Belajar Jadi Orang BESAR

Sukarno & Suharto: dua matahari kembar Indonesia yang saling-silang mewarnai sejarah. 


SEJARAH NUSANTARA, Indonesia khususnya, adalah sebuah suksesi berantai yang panjangnya telah menempuh masa hampir dua milenia. Banyak tokoh yang kemudian muncul tiba-tiba dalam panggung sejarah, tanpa masa lalu, tanpa beban silsilah, kemudian tampil sebagai titisan dewa, anak para raja, dan kemudian menggenggam mitos.

Mitos adalah buku suci dalam kekuasaan para raja Jawa. Tampaknya ini juga yang dipegang dalam konstelasi perpolitikan nasional kita yang belum lepas dari kesejarahan mitos atas silsilah masa lalu. Naiknya Megawati dan SBY juga tak lepas dari mitos atas kerja orangtua mereka. Sehingga silsilah menjadi begitu penting dalam kerja politik. Proses penghancuran mitos ini belum reda sampai sekarang.

Mitologi silsilah itulah yang kemudian bisa kita amati dalam mempelajari riwayat orang besar. Bagaimana mungkin, Suharto yang adalah anak seorang anak petani biasa membuat Sri Sultan Hamengkubuwono IX tertunduk dan menurut? Bagaimana mungkin orang yang begitu Prabawa dan penuh kharisma seperti Bung Karno seperti gemetar ketakutan melihat Suharto. Bahkan pada akhir 1966, dengan nada galau, Sukarno berteriak tiga kali menyebut Suharto sebagai penegas keadaan bahwa tak boleh ada yang merebut kursi presiden, “Tidak juga engkau Suharto, tidak juga engkau Suharto, tidak juga engkau Suharto...” kata Bung Karno sambil tangannya menunjuknunjuk ke arah barisan para Jenderalnya. Ada apa dengan kekuatan Suharto?

Jelas Sukarno tidak akan takut dengan kekuatan militer Amerika Serikat. Ia sudah terbiasa
menghadapi teater perang besar. Bahkan di hadapan Dadong (nama panggilan Presiden Filipina-Macapagal), Sukarno menyatakan siap menghadapi perang sebesar apa pun, dan itu memang sudah dilakukan Sukarno ketika ia meletuskan katakata Dwikora dan mengancam perang Malaysia—sebuah pidato yang mirip pidato Franklin Delano Roosevelt saat mengumumkan akhir perang terbesar Abad ke-20.

Korankoran arusutama Amerika menjuluki Sukarno sebagai ‘Tiran’ dengan kekuatan tanpa tanding yang mengancam dunia bebas. Di sisi lain, di negara-negara bekas jajahan dan negara tertindas, Sukarno dijuluki “Hadiah Tuhan untuk Kebebasan Bagi Mereka yang Tertindas.” Dalam kasus ini Sukarno menunjukkan kelasnya sebagai orang nomor satu Indonesia, tapi juga tokoh dunia.

Perkara kelas itu bisa kita pelajari dari kasus Jenderal AH Nasution yang sedang menunggu sendiri anaknya dirawat di Rumah Sakit Gatot Subroto yang sekarat tertembak pasukan penculik pimpinan Letkol Untung. Saat itu Nasution menampik saran Adam Malik—yang merupakan sepupunya sendiri, “Nas, kau ambil itu kekuasaan Angkatan Darat. Sekarang juga kau ke Kostrad. Kau pegang sendiri militer.” Tapi Nasution menolak dengan alasan, “Bagaimana mungkin aku meninggalkan anakku yang sekarat untuk urusan pekerjaan.” Adam Malik lantas kecewa, dan menganggap Nasution lemah. Adam Malik lupa, sepanjang sejarah karir militer Nasution, ia tak berani berhadapan head to head dengan Sukarno. Seperti yang diucapkan Nasution sendiri di Amerika Serikat dalam wawancara dengan jurnalis Amerika Serikat pada awal 1960-an, “Saya tak mungkin berhadapan dengan Sukarno. Dialah yang menyadarkan saya tentang arti kemerdekaan, sebelum saya tahu apa itu merdeka di masa saya sekolah dulu.” Artinya, kekuatan Sukarno memang secara personal luarbiasa.

Anehnya, kekuatan Sukarno bisa lebur di tangan jenderal yang sama sekali tak dikenal sebelumnya. Nama Jenderal itu pernah disebut-sebut di korankoran nasional sepanjang konflik politik yang panas pada paruh pertama 1960-an. Meski namanya hanya muncul sekilas saat pemakaman Jenderal Gatot Subroto dan saat ia diangkat jadi Panglima Mandala dalam Perang Perebutan Irian Barat. Itu pun kemudian namanya tenggelam oleh Subandrio, menteri luar negeri yang memiliki kelihaian diplomasi dengan mencari celah dukungan Inggris dan Amerika Serikat dalam menendang Belanda keluar dari Irian Barat.

Sanad Darah
Suharto lahir dari situasi yang tak jelas. Pernyataan ini bukan hanya lahir dari majalah-majalah gosip yang banyak bermunculan pada 1970-an terkait asal-usul Suharto, tapi juga dari buku-buku yang berbobot ilmiah tinggi seperti buku Robert Edward Elson, seorang profesor dari University of Queensland, Australia, yang secara serius meriset Suharto. Dalam satu bab pertamanya tentang asal-usul Suharto, adalah bagian paling rumit untuk mendefinisikan kepribadian dan posisi psikologis Suharto pada masa mendatang. Elson menyajikan riset atas konfigurasi keluarga Suharto yang rumit, mengenaskan serta tidak jelasnya siapa ayah kandung Suharto sesungguhnya dan berpengaruh atas kepribadian Suharto yang pendiam, menganalisa masalah, mempertimbangkan keadaan serta hati-hati dan kepribadian inilah yang kelak menjadi modal dalam keberhasilan hidupnya.

Suharto dilahirkan pada 8 Juli 1921, dari seorang ibu yang galau, stress, dan sedang prihatin. Sukirah namanya. Hal ini dinyatakan Elson pada bab pertama bukunya tentang Suharto. Dalam buku lain karangan Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Suharto, menyebutkan dua tahun setelah kelahiran Suharto, orangtuanya bercerai. Tapi Elson lebih ganas lagi ketika menyebutkan waktu kelahiran bayi istimewa ini: Orangtua Suharto bercerai empat minggu setelah kelahirannya.

Sukirah sendiri dikabarkan hilang dan ternyata sedang ‘ngebleng’ puasa tanpa makan dan minum. Ia merasa membawa beban hidup yang amat berat. Kondisi ini secara tak sadar hanya sekilas saja diberitakan para ilmuwan Barat yang sistem kerja otaknya sangat geometrik sehingga berdampak pada pahaman mereka yang melulu rasional. Tidak halnya bagi kalangan Jawa yang mengerti ilmu kebatinan. Saat itu, jelas Sukirah sedang mengalami beban psikologi luarbiasa karena ia mengandung ‘Seorang Raja di Masa Depan.’

Penduduk kampung mencaricari Sukirah, yang kemudian ditemukan dalam keadaan hampir mati karena kurang makan dan minum. Berangkat dari situasi keprihatinan yang tinggi itulah Suharto lahir. Di usia empat tahun Suharto sudah diserahkan pada kakak ibunya, keluarga Kromodiryo. Pada usia yang masih amat muda untuk ukuran anak desa seumurnya, Suharto sudah disekolahkan. Suharto yang berada di dusun amat terpencil dan bisa bersekolah bagus, juga bisa menjadi bahan riset yang menarik. Lantas siapa ayah Suharto sesungguhnya? Suharto sendiri tak mengalami ikatan emosional yang tinggi kepada orang yang dianggap ayahnya yaitu Kertosudiro. Kemungkinan Suharto sudah mengerti bahwa Kertosudiro bukan ayah kandungnya (Elson, bab I: Permulaan dan Masa Muda Suharto).

Dalam buku otobiografinya, Suharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan, yang disusun oleh Ramadhan KH, tertulis, “Di masa lalu ada teman yang seingat saya bernama si Kromo, yang mengata-ngatai saya sebagai ‘Den Mas Tahi Mabul.’ Ini jelas penghinaan bagi Suharto kecil. Lalu Suharto pun menonjok Kromo dan itulah pengalaman satusatunya Suharto berkelahi. Berbeda dengan pengalaman berkelahi pertama Sukarno yang mempersoalkan dia dilarang main bola oleh sinyo Belanda karena ia seorang pribumi. Suharto berkelahi karena persoalan tak jelas asal usulnya.

Dari garis Sukirah, sebenarnya Suharto berdarah bangsawan Yogyakarta. Kakek buyutnya, Notosudiro, memiliki isteri yang merupakan anak perempuan dari Hamengkubuwono V. Terlepas dari situasi sulit siapa ayah kandungnya, perpecahan keluarga dan segala macam konflik psikologis, dalam lingkungannya, Suharto tumbuh secara baik. Ia adalah pemuda berwajah tampan lagi berwajah ningrat, juga sangat halus perangainya. Beberapa kali Suharto menjadi bahan rebutan antara Sukirah dan Kertosudiro, sehingga Suharto harus tabah dalam menjalani kehidupannya yang membingunkan itu.

Suharto sendiri mengakui saat paling bahagia adalah ketika ia ‘ngenger’ (menumpang) pada keluarga Prawirohardjo, yang salah satu anaknya adalah Sulardi, di Wuryantoro. Lewat Sulardi inilah Suharto berkenalan dengan Hartinah, puteri wedana di Wonogiri, yang juga merupakan kawan sekelas Sulardi. Kelak Hartinah inilah yang menjadi istri Suharto. Kita kemudian mengenalnya dengan sebutan Ibu Tin.
Suharto hidup prihatin. Ia senang sekali berpuasa.
“Saya sudah mengalami banyak laku, banyak tindakan pertapaan di diri saya. Satu-satunya yang belum saya lakukan adalah tidur di atas sampah,” kenang Suharto dalam biografinya. Bertapa adalah ‘keprihatinan’ a la orang Jawa dalam memahami penderitaan dan keprihatinan. Manusia tidak boleh hidup enak. Mereka harus mendidik dirinya sendiri dengan keras agar tidak gampang mengeluh dalam kehidupan dan kuat menghadapi godaan saat menjalani cita-cita. Guru Suharto paling awal dalam soal kebatinan dan pemahaman pada nilai-nilai filsafat Jawa adalah Kyai Daryatmo yang ditemui Suharto sewaktu muda.

Kemampuan Suharto mengolah diri inilah yang kemudian berhasil menjadikan dirinya sebagai orang yang sarat disiplin. Ia juga terus menerus mencari daya linuwih (kelebihan) dalam kehidupannya. Ia orang yang tidak gemar kenikmatan hidup. Ia hanya menjalani apa yang diyakininya benar–terlepas keyakinannya itu membuat sengsara banyak orang, atau membuat keadaan susah, ia tak peduli. Selama ia tahu apa tujuannya.

Menekuni Dunia Kemiliteran
Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) adalah perkenalan Suharto pertama kali dengan dunia militer. Semula ia ingin melamar jadi angkatan laut, sebagai seorang kelasi. Lantaran pernah melihat seorang kelasi gagah yang sedang berlibur di Yogyakarta. Namun keinginannya ingin menjadi kelasi ia urungkan ketika mendaftar ke angkatan laut Hindia Belanda. pasalnya, ia mendengar bahwa lowongan yang dibuka hanya sebagai juru masak.

Urung mendaftar di angkatan laut, tanpa sengaja ia mendengar bahwa KNIL membuka pendaftaran sekira akhir tahun 1939 atau awal 1940. Hindia Belanda sedang membutuhkan tenaga perang sekitar 35.000 orang pribumi. Saat itu memang berkembang wacana kemungkinan Jepang masuk ke Hindia Belanda, dan Belanda sadar, tak mungkin berhadapan dengan Jepang sendirian. Seperti di Filipina yang sedang mempersiapkan perlawanan rakyat, maka Belanda harus mempersiapkan pribumi untuk militerisasi demi menghadapi serbuan Jepang. Namun tampaknya wacana militerisasi kaum pribumi menjadi mentah, karena militerisasi ini hanya akan menjadikan ‘senjata makan tuan’ bagi Belanda kelak di kemudian hari. Akhirnya kaum pribumi dibatalkan untuk menghadapi Jepang. Ratusan ribu senjata yang sedianya digunakan untuk perang, disembunyikan dan pemerintahan Hindia Belanda memilih lari ke Australia.

Suharto masuk dalam program militerisasi besar-besaran itu dan ia lulus sebagai yang terbaik tiga tahun kemudian. Tak lama berselang, Jepang masuk.

Ada cerita menarik lain ketika Suharto ingin masuk KNIL. Suatu hari ia menggembala dua kerbaunya di ladang tebu dan bertemu sepupunya, Sukardjo Wilardjito, untuk berpamitan sebelum masuk militer. Pada kemudian hari, Sukardjo yang berstatus sebagai ajudan Sukarno bercerita dalam bukunya, Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden, Soekardjo Wilardjito, Galang Press cetakan I, 2008. Percakapan mereka itu menjadi penting bukan saja karena keduanya berhubungan saudara, tapi karena kelak dua orang ini pada 1966, berhadap-hadapan pada sisi berlainan.

Kala itu, Suharto memerintahkan tiga orang jenderalnya: Mayjen Amir Machmud, Mayjen M. Jusuf dan Mayjen Basuki Rachmat, untuk meminta surat perintah kekuasaan menertibkan keadaan ke Bung Karno. Sementara di pihak lain, sepupunya, Sukardjo Wilardjito, yang saat itu berpangkat Letnan Satu dan telah menjadi ajudan Bung Karno, menyaksikan sendiri bagaimana Bung Karno ditodong senjata oleh seorang mayor jenderal bernama Panggabean. Nama jenderal keempat dalam urusan Supersemar (SP) ini sempat heboh pada awal 2000-an, dan sampai sekarang pun, alur cerita SP 11 Maret 1966 itu masih menjadi salah satu berita misterius.

Namun seperti biasa, berita ini tetap dikangkangi Suharto yang telah memenangkan sejarah dengan memasukkan SP 11 Maret 1966 sebagai tonggak penting konstitusi Indonesia. Sukardjo kemudian diburu dan dipenjara bahkan sempat dibuang ke luar Jawa, meski selalu urung dibunuh. Mudah saja menjawabnya. Sukardjo adalah sepupu Suharto. Hal menarik yang bisa kita amati, Suharto bisa amat dingin membedakan mana saudara, mana politik. Inilah yang kemudian membuat Suharto memang merupakan ‘Jenderal Berdarah Dingin,’ dan memiliki kepribadian lebih kuat apalagi hanya dibandingkan dengan Jenderal Nasution yang cenderung lemah.

Kemampuan Suharto dalam memenangkan sejarah ini tak lepas dari kepribadiannya yang teliti sebelum mengambil tindakan. Salah satu modal psikologis dalam memenangkan setiap pertempurannya adalah, ia amat “pendiam.” Rosihan Anwar, salah seorang wartawan kawakan Indonesia, pernah menceritakan hal itu, “Saya jalan berjam-jam dengan Suharto untuk menemui Jenderal Sudirman dan diantar olehnya. Tapi satu kali pun ia tidak bicara. Ia hanya menyetir mobil, lalu masuk pedesaan. Ia juga sempat memetik kelapa muda dan satu-satunya ucapan yang ia katakan pada saya adalah, “silahkan diminum.” Ia adalah orang yang ‘kulino meneng’ (terbiasa
berdiam diri), sebut Rosihan menjuluki watak Suharto.

Kelak pada 1974, surat kabar Rosihan Anwar, Pedoman, dibredel Pemerintahan Suharto. Ketika Mashuri bertanya bagaimana nasib Pedoman pascaperistiwa Malari 1974, Suharto menjawab sinis, “Wis dipateni wae: sudah dibunuh saja.” Jelas ini menunjukkan Suharto amat dingin terhadap orang yang ia kenal di masa lalu. Ia lebih mementingkan tujuan dalam mengerjakan sesuatu ketimbang kehangatan hubungan antar manusia.

Suharto amat berminat dalam latihanlatihan kemiliteran. Ia juga terpengaruh oleh ide-ide nasionalisme yang amat bergema pada masa latihan kemiliteran di Pembela Tanah Air (PETA), seperti: Nasionalisme Ekstrim, anti Belanda dan Anti Jepang. Ada hal unik yang perlu dicatat. PETA berbeda dengan KNIL. Dalam PETA tidak ada pengaruh sipil yang mengendalikan. Mereka seakan-akan bergerak sendiri. Sementara KNIL, amat dipengaruhi keputusan sipil. Watak dasar entitas inilah yang kemudian menjelaskan bagaimana para jenderal Orde Baru (Orba) lulusan PETA tampil mengambil alih kendali sejarah, memutuskan hubungan dengan sipil, dan berani menghajar Sukarno. Berbanding terbalik dengan jenderal lulusan KNIL yang cenderung taat pada otoritas sipil. Pada irisan itulah nasib Suharto bertengger manis. Ia pernah di KNIL sekaligus PETA.

Garda Depan Revolusi Fisik
Karir Suharto melejit setelah ia mendengarkan pengumuman bahwa Sukarno telah memerdekakan Indonesia. Ia sendiri mengakui ikut bersorak gembira dan larut dalam euforia kemerdekaan Republik Indonesia. Ia pun langsung bertindak di Yogyakarta dan karena masa lalunya yang baik dalam latihan kemiliteran, Suharto langsung diangkat menjadi Mayor Republik, sebuah keputusan menarik bagi seorang Suharto. Sebab bagaimana pun, sebagai eks KNIL dan memiliki karir bagus di PETA, ia bisa saja menunggu Belanda dan melamar menjadi Perwira KNIL untuk perang dengan calon Republik. Tapi Suharto lebih memilih menjadi pejuang di garis kemerdekaan Republik Indonesia. Pilihan ini tidak bisa dianggap remeh karena bisa menjelaskan watak nasionalisme Suharto yang puritan, radikal, tidak aneh-aneh, setia pada merah putih, walaupun kemudian ia gagal paham soal pandangan yang lebih njlimet lagi ‘soal kedaulatan total.’ Ide yang dikeluarkan oleh Tan Malaka dan Bung Karno.

Bagi Suharto, nasionalisme adalah soal kesejahteraan, cinta tanah air, rakyat tidak kelaparan. Nasionalisme logistik inilah yang kemudian mewarnai Indonesia selama lebih dari 32 tahun. Suharto jelas orang yang beruntung. Ia tanpa sengaja masuk ke dalam pusaran sejarah dan kenal dengan orangorang nomor satu di negeri ini. Ia bisa kenal dengan Bung Karno lewat kejadian paling bersejarah: Penangkapan Jenderal Mayor Sudarsono. Saat itu Sudarsono adalah orang yang paling berjasa terhadap pembentukan pasukan di Yogyakarta. Ia adalah otak serangan seluruh markas Jepang dan merebut persenjataan sehingga pasukan di Yogyakarta menjadi pasukan terkuat seantero Republik Indonesia. Kekuatan pasukan inilah yang kemudian menjadikan posisi Sri Sultan Hamengkubuwono IX amat penting, serta membuat seluruh kabinet Republik Indonesia mengungsi ke Yogyakarta demi meminta perlindungan pada Sri Sultan Hamengkubuwono IX—sekaligus menyusun strategi militer secara utuh menyeluruh guna menghadapi kekuatan Belanda—yang menurut data intelijen Inggris dan sudah diterima, Sjahrir akan masuk lewat struktur entitas militer bernama NICA.

Saat itu, masih dalam suasana Agresi Militer Belanda I (awal 1946), berkembang perdebatan sengit antara dua kelompok. Barisan Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin yang saat itu bersatu dalam Partai Sosialis, serta menjadi dominan dalam kabinet, menghendaki perundingan dengan Belanda. Sementara di pihak lain, kelompok oposisi yang dipimpin Tan Malaka, menghendaki perang total, perang tanpa kompromi dengan Belanda.

“Tak Perundingan, tak ada diplomasi, Merdeka-lah kita 100%.” Kelompok Tan Malaka mendapatkan simpati hampir semua perwira militer terutama yang berasal dari PETA, termasuk Jenderal Sudirman yang adalah pengagum Tan Malaka. Ia selalu berdiri dan bertepuk tangan ketika Tan Malaka berpidato. Anak buah Jenderal Sudirman, Jenderal Mayor Sudarsono dan anak buahnya Mayor AK. Yusuf. juga amat berdiri di garis Tan Malaka. Namun ada situasi over acting dari tindakan Sudarsono, yaitu menangkap Perdana Menteri Sjahrir dan pengikutnya.

Tindakan Sudarsono ini jelas dikecam Sukarno. Seorang pemimpin pemuda bernama Sudjojo, memerintahkan Suharto–yang saat itu sudah menjadi letkol karena keberaniannya dalam perang Ambarawa dan menjadi anak buah kesayangan Jenderal Sudirman—untuk menangkap Sudarsono. Tak lama kemudian, keluar surat perintah dari Sukarno untuk menangkap orang yang sama.

Suharto berpikir, “Bagaimana bisa ia menangkap atasannya, orang yang paling berjasa atas lengkapnya persenjataan pasukan di Yogyakarta dan dikagumi banyak serdadu Yogya, sementara saya sendiri adalah pengikut Sudarsono.” Tapi Suharto amat hati-hati saat membalas surat Sukarno, “Saya akan menangkap Sudarsono bila ada perintah dari Jenderal Sudirman.” Konflik 3 Juli 1946 ini menjadi amat jelas bagi kita bagaimana menilai kemampuan Suharto dalam manajemen konflik dan mengerti atas situasi. Baginya, kekuasaan bukanlah selalu orang yang posisinya berada di atas. Kekuasaan adalah mereka yang secara nyata memegang kekuatan dan kendali atas keadaan.

Suharto mengerti, saat itu bukan Sukarno yang memegang kendali kekuasaan, tapi Sudirman dan Tan Malaka. Terkait soal ini secara jelas diungkapkan banyak sejarahwan pada waktu itu, tentang bagaimana pola kekuasaan Indonesia selama masa revolusi bersenjata 1945-1949. Suharto tak mau melakukan tindakan sebelum tahu betul situasi dan tak mau bertindak sebelum mengerti iapa yang memegang kendali keadaan. Inilah yang kemudian menjadikan Suharto selalu memenangkan sejarah. Seperti ucapan paling fenomenal yang kelak ia lontarkan pada awal Oktober 1965, “PKI berada dalam penculikan para Jenderal.” Perkataan ini mengandung arti bahwa Suharto memang memiliki informasi amat lengkap sebelum kejadian dan bukan merupakan praduga belaka. Inilah pembeda tegas Suharto dengan pelaku sejarah yang sezaman dengannya.

Sukarno harus diakui sebagai Bapak Pembebas Rakyat Indonesia. Tapi hari ini, mau tak mau kita harus mengamini bahwa seluruh pemegang dan penentu kekuasaan di Indonesia merupakan anak didik Suharto. 90 persen pelaku penting politik kita saat ini bukanlah orang yang melawan Suharto, termasuk Setya Novanto yang berada pada lapisan terbawah saat “Bapaknya” masih berkuasa.

Suharto yang tak jelas bapak kandungnya itu, memiliki kekuatan luarbiasa yang jelas melampaui rasa minder, seperti ketika ia disindir oleh Mayjen S. Parman sebelum kejadian 1965, “Suharto itu siapa, pendidikannya apa, arep melu-melu ngurus negoro,” yang tercatat dalam buku karangan Subandrio.

Gugatan lain diungkapkan Mashuri, bekas tetangga Suharto dan mantan menteri pendidikan RI yang memberikan keterangan bahwa Suharto adalah anak keturunan Cina (seperti juga yang diungkapkan Elson dalam bukunya). Saat itu, juga ramai spekulasi bahwa Suharto adalah anak kandung Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Dengan kata lain dia adalah adik kandung Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Ada juga yang menyatakan bahwa ayah kandung Suharto adalah orang yang memegang payung kuning Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.

Kendati begitu, Suharto tetap lihai menggantikan posisi Bung Karno sebagai presiden RI pada 1966, tahun awal kekuasaannya. Keadaan masa lalu yang mengambang itu dijawab Suharto dengan tenang, termasuk ketika ia mengadakan jumpa pers pada 1974. Semua ocehan itu dijawab dengan tenang oleh Suharto hanya dengan empat kata, “Saya adalah anak Petani.” Benar adanya, Suharto adalah anak petani yang secara politik bisa mengalahkan Sudarsono, DN Aidit, Tan Malaka, Sudirman, Sukarno, Hatta, Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin, dan seluruh orang besar di negeri ini kala itu yang mustahil dikalahkan melalui jalur politik. Satusatunya yang bisa mengalahkan Suharto hanyalah waktu. Ia tumpas oleh usia. [] @wisbenbae


Tepian selatan Jakarta, 10/12/2015

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews