Agama Bagi Makhluk Berakal



oleh *Muhammad Suyandi

Bukankah agama diturunkan sebagai jalan menyempurnakan akhlak atau tuntunan menuju budi pekerti nan luhur?

Tuhan sudah begitu pemurah kepada manusia dengan membekalinya perangkat bernama akal—yang tidak semua ciptaan-Nya mempunyai perangkat tersebut. Oleh karena itulah manusia disebut Mahkluk Berakal.

Berdasar akal inilah, derajat Mahkluk bisa meningkat ke derajat selanjutnya yaitu Manusia, kemudian naik lagi menjadi Insan dan sempurna tatkala mencapai Insan al-Kamil. Itulah satusatunya tujuan Manusia Agung, Nabi penutup dan Rasul Allah yang Bernama Muhammad Saw, diutus: menyempurnakan akhlak.

Di zaman yang sangat serba cepat saji ini, kita seolah lupa dengan tujuan beragama. jika sudah lupa tujuan beragama, maka kita sudah hilang akal. Lumrah dengan angkara dan sudah menafikan akal sehat.

Alihalih membela agama, justru kebencian dan kemunkaran kita bungkus rapi dengan nama dan kebesaran tuhan.

Jangankan untuk berkata baik dan benar, diam saja rasanya sudah sangat mustahil. Begitu lumrah kita jumpai fitnah merajalela, terutama di sosial media.

Korbannya bukan hanya orang biasa atau politikus, tapi lebih tragisnya, yang menjadi korban kekejian itu adalah para ulama, para alim yang dari lisan dan ajaran mereka, beriburibu orang telah menularkan ilmu dan pengetahuan tentang agama.

Harihari di mana gunjingan adalah menu wajib mengalahkan nasi, tanpa merasa berdosa jempol kita rajin membagi dan mengomentari halhal yang tidak kita ketahui.
Tanpa malu, kita seakan lebih berilmu daripada ulama.

Cermin hati sudah terlalu buram untuk melihat bayangan diri, hingga kesalahan dan keburukan akhlak di ujung hidung sendiri pun tak mampu melihatnya. Sedang, kesalahan dan keburukan orang lain begitu nyata, jelas, terang benderang untuk kita buka, sehingga bisa mempermalukan yang bersangkutan—lepas dari benar atau salah.

Kita sangat bangga jika bisa membunuh, meskipun hanya karakter.

Bagaimana mungkin kita bisa selamat, jika dari lisan kita saja, saudara kita sudah terluka?
Bagaimana bisa menuju kampung akhirat yang damai, jika di dunia yang fana ini saja kita gemar berselisih?
Bagaimana bisa kita mengharap surga, jika tiap hari neraka yang kita sajikan dimeja makan?
Bagaimana bisa mengharap perjumpaan dengan Wajah-Nya yang Agung, jika yang kita hadapkan adalah keburaman hati?

Kesalehan virtual telah memperdayaku, memupuk subur egoku hingga yang nampak hanyalah aku. Aku yang beriman, aku yang paling bertaqwa dan aku dengan kelompokku adalah pembela agama terdepan.

Agama Islam adalah rahmat bagi alam semesta. Anugerah dari tuhan semesta alam yang diturunkan melalui Rasul-Nya yang telah mencapai derajat Manusia Paripurna.
Dari Nabi Saw, para ulama mendapatkan pengajaran hingga sampailah ilmu itu kepada kita melalui para ulama. Jika beragama tidak mencontoh akhlak ulama, lalu agama apa yang kita anut?

Para ulama mensuritauladani Nabi yang dalam diri beliau terdapat uswatun hasanah dan seharusnya kita yang awam dan dhaif, juga belajar.

Bagaimana akhlak dan budi luhur menjadi jalan dalam beragama?

Kita mencitacitakan surga dengan ritual mengumpulkan pahala, seakanakan surga bisa dibarter dengan itu.
Sehingga, berbuat kebaikan dan saling menasihati dalam kesabaran bukanlah jalan lurus.
Tujuan beragama kita sudah tidak jelas. Amal ibadah dan pahala itu tak berarti apaapa jika tanpa Ridha-Nya.

Sesungguhnya tidak ada perintah untuk mengumpulkan pahala. Sebaliknya, maka “... berlombalombalah kamu dalam berbuat kebaikan.” (QS al-Baqarah [2]: 148).
Kebaikan seperti apakah yang paling mudah?

Terlalu banyak Hadis atau peribahasa yang kita tahu tentang halhal baik tersebut.
Menjaga lisan dari berkata buruk adalah yang paling utama saat ini dan paling sulit.
Masalahnya kita sudah lupa kalau kebaikan, budi luhur atau akhlakul karimah adalah yang menjadi tujuan dalam beragama.

Seorang Sufi berkata, “Belajarlah diam sebagaimana engkau belajar bicara. Jika bicara menjadi pembimbingmu maka diam menguatkanmu.
Mudahmudahan kita termasuk orang orang yang bisa menjaga lisan, sehingga tidak ada seorang pun yang terluka karena lidah kita. Paling tidak, kita berusaha menuruti nasihat yang baik yaitu, berpikir dahulu sebelum berbicara.

Semoga kita bisa menggunakan akal untuk menjadi pembenda antara mahkluk dan manusia, karena: Tidak ada agama bagi yang tak berakal.
Surga dan Perjumpaan itu sebuah kemustahilan, jika jalan yang ditempuh menujunya adalah pengingkaran akan akal sehat.

Selamat adalah jika kanan dan kirimu juga selamat sebagaimana salam diakhir ibadah shalat.


Salam.


*Pejalan Tuhan

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews