PhotoGrid |
MARI sejenak membayangkan
bagaimana nasib Islam bila Allah tak menitipkan tongkat estafetnya pada bangsa
besar Nusantara?
Hasilnya adalah, "anak
kandung" agama bahari ini sudah punah sejak kemangkatan Rasûlullâh
Muhammad Saw pada abad ke-7 M. Keratuan Kalingga barangkali tak harus
meleburkan mugiya rahayu sagung dumadhi menjadi assalamu'alaikum warahmatullahi
wabarakatuhu, yang dibawa 'Ali bin Abu Thalib ke sini. Generasi awal Wali Songo
mungkin tak usah membangun jaringan luarbiasa kokoh di sepanjang pantai utara
Jawa hingga ke tanah Hijaz.
Kubilai Khan ndak usah repot²
mengutus armada militernya menghadap Dyah Wijaya--lantas menitahkan anaknya,
Hulagu Khan, memberangus Dinasti Abbasiyah yang melenceng. Belanda tak perlu
repot² menghadapi Sultan Agung, Aru Palakka, Sultan Hasanuddin, Pangeran
Diponegoro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Imam Bonjol, lalu dikemudian dihadapi
secara intelek oleh Umar Said Cokroaminoto & para bangsawan pikiran
lainnya. Takkan ada lah Liga Bangsa-Bangsa (kini PBB) yang dianjurkan Raden Mas
Panji Sosrokartono.
Muslim sedunia takkan mengenal
Syeikh Yusuf Makassar yang menginspirasi Nelson Mandela. Ulama di muka bumi
usah pula mengagumi Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabawi, Syeikh Nawawi al
Bantani, & Syeikh Yasin Isa al Fadani, lantaran daya jangkau ilmu
ke-Islaman mereka yang menembusi tepian batas zaman.
Ibn Saud nggak mesti
mengindahkan Komite Hijaz pimpinan Kiyai Wahab Chasbullah, demi membendung
kegilaannya yang ingin membongkar makam Nabi Muhammad Saw.
Kolonialisme-neoliberalisme
tak perlu berhadapan dengan Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy'ari & KH
Ahmad Dahlan--dengan Nahdlatul Ulama & Muhammadiyah yang mereka dirikan.
Dua organisasi Islam yang skalanya melebar ke seantero dunia. Pendidikan umat
Islam Indonesia hari ini, jelas berhutang budi pada dua matahari kembar Tanah
Jawa tersebut--yang cerlang cahayanya masih bersinaran hingga saat ini.
Gerakan Non-Blok yang
digelorakan Sukarno takkan melecut nyali para pemimpin revolusi besar, untuk
menumpas tirani kolonialisme. Pertemuan para pendiri negara-bangsa Asia-Afrika
yang berkumpul di Mesir pada 1961, kemudian menahbisnya sebagai Pahlawan Islam.
KTT Asia Afrika setahun kemudian, adalah buah manis yang dipetik Bung Karno
dari pergulatannya dengan Dunia Islam.
Setengah abad berselang, Gus
Dur melanjutkan kerja besar kakeknya. Menumbangkan rezim Orde Baru. Memimpin
Indonesia sebagai presiden. Melanglang buwana menjalin persaudaraan semesta.
Mengenalkan Islam secara jenaka kepada para pemimpin dunia. Mengubah peta jalan
politik. Menekan Israel dengan lobi tingkat tinggi yang belum pernah dilakukan
presiden mana pun.
Sekarang kita kaji sisi
lainnya. Indonesia bukan hanya unggul secara kuantitas selaku negara
berpenduduk Muslim terbesar sedunia. Tak hanya itu. Di negeri ini, ada 1.340
suku bangsa, 300 kelompok etnik, 742 rumpun bahasa, dan ini yang mencengangkan:
200-an lebih keyakinan tua yang beberapa di antaranya malah lebih dulu ada
sebelum Nabi Muhammad Saw lahir ke bumi. Uniknya, semua itu lebur dalam Islam,
atau sebaliknya. Sehingga kehadiran agama Langit terakhir ini, seolah menjadi
pelengkap rasa sejati bagi masyarakat Nusantara.
Bukti terkait itu bisa kita
telusuri melalui tinggalan lontara pada abad ke-14 M karangan Mpu Prapanca yang
berjudul Nirarthaprakreta, dalam pupuh keenam:
(baris pertama) Iwa mankaneki gati san hyan umibeki
samuhanin dadi. Ya mawak pawak ya ginawe gumaway ikan acintya niskala.
Sasinadhyanin tapa masadhya rin angulahaken giwarcana. Hana tan tumut tuwi
tumut ta ya raket i sapolahin sarat.
Seperti itulah halnya Dia,
yang ada dalam seluruh makhluk dan yang memenuhi segala makhluk. Dia Hyang
Meliputi dan sekaligus Diliputi. Dia-lah yang diciptakan ini semua, dan Dia
juga yang menciptakan, yang tak dapat dicapai dengan pikiran dan segenap indra;
menjadi tujuan semua pertapa yang menyembah-Nya. Dia hadir dan dekat dengan
segala makhluk, ikut di dalam segala perbuatan makhluk, tetapi juga tidak
berbuat.
(baris kedua) Rin apan kawastwan i siran grahana tubu
widehalaksana. Ya matannya durgama kapangihanika tekapin mamet hayu. Humenen
nda tan wenan atarka ri karegepanin samankana. Katunan tutur hidepikan lebar
abalika wreddhyanin lupa.
Bagaimanakah (manusia) dapat
menggambarkan-Nya dan meraba-Nya, karena Dia sungguh-sungguh bersifat ‘Tak
bermateri’? Itulah sebabnya Dia sangat sukar ditemukan oleh orang yang berniat
mencapai Kebahagiaan. Hanya pada waktu manusia mampu men-‘diam’-kan diri (dari
segala pikiran liarnya) dan disaat manusia ‘tak merasa menemukan-nya’, maka
akan hilang lenyap rasa dan pikiran kembali kepada ‘Ke-alpa-an yang Sempurna’,
(dan dapat bertemu Dia).
Leluhur kita dahulu
mengalihbahasakan lagi wejangan Mpu Prapanca itu menjadi tan keno kirino (tiada
terperi), tan keno kinoyo ngopo (tak berkesejajaran dengan apa pun). Islam
hadir dengan bahasa Arab yang artinya juga bermiripan. Laysa kamitslihi say'un
(tiada sesuatu yang bisa menyamai) atau mukhalafatu lil hawaditsi (berbeda dari
makhluk-Nya).
Bentuk pencapaian makrifat
sedemikianlah, yang membuat Islam tumbuh subur di zamrud Khatulstiwa ini.
Muslim di Timur Tengah sana, yang dalam sejarah bahkan telah menyaksikan
langsung kehadiran para Nabi-Rasul Tuhan, tak sanggup mengelola kesukuan bangsa
mereka yang padahal homogen. Hingga tulisan ini kami susun, Saudi Arabia,
Suriah, Libya, Tunisia, Lebanon, Irak, Iran, masih bertikai sengit antar
sesama--yang ironisnya sama² Muslim.
Sebagai antidot bagi saudara
kita di Timteng sana, bangsa kita dianugerahi Tuhan serbaneka kelebihan yang
tak terperikan. Dari sekian banyak bangsa di dunia, dari pelbagai aneka umat
Muslim yang ada, hanya bangsa Indonesia yang dengan tingkat keseriusan tinggi,
membakukan mudik sebagai ritus bersama. Berjamaah tapi tanpa imam. Dirayakan,
bahkan dalam diam.
Sejak tiga dekade lalu kami
mengenal Ramadhan, rasanya sukar mencari orang perdana yang "mengajari"
Muslim Indonesia mudik ke kampung halaman. Lebih dari itu, mudik juga sudah
ditradisikan pula oleh saudara sebangsa kita yang bukan beragama Islam. Dengan
suka cita, mereka pun turut dalam gelombang besar pemudik pada penghujung
Ramadhan--setiap tahun.
Entah bagaimana riwayat asli
mudik sebelum jadi seperti sekarang ini, hanya Tuhan sajalah yang tahu. Itu
ranah yang tak perlu dipusingkan. Sebab yang utama dari mudik adalah, kita
wajib menjalankan perintah-Nya agar "saling kenal mengenal dan menyayangi."
(QS. al-Hujurat [49]: 13).
Mudik, sangat dekat dengan
upaya saling mengenal. Sangat besar kemungkinan mengajari kita arti penting
rasa kasih-sayang yang kental. Mengalami momen mudik dan lebaran, membuat kami
kian yakin bahwa bangsa kita sudah berbakat bahagia sejak dahulu kala. Keriuhan
Pilpres 2019 seketika mereda jelang akhir Ramadhan. Para pendukung Jokowi &
Prabowo mendadak senasib sepenanggungan manakala melintasi jalur mudik menuju
kampung halaman. Semata karena ingin bersua handai tolan.
Sebelum Jokowi berhasil
memenangkan pertarungan pilpres, dan menjabat orang nomor satu Indonesia medio
2019-2024, ia telah lebih dulu didapuk sebagai Presiden Dewan Keamanan PBB
selama lima tahun ke depan. Inilah kali pertama seorang kepala negara beragama
Islam, menduduki posisi paling strategis pada zaman modern. Pertanyaannya,
kenapa harus Jokowi?
Dari sekian banyak negara
berpenduduk Muslim, tak satu pun yang sanggup menenggang perbedaan mazhab kalam
(ushuluddin), fiqh, dan tariqat yang masih jumbuh dalam sejarah manusia. Iran
yang dulu Sunni, kini Syi'ah. Saudi yang semula kosmopolit, sekarang
sumpek-judeg dengan Wahabisme. Begitu juga dengan Afghanistan, Pakistan,
Bangladesh.
Pembedanya pun lumayan tegas.
Di Indonesia belum pernah, dan mungkin takkan ada yang namanya mufti. Kita
sudah cukup bersyukur dihadiahi Allah dengan seorang Prof. Quraisy Shihab, Mbah
Maimun Zubair, Gus Mus, Habib Luthfi. Tiada diperlukan lembaga sertifikasi.
Majelis Ulama Indonesia hanya sekadar nama. Bukan penentu kebijakan. Empat nama
di atas itu saja, belum mewakili golongan khawash l-khawash (khususnya khusus)
yang lazim dirujuk para kiyai dalam sunyi-sepi hiruk-pikuk manusia.
Belum lagi jika kita menguliti
bagaimana para pemeluk Nasrani & Yahudi, yang dengan leluasa menjalankan
laku beragama mereka. Bahkan hanya di sini saja ada pemeluk Nasrani yang
lidahnya bisa dengan mudah menyebut alhamdulillah, insyaAllah, Allahuakbar,
tanpa harus merasa risih.
Ajaran rahmatan lil 'alamin
yang menjadi spirit utama Islam, sudah sejak lama mendarah daging dalam
kehidupan orang Nusantara. Kita biasa mengenalnya dengan istilah gotong-royong,
tepo seliro, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Islam yang
mengedepankan nafas komunalisme, kemudian bersalin rupa menjadi Partai Komunis
Indonesia pada ranah politik. Wajar bila Vladinir Lenin kebingungan melihat Tan
Malaka--yang lucunya telah menghafal al Quran sedari usia tujuh tahun.
Apalagi yang telah & akan
terus disumbangsihkan Muslim Indonesia?
Jawaban yang paling tak bisa
ditampik adalah: kedamaian. Ya, di Bumi Pertiwi inilah serbaneka manusia hidup
rukun berdampingan, sejak lama sekali. Tak perlu konsep ahlul dzimmi
sebagaimana yang diterapkan Dinasti Umayyah II di Spanyol.
Sebagai penerus ajaran Budhi
Dharma, Kapitayan, Brahma (merujuk pada Nabi Ibrahim as yang juga disebut
Abraham), menjadi mudah bagi kita menerima & menjalankan Islam secara utuh
dengan pendekatan akhlak sempurna. Laku luhur yang lindap di negeri para nabi
itu, sudah semerbak mewangi di Sundalandia. Nama kuno bangsa kita sebelum kelak
menjadi Indonesia--yang dari segi arti, mengandung konotasi yang kurang tepat.
Demi melacak jejak sumber
penerimaan Islam sejak awal kehadirannya di dunia, kita bisa merujuk pada hasil
telisik Stephen Oppenheimer, Arysio Santos, dan terkini, sekelompok peneliti
Jepang yang mendaku bahwa seluruh umat manusia berasal dari Sundalandia. Riset
yang cukup mumpuni juga dikerjakan oleh Denys Lombard dalam tiga jilid Nusa
Jawa Silang Budaya. Ia berhasil menguraikan dengan baik bagaimana bangsa agung
Nusantara menyalin ulang begitu banyak khazanah kemanusiaan--yang sesungguhnya
bermula dari sini, dan kembali pulang ke pangkuan Ibu Prativi.
Beberapa penelitian terbaru
yang di antaranya berdasarkan tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), termasuk yang
dari Jepang, menyatakan bahwa anak-cucu manusia modern saat ini berasal dari
Sundaland (dalam tulisan Jepang: スンダランド = ditranskripsikan menjadi
Sundarando). Bangsa pertama yang membangun peradaban maju, dengan kondisi alam
terkaya di dunia.
Kita semua berawal mula dari
bangsa Sunda: Besar dan Kecil. Berjiwa Jawa (bahagia). Berkonsep kenegaraan
Nusantara, dengan motto sosial-kerakyatan Silihwangi (saling mengharumkan)
melalui proses Silih asah, silih asih, silih asuh (saling menularkan
pengetahuan, berbagi kasih, dan saling mengasuh). Dialihrupakan oleh Sukarno
menjadi Pancasila.
Barangkali sidang pembaca
sekalian sudah cukup akrab dengan begitu banyak ayat, hadits, dan atsar
(tinggalan jejak) dari para sahabat Nabi Saw, terkait hidup dalam balutan cinta,
kasih, dan sayang. Kami tak perlu lagi menyertakannya dalam tulisan sederhana
ini. Silakan gali sendiri seturut kebutuhan masing². Bila Anda ingin dicintai
kehidupan, maka cintailah diri sendiri & orang lain.
Islam sudah cukup selaras
dengan hidup manusia. Soalnya, manusia lah yang tak pernah mau menyocokkan
dirinya dengan ajaran kebaikan dari Tuhan. Kegagalan mengenali hidup sendiri,
berdampak besar pada kegagapan menjalani laku lampah secara universal.
Kegalatan mengenal diri, berujung pada kesesatan yang nyata dalam rimba raya
jagat pramudhita.
Mulih marang mulå mulanirå...
[]
Telah dimuat di Alif.id pada Senin, 8 Juli 2019
No comments:
Post a Comment