(foto: The New York Times) |
SEJAK
permulaan Abad ke-20 hingga pertengahan 2019 ini, Muhammadiyah & Nahdlatul
Ulama (NU) adalah dua organisasi Islam terbesar di seantero dunia. Sekitar 85
juta Muslim Indonesia bernaung ke NU. 50 juta yang lain memilih Muhammadiyah.
Jumlah sebesar itu sama dengan 65 persen dari seluruh penduduk beragama Islam
di Indonesia.
Setengah
Abad silam, daya gedor NU-Muhammadiyah tak perlu diragukan sepanjang sejarah
lahir & berdirinya Republik Indonesia. Sekarang, lain lagi ceritanya. 135
juta anggota NU dan Muhammadiyah hanya sebatas statistik semata. Mau bukti?
Perhatikan saja bagaimana kini NU dan Muhammadiyah tidak bisa lagi memegang
kendali umat--yang justru sedang digelandang pergerakan Trans-Nasional. Kini
mereka telah menjelma dalam wujud gerakan pendirian khilafah salah kaprah.
Mereka
adalah gerombolan penerus gagasan Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tharir dan ingin
mendirikan kekhalifahan Islam--yang jelas apkir secara zaman. Pelahan namun
pasti, mereka terus menggerus kehadiran NU dan Muhammadiyah yang masih setia
dengan Pancasila dan menjaga NKRI.
Kenapa
hal demikian bisa terjadi? Karena kelompok itu justru dibiarkan tumbuh subur
pada era SBY menjabat sebagai presiden (2004-2014). Selama rentang satu
dasawarsa itu, geng Trans-Nasional banyak mendapatkan ruang hidup, beroleh
subsidi, juga difasilitasi untuk tumbuh.
Dengan
cara begitulah, kelompok mereka semakin membesar, lalu mulai memotong
"kaki" NU dan Muhammadiyah di masjid², pengajian, kampus, dan
sekolah, secara brutal.
Semula,
gerakan ini hanyalah kelompok kecil yang hadir pada medio 1970-an. Semasa Orde
Baru, mereka masih tiarap. Baru setelah Reformasi bergulir, mereka mulai unjuk
gigi. Anehnya, melihat tren ini, SBY justru melakukan pembiaran dan malah
mengakomodasi mereka demi memperkuat kekuasaannya.
Persis
seperti yang dikehendaki. Setelah tumbuh, dana bantuan dari Timur Tengah
melalui jaringan Wahabi, lantas mengalir deras bersamaan dengan fasilitas yang
diberikan Pemerintahan SBY. Sepuluh tahun itu cukup bagi mereka tuk membesar
dengan anggaran berlimpah ruah.
Mari
amati satu-persatu rombongan Trans-Nasional yang mulai membuat NU dan
Muhammadiyah gigit jari.
Pertama,
Ikhwanul Muslimin (IM). Lazim dikenal dengan nama Moslem Brotherhood (di manca
negara). Didirikan di Mesir pada Maret 1928 oleh Hassan Ahmed Abdel Rahman
Muhammed al-Banna. Saat ini mereka telah menyebar di 70 negara dengan
menggunakan metode halaqah.
Gerakan
IM ini terbelah menjadi dua arusutama:
Ada
Ikhwan Tarbiyah, yang menjadi cikal-bakal Komite Aksi Muslim Indonesia. Setelah
Reformasi tiba, mereka berubah bentuk jadi Partai Keadilan, lalu bersalin rupa
lagi menggunakan nama.
Selain
itu, juga ada Ikhwan Jihad, yang menggunakan kekerasan. Purwarupa Jam'iatul
Muslimin, Jama’ah Islamiyah, dan Jamaah Jihad. Ketiganya bermuara pada
pembentukan Al Qaeda. Di Indonesia, IM dideklarasikan pada 1994. Lebih banyak
bergerak dalam kelompok Tarbiyah SMA yang menyusup ke Rohis, serta Perguruan
Tinggi (LMD/LDK).
Tujuan
utama Ikhwan Tarbiyah yaitu membentuk daulah Islamiyah dengan cara
non-kekerasan. Bagus sekali kan. Nah, mereka memanfaatkan instrumen demokrasi
dengan mendirikan partai dan merebut kursi parlemen demi mewujudkan cita² yang
sumir itu. Mereka pun turut membentuk jaringan Ikhwan Tarbiyah ke seantero
dunia di bawah satu payung: The International Forum for Islamic Parliaments
(IFIP).
IFIP
ini pernah mengadakan pertemuan di Jakarta pada 2007, bahkan menetapkan Jakarta
sebagai sekretariatnya. Kala itu, SBY dengan bangga (mungkin juga saking
polosnya) malah hadir selaku pembuka acara IFIP. Sila kunjungi
m.tempo.co/read/news/2007. Miris.
Lain
lagi dengan perilaku Ikhwan Jihadi. Mereka adalah sayap garis keras yang muncul
di Indonesia setelah dipicu perang Afghanistan. Gerakan ini menemukan bahan
baku pada aktivis Darul Islam Indonesia (DII) yang didirikan Jamaah Islamiyah
(JI) pada 1991. Seluk-beluk pahlawan kesiangan ini bisa Anda selami dalam buku
ISIS: Kebiadaban Konspirasi Global. Tujuan utamanya satu saja: mendirikan
khilafah Islamiyah dengan menggunakan metode kekerasan
(allaboutwahhabi.blogspot.co.id/2011/09/).
Kedua,
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)--yang menolak konsep demokrasi dan menekankan
paham kekhalifahan. HTI jelas tidak menerima NKRI dan Pancasila. Wajar bila
kemudian mereka juga tidak mau menghormat bendera Merah Putih. Pola pergerakan
HTI adalah kaderisasi, sosialisasi, dan merebut kekuasaan.
Gerakan
terselubung HTI berawal dari aktivis Masjid Al-Ghifari, IPB Bogor, yang
disebarkan melalui halaqah². Kadernya juga aktif melakukan
sosialisasi-kaderisasi dengan memanfaatkan masjid sebagai media
"dakwah." Setali tiga uang dengan Ikhwan Tarbiyah, mereka juga
melakukan penyusupan ke sekolah dan kampus², lalu mengajak korbannya menghadiri
pengajian a la HTI.
Karakter
HTI mudah sekali ditebak: mengangkat isu struktural dan global, bahaya
kapitalisme, dominasi USA serta sistem ekonomi dan adicita politik alternatif.
Lalu jawaban yang mereka sodorkan hanya satu: ganti NKRI dengan sistem
khilafah. Bagi mereka, khilafah adalah harga mati! Tiket masuk surga satu²nya.
Ketiga,
gerakan Salafi Dakwah dan Salafi Sururi yang berkembang dengan bantuan dana
dari pemerintah Arab Saudi. Awalnya mereka adalah segelintir alumni Lembaga
Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA).
Sepanjang
era SBY mendekam di Istana Negara, gerakan Trans-Nasional banyak menggerogoti
basis² organisasi massa. Masjid² NU dan Muhammadiyah mulai dikuasai IM dan HTI.
Sementara gerakan Salafi mengambil jamaah Nahdlatul Ulama puritan dengan pendekatan
pesantren. Taktik menguasai masjid ini bolehlah dikatakan berhasil.
Mereka
masuk melalui kaderisasi yang sangat agresif di forum Kerohanian Islam (Rohis).
Kader² mereka aktif mendekati pelajar dan mahasiswa dengan pendekatan
emosional, empati, dalam Liqo. Selanjutnya, korban pun diajak bergabung ke
halaqah jaringan kaderisasi yang bergerak berjenjang dalam model sel² kecil.
Ada
hal unik yang bisa kita amati. Model kerja sel kecil ini asal muasalnya
diciptakan oleh komunis internasional. Anda tahu kan kalau kelompok
Trans-Nasional ini senang menggaungkan jargon anti-komunis? Ternyata cara
penguatan jaringan a la komunis mereka pakai juga. Bedebah!
Setelah
berhasil dengan kaderisasi di perguruan tinggi, gerakan Tarbiyah pelan²
menyusup masuk ke sektor negara melalui PNS, anggota TNI, Polri, dan para
profesional. Lagi² pada era SBY, mereka juga menikmati kemewahan beasiswa dan
tugas belajar ke luar negeri.
Setelah
sampai di negeri manca, mereka aktif membangun jaringan--yang kemudian semakin
terbentuk setelah kembali ke Tanah Air. Lima tahun lalu, mereka mulai menguasai
masjid kementerian/BUMN dengan "penjual obat akhirat" dari kader
Tarbiyah dan HTI. Model dagang lain yang dikembangkan adalah melalui media dan
medsos. Bahkan kelompok ini aktif mengisi acara di RRI & TVRI. Dua stasiun
media yang jaringannya paling kuat secara nasional.
Belum
berhenti sampai situ. SBY malah mengangkat menteri Kominfo yang kader PKS.
Dengan penguasaan kementerian Kominfo oleh Tarbiyah, mereka pun leluasa
mengendalikan saluran media nasional, termasuk Antara. Mereka juga berjaya
mendekatkan diri ke generasi muda labil melalui media sosial, grup BBM &
kini, WhatsApp.
Hal
demikian itu membuat metode dakwah NU dan Muhammadiyah ketinggalan kereta. Tak
tanggung², gerakan Trans-Nasional ini sudah lebih dulu membentuk pasukan dunia
maya (cyber army) di medsos. Mereka tak hanya menebar perangkap
"dakwah" gaya Tarbiyah dan HTI, namun juga menyebar fitnah berdalih
agama untuk menyerang kelompok lain yang jadi lawan berat mereka.
Upaya
menggerogoti kepemimpinan NU dan Muhammadiyah juga mereka lakukan dengan
membentuk Majelis Dzikir Nurussalam SBY. Bermodalkan kelompok ini, SBY ingin
punya kendali langsung atas massa Islam tanpa harus menegoisasi NU dan
Muhammadiyah. Cara ini juga berkembang seiring sejalan tren maraknya para
"habib" yang mendirikan kelompok dzikir dengan pengikut ribuan.
