Iman Amin Aman




BANGSA NUSANTARA adalah satusatunya di dunia yang menjunjung tinggi nilai ketuhanan dalam laku kehidupannya. Hal itu dibuktikan secara tegas oleh para tetua bangsa kita yang meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama Pancasila, sebagai adicita paling ultim dalam bernegara.

Kata Yang Maha Esa itu menarik dicermati. Kenapa? Sebab yang dipilih bukan eka (Sansekerta), yang berarti tunggal dalam kejamakan. Sangat berbeda halnya dengan esa, yang artinya satu dan satusatunya. Satu yang menyatukan segala. Menyatukan satu persatu dalam satu ruang-waktu. Kata esa ini sejajar makna dengan kata ahad dalam bahasa Arab.

Pertanyaan kita, kenapa Bung Karno dan para tetua bangsa kita tempo dulu, tak mencantumkan kata ahad itu dalam teks Pancasila? Kenapa harus meminjam kosa kata Sansekerta? Saya meyakini itulah yang disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom). Tradisi unik yang tak dimiliki bangsa mana pun di antero dunia ini—wa bil khusus yang punya populasi Muslim. Bahkan Arab Saudi sekali pun, tak.

Bangsa kita punya kemampuan melebur secara harmonis. Sebagai contoh ringan. Betawi sebagai suku termuda, dibentuk oleh sekian banyak suku bangsa di dunia. Seperti Arab, Portugis, Bugis, Afrika, dan Tiongkok (Cina). Lucunya, tak satu pun orang Betawi yang mau disebut Cina, dan sebaliknya. Padahal anasir pembentuk mereka jelas kecinaannya. Sedari pakaian adat hingga kulinari. Lebih lucunya lagi, kedua suku bangsa ini hidup rukun tenteram dalam satu “panci raksasa” bersama Nusantara.   

Jadi tak usah kaget kalau Islam corak padang pasir (oksidental) sangat berbeda dengan Islam yang tumbuh di sini (Nusantara [kontinental]). Islam kita disirami hujan hutan tropis. Dilingkungi lautan luas. Disuburkan tanah vulkanik dari lingkaran cincin api paling mematikan sedunia.

Mari kita kembali pada sila pertama Pancasila yang sempat saya terakan di awal tulisan ini. Kita sama mafhum bahwa bangsa ini menaungi-memayungi dengan baik, bahkan hangat—begitu banyak aliran kepercayaan dan keyakinan. Tak cuma agamaagama besar saja. Selain Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Yahudi, di sini masih ada Baha’i, Buhun, Wetu Telu, Sunda Wiwitan, Parmalim, bahkan Ahmadiyah, agama baru bentukan Inggris saat India hampir melahirkan Pakistan dari rahimnya. Namanama di atas sekadar sebut saja karena jumlah penganutnya termasuk yang lumayan banyak di negeri ini. Masih ada begitu banyak lagi yang belum saya sebutkan.

Anehnya, semua penganut agama tersebut, akur. Tak satu pun mereka yang menggugat sila pertama Pancasila itu. Aneh memang jika kita tak mengerti. Tapi percayalah, jika satu persatu ajaran luhur dari leluhur kita itu Anda selami, niscaya sila pertama itu benar adanya. Di negeri ini tak pernah ada animisme dan dinamisme. Sebab sudah sedari awal yang ada di sini adalah agama Ibrahimi (Bapak para Nabi Allah Swt). Para leluhur kita yang berbahasa Sansekerta menyebutnya sebagai Brahma.    

Perkaranya, sebelum semua agama tersebut kita selami dan dalami, usia kita sudah lebih dulu kandas berkalang tanah. Tapi sebagai sebuah niat baik, tiada salah memelajari barang satu-dua di antaranya. Toh perkara hasil, urusan belakangan.

Penalaran yang saya susun di atas, bisa jadi sebuah premis dasar betapa sejatinya bangsa kita ini bukan sekumpulan manusia rendahan. Bukan recehan. Bukan bangsa sembarangan. Kita ini makhluk adiluhur, adiguna, dan adigung. Kita adalah sekumpulan makhluk Langit yang berjalan di bumi. Kita, adalah sekumpulan manusia yang beriman pada tuhan.

Sekarang kita dedah akar kata iman tersebut. “Iman” adalah mashdar dari kata kerja “aamana” = kata kerja telah, “yu’minu” = kata kerja lagi/akan,” mu’minin” = kata pelaku. Itulah iman. Maka dengan demikian, “aamana” berati telah beriman, “yu’minu” (lagi/akan beriman), dan “mukminun” bisa diartikan yang beriman.

Ditilik dari teori pembentukannya, maka kata kerja “aamana” adalah kata kerja tiga huruf pokok yang mendapat tambahan satu huruf. Ilmu Sharaf (Teori Bentuk Kata) memberi dua kemungkinan pembentukan kata kerja “aamana.

1) Pembentukannya itu adalah dari kata kerja tiga huruf pokok amuna, amana atau amina. Sehingga aamana di sini berarti “percaya, teguh atau kukuh.”
2) Dari kata benda iman itu, lahir Hadis Nabi Muhammad Saw yang dirawi oleh Ibnu Majah ra:
al imanu aqdun bil qalbi wa iqrarun billisani wa amalun bil arkani
“iman ialah tambatan hati yang menggema ke dalam seluruh ucapan dan menjelma dalam segenap laku perbuatan.”

Masing-masing dari kedua kemungkinan ini akan memberikan dampak pada ruang lingkup pengertian berbeda dan tajam pada istilah iman. Tak berlebihan jika sebagai seorang Muslim saya meyakini bahwa, Allah Yang Maha Bijak Bestari, sangat menyayangi bangsa ini. Betapa tak. Kita hidup di atas tanah berbahaya yang di dalamnya bersemayam tiga lempeng tektonik benua (Eurasia, Indo-Australia, Pasifik) paling mematikan sedunia. Setiap tahun, tumbukan ketiganya menyebabkan permukaan tanah naik lima sentimeter. Efeknya, gempa tektonik bersusulan setiap hari dan ancaman tsunami kerap mengintip di balik bilik takdir Ilahi.

Belum lagi jika kita mencermati adanya ratusan gunung api aktif yang siap muntah kapan saja. Aneh bin ajaib. Kita tetap berani mukim di negeri berbahaya ini (Hadramaut, nama lain dari negara Yaman yang koheren dengan terjemahan leksikal nama Nusantara). Kita tetap tawakal hidup di sini. Tetap sabar dan someah (begitu kata orang Sunda).

Akhir kata, saya haqqul yaqin mengamini pesan Kang Candra Malik yang beliau kirimkan via jalur WhatsApp sore tadi, “Jika negeri ini memiliki rakyat yang beriman, maka rakyatnya adalah orangorang yang laik dipercaya, aman sentausa, dan makmur oleh doadoa terkabul.” Inilah kita, bangsa Nusantara. Negeri tenteram kerta raharja. [16/07/2015]


Maafkan jika saya khilaf dalam ini tulisan

Selamat berlebaran pada saudara seiman

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews