(Foto: Stefan Kunze/Unsplash) |
AHAD hari keempat Agustus 2019 itu, jelas
tak terbayangkan banyak orang akan menjadi penanda sejarah. Betapa tidak.
Listrik sedari Banten hingga tengah Jawa, padam. Seorang kawan kami yang telah
berusia limapuluh tahun bersaksi, bahwa sepanjang usianya, baru kali itulah
kebutuhan akan listrik sedemikian rupa "agungnya."
Kita abaikan soal sabotase politik tingkat
tinggi, berikut pertemuan luarbiasa Presiden Jokowi dengan petinggi Perusahaan
Listrik Negara (PLN), yang anehnya dihadiri Badan Siber Sandi Negara. Apa pun
hasil dari perbincangan mereka, tetap akan sulit dijangkau oleh para petani di
tegalan sawahnya. Kami hanya ingin menyoroti sebuah perkara sederhana yang
sayangnya tak bisa dianggap sepele. Begini.
Bagi saudara sebangsa tanah-air sekalian
yang tak merasakan hebatnya dampak keganjilan PLN, bersiaplah mengalami hidup
pada masa purba dalam waktu mendatang. Hari itu, bahkan sampai tulisan ini kami
rangkai, masih ada ratusan ribu orang yang sedang tepurbakan seketika adanya.
Akses listrik yang terputus, membuat orang²
jadi mati gaya. Internet sirna seketika. Kami mendengar & melihat langsung
betapa kebutuhan akan komunikasi via sabak yang terkoneksi jaringan 4G, terasa
vital. Mereka gelisah sebab saluran bicara jarak jauhnya terpampat.
Kita belum akan membahas perkara air yang
tak bisa disedot dari dalam tanah ikhwal mesin jet pump yang kehilangan daya,
dan minyak bumi yang tak lagi bisa mengalir dari nosel di stasiun pengisian
bahan bakar. Jenis mineral yang kami sebut belakangan, kini menjadi jawara bagi
masyarakat yang mengaku modern--sejak dua abad silam.
Selain ketakutan terselubung terpisah
jarak, manusia zaman ini juga dihantui perasaan sepi bila terhempas dari
jejaring dunia maya. Padahal sebelum internet diudarakan, kami masih bisa
merasakan nikmat tidak tahu apa² tentang kabar dunia. Tidak tahu banyak, tidak
sama dengan bodoh bukan? Malah tahu lebih bisa jadi petaka jikalau tak
berdampak pada kehidupan.
Sebaliknya, hidup manusia yang konon
katanya telah memasuki era kampung dijital global, ternyata tak juga lebih
membahagiakan. Banyak orang yang malah jadi keranjingan mengakses sebuah dunia
semu yang jelas tak berpengaruh pada pertumbuhan jiwanya. Akal pikiran manusia
Abad-21, melulu berisi semburat informasi belaka. Tak lebih.
Anda pasti akan kesulitan menerima cerita
tentang kemampuan telepati manusia masa lalu--yang masih diwarisi oleh
segelintir dari kita. Mereka sama sekali tak menggunakan, apalagi butuh satelit
internet hanya untuk mengirim isyarat komunikasi ke pihak lain. Cukup mengandalkan
tiupan angin, dan gelombang elektromagnetik yang diakses tanpa antena pemancar.
Maka seseorang nun di sana akan segera tahu berita apa yang baru saja ia
terima.
Sebenarnya, di daerah Nusa Tenggara masih
ada sekelompok suku yang menggunakan cara nyaris serupa. Bila hendak bertukar
pesan dalam rentang jarak ribuan mil sekali pun, mereka cukup memasukkan
secarik berita yang digulung dalam lembaran daun. Dimasukkan ke dalam songsong.
Lalu ditiup ke arah di mana penerima pesan sedang berada. Bahkan untuk
menentukan koordinat komunikan, mereka sama sekali tak membutuhkan peta
dijital. Sementara orang zaman sekarang yang mengaku lebih beradab, sudah
berbekal peta pun malah tersasar ke rumah janda. Padahal sudah diingatkan
bolak-balik oleh mbak Google.
Satu yang paling kentara secara kasat mata
adalah, manusia masih terasa benar takut pada kegelapan. Merujuk ini, kita bisa
mafhum kenapa ada ayat yang berbunyi, "minadzulumati ilannur: dari
kegelapan menuju cahaya." (QS Sapi Betina [2]: 257). Jika kita mau mengamati
lingkungan hidup sekitar, maka jelaslah betapa seluruh makhluk hidup mendamba
cahaya sebegitu rupa, sebagai gizi & nutrisi bagi jiwa.
Berdasar amatan sekilas yang kami paparkan
di atas, disadari atau tidak, ternyata kita sedang mengembangkan peradaban yang
seolah maju, padahal malah berjalan mundur jauh ke belakang. Satu kesalahan
kecil di PLTU Suralaya, kehidupan zaman purba pun terejawantah. Bayangkan,
tanpa listrik, bahan bakar minyak bumi, & internet, manusia sekarang nyaris
tak bisa menggerakkan roda kehidupannya. Tumpul secara elan vital. Bagaimana
bisa ini terjadi?
Menilik soal itu dengan lebih serius, kami
seketika teringat pada Nikola Tesla. Ilmuwan jenius pada paruh akhir Abad-19.
Anda pernah menonton Lucy (2014)? Film ini
bercerita tentang seorang wanita (diperankan Scarlett Johansson) yang secara
tidak sengaja mampu mengoptimalkan otaknya lebih dari kemampuan orang secara
umum. Menurut film itu, kebanyakan manusia hanya menggunakan sepuluh persen
dari daya otak yang sebenarnya. Kemampuan rata-rata ini terjadi dikarenakan
manusia lebih berfokus pada apa yang “harus dimiliki” tinimbang
mengaktifkan potensi Manusia Sempurna (Insan Kamil) sebagaimana yang
dicanangkan Alquran & kitab suci yang lain.
Lucy dalam film itu, sama dengan Tesla di
kehidupan nyata. Ia adalah seorang jenius sejati yang namanya dikucilkan dari
dunia pendidikan, lantaran menentang ketamakan penguasa dunia dan elit
kapitalis. Ia merupakan insinyur listrik-mesin, fisikawan sekaligus futuris
asal Serbia-Amerika yang lahir di Smiljan, Kroasia (9 Juli
1856).
Temuan Tesla dalam bidang kelistrikan
berandil besar pada kehidupan kita sekarang. Tesla lah yang sebenarnya pertama
kali menemukan lampu (bukan Thomas A. Edison), radio, bahkan wireless yang
selama ini menjadi sangat familiar dan memiliki banyak kegunaan. Semua itu ia
dapatkan dengan watak kerja keras yang hobi menganalisa alam. Ia hanya tidur
dua jam sehari, dan sangat terbiasa untuk tidak terlelap. Pemikirannya
cenderung lebih maju jika dibandingkan dengan zaman di mana ia hidup.
Pada 1893, Tesla mampu membuat transmisi
radio. Dua tahun lebih awal dari Guglielmo Marconi (penemu radio yang kita
tahu lewat bangku sekolah). 1895, ia telah membuat pembangkit listrik bertenaga
air pertama di dunia. 1899, Tesla membuat radio kendali untuk kapal laut.
Inilah dasar temuan dari teknologi wireless yang kita pakai sekarang.
Radio, ponsel, GPS, wifi, adalah teknologi yang berlandaskan pada temuan Tesla.
1901, Tesla telah menemukan lampu plasma,
berbahan lucutan gas (helium, neon, cenon, cypton) yang menggunakan plasma
sebagai sumber cahaya. Singkat kata, lampu plasma dapat menyala tanpa kabel
listrik atau batere. Ia juga menemukan listrik Alternating Current (AC), yakni
aliran listrik dua arah yang kita gunakan lewat perantaraan kabel. Sementara
Thomas Edison hanya menemukan listrik Direct Current (DC), yakni listrik satu
arah yang digunakan pada aki atau batere.
Tesla mengaku mampu menangkap energi dasar
dari bumi dan menyalurkan serta mengubahnya menjadi listrik untuk kehidupan
manusia yang bisa disalurkan tanpa kabel. Sehingga ia mengatakan bahwa semua
energi itu bisa didapatkan tanpa harus mengeluarkan biaya. Bagi Tesla, alam
adalah sumber energi yang tiada pernah habis. Maka ia pun bertanya soal minyak
bumi yang berasal dari fosil mahluk purbakala. Akibatnya, banyak dokumen Tesla
yang disita oleh agen federal Amerika lantaran dianggap dapat mematikan bisnis
energi yang telah berjalan hingga kini.
Tesla juga pernah membuat listrik dengan
jutaan volt dari udara, dan seratus persen aman bagi manusia. Ia pernah menulis
dalam artikel “Talking with Planets," bahwa tiba-tiba indranya
berkembang lebih tajam daripada orang lain. Ia bisa merasakan
getaran-getaran elektromagnetik bumi dan alam semesta. Itulah yang
membuatnya menjadi terus terpicu untuk bereksperimen dalam menciptakan
teknologi.
Negeri Energi Abadi
Tulisan ini juga kami alamatkan kepada
Pemerintah, yang tak jua insyaf mewujudkan UUD Pasal 33 ayat 3 yang menyatakan
bahwa "kekayaan bumi Indonesia dikuasai negara & digunakan sebesar²nya
untuk kepentingan rakyat." Mestinya PLN hanya menjual listrik untuk
kepentingan industri, bukan ke rumah rakyat. Sudah sebegitunya pun, ternyata
energi yang dibutuhkan tak juga tercukupi.
Anehnya lagi, kita hidup di negeri dengan
cadangan energi beragam yang tiada tandingan di belahan dunia lain. Satu yang
paling luarbiasa adalah, energi bertenaga surya. Cahaya matahari yang melimpah
ruah di sini, tak pernah sungguh benar digarap untuk kepentingan rakyat
Indonesia. Tanpa perlu berdebat pun kita sama mafhum bahwa tubuh manusia
membutuhkan pasokan dari Sang Hyang Manon (Surya).
Kita tak perlu membangun pembangkit listrik
tenaga nuklir. Tapi pembangkit hidup bertenaga matahari. Secara warisan
leluhur, kita mengenal nama Pa Ra Hyang. Kemudian dikenal menjadi parahyangan.
Dikerdilkan menjadi semata nama kota, Bandung. Apa itu Pa Ra Hyang? Menurut
aturan bahasa, bisa kita terjemahkan dengan Api Besar yang Sejati. Matahari.
Ra. Surya.
Ya, sejak dulu sekali, bangsa kita adalah
pemuja (fans berat) matahari. Bukan penyembah. Sama seperti saudara muda kita
di Jepang sana, atau Inca di Aztec. Sesuai dengan bentuk dasar
ajaran Matahari sebagai sumber cahaya, maka terdapat lima
warna cahaya utama (pancawarna) yang menjadi landasan filosofi kehidupan
penganut ajaran Dinasti Surya (Sunda).
Cahaya Putih di
timur disebut Purwa, tempat Hyang Iswara.
Cahaya Merah di selatan disebut Daksina, tempat
Hyang Brahma. Cahaya Kuning di barat disebut
Pasima, tempat Hyang Mahadewa. Cahaya Hitam di
utara disebut Utara, tempat Hyang Wisnu.
Segala Warna
Cahaya di pusat disebut Madya, tempat
Hyang Siwa.
Lima kualitas Cahaya tersebut
sesungguhnya merupakan nilai waktu dalam hitungan wuku. Masyarakat Jawi
mengenal kaidah pawukon (ilmu tentang wuku) ini dalam kalender Pranatamangsa.
Raden Ngabehi Yosodipuro (Ronggowarsito) menerangkan nama-nama wuku (zodiak
versi astrologi Jawa) tersebut
dalam serat Pustoko Rojo Purwo.
Matahari yang berulang kali kita dengar
& bahkan akui sebagai sumber kehidupan itu, rupanya belum juga dilirik
sebagai sumber energi adiluhung bagi anak² manusia. Sudah teramat banyak bukti
bertebaran terkait bagaimana para leluhur meramu ajaran peradaban matahari yang
sejatinya telah kita warisi hingga hari ini dan meresap jauh ke sanubari kita
yang terdalam. Saran kami, sering²lah berkeliling negeri sendiri. Nanti Anda
akan membuktikan apa yang sedang kami babarkan.
Energi matahari nan melimpah tersebut,
menembus jauh ke perut bumi & beralih bentuk menjadi panas (geothermal),
lahar gunung api, thorium, plutonium, & ini yang membingungkan:
segoro--yang melingkungi dua per tiga Indonesia. Satu di antaranya, Laut
Selatan (Kidul). Penyimpan anomali energi misterius yang belum lagi bisa
dikenali alat buatan manusia kiwari. Masih ada beberapa sumber energi lain yang
belum bisa kami sebutkan dalam catatan ini.
Akhir kata, jika jiwa manusia terus tumbuh
menuju matahari, ia akan menjelma penerang jalan gelap yang kan disusuri
manusia selanjutnya. Pasasi demikian bisa kita amini sendiri manakala seorang
manusia bijak bestari kembali pulang ke haribaan Pencipta. Langit bisa seketika
bermuram durja. Lantas menangis tersedu sedan. Bumi pertiwi basah oleh hujan
cinta semesta. Persis seperti yang terjadi di Makkah hari ini (6 Agustus 2019),
manakala KH Maimun Zubair undur diri dari panggung sandiwara manusia. []
Telah dimuat di Alif.id pada Ahad, 11 Agustus 2019
No comments:
Post a Comment