“wa malhayatuddunya illa la’ibuwwalahwun waladdarul akhiratu khairullilladzina yattaquwna afala ta’qilun: dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. maka tidakkah kamu memahaminya?”
(QS al-An’am [6]: 32).
SETINGGITINGGI burung terbang melayang, ia pasti kan kembali ke sarang. Sesibuk apa pun kita sekarang, pasti kepikiran pulang. Kecuali mereka yang gelandangan. Namun segelandangan bagaimana pun orang, tetap saja masih punya tempat bernaung. Tempat berteduh. Tempat kembali, pulang. Apalagi bagi saya yang anak rantau begini. Sudah sejak tamat SMP saya minggat dari rumah. Maka sejak itu pulalah beragam pengetahuan terkait rumah, perumahan, dan keramahannya, mulai jadi perhatian saya. Aneh. Sejak kabur dari rumah, saya malah merasa kepengin cepat kembali ke omah.
Banyak memang yang kemudian saya dapatkan sepanjang masa pelarian dari rumah. Sedari nama baik selaku anak yang seketika rusak, sampai yang terjauh dan tak terbayangkan, dipercaya para guru terbaik yang sekarang membimbing saya. Dulu saya begajulan, sekarang masih. Waktu itu saya berlumuran dosa, sekarang ya masih sama. Kala itu ada saja kemungkaran yang langganan saya kerjakan, sekarang juga. Bedanya sederhana saja. Sekarang saya mulai belajar mencari jalan pulang. Di bawah arahan para pejalan tuhan yang berpengalaman. Jadi besar kemungkinan saya ndak tersesat jalan. Sebab saya berguru pada mereka yang berpengalaman menjadi murid sungguhan.
Secara awam, saya termasuk yang sangat ingin bisa pulang baikbaik. Kerana semua orang di kampung saya orangorang baik. Termasuk orangtua dan leluhur kami. Semuanya baik adab dan akhlaknya. Beda dengan saya yang kerap diselimuti awan hitam kehidupan. Saya terlalu banyak membikin masalah bertambah parah. Saya senang menumpuki dosa sebanyak buih lautan dan molekul udara. Saya sampai lupa cara mencari pahala. Lupa cara menjadi baik. Jadi bajik. Padahal mestinya setiap manusia, sudah berbakat baik dan bahagia sejak dilahirkan.
Saya terkadang jadi ngiri melihat para sedulur Muslim bisa bolak-balik masjid shalat lima waktu. Iri setelah tahu betapa ada begitu banyak cadangan makanan yang bisa mereka siapkan di rumah sejak awal Ramadhan sampai jelang Lebaran. Sementara saya, saking tak cakapnya mengurusi hidup, di rumah hanya ada air putih dan gorengan tempe yang menemani berbuka dan santap sahur, sambil sesekali dilengkapi dengan memandangi wajah para Guru Bijak—di pigura yang saya gantung di tembok rumah. Semuanya sudah marhum dari dunia. Ada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom), Kiyai Ageng Muhammad Besari, HOS Cokroaminoto, Kiyai Muna’am, Sukarno, dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw, manusia mulia yang hidupnya dimuliakan Allah di langit, bumi dan semesta raya ini.
Saat merampungkan tulisan ini, saya menyempatkan mata menatap wajah Nabi Saw. Maka ingatan saya langsung melesat pada sebuah hari di mana doa Jibril as diamini beliau sambil menapaki tangga mimbarnya satu demi satu. Antara pendoa dan yang mengamini, statusnya di hadapan Allah sangat istimewa, khususnya khusus. Lantas apa yang didoakan Jibril as itu? Doa pertama, merugilah anak yang baru bisa bertemu orangtua dan membahagiakan mereka ketika usianya sudah senja. Kedua, merugilah mereka yang apabila disebut nama Nabi Muhammad Saw tapi enggan bersalawat. Ketiga, merugilah kita yang bila Ramadhan berlalu tapi tak beroleh maaf sama sekali. Khusus doa pertama dan ketiga, besar kemungkinan saya masuk di dalamnya. Ketika mengetahui ini pertama kali, saya makin penasaran untuk bisa pulang (biso mulih) ke kampung halaman secara baikbaik.
Jika masih diberi umur, Lebaran nanti saya mau belajar mudik dari nol lagi. Saya kebangetan sering bermain-main dan bersenda gurau. Sampai lupa pulang ke kampung. Asal saya yang sejati. Awal saya lahir ke muka bumi. Sudah terlalu banyak Ramadhan yang lindap dalam hidup saya, dan tak berbekas sama sekali hingga hari ini. Tak membuat saya bertambah tattaquwn (bertakwa) sebagaimana yang tertera di ujung ayat 184 surat al-Baqarah. Besar kemungkinan itu disebabkan saya cenderung lupa bayar zakat fitrah. Zakat diri. Ya, bisa jadi.
Efek dari kelakuan buruk itu jelas. Saya ndak berhak merayakan Lebaran dan Idul Fitri (I’ed al-Fitri). Usut punya usut, ternyata kata fitrah teranggit dari bahasa Arab, yang berarti kembali suci. Akar kata fitrah sendiri merujuk pada kata faa-tha-ra—keawalmulaan sesuatu setelah sesuatu itu sebelumnya tak ada; tercipta kali perdana. Kita bisa menyebutnya sebagai apa yang pertama kali tercipta pada diri ini. saya pribadi meyakini betul, bahwa Lebaran adalah hari sakral bagi setiap Muslim untuk kembali pada kepolosan purbanya. Kesucian seperti awal mula kita dilahirkan. Hari di mana usia kita benar-benar masih berangka nol. Kita semata bergantung pada kreasi penciptaan tuhan sekalian alam. Allah Rab al-‘Alamien.
Sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam (QS ar-Rum [30]: 30), “fa-aqim wajhaka lilddiini haniifan fithrata allaahi allatii fathara alnnaasa 'alayhaa laa tabdiila likhalqi allaahi dzaalika alddiinu alqayyimu walaakinna aktsara alnnaasi laa ya'lamuuna. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Fitrah dan agama setali tiga uang. Hanya mereka yang sudah fitrah bisa menatap agama di hadapannya. Sampai pada satu titik, antara kita dan agama sudah tak lagi ada syarat dan ketentuan. Kita melebur jadi satu. Persis seperti kanjeng Nabi Muhammad Saw. Beliau telah menjadi rujukan terbaik akhlak mulia bagi manusia—setelah sebelumnya mendedah apa itu agama pada para sahabatnya. Bagaimana menjadikan Islam sebagai harta karun bagi diri sendiri.
Masyarakat Indonesia—termasuk yang non-Muslim, punya cara sendiri saat menyelenggarakan Lebaran atau hari besar keagamaan lain, lengkap dengan atribut yang menyertainya. Ada yang berbondong-bondong menyambangi pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru; Memasak kue dan aneka penganan; dan ada pula yang bersiap pulang kampung (mudik). Nah, lantas kemudian apa sangkut pautnya Lebaran dengan mudik?
Bukankah dalam banyak kesempatan, mudik juga bisa dilakukan? Ternyata ini bukan hanya perkara kembali ke kampung halaman demi bertemu orangtua, sanak semenda, atau teman sepermainan di masa kecil. Ini semata soal ziarah diri. Sejauh mana pun kita melangkah, sejatinya kita adalah mahluk yang berhulu-hilir ke angka nol. Ilustrasinya persis seperti saat kita mengisi bahan bakar kendaraan bermotor.
Dari kampung kembali ke kampung. Dari tanah kembali tanah. Itulah fitrah. Debu yang menjadi suci.
Dari Nol Menuju Nol
RASANYA tiada satu manusia pun yang tak rindu keluarga. Semua kita punya rasa yang sama untuk menilai manusia lain—terlebih yang menjadi saudara sedarah kita. Hidup kita ini adalah tentang sebuah perjalanan pergi yang pasti kembali. Hidup bukan perkara memulai, tapi siapa yang sukses sampai di garis finish dengan segar bugar, selamat, sehat sentosa. Entah mana yang kemudian membuat Panjenengan jadi lebih terkesan, saya takkan mempersoalkannya. Soal kita sekarang—lebih tepatnya, soal saya adalah, bagaimana sejatinya Lebaran harus dimaknai, direka ulang, dicandrai, dan diresapi.
Saya meyakini betul bahwa Lebaran adalah hari di mana kebahagiaan tersebar rata ke alam semesta. Rasanya itulah esensi dasar zakat fitrah yang jadi salah satu ritual khas jelang Hari Raya Idul Fitri. Mereka yang miskin papa pun, berhak berbahagia.
Seperti cinta, bahagia itu mengada tanpa kita doakan. Ia hadir bersama kita sejak lahir. Kebahagiaanlah yang mengemudikan tindak-tanduk hidup kita di ruang sosial. Bukan sebaliknya. Andai tujuan kita ialah berbagi kebahagiaan lewat tindak-tanduk, sampai ajal menjemput pun, sesungguhnya kebahagiaan sejati senantiasa hadir.
Kerana hari raya bukan sekadar kembang api, mari kita menanam modal kebahagiaan ke dalam tindakan keseharian. Mari sama merenungi, dari mana kita berasal dan hendak ke mana kita kemudian. Seperti yang digubah Rumi berikut ini dalam syairnya:
Orang hindi suka ungkapan Hindi
Orang sindus suka ungkapan Sindi
Aku tidak melihat uangkapan dan bahasa
Aku memandang ke dalam batin dan keadaan.
Rangkaian Hadis yang dijalin oleh Syaikh Yusuf Makassari ini, barangkali juga bisa turut melengkapi Lebaran kita tahun ini “Agama adalah mengenal Allah (makrifatullah). Mengenal Allah adalah berlaku dengan akhlak (yang baik). Akhlak (yang baik) adalah menghubungkan tali kasih sayang (silaturahim). Sedang silaturahim adalah memasukkan rasa bahagia ke dalam hati saudara (sesama) kita.”
“Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. ar-Rum [30]: 6). Kerana teramat ingin mengetahui, maka saya sering merapal bismillah sebagai mantra kehidupan. Leluhur kita bahkan sanggup mengurai bismillah menjadi biso milah, biso milih, biso molah-malih, dan biso mulih.
Saya kepengin banget mulih ke kampung halaman, tapi ndak tahu halaman ke berapa? []
*teruntuk Kang Candra Malik
No comments:
Post a Comment