Islam Katanya

pindai.org


KABAR mengejutkan ditiup angin dari New York, Amerika Serikat, pada (7/7/2015) silam. Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bermarkas di kota megalopolitan itu menggelar diskusi membahas wajah Islam moderat di Indonesia, dalam terma yang kini lazim digaungkan sebagai Islam Nusantara. Diskusi yang sejatinya digagas oleh perwakilan tetap Indonesia di PBB ini diikuti oleh pemuka agama, pengamat, diplomat, serta tokoh masyarakat dari seantero jagat.

Dalam diskusi tentang Islam Nusantara di PBB itu, Dr. James B. Hoesterey dari Universitas Emory di Atlanta, Georgia, berujar, “Sebagai seorang antropolog yang sudah lama melakukan penelitian di Indonesia, saya senang bahwa dunia luar dan para wakil serta duta besar dari negara masingmasing dapat mendengarkan sedikit lebih dalam mengenai Islam di Indonesia yang mungkin tidak sama dengan Islam di negara mereka, misalkan Arab Saudi. Kalau kita lihat ke depan, mungkin Indonesia bisa menjadi contoh.”

Sementara Dr. Chiara Formichi, pakar sejarah Islam di Indonesia dari Universitas Cornell di Ithaca, New York, mengatakan bahwa, “Gagasan Islam Nusantara sangat erat dengan budaya dan sejarah Indonesia. Saya tidak tahu bisa diterapkan di negara lain atau tidak, tetapi yang jelas bisa menjadi contoh untuk mengerti mengapa seseorang memeluk Islam.”

Tak butuh waktu lama, tema itu pun menggelinding sempurna. Kembali ke haribaannya semula, Nusantara. Pusparagam tanggapan bermunculan. Terutama yang mencuat di banyak media massa arusutama. Letupan ini masih bergayung sambut di beberapa media sosial melalui akunakun yang kerap disebut seleb tweet oleh para netizen. Tiga di antaranya adalah: Akhmad Sahal (@sahaL_AS), @hafidz_ary, dan Mohamad Guntur Romli (@GunRomli).

Saya mengenal Sahal dan Guntur sebagai santri teladan. Sedang Hafidz, “santri” Mbah Google yang setia. Sahal adalah kandidat Ph.D di Department of Religious Studies, University of Pennsylvania. Guntur aktif di Jaringan Islam Liberal (JIL). Sementara Hafidz getol menolak JIL berbekal pemahaman keislamannya yang serba mentah—buah yang ia petik selama gabung di PKS dan civitas akademika Institut Teknologi Bandung.

Terkait apa saja yang sudah mereka perbalahkan, sila Anda telusur sendiri via internet. Saya hanya akan menyoroti dampak ikutan dari perdebatan panjang mereka, yaitu munculnya sekelompok Muslim awam ke permukaan dengan begitu percaya diri. Tanpa babibu mereka bisa segera menghujat dan menghakimi orang lain yang berbeda pendapat hanya berbekal informasi sepenggal dari Google atau bukubuku yang ditulis oleh para penulis yang ilmu keislamannya serba nanggung.

Keawaman yang saya soroti di atas, sudah pernah didedah oleh filosof kampiun Andalusia, Ibn Rusyd (l. 14 April 1126, Kordoba, Spanyol – w. 10 Desember 1198, Marrakesh, Maroko) dalam kitab Bidayatul Mujtahid. Ia menerakan bahwa umat manusia sampai kapan pun jua hanya akan terbagi dalam tiga golongan saja: umum (‘am), khusus (khas), dan khususnya khusus (khawas al-khawas). Bila mau meluangkan sedikit waktu untuk merenung, maka penalaran Ibn Rusyd ini akan terbukti benar adanya.

Saya lengkapi lagi buah pikiran Ibn Rusyd tersebut dengan olah pikir sang pembela Islam, al-Ghazali. Dalam banyak kitabnya, terutama al-Munqidz min ad-Dhalal, al-Ghazali mengatakan bahwa umat manusia terbagi dalam empat golongan besar:

Pertama, mereka yang tahu kalau mereka tahu.
Kedua, yang tahu kalau mereka tak tahu.
Ketiga, yang tak tahu kalau mereka tahu.
Keempat, yang tak tahu kalau mereka tak tahu.

Sebagai ulama besar, tentu al-Ghazali serius dengan tipologi manusianya itu. Perkara kita sekarang adalah, maukah kita menekurinya barang sejenak? Kirakira ada di urutan ke berapa posisi kita selama ini selaku umat Islam? Silakan dijawab sendiri.

Para alim ulama bijak bestari kemudian menyamakan golongan khususnya khusus (khawas al-khawas) Ibn Rusyd dengan tipologi manusia urutan pertama versi al-Ghazali. Secara akal sehat maka kita pun mudah mengamininya. Sila dibuktikan sendiri dalam masyarakat manusia hari ini, betapa sesungguhnya mereka yang berilmu hanya segelintir saja dari sekian milyar manusia di daratan bumi ini.

