Atas Nama Keadilan

oleh Candra Malik

foto dan ilustrasi: Gunduz Aghayev

MENGAPA manusia butuh keadilan? Sebab, manusia mengalami perasaan berkurang, dan sebaliknya: bertambah. Manusia memiliki kekurangan, dan tentu saja: kelebihan. Manusia merindukan keadaan yang serba cukup. Namun, manusia tidak pernah merasa cukup. Keadilan dituntut ketika dirasa ada yang timpang dari timbang. Tatkala ada yang tidak imbang.

    Ketika ada yang dari dirinya dikurangi, ia akan merasa dizalimi. Ketika itulah, manusia butuh keadilan.  Pun ketika ada yang pada diri orang lain ditambahi, ia akan merasa menjadi korban ketidakadilan. Jika seseorang berbuat baik, ia harus mendapatkan pahala. Itu baru adil. Jika seseorang berbuat buruk, ia harus mendapat dosa. Itu adil. Imbalan harus sesuai perbuatan.

    Menjadi susah menakar Keadilan Allah menggunakan logika manusia. Bagaimana menalar "Logika Allah" atas Keadilan jika satu niat baik diberi imbalan satu pahala, sedangkan satu niat buruk tidak diberi imbalan satu dosa? Bagaimana menilai Keadilan Allah jika satu perbuatan baik diberi imbalan sepuluh pahala, sedangkan satu perbuatan buruk diberi imbalan satu dosa? Wallahu a'lam.

    Sungguh tidak mudah untuk mengerti rumus keadilan Allah Yang Maha Adil. Keadilan dalam Falsafah Ketuhanan adalah adil yang sesuai takaran. Sesuai kadar. Sesuai fitrah. Maha Suci Allah dari rasa berkurang dan bertambah. Maha Mulia Allah dari kelebihan dan kekurangan. DzatNya Yang Maha Agung tiada bertambah agung karena ibadah makhluk, pun tidak berkurang karena maksiat makhluk.

    Khalik tidak membutuhkan apa-apa dari makhluk. SifatNya yang Qiyamuhu Bi Nafsihi meneguhkan betapa Dia Maha Mandiri. Tidak bergantung pada apa pun. Dialah Allah yang segala sesuatu berpegang kepadaNya, Allahu 's-Shamad. Kemandirian yang Maha inilah yang menegaskan KeadilanNya. Tiada terpengaruh selain oleh Penglihatan dan PendengaranNya Sendiri.

    Maka menjadi benarlah al-Hikam ketika ditorehkan di dalamnya petuah bahwa bukan kebaikan dan amal ibadah manusia yang membawanya masuk surga, melainkan Kebaikan Allah. RahmatNya. Kasih SayangNya. Allah memiliki Timbangan Keadilan yang tiada bisa dipecundangi oleh maksud terselubung manusia. Tak ada yang luput dari Tuhan yang tidak tidur, tidak pula mengantuk.

    Tak sadarkah bahwa satu dzarrah saja kesombongan, sabda Rasulullah Muhammad SAW, bisa membawa manusia masuk neraka? Lalu, konsep keadilan yang mana yang akan kita bicarakan? Demi melawan teori keadilan di atas, masih beranikah kita menyombong-nyombongkan amal kepada Allah demi mempertegas bahwa kita telah beribadah dan berbuat baik selama di dunia?

    Ah, mengapa manusia butuh keadilan? Sebab, manusia merasa berhak dan layak atas keadilan. Sebab, manusia telah dan akan memperjuangkan keadilan. Sebab, manusia tidak memiliki keadilan. Bukankah kita membutuhkan sesuatu yang tidak kita miliki? Bukankah seringkali kita kemudian menelantarkan sesuatu setelah memilikinya -- dan lantas muncul kebutuhan baru?

    Mengapa manusia berebut keadilan? Yang satu merasa lebih berhak dari yang lain, demikian pula sebaliknya. Saling menuntut keadilan atas nama keadilan pula. Jangankan berbuat tidak adil, sudah berbuat adil pun tetap digugat dengan pertanyaan: adil menurut siapa? Ya, adil menurut siapa inilah pangkal persoalan dari betapa manusia butuh keadilan, tentu menurut versinya sendiri.

    Sekali pun ada asas keadilan sosial, toh sama saja satir yang disodorkan: sosial yang mana dulu? Di dunia ini, keadilan menjadi barang relatif, jika bukan fatamorgana. Jika bukan barang, keadilan barangkali adalah jasa. Pelayanan. Servis. Tapi toh persoalannya akan sama belaka: merasa dizalimi jika tidak dilayani lebih awal, lebih baik, lebih mulia, dan lebih-lebih lainnya.

    Apa jadinya jika keadilan tidak dilandasi kemanusiaan dan dinaungi keberadaban? Muhammad SAW mengawali karir sebagai manusia pilihan dengan gelar Al Amin atau yang dapat dipercaya. Siapa yang memercayainya? Manusia dan kemanusiaan! Tugas kerasulannya pun untuk menyempurnakan akhlak mulia. Adilkah bicara keadilan jika tanpa bicara kemanusiaan dan adab?

    Namun, saya tidak akan mengatakan bahwa keadilan tidak penting untuk diperjuangkan. Sebab, hal itu justru akan mengundang sorak-sorai pihak-pihak yang bernafsu untuk berbuat tidak adil pada sesama. Ketidakadilan tetap harus dilawan, tapi tentu tidak dengan cara berbuat yang sama tidak adilnya. Melawan keburukan dengan kebaikan, bukan keburukan. Nahi munkar jangan dengan cara mungkar.

    Tapi, jangan-jangan keadilan yang saya bicarakan ini terlalu jauh dari harapan Bram, kawan saya, yang bertanya lewat pesan pendek di jejaring obrolan maya. Jangan-jangan keadilan yang ia maksud adalah mengapa remaja berumur 14 tahun mendapat sepiring besar nasi dan mengapa bayi mendapat semangkok kecil bubur? Itu tidak adil! Ah, Bram, Anda sudah tahu, itu adil atau tidak.

[]

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews