Sukarno & Suharto: dua matahari kembar Indonesia yang saling-silang mewarnai sejarah. |
SEJARAH
NUSANTARA, Indonesia khususnya, adalah sebuah suksesi berantai yang panjangnya telah
menempuh masa hampir dua milenia. Banyak tokoh yang kemudian muncul tiba-tiba
dalam panggung sejarah, tanpa masa lalu, tanpa beban silsilah, kemudian tampil sebagai
titisan dewa, anak para raja, dan kemudian menggenggam mitos.
Mitos
adalah buku suci dalam kekuasaan para raja Jawa. Tampaknya ini juga yang
dipegang dalam konstelasi perpolitikan nasional kita yang belum lepas dari
kesejarahan mitos atas silsilah masa lalu. Naiknya Megawati dan SBY juga tak
lepas dari mitos atas kerja orangtua mereka. Sehingga silsilah menjadi begitu penting
dalam kerja politik. Proses penghancuran mitos ini belum reda sampai sekarang.
Mitologi
silsilah itulah yang kemudian bisa kita amati dalam mempelajari riwayat orang
besar. Bagaimana mungkin, Suharto yang adalah anak seorang anak petani biasa
membuat Sri Sultan Hamengkubuwono IX tertunduk dan menurut? Bagaimana mungkin
orang yang begitu Prabawa dan penuh kharisma seperti Bung Karno seperti gemetar
ketakutan melihat Suharto. Bahkan pada akhir 1966, dengan nada galau, Sukarno
berteriak tiga kali menyebut Suharto sebagai penegas keadaan bahwa tak boleh
ada yang merebut kursi presiden, “Tidak juga engkau Suharto, tidak juga engkau
Suharto, tidak juga engkau Suharto...” kata Bung Karno sambil tangannya
menunjuknunjuk ke arah barisan para Jenderalnya. Ada apa dengan kekuatan
Suharto?
Jelas
Sukarno tidak akan takut dengan kekuatan militer Amerika Serikat. Ia sudah
terbiasa
menghadapi
teater perang besar. Bahkan di hadapan Dadong (nama panggilan Presiden
Filipina-Macapagal), Sukarno menyatakan siap menghadapi perang sebesar apa pun,
dan itu memang sudah dilakukan Sukarno ketika ia meletuskan katakata Dwikora
dan mengancam perang Malaysia—sebuah pidato yang mirip pidato Franklin Delano
Roosevelt saat mengumumkan akhir perang terbesar Abad ke-20.
Korankoran
arusutama Amerika menjuluki Sukarno sebagai ‘Tiran’ dengan kekuatan tanpa tanding
yang mengancam dunia bebas. Di sisi lain, di negara-negara bekas jajahan dan
negara tertindas, Sukarno dijuluki “Hadiah Tuhan untuk Kebebasan Bagi Mereka yang
Tertindas.” Dalam kasus ini Sukarno menunjukkan kelasnya sebagai orang nomor
satu Indonesia, tapi juga tokoh dunia.
Perkara
kelas itu bisa kita pelajari dari kasus Jenderal AH Nasution yang sedang menunggu
sendiri anaknya dirawat di Rumah Sakit Gatot Subroto yang sekarat tertembak pasukan
penculik pimpinan Letkol Untung. Saat itu Nasution menampik saran Adam Malik—yang
merupakan sepupunya sendiri, “Nas, kau ambil itu kekuasaan Angkatan Darat. Sekarang
juga kau ke Kostrad. Kau pegang sendiri militer.” Tapi Nasution menolak dengan
alasan, “Bagaimana mungkin aku meninggalkan anakku yang sekarat untuk urusan
pekerjaan.” Adam Malik lantas kecewa, dan menganggap Nasution lemah. Adam Malik
lupa, sepanjang sejarah karir militer Nasution, ia tak berani berhadapan head to head dengan Sukarno. Seperti
yang diucapkan Nasution sendiri di Amerika Serikat dalam wawancara dengan
jurnalis Amerika Serikat pada awal 1960-an, “Saya tak mungkin berhadapan dengan
Sukarno. Dialah yang menyadarkan saya tentang arti kemerdekaan, sebelum saya
tahu apa itu merdeka di masa saya sekolah dulu.” Artinya, kekuatan Sukarno
memang secara personal luarbiasa.
