Ilustrasi (foto: carré d'artistes) |
KENAPA
manusia cepat menolak segala hal yang tak mengenakkan dirinya--dan atas alasan
apa harus ditolak? Mengapa pula ia mudah menerima apa pun yang menenteramkan
jiwanya--lalu berdasar pertimbangan apa? Agar dua soal itu bisa terjawab, ada
baiknya kita kaji dulu penerimaan-penolakan itu mendiami ranah apa? Kalau masih
tataran pikiran, menerima & menolak tetap berujung pada benar-salah. Jika
sudah masuk ke tataran rasa, ceritanya jadi berbeda.
Sedih
atau senang itu, perkara merasakan. Kok mau sedih, jika bisa barsenang²? Kok
masih sedih padahal ada yang menyenangkan? Sedih takkan lama. Senang pun
demikian. Jadi bagaimana ini? Paling mudah ya nikmati keduanya. Sampai kita
kembali polos seperti sediakala. Rasa itu sejatinya milik siapa? Hadir dari dan
akan ke mana?
Kunci
jawaban dari dua pertanyaan itu adalah, kita makhluk paling mustahil sejagat
raya. Tahu yang mau dituju tapi entah di mana. Titik mula keberangkatan kita,
ternyata jadi tujuan akhir perjalanan. Kita bahkan sama² mafhum bahwa hubungan
antarmanusia selama masih hidup di dunia, pasti mengandung resiko &
tanggung jawab.
Cinta,
misalnya. Sebagian orang berharap kebahagiaan darinya, & tak pernah siap
sedia kedatangan yang sebaliknya. Ada orang yang dengan mudah mengatakan cinta
setengah mati. Namun manakala perbalahan melanda, kebencian pun berurat dendam.
Purbasangka merajalela. Kalau bisa, tak perlu lagi bertatap muka sampai satu di
antaranya masuk ke liang lahat.
Tunas Kebajikan
MANUSIA
adalah makhkuk pencari makna. Ia sangat mudah jatuh putus asa jika gagal
memahami hidupnya sendiri. Ia merasa takjub dengan keberadaannya di semesta
ini, dan teramat ingin mengetahui alasannya. Ia mudah terguncang oleh bencana
alam, kekejaman sesamanya, dan sadar secara penuh akan kelemahan fisik dan
kejiwaannya. Ia sulit menanggungkan masa depan kepunahannya yang nyaris tak
terelakkan.
Dukkha,
bahagia, kejahatan, niatan baik dan benar, kan terus menyeberangi lautan
pikiran-perasaan manusia--tuk kemudian singgah, berlabuh, atau mengangkat sauh,
dan menjauh. Itu semua membuat kita tak henti berbuat salah dan mengiba
pangaksama. Minta diampuni berkalikali. Itulah pula bukti bahwa dalam diri
kita, terkandung potensi rububiyah tuhan, yang tak dimiliki makhluk lain. Tak
ayal bila tuhan menginginkan kita menjadi khalifah di planet biru ini.
"Jangan
menjadi seperti seorang perempuan yang mengobrak-abrik kembali tenunan
benangnya sehelai demi sehelai..." (QS. Lebah [16]: 92). Jika kita bisa
mencintai bagaspati yang sama, yang terbit dan menerangi kehidupan ini dengan
limpahan cahayanya, kenapa sulit bagi kita mencintai kehidupan yang cintantya?
Kehidupan yang cantik, lagi indah. Tempat kita lahir, tumbuh, menjulang ke
langit--menuju Cahaya.
Di
tengah hiruk-pikuk kehidupan yang sedemikian njelimet begini--dengan agama yang
hanya jadi bahan olokan, & ajaran kebudayaan leluhur dicibir-disingkirkan,
sudah cukup bagi kita tuk merenung, serta bertindak secara nyata. Tak perlu
menunggu kerja presiden, kaum cerdik pandai, agamawan yang sibuk menuding orang
sana-sini, ketua partai, anggota DPR yang cuma ongkang² kaki, apalagi harus
menjadi artis & pesohor, hanya untuk melakukan kerja kemanusiaan. Menolong
sesama yang menderita, terhina, sengsara, & tunggang langgang mengarungi
kesusahan hati, cuma membutuhkan tekad. Niat yang kuat. Kita tak selamanya di
sini. Maka mari memberi arti bagi kehadiran kita di dunia mayapada.
Hampir
seabad lalu ada seorang jenius Nusantara yang namanya harum mendunia, melakukan
tirakat keras demi melanggengkan kebaikan & makna hidup yang ia percayai adanya.
“Berkeliling
berputar ke mana², tidak mengejar kesenangan, akan tetapi melayani kebutuhan
orang yang menderita sakit atau sengsara. Orang sakit banyak juga, namun tidak
seberapa jika dibandingkan dengan orang sengsara, disebabkan karena masa ruwet,
ribet, mahal makanan sekarang. (Orang) besar atau kecil sama² mengaduh dan
menangis kepada saya, kasihan membuat jatuh air mata dan hati. Berat amat
beratnya diaduhi orang banyak; Iebih berat lagi jika aduhannya dimasukkan ke
dalam perasaan dan batin."
"Tetedan
engkang eco² kulo tebihi, kulo tolak. Sedinten-dintenipun ingkang kulo tedo
namung lombok tok. Mboten mawi punopo. Tegesipun ngeraosaken sakitipun lan
awratipun sesami (Makanan yang enak² saya jauhi, saya tolak. Sehari² yang saya
makan hanya cabai saja. Tanpa lauk lain. Demi merasakan sakit & penderitaan
kehidupan sesama)."
Dua
paragraf tersebut kami nukil dari
Kempalan Serat-Serat Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak kandung RA
Kartini--yang terlupakan sejarah. Laku bathin yang ia lakoni pada senja
usianya, merupakan cara membersihkan diri dari racun duniawi yang melingkungi
badan jasmaninya, agar ia punya jiwa bisa tumbuh mekar mewangi.
Kecenderungan
demikian bisa kita temukan rujukan anjurannya dalam hadits Kanjeng Nabi Saw,
"Sesungguhnya Allah Maha Baik, dan menyukai kebaikan, Maha Bersih dan
menyukai kebersihan, Mahapemurah dan menyukai kemurahan, dan Maha Mulia lagi
menyukai kemuliaan. Karena itu bersihkanlah diri kalian." (HR. Imam
Tirmidzi no. 2723)
Fatwa Hidup
Di
mana sejatinya hidup diletakkan tuhan? Pertanyaan itu perlu kita jawab sebagai
makhluk sempurna--puncak penciptaan-Nya. Jika berhasil menemukan jawabnya,
niscaya tak satu pun kita berani mengikrar je pense donc je suis/cogito ergo
sum/i think therefore i am. Rene Descartes (1596-1650) yang baik lagi alim itu,
sama sekali tak bersalah ketika mencetuskan narasi eksistensi yang kemudian
diamini di Barat sana. Saat itu, ia hanya belum khatam mengkaji kitab Ibn Rusyd
yang berjudul Tahafut at-Tahafut
(Kerancuannya Kerancuan) para filosof.
Descartes
yang relijius pun, terjebak pada keinginannya menjadi filosof. Bukan jadi
manusia paripurna. Padahal sejak kemunculan tradisi berfilsafat di Yunani,
Sokrates telah mengingatkan betapa bahayanya mengandalkan nalar semata. Akal
rasional. Toh pada ghalibnya, hidup takkan membuka tabirnya pada mereka yang
gemar mencari pembenaran berdasar akal sehat sahaja. Terkait soal benar dan
salah. Ibn Rusyd yang sudah uzur, baru tersadar ia terlampau jauh dari kebaikan
hidup, sejak bertemu bocah bernama Ibn 'Arabi--yang kelak tampil sebagai bijak
bestari besar Islam asal Seville, Andalusia (kini Spanyol).
Modal
utama hidup bukan setinggi apa kita sekolah; sebanyak apa harta kita kumpulkan;
segudang doktrin-dogma yang kita yakini; atau hapalan ayat dari kitab suci.
Bukan. Tak perlu terlalu rungsing melihat segala fenomena dunia fana ini. Sebab
kita tak selamanya di sini. Wabishah bin Ma'bad radiyallahu'anhu pernah
mendatangi Rasulullah Muhammad Saw, dan bertanya tentang kebaikan. Sang Nabi
mulia pun menjawab, "Mintalah fatwa pada hatimu sendiri. Kebaikan adalah
apa saja yang menenteramkan hati, sedangkan dosa (keburukan) adalah apa saja
yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun banyak orang memberi fatwa yang
membenarkanmu."
Kisah
teladan itu diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal & Imam al-Darami. Semoga
waktu kita cukup tuk terus berbuat baik, hingga nafas kita kembali mengudara.
Perlu juga kita sadari, betapa sulit menelaah perilaku manusia. Dalam setiap
kita terkandung potensi tak hingga, & kemisteriusan. Keduanya tak bisa
disingkap-didedah begitu saja oleh nalar semata.
Janma
tan kena kinira (manusia tak bisa ditakar). Kedalaman laut bisa diukur, dalam
hati siapa yang tahu. Begitu yang diyakini bangsa kita sejak dahulu kala. Maka
menjadi lumrah jika kemudian mereka menggunakan relief demi menarasikan
kehidupan yang sukar dicerna akal, dalam setiap bangunan çandi. Hal tersebut
mereka lakukan agar bisa mengikat makna menjadi sebuah pelajaran hidup--bagi
kita para pelanjut.
Dunia
pendidikan modern menyebut relief sebagai ICT: (Information Communication
Technology). Teknik belajar-mengajar 3D yang sekarang marak di Jerman.
Hebatnya, bangsa kita sudah memulainya sejak abad ke-7 M dengan membangun
Bhwanasakaphala di Magelang. Meski yang tersisa sekarang hanya romantika
belaka. Miris.
Pembeda
kita sebagai manusia bukan terletak pada kecantikan-kegantengan paras yang
artifisial--atau agama yang normatif belaka. Tapi pada kejernihan-ketajaman
pikiran dan kedalaman-keluasan samudera hati.
Ketika
memandangi orang tercinta, kita melihat hal apa yang tak dilihat oleh orang
lain. Pun demikian dengan para manusia arif & bijaksana. Mereka sanggup
melihat bagaimana sebenarnya cara kerja dunia dengan suatu cara yang ditolak
masyarakat awam.
Mereka
mampu menemukan hal-hal baru tentang dunia, melihat cara kerja intinya, dan
memahami ragam pola yang barangkali terlalu rumit (besar) untuk dipahami
pikiran manusia dengan akal sehat keseharian.
Mereka
menggali dan mengolah sebentuk pengetahuan yang teramat sulit dimengerti—bahkan
oleh mahasiswa tingkat doktoral sekali pun. Mereka menyadari dan meyakini
penuh, bahwa semua ilmu pengetahuan terkandung dalam diri kita sendiri—jika
kita tahu cara membacanya.
Hidup
yang sejatinya irasional ini harus didekati dengan sebuah pola. Jika Anda
berani bertindak irasional, alam semesta akan membalas Anda dengan kekuatan
yang sama irasionalnya. Jika Anda menghindar dari sebuah tantangan, maka
tantangan itu akan datang lagi dalam bentuk berbeda. Manusia selalu menarik ke
arah dirinya, sesuatu yang paling ia takuti. Padahal jelas merugikan dirinya
sendiri.
"Hidup
yang tiada direnungkan, adalah hidup yang tidak bermakna," demikian disampaikan
Sokrates dua laksa silam. Memahami pesan itu mudah saja. Dari sekian banyak
manusia yang telah meniada selamanya, sedikit saja yang berhasil meninggalkan
bekas bagi kehidupan umat manusia selanjutnya. Mereka berhasil memeras
perjalanan karir kemanusiaannya dengan ragam manfaat.
Makna
merupakan hasil olah rasa bathin, yang dilakukan secara berkesinambungan.
Selalu ada makna dalam setiap jejak langkah kita. Ini premis dasar. Tapi
kenyataan yang terjadi, sedikit saja manusia yang berhasil memeras makna dari
apa saja yang telah ia lalui dalam hidup sendiri, lalu menguap entah ke mana.
Abad
modern yang sedang kita lintasi ini, memberi tantangan lumayan pelik. Panggung
kehidupan begitu cepat bersalin rupa. Belum lagi kita mafhum pada satu hal,
sudah mencuat lagi kenyataan baru. Kita terus menerus dibombardir oleh sekian
banyak soal yang tak selalu bisa dipecahkan rahasianya. Semua itu mengambang di
permukaan, dan tak pernah masuk ke wilayah kedalaman. Sumir.
Kepenatan
menyeruak ke segala isi pikiran anak manusia. Kita tergeragap menyadarinya.
Agama yang diyakini sebagai pedoman, rupanya sekadar berfungsi sebagai senjata
untuk menodong orang lain agar menerima kesalahan menjadi dosa. Merelakan diri
nya jadi bulan²an khalayak dengan sumpah serapah. Caci-maki nan keji. Benarkah
agama yang jadi biang keladi? Jelas bukan. Melainkan manusia yang mengaku
beragama lah, yang punya masalah dengan dirinya sendiri.
Kini,
ajaran luhur agama sudah sulit menemu ruangnya dalam warisan agung budaya
manusia. Semua yang bukan Islam, misalnya, di negeri ini seolah harus masuk
dalam keranjang sampah peradaban. Jadi rongsokan sejarah. Islam seperti
menampik estetika. Keindahan hidup manusia. Ini perkara serius lagi akut yang
mesti kita renungi. Benahi bersama. Padahal melalui jalan setapak kesenian,
Islam terlihat lebih membumi, manusiawi, dan tetap adikodrati.
Kita
bisa sampai pada hari ini, semata karena mau ngelakoni, berlelah², bersusah
payah, tunggang langgang, bertungkus lumus. Lantaran bukan hanya suka yang mau
kita terima, melainkan juga duka. Kita takkan pernah tiba di puncak² pencapaian
kehidupan, bilamana enggan menggali makna dari tabularasa. Maka pertanyaan kami
sederhana belaka; bagaimana kiranya rasa hidup ini jikalau manusia itu tuna
makna? []
Telah dimuat di Alif.id pada Rabu, 24 Juli 2019
No comments:
Post a Comment