Pun begitu dengan para alim ulama (kiyai). Merujuk data Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI tahun 2014, jumlah pesantren di Indonesia mencapai 43.042 dengan total santri sekitar 7.636.938. Dengan kata lain, hanya ada 40 ribu-an kiyai yang saat ini tengah aktif mendidik para santrinya—yang kelak akan menggantikan mereka. Jumlah tersebut sangat tak sebanding dengan jumlah Muslim Indonesia yang kisarannya mencapai 205 juta jiwa (88,1 persen) dari total penduduk negeri kita.

Katanya Islam
SEBAGAI murid yang sangat beritikad menjadi baik, saya sepenuhnya percaya bila pengetahuan keislaman jelas tak memadai bila hanya dipelajari dari sekolah umum; bukubuku (non-kitab kuning); mengikuti sebuah akun medsos tertentu yang  terkadang lebih sering dikendalikan robot, apa pula mengikuti Mbah Google. Akurasi kedalaman pemahaman dari empat media tersebut, bisa ditakar. Sangat.

         Di tengah derasnya gelombang arus informasi minus data seperti saat ini, umat Muslim Nusantara harus lebih jeli dalam menjalani laku kesehariannya. Supaya tak mudah melabeli orang lain dengan sebutan kafir dan sesat, padahal “kesimpulan” itu diambil dari “katanya” si fulan dan fulan. Katanya Islam, kok gegabah? Kok sembrono dan serampangan?

Muslim yang kaffah (penuh menyeluruh) adalah ia yang akhlaknya terpuji. Lebih senang menyelami diri sendiri tinimbang menghakimi pihak lain.
“Seorang Muslim adalah orang yang di sekitarnya selamat dari tangan dan lisannya.” Al-Hadis
“Keutamaan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tak bermanfaat.” Al-Hadis
“Sesiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hormati tetangga ... Hormati tamu ...  Bicara yang baik atau diam.” Al-Hadis
Gemar menolong dan berbuat baik. Sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam Al-Quran:
“… Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS al-Maidah [5]: 2)
"Sekiranya Aku (Allah) menghendaki, niscaya manusia dijadikan satu umat saja, tetapi Allah hendak mengujimu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlombalah berbuat kebaikan.” (QS al-Maidah [5]: 48)

Condong pada ibu dan istri (feminis-matriarkal). Dasarnya adalah dua dalil di bawah ini:
"… Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sesekali janganlah kamu mengatakan pada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah pada mereka perkataan mulia." (QS al-Isra' [17]: 23).

Pernah suatu ketika datang seorang lelaki menghadap Rasulullah Saw dan bertanya, "Ya Rasulullah, siapa dari manusia yang paling berhak aku utamakan? Rasul bersabda, "Ibumu." Lelaki tersebut bertanya kembali, "Kemudian siapa lagi?" Rasul bersabda, "kemudian ibumu." Lelaki tersebut kembali bertanya, "Kemudian siapa lagi?" Rasul bersabda, "kemudian ibumu." "Kemudian siapa lagi?" tanyanya. Rasul kembali bersabda, "Kemudian ayahmu." (HR Muslim)

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya dan sebaikbaik kamu ialah yang paling baik pada istrinya.“ (HR Tirmidzi)
“Orang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik pada keluarganya, dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian pada keluargaku. “ (HR Imam Tirmidzi, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban serta dishahihkan oleh Al-Albani )
“Tidaklah memuliakan perempuan kecuali orang yang mulia, dan tidaklah menghinakan perempuan kecuali orang yang hina.” (HR Ibnu Asakir).

Lemah lembut.
Maka disebabkan rahmat dari Allah (kepadamu Muhammad s.a.w), engkau telah bersikap lemah lembut kepada mereka. Kalaulah engkau bersikap kasar lagi keras hati, tentulah mereka akan menjauhkan diri darimu. Oleh itu maafkanlah mereka (mengenai kesalahan yang mereka lakukan terhadap engkau, dan mohonlah ampunan bagi mereka, dan juga bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (permasalahan keduniaan) itu. Kemudian setelah engkau berazam (untuk membuat sesuatu) maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran [3]: 159)

Jika memang ingin menyelami Islam lebih dalam, sempatkanlah barang sehari-dua untuk mengunjungi ponpes terdekat dari tempat Anda mukim. Sambangi masyaikh, kiyai, dan para sufi. Mintalah mereka menjelaskan bahkan mungkin mengajarkan Anda bagaimana cara menjadi Muslim yang rahmat li al-‘alamin (merahmati sekalian alam). Bagaimana caranya agar kelak kita jadi manusia sempurna (al-insan al-kamil). Bagaimana juga cara memurnikan tauhid, meninggikan ilmu, dan memulikan hidup.

Sebagaimana Hadis yang pernah dikumandangkan Rasulullah Muhammad Saw yang berbunyi, “al’ulamau warasat al-anbiya: ulama adalah pewaris para Nabi,” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu) maka mari kita gali ilmu dari para kiyai agar bisa membuktikan bahwa Islam Nusantara bukanlah momok yang pantas ditakutkan—seperti yang sudah disampaikan oleh Ketua Umum NU, Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj melalui situs http://www.nu.or.id/:


“Saya tegaskan lagi, Islam Nusantara bukan agama baru, bukan juga aliran baru. Islam Nusantara tidak akan mengajarkan seseorang menjadi radikal, tidak akan mengajarkan permusuhan dan kebencian. Itu yang terpenting.” []

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews