Senayan bergolak. Suharto langsung menggelar jumpa pers dan mengumumkan berita paling berbahagia yang berpuluh tahun ingin didengar rakyat Indonesia. “Macan Asia” itu pun takluk pada takdir tuhan. Ia menyerah kalah, pasrah. Nun di atas sana, di sebuah helikopter pribadi milik Parepa, Gus Ireng sedang tersenyum manis. Senyum paling manis yang pernah ia sunggingkan sepanjang hidupnya membela Nusantara. []    
                
   



No comments:

Post a Comment

Total Pageviews