"Benar
katamu/Benar pula kataku/Oh, Tuhan, aku bersamamu."
~Gus
Miek
Gus Miek & Orang Terbalik
SEMASA
muda, Gus Miek pernah mengajak Miftah (sahabat kentalnya) menonton orkes
Kintamani di Kediri. Saat orkes bubar, beliau masih mengajak Miftah menunggu
sampai biduannya keluar.
Begitu
si biduan terlihat & langsung menuju hotel tempatnya menginap, mereka pun
segera mengikuti. Pagi harinya, kedua pemuda kita itu berkeliling dengan
mengendarai sepeda masingmasing. Di tengah perjalanan, tibatiba Gus Miek
mengajak berhenti sambil berkata;
"Tah,
nanti kamu ikut salaman ya sama orang itu," tunjuk Gus Miek ke arah
pengemis yang sedang menghiba.
Mereka
menunggu sejenak sampai ada orang yang memberikan sesuatu pada pengemis itu.
Tak lama, pengemis berdiri & beranjak pergi. Gus Miek segera menghampirinya
sambil menguluk salam. Pengemis seketika membalas sambil terkaget bukan
kepalang.
"Lho,
kok kamu, Gus?"
"Nggih, Mbah," jawab Gus Miek.
"Di
sana lho, Gus, ada warung yang murah. Tapi masih ada yang lebih murah
lagi."
"Nggih, Mbah. Hanya itu saja, Mbah?"
"Iya,
Gus," jawab pengemis lantas berlalu.
Usai
pengemis pergi, Gus Miek berkata pada sahabatnya.
"Tah,
pengemis itu adalah orang yang terbalik."
"Terbalik
bagaimana, Gus?" Miftah keheranan.
"Maksudnya
terbalik itu, kelak nanti di akhirat sana dia ndak seperti itu. Dia kalau tidur seenaknya sendiri. Di emperan
toko juga sudah biasa. Kiyai Mahrus Ali mencari orang itu selama dua tahun,
tapi ndak ketemu. Aku malah sering
ketemu dia."
"Kok
menunjukkan warung murah, Gus? Miftah terus memburu jawaban atas keheranannya.
"Ya,
itu tadi mencemooh aku. Maksudnya, aku dilarang takabbur. Aku masih muda, ya ndak bisa kalau ndak takabbur. Sedang dia sudah tua, ya pasti bisa untuk ndak takabbur," jawab Gus Miek yang
tetap saja tak menghilangkan keheranan Miftah atas apa yang ia lihat saat itu.[1]
Suluk Jalan Terabas (Selamat)
SUATU
ketika, Gus Miek pernah memberi wejangan pada Anshorullah—santri yang
ditugaskan menimba air tuk memandikan Gus Tajuddin & Gus Sabuth. Gus Miek
lalu berkata, "Kamu itu, kalau dipanggil Romo, Ibu, atau putraputranya,
jangan menunggu selesai mengaji, tapi langsung letakkan kitabmu, terus sowan
dan diniatkan mengaji."
Amar
Mujib, yang merupakan pelayan Gus Miek paling muda saat itu, sering
meninggalkan Gus Miek bila sudah tidur—demi menghapal Kitab Imrithiy agar bisa masuk sekolah. Gus Miek marah sebab merasa
dinomorduakan.
"Masya Allah, Mas Adin (Zainudin Djazuli)
kakakku itu, kalau hanya ingin masuk sekolah, saya buatkan surat."
Amar
kemudian pulang mengambil kitabnya tuk mengaji. Pada saat penerimaan murid
baru, Amar meminta izin pada Gus Miek tuk sekolah & mengaji, lalu minta
surat pengantar sebagaimana yang pernah dijanjikan Gus Miek. Namun Gus Miek
malah menjawab:
"Aku
tidak ridha dunia-akhirat kamu mengaji atau sekolah. Kalau kamu tetap saja
mengaji atau sekolah, mulai sekarang kamu putus hubungan denganku
dunia-akhirat. Anakanak satu pondok itu, Mar, anak sebanyak itu, yang jadi itu
cuma satu. Jadi orang itu, kalau bisa, mengambil jalan trabas (pintas). Mereka yang selamat itu yang mau ngambil jalan
trabas, sing penting, kamu mengikuti
aku."
Amar
pun tak berani membangkang, sebab ia & orangtuanya percaya pada kewalian
Gus Miek.[2]
Pada
Sabtu, 5 Juni 1993, Gus Miek kembali Pulang dari perantauannya di dunia fana’ selama 53 tahun sejak 17 Agustus 1940. Perihal akhir hayatnya ini, beliau
telah lebih dulu mengabarkan sang ibu, Nyai Radhiyah, bahwa ia akan pulang dengan
raga utuh sebelum 9 Juni 1993—sambil menahan serangan kanker luarbiasa ganas
saat dirawat di Rumah Sakit Budi Mulia, Surabaya.
Sehari
setelah wafatnya, ratusan ribu orang telah tumpah ruah menuju Ploso, Kediri, tepatnya
di Pemakaman Tambak yang telah diramalkan oleh Gus Miek akan menjadi peristirahatannya
yang terakhir bersama 40 Wali Jawa lain yang akan segera menyusul. Saking banyaknya
pelayat, shalat jenazah sampai harus digelar 98 kali berturutan. Sebuah prosesi
pemakaman yang belum pernah terjadi selama 100 tahun sebelumnya.
Keajaiban
fenomena di atas, bukan semata karena status kewalian Gus Miek, namun karena
Allah meridhai hidupnya. Allah pula yang memiliki dan menguasai segala.
Segalanya
Allah... []
Omah Mangkat, 20-22/12/2015
No comments:
Post a Comment