Kumpul²
gaya baru ini sekilas hanya berdizikir, namun dengan acara itu, bisa jadi ajang
melakukan konsolidasi massa--terutama yang diarahkan ke anak² muda. Lantas apa
alasan yang melatarbelakangi SBY menyusui Majelis Dzikir Nurussalam yang secara
struktur dipimpin Utun Tarunadjaja pada tahun 2000? Tak lain dan tak bukan,
sebagai mesin politik (uang) tim suksesnya.
Gelombang
kehadiran gerombolan Trans-Nasional juga menyerang dengan gerakan Neo Cortex
(Al Ghozwul Fikr), Proxy dan Psyco War (Perang Pemikiran, Rekayasa Psikologi
dan Intrik Politik). Menggunakan sentimen agama (aliran Islam
palsu/Khawarij/Wahabi), fanatisme buta dan politik kebencian sebagai alat
melemahkan warga NU dan merayahi NKRI.
Serangan
pada ulama² pengawal NU dikemas menjadi fltnah dan berita bohong. Sebagian di
antaranya dilakukan oleh kalangan yang lucunya "mengaku" Nahdliyyin
juga. Tujuannya jelas. Menghilangkan kepercayaan umat pada ulama, poro Yai,
& Habaib², lantas mengalihkannya ke golongan mereka.
Masih
ingat safari mawlid ke pelbagai daerah & shalat Shubuh berjamaah? Dua
agenda ini sungguh sangat bagus sekali--jika tak ditunggangi berahi politik.
Sila Anda buktikan sendiri masjid yang marak jamaah Shubuhnya. Pasti
berjejaring dengan HTI, Wahabi, & Saudi. Kami jadi teringat nubuat Nabi Saw
terkait ciri² zaman akhir. Satu di antaranya, jamaah shalat Shubuh sama banyak
dengan shalat Jumat. Entahlah...
Satu
lagi. Demi terwujudnya daulah Islamiyah dan kekhalifahan, cecunguk
Trans-Nasional terpaksa menerima Rizieq Syihab sebagai pemimpin gerakan.
Walaupun mereka tahu bahwa orang yang satu ini dulunya dibesarkan oknum tentara
dengan kendaraan Front Pembela Islam. Mereka juga sadar kelemahan Rizieq yang
mudah dibeli elit politik dan punya sejumlah cacat. Artinya, ia bisa setiap
saat di(ter)singkirkan.
Jadi
tak usah kaget jika Rizieq mereka dorong masuk perangkap makar. Hasilnya? Anda
sudah tahu kan. Sekarang gantian mereka yang memimpin pertarungan melawan
Pemerintahan Jokowi.
Mungkin
NU dan Muhammadiyah sudah bisa merasakan posisi mereka yang saat ini sedang
berdiri di atas seutas benang lenting. Sebagai pamungkas, kami sodorkan sebuah
laporan singkat dari sejarahwan cum Indonesianis, Peter Carey;
"Jangan lupa peran orang asing dan
instansi MI6 (intel militer Inggris) dan CIA (Amerika) dalam siasat
menggulingkan Bung Karno (BK). Saya Ingat pada Februari 1974, sewaktu diangkat
sebagai ‘Dosen Penelitian’ (Research Fellow) di Magdalen College, Oxford. Rekan
saya, David Norbrook, ahli sastra Inggris diangkat pada bulan yang sama. Ayahnya
David, adalah Kepala kantor berita BBC di Singapura saat BK digulingkan dan ia
mengakui bahwa fasilitas BBC dipakai MI6 untuk menyadap semua pembicaraan BK
dengan para menteri dan perwira loyalisnya--melalui telepon (saat itu masih
berupa landlines & shortwave radio transmissions). Semua penyadapan itu
langsung dikirim ke Soeharto dan pendukunya. Jadi peran Inggris dan AS dalam
tragedi 1965, menurut saya, sangat besar."
Maka
ujaran Bung Karno saat memimpin Gerakan Non-Blok yang berbunyi, "Inggris
kita linggis, Amerika kita setrika!" menemu ruangnya lagi pada saat ini.
Terutama ketika Indonesia kembali dihadapkan pada renjana jahat perang saudara
kala menggelar Pilpres 2019. Syukur alhamdulillah, bangsa ini lebih memilih
guyub, adem-ayem, hidup rukun tentrem kerta raharja. Rahayu sagung dumadhi.
Sampai
di situ semoga rekan pembaca sekalian, paham. Mari kita rawat negeri nan
misterius ini seturut pitutur luhur yang telah dibentuk para kamitua selama
puluhan ribu tahun lalu, bukan doktrin impor palsu yang terbukti bikin kisruh
di belahan bumi lain. Ajaran luhur itu, senantiasa akasyah lan ajarah. Tiada
melapuk. Tak menua seiring ruang-waktu sejarah. []
Telah dimuat di Alif.id pada Jumat, 2 Agustus 2019
No comments:
Post a Comment