Khalil Ashawi/Reuters |
Bayi Teranyar al-Qaeda
“Kekerasan
hanya bisa disembunyikan dengan kebohongan,
dan
kebohongan hanya bisa dipertahankan dengan kekerasan.” ~Aleksandr Solzhenitsyn
(1918-2008)
KABAR MENYENGAT itu berembus dari Melbourne, Australia,
Senin 11 Agustus 2014. Salah satu koran lokal di sana memuat foto Khaled
Sharrouf, seorang warga Benua Kanguru yang mengklaim sebagai pejuang Islam di
Timur Tengah. Foto di akun Twitter
itu menampakkan seorang bocah lelaki yang disebut kelahiran Sidney, mengenakan
topi. Usianya tujuh tahunan. Ada senyum tipis di wajahnya yang tirus. Mungkin,
lebih tepat jika kami gambarkan bahwa anak kandung Khaled itu sedang meringis. Tangan
kirinya menggenggam kepala seorang tentara pemerintahan Bashar al-Assad yang
terpenggal. Kebiadaban menyembul dari foto itu.
Dari sekian banyak foto
atau rekaman video anak kecil yang pernah diunggah ke internet oleh para
“jihadi” di Timur Tengah, foto milik Khaled itulah yang jelas paling menohok
ulu hati. Pesan yang dikirim oleh kepala terpenggal itu melampaui ”keluarbiasaan”
Kalashnikov atau AK-47 yang biasa digenggam anak-anak rekrutan milisi di sana.
Kecuali mereka yang gandrung pada isu jihad
fi sabilillah, siapa pun yang memandangi foto tersebut lebih mendalam
niscaya merasakan betapa hidup hari ini seolah tak menawarkan jalan keluar bagi
konflik Timur Tengah. Moralitas runtuh seketika akibat perang sektarian atau perang
saudara yang terus berkobar di sana.
Bocah
dalam foto yang kami terakan di atas hanya satu dari sekian juta anak yang
terpaksa menjalani masa kecilnya dalam arena konflik tingkat tinggi. Mereka
harus terseret dalam kontestasi ambisi, kebrutalan, kebengisan, dan klaim
benar-salah. Para kontestan yang berjibaku dalam perang, yang entah membela
siapa, tersusun dalam dua formasi yang rapuh: Sunni dan Syiah. Rapuh karena
mereka berada di antara himpitan Barat yang tetap merasa bahwa bumi Timur
Tengah adalah koloni yang harus dipertahankan. Berikut ini kami
tampilkan rekam jejak faksi militan yang
kemudian bertautan dengan ISIS, berdasar lansiran Al Jazeera pada Rabu, 2 Juli 2014 pukul 08:16 Wib.
Kelompok Bersenjata Syiah |
Tentara
Mahdi
Setelah
jatuhnya Saddam Hussein, Muqtada al-Sadr, seorang ulama Irak kharismatik yang
berasal dari dinasti ulama berpengaruh, muncul sebagai salah satu pemimpin
negara yang paling banyak dibicarakan Syiah. Al-Sadr adalah putra dari
Ayatullah Agung Muhammad al-Sadr, yang tewas pada 1999 oleh agen yang bekerja
untuk Saddam, sehingga menjadi salah satu simbol utama dari perlawanan Syiah
terhadap rezim sebelumnya. Al-Sadr yang diyakini berusia sekitar 30 tahun
[meskipun beberapa sumber mengklaim ia berumur 20 awal] tinggal di kota suci
Syiah, Najf. Ia adalah salah satu kritikus paling vokal dari pendudukan AS
terhadap Irak, dengan memimpin Gerakan Sadriyun (Gerakan al-Sadr), dan
bersikeras bahwa tentara AS harus meninggalkan Irak serta memberi kesempatan
pada rakyatnya menciptakan negara Islam jika mereka menghendaki demikian.
Muqtada
al-Sadr juga menggunakan khutbah Jumat guna mengekspresikan oposisi vokal terhadap
pasukan pendudukan pimpinan AS dan Pemerintahan Irak (IGC). Pada Juni 2003, ia
membentuk kelompok milisi, Tentara Mehdi, dan berjanji melindungi otoritas
keagamaan Syiah di kota suci Najf. Kelompok ini mengklaim sedang membela
rakyat, agama, negara, dan ritus suci irak. Mereka menyebut diri sebagai
kekuatan nasionalis, bukan sektarian. Bulan berikutnya, AS telah mengeluarkan
surat perintah penangkapan bagi al-Sadr sehubungan dengan pembunuhan pemimpin
Syiah moderat, Abdul Majid al-Khoei, pada April 2003, meskipun al-Sadr
membantah keras terlibat dalam peristiwa tersebut.
Pada
awal 2004 pengikut al-Sadr telah mengangkatnya sebagai Hujjat al-Islam (Bukti Islam), gelar ketiga dari atas dalam hirarki
ulama Syiah. Sebagai bukti keberaniannya menantang pendudukan Amerika, ia
membungkus dirinya dengan kain kafan putih, menunjukkan bahwa ia siap mati. Ia
juga mendirikan sebuah surat kabar mingguan, al-Hawzah, yang kemudian dibredel pada Maret 2004 karena dinilai
menghasut rakyat mengobarkan perlawanan anti-AS. Tentara Mehdi terlibat dalam
pertempuran sengit dengan pasukan AS pada Agustus 2004 di Najf. Permusuhan
antara Tentara Mahdi dan pasukan AS dilanjutkan pada Agustus 2004 di Najaf dan
tidak berhenti sampai Ayatollah Sistani menyatakan gencatan senjata.
Pada
Maret 2008 selama Pertempuran Basrah, Gerakan Al-Sadr melancarkan kampanye
pembangkangan sipil secara nasional di Irak untuk memprotes penggerebekan dan
penahanan terhadap Tentara Mahdi. Menanggapi penyerangan Israel ke Gaza,
al-Sadr menyerukan pembalasan terhadap pasukan AS di Irak, "Saya
menyerukan kepada gerakan perlawanan Irak untuk melakukan operasi balas dendam
terhadap kaki tangan dari musuh besar Zionis."
Dalam
konferensi pers bertitimangsa 6 Maret 2010 menjelang pemilihan parlemen Irak
2010, Muqtada al-Sadr menyerukan kepada semua rakyat Irak untuk berpartisipasi
dalam pemilu dan mendukung mereka yang berusaha untuk mengusir pasukan AS dari
negara itu. Al-Sadr memperingatkan bahwa campur tangan Amerika Serikat tidak
dapat diterima. Al-Sadr, yang memiliki ribuan pengikut setia di Irak telah
secara konsisten menentang kehadiran pasukan asing dan berulang kali menyerukan
agar mereka segera mengakhiri pendudukan Irak. Sejak terjun ke dunia politik,
Al-Sadr sering bertentangan dengan Menteri Perdana Maliki (kini digantikan
Haidar al-Abadi). Namun, pada Februari 2014 lalu, al-Sadr mengumumkan
pengunduran dirinya dari dunia politik, meski ia menyatakan akan tetap peduli
dan tidak menutup diri dari geliat politik.
Asa’ib
Ahl al-Haq
Kelompok
yang juga menamakan diri The League of The Righteous (Liga Orang Benar) ini
telah bertempur melawan pasukan AS, selama tentara Paman Sam menduduki Irak.
Kelompok ini merupakan salah satu dari sekian kelompok militan Irak yang juga terlibat
pertempuran di Suriah. Mereka juga mengaku tengah berjuang bersama pasukan
pemerintah di Diyala, Anbar, dan Samarra.
Kata’ib
Hezbollah
Kelompok
ini juga muncul ketika AS mencengkeram Irak. Mereka dianggap sebagai kelompok
yang fokus memerangi AS di tanah Irak. Kini, Hezbollah bergabung dengan pasukan
pemerintah untuk menggempur militan ISIS di sejumlah daerah.
Kelompok Bersenjata Sunni |
Dewan
Militer Umum Pendukung Revolusi Irak (General
Military Council for Iraqi Revolutionaries/ GMCIR)
Dewan
Militer Umum Pendukung Revolusi Irak atau General Military Council for Iraqi
Revolutionaries (GMCIR) diproklamirkan pada Januari 2011, ketika gerakan protes
anti-pemerintah berlangsung. Mereka memanfaatkan terbaginya dua kubu: para
aktivis pro-revolusi dan pasukan suku yang setia.
GMCIR
didirikan untuk mengoordinasi pelbagai suku lokal dan menjadi sayap bersenjata
gerakan protes. Sebagai kelompok lokal yang hadir di Kota Ramadi, Salahaddin,
Abu Ghraib, Bagdad, Mosul, dan Diyala, GMCIR menjadi kelompok utama penentang
militer Irak.
Tentara
Islam Irak (Islamic Army of Iraq/IAI)
Kelompok
yang dibentuk pada 2003 ini diduga dipimpin oleh mantan perwira militer Irak.
Selama 2006-2007, beberapa anggota IAI diperkirakan bergabung dengan Dewan
Kebangkitan yang mendukung AS menumpas al-Qaeda. Setelah sempat dianggap tidak
aktif lagi, kelompok ini kemudian dipandang sebagai pendukung protes
anti-pemerintah. Kelompok yang aktif di sekitar Anbar dan Baghdad ini menuntut dibentuknya
pemerintahan negara federal dan meminta Menteri Perdana Irak Nouri al-Maliki mundur
dari jabatannya.
Tentara
Ode Naqsybandi
Kelompok
yang setia pada Izzat Ibrahim al-Douri—anggota paling senior dari rezim mantan
Presiden Saddam Hussein—memulai kegiatan bersenjatanya pada Juli 2003 melawan pasukan
AS di Irak. Namun mereka baru menyatakan diri sebagai kelompok pada 2006.
Naqsybandi menolak ambil bagian dalam proses politik. Mereka hanya ingin
melibas kependudukan AS di tanah Irak. Kelompok yang aktif di Niniveh, Diyala,
dan Salaheddin ini mengaku bertanggungjawab atas serangan terhadap pasukan AS
di Irak. Pasukan pemerintah Irak berhasil menumpas kelompok ini dalam dua hari
operasi di Sulaiman Bek, Provinsi Salaheddin, pada April 2013.
Dewan
Kebangkitan Irak
Kelompok
yang terdiri atas pejuang suku Sunni ini membantu Amerika menumpas al-Qaeda
dari Irak pada 2006. Setelah membantu AS, sekitar 100.000 pasukan dari kelompok
ini bergabung bersama pasukan keamanan Irak sebagai pejuang dan petugas
perbatasan. Namun hubungan mereka dengan pemerintah Irak memburuk sejak AS
menarik pasukannya dari Irak. Hingga pada 2012, pemimpin mereka, Ahmed Abu
Richa, bergabung dengan kamp anti-pemerintah. Di kemudian hari, sejak peran ISIS
meningkat, pasukan ini dilaporkan kembali berjuang bersama pemerintah.
Kurdistan/Kurdi
Peshmerga
Sejak
ISIS mengambilalih kota Mosul, Irak utara, pada Juni 2014, Kurdi Peshmerga
mengambil peran utama dalam pertempuran untuk Irak. Pejuang Peshmerga telah ada
sejak lahirnya gerakan nasionalis Kurdi pada 1920, setelah runtuhnya Kekaisaran
Ottoman. Namun sedari 1960, mereka mulai mengambil peran yang lebih menonjol
ketika Partai Pekerja Kurdistan (PPK) bertentangan dengan Saddam dan Partai
Baath. Selama pendudukan Barat yang dikomando AS pada 2003, Peshmerga turut
menyediakan bantuan militer dan politik pada faksi yang ingin bergabung dengan
mereka.
Negara
Islam Irak dan Bagian Timur Mediterania (Islamic State of Iraq and the Levant/ISIL)
atau
Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State of Iraq and Syria/ISIS)
Nama
kelompok yang aktif sejak 2004 ini semakin mencuat ketika berhasil menguasai
sejumlah daerah di Irak, seperti Anbar, Falujjah, dan Mosul. Mereka menuntut
berdirinya negara Islam di wilayah Irak dan Suriah. Jumlah anggota ISIS
diperkirakan mencapai 15.000-an, termasuk para milisi asing.
Mengurai
ISIS berarti menyebut nama al-Qaeda Irak (AQI), Tauhid wal Jihad, Jaisy ath-Thaifah al-Manshurah, Saraya Anshar Tauhid, Saraya Jihad Islam, Saraya al-Ghuraba, Kataib al-Ahwal, dan Jaisy Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Mereka bergabung membentuk sebuah wadah perjuangan bersama sebagai upaya
penyatuan barisan perjuangan melawan injakan Amerika dan sekutunya. Penggabungan
yang semula diniatkan menghindari gesekan antar faksi tersebut, mencuatkan nama
Majelis Syura Mujahidin (MSM) Irak.
(Kanan
ke kiri) Evolusi dari awalnya sebuah kelompok jihad bernama "Tandhim
Tauhid Wal Jihad" sampai akhirnya menjadi Khilafah. [Iqbal Kholidi]
Pemimpin
Tauhid wal Jihad, Abu Mushab al-Zarqawi dari Yordania, kemudian menyatakan baiat (sumpah) setia kepada al-Qaeda—yang
diduga mendukung Saddam Hussein—meski kemudian mengganti lagi nama kelompok ini
menjadi Islamic State in Iraq (ISI). Dari sinilah ISI mulai melancarkan
serangan bom pada pemerintah Irak dan AS. Metode serangan ini kemudian banyak
ditentang oleh orang Irak yang sebelumnya mendukung mereka, sebab mereka
dianggap telah melenceng dari perjuangan nasional dan malah memicu perang saudara
dan sektarian.
Pada
Juni 2006, Zarqawi yang dikenal piawai menembakkan senapan mesin dari pinggul,
tewas. Pemerintahan sementara Irak dan AS pun kegirangan. Kendali Zarqawi
segera diambilalih oleh Abu Hamzah al-Muhajir. Namun, karena dasar dan alasan
yang belum kami temukan, kepemimpinan al-Muhajir berpindah ke Abu Umar
al-Baghdadi. Ia memilih jalan baru, dengan “menasionalisasi” gerakannya. Abu
Umar dan milisinya berhasil menguasai banyak daerah di Irak, sementara tentara
AS dan rezim Irak hanya bisa menguasai di Green
Zone (daerah aman).
Pada
15 Oktober 2006 (22 Ramadhan 1427 Hijriyah), Tauhid wal Jihad bersekutu dengan beragam
kabilah dan suku di Irak seperti; Ad-Dulaim, Al-Jabbur, Al-Ubaid, Zuubaa, Qays,
Azza, Al-Tay, Al-Janabiyin, Al-Halaliyin, Al-Mushahada, Ad-Dayniya, Bani Zayd,
Al-Mujama', Bani Shammar, Inaza, As-Suwaidah, An-Nu'aim, Khazraj, Bani Al-Him,
Al-Buhairat, Bani Hamdan, As-Sa'adun, Al-Ghanim, As-Sa'adiya, Al-Ma'awid,
Al-Karabla, As-Salman dan Al-Qubaysat. Hasil perpaduan inilah yang kemudian
dikenal masyarakat dunia sebagai Islamic State in Iraq/Daulah Islam Irak (ISI) dan
mendapuk Abu Umar al-Baghdadi sebagai pemimpin.
Empat
tahun kemudian, ISI terus menyulut perang sektarian dan kontra AS di bawah
pimpinan Abu Umar al-Baghdadi, sampai ia terbunuh pada 2010. Kepemimpinannya
digantikan oleh Abu Bakr al-Baghdadi, yang memiliki nama asli Ibrahim Awwad
Ibrahim al-Badri.
Abu
Bakr al-Baghdadi dikenal sebagai komandan medan perang yang memiliki analisa
dan taktik jitu. ISI semakin hebat di bawah kendalinya. Pada awal 2012, al-Baghdadi
mengalihkan perhatian ISI guna memperluas operasi mereka ke Suriah. Pada tahun
ini pula, al-Baghdadi mengutus pasukan guna membantu milisi di Suriah dan
memercayakan tampuk kepemimpinan pada Abu Muhammad al-Jaulani, dengan membawa
bendera Jabhat al-Nushrah (JN). Separuh dari kekayaan (baitul mal) ISI digelontorkan untuk front baru ini.
Perlahan
namun pasti, JN berhasil menguasai banyak wilayah di Suriah dan lantas menjadi
magnet bagi kaum Muslim revivalis dari seantero dunia. Pemimpin al-Qaeda pasca-Osama,
Ayman al-Zawahiri, sebelumnya sudah mendesak ISI agar hanya fokus pada Irak dan
meninggalkan Suriah—karena JN dianggap telah melenceng dari adicita al-Qaeda. Al-Baghdadi
bergeming. Hubungan kedua petinggi front
ini pun menegang. Bahkan, tak jarang mereka terlibat konflik bersenjata. Al-Jaulani,
yang menjadi pelanduk di tengah, melepaskan janji setianya kepada al-Baghdadi.
Tepat
pada 17 April 2013, ISI menyatakan tidak lagi menjadi bagian al-Qaeda fi
al-Iraq (AQI). Al-Baghdadi kemudian menambahkan Levant dan Syria ke dalam nama
mereka. Dunia kini mengenal mereka sebagai ISIL/ISIS (Islamic State in Iraq and
the Levant/Syria) – ad-Daulah al-Islamiyyah fil Iraq wa Syam.
Pada
Januari 2014, ISIS kembali mengalihkan perhatian ke Irak. Serangan ISIS semakin
matang dan terorganisir. Sejak saat itu pula, sejumlah kota seperti Falujjah,
Anbar, Ramadi, dan Mosul, jatuh di bawah kendali mereka. Dari keberhasilan ini,
ISIS akhirnya mendeklarasikan berdirinya Negara Islam pada Ahad, 29 Juni 2014 silam.
Dalam sebuah rekaman suara, kelompok ini juga menyatakan bahwa komandan mereka,
al-Baghdadi, akan menjadi pemimpin bagi umat Muslim sedunia. Al-Baghdadi
sendiri sempat melontarkan ajakan kepada seluruh Muslim dunia agar bergabung
bersamanya dan turut terlibat mendirikan kekhilafahan Islam. Suatu keyakinan dan
kepercayaan diri yang luar biasa tinggi—untuk tidak mengatakannya terlalu
gegabah dan ambisius.
Mencermati
langkah al-Baghdadi berikut gerombolannya, dan bagaimana AS menyikapi mereka,
kami merasa harus menengok ulang buah pikir Noam Chomsky, pemikir anarki asal
Amerika, dalam bukunya berjudul On Power and Ideology: The Managua Lectures (1987). Chomsky meyakini bahwa kekuasaan,
kecuali dapat dibenarkan, tidak dapat disahkan. Mereka yang berada dalam posisi
otoritas berkewajiban membuktikan mengapa mereka bisa diangkat ke posisi
tersebut dan mengapa hal tersebut bisa diamini. Jika kewajiban ini tidak bisa
dipenuhi, si pemegang otoritas tersebut harus digulingkan. Otoritas pada
hakikatnya tidak dapat dibenarkan. Sebuah contoh bentuk otoritas yang dapat disahkan
adalah ketika orangtua mencegah anak kecil berjalan ke tengah jalan raya.
Kritik
di atas dialamatkan Chomsky pada negeri tempat ia hidup. Kebijakan luar negerinya
berstandar ganda (Chomsky menyebutnya "standar tunggal"). Kebijakan
luar negeri AS getol menggaungkan demokrasi dan kebebasan bagi semua orang, namun
pada saat yang sama mempromosikan, mendukung, dan menyekutukan dirinya dengan
negara dan organisasi non-demokratis yang menindas. Chomsky berargumen bahwa
hal tersebut jelas berakibat pada pelanggaran berat hak asasi manusia. Ia juga
sering berargumen bahwa campur tangan AS pada negara-negara asing, termasuk
bantuan rahasia terhadap Contras di Nikaragua—salah satu peristiwa yang sangat
dikritisi Chomsky—masuk ke dalam deskripsi standar terorisme.
Chomsky
berargumen bahwa media massa di AS banyak yang berpraktik sebagai pasukan propaganda
dan “keulamaan bayaran” pemerintahan dan banyak perusahaan negara. Dalam sebuah rujukan terkenal yang mengarah
pada Walter Lippmann, Chomsky bersama Edward S Herman menulis, media AS sedang memproduksi
consent (imaji lewat media untuk
memberikan sekutunya semacam hak melakukan sesuatu yang salah secara hukum tapi
berhak tidak dituntut) ke dalam benak masyarakat.
Praktik
busuk semacam itulah yang kerap dilakukan AS sejak era penggulingan Uni Soviet,
dan kini Suriah. Amerika, negara yang konon memiliki ratusan tahun pengalaman
berdemokrasi itu, nyatanya tak lebih menyedihkan dibanding Irak yang kini
menjadi negara tak “bertuan.”
Gerakan Neo-Khawarij ala Abu Bakar
al-Baghdadi
MANTAN
PEGAWAI National Security Agency (Badan Keamanan Nasional) Amerika Serikat,
Edward Snowden, menyatakan jika ISIS merupakan organisasi bentukan hasil kerjasama
intelijen tiga negara. Pernyataan Snowden itu kami temukan dalam kawat dari
Global Research, sebuah organisasi riset media independen di Kanada. Menurut Snowden,
satuan intelijen Inggris (M16), AS (FBI-CIA), dan Israel (Mossad) bekerjasama
menciptakan sebuah ”negara kekhalifahan” yang kini bernama ISIS. Apa yang
dikatakan Snowden tersebut bisa dirujuk silang pada bocoran dari Hillary
Clinton di tautan ini: http://youtu.be/NsZg_maF0ow
: USA Created al-Qaeda.
Bagi Anda yang tidak bisa langsung
berjejaring, berikut ini kami sertakan terjemahan hasil wawancara Hillary
Clinton di laman Youtube itu:
T |
Apakah AS menciptakan al-Qaeda?
H |
Ya.
T |
Proses pendirian al-Qaeda bukan
berdasarkan Islam, tetapi CIA?
H |
Supaya adil, kami telah menciptakan
masalah dalam perjuangan/pertarungan kami. Ketika Uni Soviet menyerbu
Afghanistan, kami memiliki ide cemerlang dengan masuk ke Pakistan, menciptakan pasukan
Mujahidin, dan membekali mereka dengan peluru kendali penyengat untuk mengejar
Uni Soviet di Afghanistan.
