LIMAbelas
abad silam, seorang pemuda pemberani, jujur, tepercaya, lagi cerdas, rela
melewatkan hampir setiap malamnya selama belasan tahun di Jabal Nur. Dalam
perut gunung itulah ia memeram diri bersama kegelapan adab bangsanya yang
jahil. Ia merintih sendiri. Tersedu sepi. Sesak dadanya melihat kehancuran
moral manusia sedemikian parah.
Bayi
perempuan yang lahir langsung dikubur hiduphidup; Kaum lelaki bertukar istri
seperti menukar barang dagangan; Anak mengawini ibu; Ayah meniduri putrinya;
Nasib manusia diundi di meja judi; tuhan diganti batu dan api. Hukum kehidupan,
mati suri.
Pemuda
mulia itu, Muhammad ibn 'Abdullah, memilih jalan lain yang sunyi. Ia tampil
terdepan menyelamatkan kaumnya dari kebobrokan akhlak. Ia tak tinggal diam
meski dicibir. Ia tekun menenun kebaikan melalui tutur katanya yang lemah
lembut dan terukur. Ia menjadi ronin di tengah belantara kehancuran moral.
Ya
Allah, muliakanlah junjungan kami itu, Muhammad Saw kecintaan-Mu, yang
karenanya lah Engkau menciptakan jagat raya. Ajarilah kami cara mencintainya;
mencintai semua orang yang mencintainya; dan mencintai segala sesuatu yang
mendekatkan cinta kami padanya.
Allahumma shalli ala Sayyidina
Muhammad ...
Anehnya,
ritus tahannuts pemuda Muhammad nan terpuji itu, kini tinggal cerita. Anak
turunan Dinasti Saud yang merebut kunci Makkah dari Bani Hasyim, berikut orang²
Arab penghuni Makkah, malah menjauhi Goa Hira' yang pernah menjadi saksi Wahyu
Allah turun ke muka bumi. Kenapa bisa begitu? Entahlah. Tapi setidaknya kita
bisa bertanya. Kenapa dari sedemikian banyak manusia Arab yang lahir setelah
Nabi Muhammad, tak satu pun mau melakukan salah satu sunnah terbesar itu?
Pertanyaan berikutnya adalah; jangan² Muhammad bukan anak kandung Makkah.
Benarkah demikian?
Ada
beberapa pertanyaan lain. Apa hubungan Goa Hira' yang bisa diartikan
kemerdekaan, dengan Surah al Kahfi yang tersusun di tengah al Quran? Kenapa ada
redaksi wal yatallathaf (وَلْيَتَلَطَّفْ:
dan berlemah lembutlah) yang dalam Mushaf Utsmani versi lama, dibubuhi warna
merah? Tahannuts yang berakar kata hins (حنس/dosa)
kian menarik kita cermati. Dosa apakah yang sedang ingin dilunturkan oleh
pemuda Muhammad? Bukankah ia adalah satu²nya manusia terpuji di Makkah pada
saat itu?
Sementara,
kita beralih dulu ke jantung peradaban manusia di timur jauh jazirah Arabia.
Masyarakat kuno punya ragam nama untuk wilayah ajaib ini. Dalam catatan bangsa
Tiongkok, mereka mengenal nama Nan-Hai (Kepulauan Laut Selatan).
Sementara pada pelbagai catatan kuno bangsa India terdapat sebutan Dwipantara (Kepulauan
Tanah Seberang). Penjelajah Eropa menyematkan nama Spice Islands (Kepulauan
Rempah). Bangsa Arab memberi nama yang lain, Zabaj. Masih ada nama² lain yang
mungkin sudah pernah Anda dengar sebelumnya, yaitu: Nusantara, Sundalandia, Lemuria,
& Atlantis.
Di
negeri ajaib ini, Allah Subhanahu Wata'ala yang dikenalkan Muhammad Saw pasca
menerima Wahyu, disebut Gusti ingkang Moho Suci. Allahu Ahad menjadi Hyang
Widhi Tunggal. Dalam ajaran orang Kaharingan di Kalimantan, disebut Yustu Ha
Latalla.
Konsep
tiga kehidupan sebagaimana diajarkan Islam, juga sudah dikenal sebelumnya dalam
budaya Suku Asmat: Ow Capinmi (Alam Kehidupan Sekarang), Dampu ow Capinmi (Alam
Persinggahan Jiwa), dan Safar (Surga).
Orang²
Suku Batak juga membagi tiga pola alam semesta; Banua Ginjang (Alam Sorgawi),
Banua Tonga (Alam Dimensi Kita), Banua Toru (Alam Maut).
Dalam
ajaran Sunda Wiwitan dikenal istilah Buwana Niskala, Buwana Alam Tengah, dan
Buwana Nyungcung atau Sasaka Domas
Tiga
tahapan ini tercitrakan pula di monumen megafraktal yang berdiri megah di
Magelang; Bhawana Langgeng (Alam Kekal), Bhawana Driyo (Alam Lahiriah), &
Bhawana Triya (Alam Ruhaniyah).
Itu
saja sudah cukup menjadi bukti bahwa di sini tak ada yang namanya paganisme,
animisme, apalagi dinamisme. Teori ngawur ini dibikin Belanda untuk mengacaukan
jejak sejarah bangsa kita yang besar lagi luhur.
Bhwana
Sakha Pala yang kadung dikenal sebagai Borobudur, merupakan mercusuar dunia
yang merekam peradaban maju terdahulu. Dibangun jauh sebelum Abad ke-7 Masehi
oleh Ras Arya, leluhur orang² Nusantara.
Wangsa
Saylendra bukan perancang bangun Bhwana Sakha Pala, melainkan sekadar merawat
warisan pendahulunya. Semua prasasti yang mencatat nama dan angka tahun, adalah
penanda saat deklarasi keratuan untuk merawat bangunan suci ini.
Gunadarma
juga bukan arsiteknya, karena nama ini tidak ada dalam silsilah keratuaan.
Kitab pedoman pembangunan çandi ini pun bukan dari India--yang terbelakang itu.
Bangunan ini juga tidak dibangun oleh Nabi Sulaiman. Beliau hanya
menyempurnakan fisik dan meluruskan ajaran "Ra" yang terdistorsi
menjadi menyembah Matahari (Ra).
Relief
yang terpampang di dinding çandi adalah rekam jejak sejarah peradaban maju
leluhur kita terdahulu, menampilkan ketinggian budaya, juga teknologi. Bukan
gambaran biografi kehidupan Sakyamuni Buddha Gautama. Kendati ia berjasa
mengembangkan ajaran nenek moyang kita di tanah India sana. Selain
Sakyamuni, ada juga Mahavira, yang mengembangkan ajaran leluhur kita menjadi
Jainsme. Keduanya hidup pada Abad-5 SM.
Patung
arca dengan posisi orang duduk bersila di bagian atas adalah, bentuk
kontemplasi spiritual leluhur kita yang disebut sebagai topobroto, samadhi,
yoga, laku demi mencapai kesempurnaan manusia.
Monumen
Bhwana Shaka Pala yang oleh J Casparis disebut Borobudur, jadi rekaman
arkeologis paling valid tentang persebaran agama Bangsa Çaka yang mendirikan
Dinasti Surya. Nun di barat sana, warisan agung leluhur kita beralih nama
menjadi Jain, Hindu, Buddha, Sikh dan bahkan Zoroaster. Di utara malih jadi Tao
& Konfusian. Transliterasi ajaran itu tercatat dengan baik dalam kitab
karangan Nagarjuna, Maha Prajnaparamita Sastra tentang Śāriputra dan gurunya,
Sañjaya, berisi tentang Risalah Kebajikan dan Kebijaksanaan."
Monumen
megafraktal itu, dibangun mengatasi tanah berbentuk persegi dengan masing² sisi
berukuran sekitar 123 m². "Tubuh" çandi ini terdiri dari bagian kaki,
badan, dan kepaIa. Bagian kepala, tiga tingkatan undak berbentuk lingkaran pada
bagian atas. Berisi 72 atca. Ditangkup dalam stupa² arupadathu (simbol dunia
nirbentuk). Bagian “badan” berupa lima tingkat undakan berbentuk bujur sangkar.
Ribuan relief rupadathu (simbol dunia wujud) terukir pada tubuh çandi. Bagian
kaki adalah lantai dasar. Berisikan relief pralambang dunia hawa nafsu (kamadathu).
Terdapat total 2672 panel relief dengan total 504 area Sang Pertapa Agung.
Semua diukirkan pada batu pejal dengan kerincian dan ketelitian yang sarat,
lagi mengagumkan.
Di
kamadhatu kita akan menjumpai penggambaran berahi--yang satu di antaranya dihasilkan
nafsu. Unsur penting ini, dinamakan Bait l-Muqaddas dalam terma tasawuf. Rumah
Kesucian. Ranah reproduksi yang membedakan secara tegas antara kita makhluk
yang beranak, dan Sang Hyang Moho Tunggal yang tidak beranak &
diperanakkan.
Rupadhatu
berisi panel relief seputar jagat jasmani. Kemenubuhan serta pemberontakannya
yang teramat sering sulit kita kendalikan, bahkan sadari. Pernahkah kita sadar
betapa detik per detik tubuh kita terus menerus tumbuh sejak mula ada?
"Siapa" yang memberitahu lambung tuk mengirim sinyal lapar kepada
otak? Diri kita manakah, yang sejatinya ingin menghias pergelangan tangan
dengan gelang emas? Islam menamai area ini dengan Bait l-Muharram.
Arupadhatu
yang merupakan arena nir-wujud, adalah sarana melatih mental, pikiran, visi,
tabularasa, & spiritualitas. Proyek pencerahan manusia berkutat di sini.
Sesiapa yang berhasil mendaki sejak dari bawah hingga ke wilayah Bait
l-Makmur-nya, niscaya ia takkan mengalami kejatuhan dalam reinkarnasi, &
dapat melanjutkan perjalanan ke lapisan alam lanjutan. Barzakh. Khayangan.
Begitulah nama yang disematkan umat beragama.
Jika
pemuda Muhammad tak bisa (atau) menemukan pertapaan yang terorganisir di Makkah
pada waktu itu, di sini, hal serupa sudah berlangsung sejak lama.
Pertapaan
yang disebut tapowana atau pajaran, umum dipimpin
seorang mahaguru laki-laki. Ia biasanya membawahi juga pertapa perempuan
yang disebut ubwan. Tempatnya
disebut panubwanan. Di
tingkat bawah, ada pertapa laki-laki yang disebut manguyu. Pertapa laki-laki dan perempuan yang paling rendah
tingkatannya, punya sebutan beragam, mereka tinggal di lembah dalam bangunan
yang disebut yasa atau rangkang.
Penggambaran
keberadaan pertapa perempuan muncul dalam berbagai media: kesusastraan,
relief, bahkan arca. Dalam Kakawin Sutasoma yang digubah Mpu Tantular
pada abad ke-14 M menyebut pertapa perempuan dengan istilah kili dan walkali. Sementara Kakawin
Arjunawijaya menyebutnya tapi. Teks Ramayana juga
menyebut pendeta perempuan yang tinggal di hutan, berpakaian kulit kayu, dan
hanya makan buah-buahan.
Ada
pun dalam Kakawin Krsnayana disebutkan salah seorang dayang Rukmini
yang telah berumur, pernah menjadi seorang kili. Sang dayang kemudian
menuturkan pengalamannya ketika berkeliling mencari derma. Dalam perjalanannya,
dia sempat melihat Keraton Dwarawati, tempat tinggal Kresna. Selama sepuluh
hari dia dapat menikmati keindahan keraton itu dengan diantar seorang kawan.
Pada
masa yang lebih modern, para pertapa perempuan itu masih bisa disaksikan oleh
penjelajah asal Portugis, Tome Pires. Dalam Suma Oriental, dia
mencatat ketika tiba di Jawa pada awal abad ke-16 M ada kurang lebih 50.000
pertapa di Jawa. Di antara mereka banyak pula yang perempuan.
"Mereka
tidak menikah dan tetap perawan," catat Pires.
Para
pertapa itu membangun rumah di tempat terpencil, seperti pegunungan dan tinggal
di sana hingga akhir hayatnya. Seperti juga pertapa laki-laki, mereka
meminta makanan (derma) dengan berkah Dewata sebagai balasan.
Beberapa
orang lainnya memutuskan untuk menjadi pertapa setelah mereka kehilangan suami
pertamanya. Mereka menolak membakar diri. Pires mencatat jumlah mereka,
konon lebih dari 100.000 perempuan. Mereka hidup dalam kesucian hingga mati.
Rasa
Ketiadaan
MANUSIA
terlahir ke dunia dengan membawa rasa ingin tahu dalam dirinya. Ketika masih
kecil, rasa penasaran kerap kali menggelayuti benak kita, kapan dan di mana
saja. Segala apa kita tanya. Termasuk siapakah tuhan dan di mana Dia berada.
Kita sungguh benar ingin mengerti dalam ke(tak)terbatasan. Nyaris tak satu pun
yang melintas dalam pikiran, kita biarkan berlalu tanpa didahului
pertanyaan--dan tentu jawaban. Sayangnya, kecenderungan ini segera memudar
ketika kita mengaku telah dewasa. Kita merasa sudah banyak tahu, padahal tidak
jelas duduk perkara dan akar pengetahuannya.
Lebih
dari itu, kita lantas mengaku yang paling tahu & berpengetahuan. Sehingga
orang lain menjadi pandir di hadapan kita. Pikiran yang kita olah sedari kecil,
sejatinya tak sungguh benar berisi pengetahuan. Semua itu sekadar kumpulan dari
rasa ingin tahu yang tiada berujung pangkal. Dibalik sebuah jawaban, mencuat
satu pertanyaan baru. Ada begitu banyak pertanyaan, dan masih lebih banyak
jawaban tersedia bagi mereka yang mau berpikir. Demikianlah seterusnya.
Maka
menjadi absah bila para bijak bestari meyakini bahwa pengetahuan sejati adalah
ketidaktahuan. Tak tahu apa², bukan berarti bodoh. Tidak mengetahui segalanya,
sama sekali bukan kesengsaraan akal. Pengetahuan yang baik, seharusnya
menerangi jalan gelap tentang misteri besar kehadiran kita di dunia. Perenungan
inilah yang mengantarkan Einstein pada sebuah keyakinan ultim: Tuhan tidak
bermain dadu. Dia lah Sumber Pengetahuan. Kita, hanya noktah dari
pengetahuan-Nya yang tiada berbatas dan musykil dibatasi. Jika kau mengerti
perihal ini, maka tuhan bersamamu dalam Diri-Nya.
Guru
terbaik, bukan yang ilmunya seluas samudera, melainkan yang berhasil
menunjukkan jalan mana yang harus ditempuh para murid sehingga mereka menemukan
diri sendiri sepanjang perjalanan belajarnya. Mereka yang gemar mengolah
masakan, hanya perlu dikenalkan pada cita rasa, meracik bumbu, rempah²,
tetumbuhan yang bisa dimakan, dan mungkin bila perlu, bagaimana mereka bisa
hidup dari dunia masak-memasak itu. Tak perlu lagi mereka mendalami seluk-beluk
fisika, matematika, atau geologi.
Sebagai
anak kandung langit-bumi, sesungguhnya kami pantas bersyukur bisa terus belajar
di mana saja. Kami ingin jadi pelajar hidup yang baik. Pembelajar sejati. Maka
di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Alam takambang manjadi guru.
Alam raya, menemani.
Setelah
Kanjeng Nabiyullah 'Adam as melewati masa panjang kesendiriannya yang hakiki,
hidup manusia mulai terlihat semarak. Pusparagam kejadian bermunculan. Silih
berganti.
Ada
yang lahir. Ada yang mati. Ada yang datang. Lalu pergi. Ada yang bertemu,
lantas berpisah. Ada yang mulai memiliki, dan kemudian kehilangan. Semua itu
berjalin kelindan jadi kenangan.
Begitulah
cara Tuhan menyelenggarakan pentas agung kehidupan anak² manusia. Tak pernah
ada yang benar² tetap lagi diam. Segalanya bergerak. Berubah. Mengikuti satu
sistem besar & samar, yang dikenal sebagai Sunnatullah.
Itulah
hukum primordial alam semesta. Di segala ruang ada keserempakan. Kacau namun
teratur dalam batas yang bisa kita mafhumi. Kesejajaran itu terjadi dalam ruang
yang mewaktu.
Tiada
makhluk bisa melepaskan diri dari keadaan mengada begitu saja. Waktu jua lah
yang kerap kali membuat kita masuk dalam perangkap Tipu Daya Tuhan (المضيل).
Kita merasa seolah² ada, padahal diadakan dari ketiadaan.
Semula
tiada. Kemudian tiada. Selamanya. Ketiadaan yang sedemikian rupa ini saja sudah
sulit dijelaskan nalar. Tapi entah mengapa, kita senang mengada²kan yang
sejatinya tak pernah ada sebagai Keadaan Sejati. Malah sebaliknya, kita kerap
kali merutuki kehadiran di jagat ciptaan ini, secara semena-mena.
Sedikit
saja dari manusia yang sanggup melepaskan diri dari peng(aku)an. Ia merasa
seluruh yang dialaminya adalah hasil karsanya sendiri. Iradah Tuhan yang
disembunyikan dalam waktu, kian terselimuri kejumudan.
قل
الله عزّ
وجلّ: يوء
ذيني ابن
آدم يسبُّ
الدَّ هر
وانا الدَّ
هرُ بيدي
الا مرُ
اقلَّبُ الَّيل
والنهار. (رويته
من صحيح
البخارى).
Berfirman
Allah yang Maha Mulia lagi Luhur, "Anak Adam menyakitiku. Ia mencaci
waktu, sedang Aku lah Waktu. Dalam genggaman tangan-Ku la titah. Aku balikkan
malam dan siang." (diriwayatkan Ibn 'Arabi dari shahih Bukhari).
Demikian
dari kami. Semoga jadi bahan renungan. []
Telah dimuat di Alif.id pada Selasa, 20 Agustus 2019
No comments:
Post a Comment