Anehnya, kekuatan Sukarno bisa lebur di tangan jenderal yang sama sekali tak dikenal
sebelumnya. Nama Jenderal itu pernah disebut-sebut di korankoran nasional
sepanjang konflik politik yang panas pada paruh pertama 1960-an. Meski namanya
hanya muncul sekilas saat pemakaman Jenderal Gatot Subroto dan saat ia diangkat
jadi Panglima Mandala dalam Perang Perebutan Irian Barat. Itu pun kemudian
namanya tenggelam oleh Subandrio, menteri luar negeri yang memiliki kelihaian
diplomasi dengan mencari celah dukungan Inggris dan Amerika Serikat dalam
menendang Belanda keluar dari Irian Barat.
Sanad Darah
Suharto
lahir dari situasi yang tak jelas. Pernyataan ini bukan hanya lahir dari
majalah-majalah gosip yang banyak bermunculan pada 1970-an terkait asal-usul
Suharto, tapi juga dari buku-buku yang berbobot ilmiah tinggi seperti buku
Robert Edward Elson, seorang profesor dari University of Queensland, Australia,
yang secara serius meriset Suharto. Dalam satu bab pertamanya tentang asal-usul
Suharto, adalah bagian paling rumit untuk mendefinisikan kepribadian dan posisi
psikologis Suharto pada masa mendatang. Elson menyajikan riset atas konfigurasi
keluarga Suharto yang rumit, mengenaskan serta tidak jelasnya siapa ayah
kandung Suharto sesungguhnya dan berpengaruh atas kepribadian Suharto yang pendiam,
menganalisa masalah, mempertimbangkan keadaan serta hati-hati dan kepribadian
inilah yang kelak menjadi modal dalam keberhasilan hidupnya.
Suharto dilahirkan pada 8 Juli 1921, dari seorang ibu yang galau, stress, dan
sedang prihatin. Sukirah namanya. Hal ini dinyatakan Elson pada bab pertama
bukunya tentang Suharto. Dalam buku lain karangan Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Suharto, menyebutkan dua tahun setelah
kelahiran Suharto, orangtuanya bercerai. Tapi Elson lebih ganas lagi ketika menyebutkan
waktu kelahiran bayi istimewa ini: Orangtua Suharto bercerai empat minggu
setelah kelahirannya.
Sukirah
sendiri dikabarkan hilang dan ternyata sedang ‘ngebleng’ puasa tanpa makan dan minum. Ia merasa membawa beban
hidup yang amat berat. Kondisi ini secara tak sadar hanya sekilas saja
diberitakan para ilmuwan Barat yang sistem kerja otaknya sangat geometrik
sehingga berdampak pada pahaman mereka yang melulu rasional. Tidak halnya bagi
kalangan Jawa yang mengerti ilmu kebatinan. Saat itu, jelas Sukirah sedang mengalami
beban psikologi luarbiasa karena ia mengandung ‘Seorang Raja di Masa Depan.’
Penduduk
kampung mencaricari Sukirah, yang kemudian ditemukan dalam keadaan hampir mati
karena kurang makan dan minum. Berangkat dari situasi keprihatinan yang tinggi
itulah Suharto lahir. Di usia empat tahun Suharto sudah diserahkan pada kakak
ibunya, keluarga Kromodiryo. Pada usia yang masih amat muda untuk ukuran anak
desa seumurnya, Suharto sudah disekolahkan. Suharto yang berada di dusun amat
terpencil dan bisa bersekolah bagus, juga bisa menjadi bahan riset yang menarik.
Lantas siapa ayah Suharto sesungguhnya? Suharto sendiri tak mengalami ikatan
emosional yang tinggi kepada orang yang dianggap ayahnya yaitu Kertosudiro. Kemungkinan
Suharto sudah mengerti bahwa Kertosudiro bukan ayah kandungnya (Elson, bab I: Permulaan
dan Masa Muda Suharto).
Dalam
buku otobiografinya, Suharto: Pikiran,
Ucapan dan Tindakan, yang disusun oleh Ramadhan KH, tertulis, “Di masa lalu
ada teman yang seingat saya bernama si Kromo, yang mengata-ngatai saya sebagai
‘Den Mas Tahi Mabul.’ Ini jelas penghinaan bagi Suharto kecil. Lalu Suharto pun
menonjok Kromo dan itulah pengalaman satusatunya Suharto berkelahi. Berbeda
dengan pengalaman berkelahi pertama Sukarno yang mempersoalkan dia dilarang
main bola oleh sinyo Belanda karena ia seorang pribumi. Suharto berkelahi
karena persoalan tak jelas asal usulnya.
