“SEBANYAK-banyak
yang kita tahu, masih lebih banyak yang tak kita tahu.” Pesan luhur itu
diperoleh Gus Candra dari seorang pertapa suci di pegunungan Dieng bagian barat,
yang telah mengunci rapat mulutnya selama hampir 27 tahun. Hal ini jelas kabar
bahagia, setidaknya bagi kami. Alasan pertama,
sang pertapa yang tak lain adalah Kiyai Ahmad Fanani bin Kiyai Bunyamin itu,
akhirnya buka mulut untuk orang ketiga (sejauh yang kami tahu)—setelah Gus Dur,
dan Mbah Lim. Kedua, kami yang remeh
ini sedang menjadi timba bagi sumur ilmunya Gus Candra.
Selaiknya timba, ia harus turun jauh
menuju kedalaman sumur hingga menyentuh permukaan air. Jika tak begitu,
mustahil mengangkut air ke atas. Begitulah kiranya yang kemudian kami lakukan. Menimba
jauh pada kedalaman diri sedari permukaannya. Paradoks memang. Tapi begitulah
cara paling bijak belajar mengenali batas terjauh kemampuan kita sebagai insan.
Mari sama membuktikan dengan menyusun daftar pengetahuan apa saja yang telah
kita miliki dan mana yang belum. Lalu apa hasilnya?
Kemampuan mengenali diri adalah satu
perkara besar yang sulit dijangkau oleh masyarakat modern saat ini. Kita teramat
sering terbuai dengan kata “menuntut ilmu pada orang berilmu.” Kita juga sering
teperdaya bahwa menggali ilmu hanya bisa dilakukan di ruang belajar mengajar
semisal pondok pesantren, sekolah, dan kampus semata. Padahal ada juga pepatah
yang mengatakan, “pengalaman adalah guru terbaik.” Maksudnya mungkin bisa jadi
adalah, “bergurulah pada mereka yang berpengalaman.” Frasa tersebut kami maknai
dengan cara yang sederhana belaka. Satusatunya oknum paling berpengalaman di
jagat raya penciptaan ini ya diri sendiri.
Kenapa
demikian? Mari kita sodorkan pengalaman mencintai sebagai permisalan. Tak ada satu
pun di antara kita yang bisa bersepakat perihal itu. Termasuk ketika berupaya
semampunya mendefinisikan apa arti cinta yang sesungguhnya. Dasarnya mudah
saja. Setiap diri manusia yang satu dengan lainnya adalah sekumpulan pengalaman
tak tergantikan. Pengalaman menjadi bocah, anak kecil, adik, kakak, ayah, ibu, murid,
guru, dan seterusnya hingga yang paling tak terbayangkan. Satu saja dari
pengalaman itu terlewat, niscaya kita akan kehilangan kesejatian diri. Lantas kemudian
secara pelahan namun pasti, mengalami kehilangan terbesar dalam hidup:
kehilangan diri sendiri.
Bagaimana
kehilangan terbesar itu bisa terjadi? Secara sederhana, dimulai dari keterabaian
pada apa yang melekati kita selama ini. Sementara yang kerap kita lakukan
adalah, berusaha mengenali pribadi yang lain sekuat tenaga. Padahal yang
sesungguhnya terjadi adalah, kita takkan pernah bisa mengenali siapa pun di
luar diri secara utuh menyeluruh. Hanya kita yang tahu persis bagaimana diri ini
sesungguhnya. Seperti apa bentuk wajah sendiri. Sebesar apakah mata kita. Bagaimana
lekuk bibir yang kita miliki. Jenis rambut macam apa yang tumbuh di kepala. Mancung
atau tidak hidung kita, dan lain sebagainya.
Mari
belajar mengenali diri dari mana saja yang kita inginkan.
Belajarlah
mencerna keluasan dan kedangkalan alam pikiran sendiri.
Cerna
pula ragam pengetahuan yang akan kita serap.
Mulailah
merasakan perasaan sendiri jika sedang sedih, senang, gembira, riang, bahagia.
Tandai
juga batas terendah dan tertinggi kemampuan kita menilai segala sesuatu tanpa
menghakimi.
Apa
pun yang kemudian dilakukan, selama mengarah ke dalam diri, tak mungkin
mengalami hambatan. Sebab hanya kita yang tahu bagaimana cara memulai dan
menyudahinya. Bukankah hanya kita saja yang tahu kondisi akurat dari masingmasing
rasa di dalam diri? Rasa sepi, terasing, terbuang, tercampak, tercerabut dari
akar, terlempar dari masyarakat, kesunyian, kesakitan, malu, terpuruk, tak
berdaya, dan semua rasa yang mungkin pernah kita alami.
