oleh Maulana Ramza Rizki
-bersama Bambang Dwi Cahyo
Di bawah lampu meja makan
yang terabaikan
Kita menggenggam cermin.
Di pintu
Ransel dan koper menunggu.
Berisi sesak segala kesah gelisah
Tentang perjalanan yang tak terbayangkan.
Memenuhi sela pakaian kotor
Noda perjalanan masa silam.
Sebelum sampai di telingaku
kisah tentang perjumpaan.
Dengan cermin, kita becermin
Atau ia akan mencungkil mata sayumu
Yang terbawa saat kita tak mampu terjaga.
Kemudian kita berjalan
Membawa cermin sendiri sendiri.
Serpihan petunjuk gaib yang lelap di puncak gunung.
Turun membawa bentuk bayang
Bayangku dan bayangmu.
Yang terpenjara dalam ruang kaca
Tak bisa kemana-mana.
Di perjalanan
Kaulihat nama sebagai tanda
Kutunjuk tanda sebagai irama
Dan dengarkanlah suara penentu
Kemana kita akan menuju.
"Kita harus temukan jalan" katamu
Di hitam putih warna
Pada peta perjalanan yang sama.
Ada abu-abu
Dimana kita tak sempat ragu.
Saudaraku, di gentar kakimu
Ada pintu-pintu menunggu.
Tapi pintu itu hanya pintu persinggahan
Sebagai penghias kenangan.
Karena lampu meja makan ini masih menyala
Masih terabaikan.
Saudaraku, mari lanjutkan perjalanan.
Juli 2015
No comments:
Post a Comment