Dari
garis Sukirah, sebenarnya Suharto berdarah bangsawan Yogyakarta. Kakek buyutnya,
Notosudiro, memiliki isteri yang merupakan anak perempuan dari Hamengkubuwono
V. Terlepas dari situasi sulit siapa ayah kandungnya, perpecahan keluarga dan
segala macam konflik psikologis, dalam lingkungannya, Suharto tumbuh secara
baik. Ia adalah pemuda berwajah tampan lagi berwajah ningrat, juga sangat halus
perangainya. Beberapa kali Suharto menjadi bahan rebutan antara Sukirah dan
Kertosudiro, sehingga Suharto harus tabah dalam menjalani kehidupannya yang
membingunkan itu.
Suharto
sendiri mengakui saat paling bahagia adalah ketika ia ‘ngenger’ (menumpang) pada keluarga Prawirohardjo, yang salah satu
anaknya adalah Sulardi, di Wuryantoro. Lewat Sulardi inilah Suharto berkenalan
dengan Hartinah, puteri wedana di Wonogiri, yang juga merupakan kawan sekelas
Sulardi. Kelak Hartinah inilah yang menjadi istri Suharto. Kita kemudian
mengenalnya dengan sebutan Ibu Tin.
Suharto
hidup prihatin. Ia senang sekali berpuasa.
“Saya
sudah mengalami banyak laku, banyak tindakan pertapaan di diri saya. Satu-satunya
yang belum saya lakukan adalah tidur di atas sampah,” kenang Suharto dalam
biografinya. Bertapa adalah ‘keprihatinan’ a
la orang Jawa dalam memahami penderitaan dan keprihatinan. Manusia tidak
boleh hidup enak. Mereka harus mendidik dirinya sendiri dengan keras agar tidak
gampang mengeluh dalam kehidupan dan kuat menghadapi godaan saat menjalani
cita-cita. Guru Suharto paling awal dalam soal kebatinan dan pemahaman pada
nilai-nilai filsafat Jawa adalah Kyai Daryatmo yang ditemui Suharto sewaktu
muda.
Kemampuan
Suharto mengolah diri inilah yang kemudian berhasil menjadikan dirinya sebagai
orang yang sarat disiplin. Ia juga terus menerus mencari daya linuwih (kelebihan) dalam kehidupannya.
Ia orang yang tidak gemar kenikmatan hidup. Ia hanya menjalani apa yang
diyakininya benar–terlepas keyakinannya itu membuat sengsara banyak orang, atau
membuat keadaan susah, ia tak peduli. Selama ia tahu apa tujuannya.
Menekuni Dunia Kemiliteran
Koninklijk
Nederlands-Indische Leger (KNIL) adalah perkenalan Suharto
pertama kali dengan dunia militer. Semula ia ingin melamar jadi angkatan laut, sebagai
seorang kelasi. Lantaran pernah melihat seorang kelasi gagah yang sedang berlibur
di Yogyakarta. Namun keinginannya ingin menjadi kelasi ia urungkan ketika
mendaftar ke angkatan laut Hindia Belanda. pasalnya, ia mendengar bahwa
lowongan yang dibuka hanya sebagai juru masak.
Urung
mendaftar di angkatan laut, tanpa sengaja ia mendengar bahwa KNIL membuka
pendaftaran sekira akhir tahun 1939 atau awal 1940. Hindia Belanda sedang
membutuhkan tenaga perang sekitar 35.000 orang pribumi. Saat itu memang
berkembang wacana kemungkinan Jepang masuk ke Hindia Belanda, dan Belanda
sadar, tak mungkin berhadapan dengan Jepang sendirian. Seperti di Filipina yang
sedang mempersiapkan perlawanan rakyat, maka Belanda harus mempersiapkan
pribumi untuk militerisasi demi menghadapi serbuan Jepang. Namun tampaknya
wacana militerisasi kaum pribumi menjadi mentah, karena militerisasi ini hanya
akan menjadikan ‘senjata makan tuan’ bagi Belanda kelak di kemudian hari. Akhirnya
kaum pribumi dibatalkan untuk menghadapi Jepang. Ratusan ribu senjata yang
sedianya digunakan untuk perang, disembunyikan dan pemerintahan Hindia Belanda
memilih lari ke Australia.