Boleh
jadi kita mahir berdusta di hadapan orang lain. Tapi ketahui dan sadarlah, tak
ada satu pun dari kita yang bisa membohongi diri sendiri.
Mungkin
kita pernah mencampakkan orang lain dalam kehidupan pribadi. Sementara kita
lupa, tak satu kali pun kita berhasil mencampakkan diri sendiri.
Barangkali
kita pernah berhasil menghapus cinta orang lain yang pernah hadir di dalam hati.
Namun sampai kapan jua, kita takkan pernah sanggup menolak diri sendiri. Pada kenyataannya,
semakin kita berusaha menolak, kita gagal pada akhirnya. Kita terlalu sibuk
mencari penemuan di luar diri. Sedang pada saat bersamaan, alpa menggali harta
karun sendiri yang berkelimpahan. Kita terlalu sering dirumitkan oleh perkara
yang bukan urusan sendiri. Teramat jarang mengurusi perkara kedirian yang
sejati. Kian bertambah usia, bertambah jauh dan lupa pada keasalian dan
keazalian, nun jauh di Langit sana. Sidrah al-Muntaha.
Merujuk pada al-Quran, Sidrah al-Muntaha
diterjemahkan sebagai Pohon Bidara yang sulit dimengerti akal manusia awam. Pohon
ini sekujurnya emas. Dari akarnya memancar dua sungai dalam dan dua sungai luar.
Dua yang di dalam mengalir ke surga, sedang dua yang di luar adalah Nil dan
Eufrat. Akarnya tertancap di surga keenam dan puncaknya menjulang hingga ke
atap surga ketujuh. Jarak dari akar hingga ke pucuknya yang tertinggi, selama 150
tahun. Bila menggunakan (QS as-Sajdah [32]: 5) yang berbunyi, “Dia (Allah) mengatur urusan dari langit ke
bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah
seribu tahun menurut perhitunganmu.” Maka setelah dikalkulasi , hasilnya 54.825.000 tahun di dunia.
Daun
pohon ini selebar telinga gajah. Masing-masing daun menjadi wakil purwarupa
ciptaan di dunia. Buahnya sebesar bejana batu. Beberapa dahannya terbuat dari
zamrud, juga ruby, yang satu dahannya saja bisa menutupi dunia seisinya. Pohon ini
dipeluk para malaikat, termasuk Jibril as yang menempati dahan berwarna zamrud hijau.
Demikianlah pesan yang pernah dititipkan Nabi Muhammad Saw melalui sabdanya
yang dirawi oleh Ibn Abbas ra.
Al-Quran menyediakan informasi
penting terkait pohon yang tumbuh di langit ini. Kita bisa mempelajarinya dalam
(QS An-Najm [53]: 14, 16, 41-42). Selain diterjemahkan sebagai Pohon Bidara,
Sidrah al-Muntaha juga diartikan sebagai Pohon yang menjadi Kesudahan (segala
sesuatu). Persis di pohon inilah nabi besar Muhammad Saw bertemu dengan Allah
Swt. Hanya beliau satusatunya manusia yang beroleh undangan seistimewa dan
semahal itu dari Sang Penguasa Jagat Raya. Pertanyannya, pelajaran apa yang
bisa kita petik dari Sidrah al-Muntaha?
Berdasar sumber yang ada, maka kami
meyakini bahwa pohon itu adalah tempat kehidupan berawal dan berakhir. Artinya,
semua kita pernah di sana dan sekarang di sini. Kita adalah makhluk langit yang
berjalan di muka bumi dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kiasannya adalah,
pohon yang tumbuh di tepi sungai. Jika dilihat dari seberang sungai, maka pucuk
tertinggi dari pohon tersebut berada di bagian paling bawah, tepatnya di
permukaan sungai. Citraannya seolah mengalir bersama air sungai. Namun sejatinya
tetap sebagaimana adanya.
Begitulah
kita selama ini. Ada yang tetap tak berubah dalam diri kita, dan terlalu banyak
yang entah mengarah ke mana. Kesejatian kita ajeg, tapi kedirian kita gerambyang digerogoti kerakusan (nafs al-lawamah), angkara (nafs al-amarah), kesenangan (nafs al-sufiyah), dan kebaikan (nafs al-muthmainnah). Saking tak jelasnya
rimba tujuan hidup, sebagian besar manusia di alam dunia ini lupa bahwa ia harus
mulih ka jati, mulang ka asal. Luput belajar
mematikan apa seharusnya mati, demi menuju hidup yang kedua di alam keabadian. []
No comments:
Post a Comment