Suharto
masuk dalam program militerisasi besar-besaran itu dan ia lulus sebagai yang
terbaik tiga tahun kemudian. Tak lama berselang, Jepang masuk.
Ada
cerita menarik lain ketika Suharto ingin masuk KNIL. Suatu hari ia menggembala dua
kerbaunya di ladang tebu dan bertemu sepupunya, Sukardjo Wilardjito, untuk
berpamitan sebelum masuk militer. Pada kemudian hari, Sukardjo yang berstatus
sebagai ajudan Sukarno bercerita dalam bukunya, Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden,
Soekardjo Wilardjito, Galang Press cetakan I, 2008. Percakapan mereka itu
menjadi penting bukan saja karena keduanya berhubungan saudara, tapi karena
kelak dua orang ini pada 1966, berhadap-hadapan pada sisi berlainan.
Kala
itu, Suharto memerintahkan tiga orang jenderalnya: Mayjen Amir Machmud, Mayjen
M. Jusuf dan Mayjen Basuki Rachmat, untuk meminta surat perintah kekuasaan
menertibkan keadaan ke Bung Karno. Sementara di pihak lain, sepupunya, Sukardjo
Wilardjito, yang saat itu berpangkat Letnan Satu dan telah menjadi ajudan Bung
Karno, menyaksikan sendiri bagaimana Bung Karno ditodong senjata oleh seorang mayor
jenderal bernama Panggabean. Nama jenderal keempat dalam urusan Supersemar (SP)
ini sempat heboh pada awal 2000-an, dan sampai sekarang pun, alur cerita SP 11
Maret 1966 itu masih menjadi salah satu berita misterius.
Namun
seperti biasa, berita ini tetap dikangkangi Suharto yang telah memenangkan
sejarah dengan memasukkan SP 11 Maret 1966 sebagai tonggak penting konstitusi
Indonesia. Sukardjo kemudian diburu dan dipenjara bahkan sempat dibuang ke luar
Jawa, meski selalu urung dibunuh. Mudah saja menjawabnya. Sukardjo adalah sepupu
Suharto. Hal menarik yang bisa kita amati, Suharto bisa amat dingin membedakan
mana saudara, mana politik. Inilah yang kemudian membuat Suharto memang
merupakan ‘Jenderal Berdarah Dingin,’ dan memiliki kepribadian lebih kuat
apalagi hanya dibandingkan dengan Jenderal Nasution yang cenderung lemah.
Kemampuan
Suharto dalam memenangkan sejarah ini tak lepas dari kepribadiannya yang teliti
sebelum mengambil tindakan. Salah satu modal psikologis dalam memenangkan setiap
pertempurannya adalah, ia amat “pendiam.” Rosihan Anwar, salah seorang wartawan
kawakan Indonesia, pernah menceritakan hal itu, “Saya jalan berjam-jam dengan
Suharto untuk menemui Jenderal Sudirman dan diantar olehnya. Tapi satu kali pun
ia tidak bicara. Ia hanya menyetir mobil, lalu masuk pedesaan. Ia juga sempat memetik
kelapa muda dan satu-satunya ucapan yang ia katakan pada saya adalah, “silahkan
diminum.” Ia adalah orang yang ‘kulino
meneng’ (terbiasa
berdiam
diri), sebut Rosihan menjuluki watak Suharto.
Kelak
pada 1974, surat kabar Rosihan Anwar, Pedoman,
dibredel Pemerintahan Suharto. Ketika Mashuri bertanya bagaimana nasib Pedoman pascaperistiwa Malari 1974,
Suharto menjawab sinis, “Wis dipateni wae:
sudah dibunuh saja.” Jelas ini menunjukkan Suharto amat dingin terhadap
orang yang ia kenal di masa lalu. Ia lebih mementingkan tujuan dalam
mengerjakan sesuatu ketimbang kehangatan hubungan antar manusia.
Suharto
amat berminat dalam latihanlatihan kemiliteran. Ia juga terpengaruh oleh
ide-ide nasionalisme yang amat bergema pada masa latihan kemiliteran di Pembela Tanah Air (PETA), seperti:
Nasionalisme Ekstrim, anti Belanda dan Anti Jepang. Ada hal unik yang perlu
dicatat. PETA berbeda dengan KNIL. Dalam PETA tidak ada pengaruh sipil yang
mengendalikan. Mereka seakan-akan bergerak sendiri. Sementara KNIL, amat
dipengaruhi keputusan sipil. Watak dasar entitas inilah yang kemudian
menjelaskan bagaimana para jenderal Orde Baru (Orba) lulusan PETA tampil mengambil
alih kendali sejarah, memutuskan hubungan dengan sipil, dan berani menghajar
Sukarno. Berbanding terbalik dengan jenderal lulusan KNIL yang cenderung taat
pada otoritas sipil. Pada irisan itulah nasib Suharto bertengger manis. Ia
pernah di KNIL sekaligus PETA.
Garda Depan Revolusi Fisik
Karir
Suharto melejit setelah ia mendengarkan pengumuman bahwa Sukarno telah memerdekakan
Indonesia. Ia sendiri mengakui ikut bersorak gembira dan larut dalam euforia kemerdekaan
Republik Indonesia. Ia pun langsung bertindak di Yogyakarta dan karena masa
lalunya yang baik dalam latihan kemiliteran, Suharto langsung diangkat menjadi Mayor
Republik, sebuah keputusan menarik bagi seorang Suharto. Sebab bagaimana pun,
sebagai eks KNIL dan memiliki karir bagus di PETA, ia bisa saja menunggu
Belanda dan melamar menjadi Perwira KNIL untuk perang dengan calon Republik. Tapi
Suharto lebih memilih menjadi pejuang di garis kemerdekaan Republik Indonesia.
Pilihan ini tidak bisa dianggap remeh karena bisa menjelaskan watak nasionalisme
Suharto yang puritan, radikal, tidak aneh-aneh, setia pada merah putih, walaupun
kemudian ia gagal paham soal pandangan yang lebih njlimet lagi ‘soal kedaulatan total.’ Ide yang dikeluarkan oleh Tan
Malaka dan Bung Karno.
Bagi
Suharto, nasionalisme adalah soal kesejahteraan, cinta tanah air, rakyat tidak
kelaparan. Nasionalisme logistik inilah yang kemudian mewarnai Indonesia selama
lebih dari 32 tahun. Suharto jelas orang yang beruntung. Ia tanpa sengaja masuk
ke dalam pusaran sejarah dan kenal
dengan orangorang nomor satu di negeri ini. Ia bisa kenal dengan Bung Karno
lewat kejadian paling bersejarah: Penangkapan Jenderal Mayor Sudarsono. Saat
itu Sudarsono adalah orang yang paling berjasa terhadap pembentukan pasukan di
Yogyakarta. Ia adalah otak serangan seluruh markas Jepang dan merebut
persenjataan sehingga pasukan di Yogyakarta menjadi pasukan terkuat seantero Republik
Indonesia. Kekuatan pasukan inilah yang kemudian menjadikan posisi Sri Sultan
Hamengkubuwono IX amat penting, serta membuat seluruh kabinet Republik Indonesia
mengungsi ke Yogyakarta demi meminta perlindungan pada Sri Sultan
Hamengkubuwono IX—sekaligus menyusun strategi militer secara utuh menyeluruh
guna menghadapi kekuatan Belanda—yang menurut data intelijen Inggris dan sudah
diterima, Sjahrir akan masuk lewat struktur entitas militer bernama NICA.
Saat
itu, masih dalam suasana Agresi Militer Belanda I (awal 1946), berkembang
perdebatan sengit antara dua kelompok. Barisan Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin
yang saat itu bersatu dalam Partai Sosialis, serta menjadi dominan dalam kabinet,
menghendaki perundingan dengan Belanda. Sementara di pihak lain, kelompok
oposisi yang dipimpin Tan Malaka, menghendaki perang total, perang tanpa
kompromi dengan Belanda.
“Tak
Perundingan, tak ada diplomasi, Merdeka-lah kita 100%.” Kelompok Tan Malaka mendapatkan
simpati hampir semua perwira militer terutama yang berasal dari PETA, termasuk
Jenderal Sudirman yang adalah pengagum Tan Malaka. Ia selalu berdiri dan
bertepuk tangan ketika Tan Malaka berpidato. Anak buah Jenderal Sudirman,
Jenderal Mayor Sudarsono dan anak buahnya Mayor AK. Yusuf. juga amat berdiri di
garis Tan Malaka. Namun ada situasi over
acting dari tindakan Sudarsono, yaitu menangkap Perdana Menteri Sjahrir dan
pengikutnya.
Tindakan
Sudarsono ini jelas dikecam Sukarno. Seorang pemimpin pemuda bernama Sudjojo, memerintahkan
Suharto–yang saat itu sudah menjadi letkol karena keberaniannya dalam perang
Ambarawa dan menjadi anak buah kesayangan Jenderal Sudirman—untuk menangkap Sudarsono.
Tak lama kemudian, keluar surat perintah dari Sukarno untuk menangkap orang
yang sama.
Suharto
berpikir, “Bagaimana bisa ia menangkap atasannya, orang yang paling berjasa
atas lengkapnya persenjataan pasukan di Yogyakarta dan dikagumi banyak serdadu
Yogya, sementara saya sendiri adalah pengikut Sudarsono.” Tapi Suharto amat
hati-hati saat membalas surat Sukarno, “Saya akan menangkap Sudarsono bila ada
perintah dari Jenderal Sudirman.” Konflik 3 Juli 1946 ini menjadi amat jelas
bagi kita bagaimana menilai kemampuan Suharto dalam manajemen konflik dan
mengerti atas situasi. Baginya, kekuasaan bukanlah selalu orang yang posisinya berada
di atas. Kekuasaan adalah mereka yang secara nyata memegang kekuatan dan
kendali atas keadaan.
Suharto
mengerti, saat itu bukan Sukarno yang memegang kendali kekuasaan, tapi Sudirman
dan Tan Malaka. Terkait soal ini secara jelas diungkapkan banyak sejarahwan
pada waktu itu, tentang bagaimana pola kekuasaan Indonesia selama masa revolusi
bersenjata 1945-1949. Suharto tak mau melakukan tindakan sebelum tahu betul situasi
dan tak mau bertindak sebelum mengerti iapa yang memegang kendali keadaan. Inilah
yang kemudian menjadikan Suharto selalu memenangkan sejarah. Seperti ucapan
paling fenomenal yang kelak ia lontarkan pada awal Oktober 1965, “PKI berada
dalam penculikan para Jenderal.” Perkataan ini mengandung arti bahwa Suharto memang
memiliki informasi amat lengkap sebelum kejadian dan bukan merupakan praduga
belaka. Inilah pembeda tegas Suharto dengan pelaku sejarah yang sezaman dengannya.
Sukarno
harus diakui sebagai Bapak Pembebas Rakyat Indonesia. Tapi hari ini, mau tak
mau kita harus mengamini bahwa seluruh pemegang dan penentu kekuasaan di
Indonesia merupakan anak didik Suharto. 90 persen pelaku penting politik kita saat
ini bukanlah orang yang melawan Suharto, termasuk Setya Novanto yang berada
pada lapisan terbawah saat “Bapaknya” masih berkuasa.
Suharto
yang tak jelas bapak kandungnya itu, memiliki kekuatan luarbiasa yang jelas
melampaui rasa minder, seperti ketika ia disindir oleh Mayjen S. Parman sebelum
kejadian 1965, “Suharto itu siapa, pendidikannya apa, arep melu-melu ngurus negoro,” yang tercatat dalam buku karangan Subandrio.
Gugatan
lain diungkapkan Mashuri, bekas tetangga Suharto dan mantan menteri pendidikan RI
yang memberikan keterangan bahwa Suharto adalah anak keturunan Cina (seperti
juga yang diungkapkan Elson dalam bukunya). Saat itu, juga ramai spekulasi
bahwa Suharto adalah anak kandung Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Dengan kata
lain dia adalah adik kandung Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Ada juga yang
menyatakan bahwa ayah kandung Suharto adalah orang yang memegang payung kuning
Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.
Kendati
begitu, Suharto tetap lihai menggantikan posisi Bung Karno sebagai presiden RI pada
1966, tahun awal kekuasaannya. Keadaan masa lalu yang mengambang itu dijawab
Suharto dengan tenang, termasuk ketika ia mengadakan jumpa pers pada 1974. Semua
ocehan itu dijawab dengan tenang oleh Suharto hanya dengan empat kata, “Saya
adalah anak Petani.” Benar adanya, Suharto adalah anak petani yang secara
politik bisa mengalahkan Sudarsono, DN Aidit, Tan Malaka, Sudirman, Sukarno,
Hatta, Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin, dan seluruh orang besar di negeri ini kala
itu yang mustahil dikalahkan melalui jalur politik. Satusatunya yang bisa
mengalahkan Suharto hanyalah waktu. Ia tumpas oleh usia. [] @wisbenbae
Tepian
selatan Jakarta, 10/12/2015
No comments:
Post a Comment