Ternyata
kami berhasil. Soviet meninggalkan Afghanistan, lalu kami hanya berkata, “Bagus,
selamat tinggal.” Lantas meninggalkan orang-orang terlatih yang sangat fanatik (Mujahidin)
di Afghanistan dan Pakistan. Meninggalkan mereka dengan persenjataan yang baik
dan fasilitas militer lainnya. Terus terang saja, pada saat itu kami tidak
menyadari, betapa kami begitu senang melihat Soviet jatuh dan kami pikir, kami
baik-baik saja sekarang. Ya, semuanya memang jadi jauh lebih baik.
Hari
ini, orangorang yang kami lawan adalah mereka yang kami danai dua puluh tahun
lalu, dan kami melakukannya karena kami terkunci dalam perjuangan melawan Soviet.
Mereka
menyerbu Afghanistan dan kami tidak mau melihat mereka mengendalikan Asia. Kami
pun bekerja. Presiden Reagan dalam kemitraannya dengan Kongres di bawah
pimpinan Demokrat mengatakan, “Kau tahu, ini ide yang sangat bagus. Mari kita
berhubungan dengan ISI dan militer Pakistan, dan kita manfaatkan Mujahidin ini.”
Biarkan
mereka datang dari Arab Saudi dan negara-negara lain, mengirim cap Wahabi
mereka, sehingga kita bisa mengalahkan Soviet.
Hasilnya
seperti yang Anda tahu, Soviet mundur, kehilangan miliaran dolar dan ... roboh.
Menurut
Snowden, badan intelijen dari tiga negara tersebut membentuk sebuah organisasi
teroris untuk menarik semua ekstremis dari seantero dunia. Mereka menyebut taktik
tersebut dengan nama 'sarang lebah.' Dokumen NSA yang dirilis Snowden
menunjukkan bagaimana taktik sarang lebah tersebut dibuat demi melindungi
kepentingan zionis dengan menciptakan slogan Islam. Berdasarkan dokumen
tersebut, satu-satunya cara melindungi kepentingan zionis adalah: menciptakan musuh di perbatasan.
Taktik
tersebut dibuat demi menempatkan semua ekstremis dalam satu tempat yang sama,
sehingga mudah dijadikan target. Tak hanya itu, adanya ISIS akan memperpanjang
ketidakstabilan di Timur Tengah, khususnya di negara-negara Arab. Masih berdasar
dokumen tersebut, al-Baghdadi pun mendapatkan pelatihan militer setahun penuh
dari Mossad, sekaligus mendapatkan kursus teologi dan retorika dari lembaga
intelijen zionis itu.
ISIS,
yang kini telah dirubung 15.000-an milisi lintas-negara dan seorang komandan
yang memiliki gaya kepemimpinan khas al-Qaeda, telah berkembang menjadi ancaman
terbesar di Syam, bahkan dunia. Tak bisa dimungkiri, sejak dipimpin
al-Baghdadi, kekuatan ISIS semakin besar dan terorganisasi. Hal ini terbukti
dengan ditaklukkannya sejumlah wilayah di Irak (seperti Anbar, Mosul, Ramadi,
Falujjah, Sinjar) dan Raqaa di Suriah.
“Tidak
diragukan lagi, perkembangan ISIS dalam beberapa tahun terakhir karena al-Baghdadi
berhasil membentuk ISIS menjadi sebuah organisasi berpikiran lintas bangsa,”
kata Charles Lister, peneliti dari Brookings Doha Centre, yang memusatkan
kajiannya pada sosial ekonomi dan geopolitikal Muslim dunia, kepada Al Jazeera.
Apa
yang disampaikan Charles Lister tersebut merupakan pembeda tegas ISIS dengan
milisi teror di Timur Tengah—selain yang sudah kami cantumkan di bagian atas--dan
mereka yang bergerak di luar dunia Arab. Mereka adalah: Abu Sayyaf Group (ASG),
Afghan Taliban, Al-Shabaab, Al-Qa‘ida in the Arabian Peninsula (AQAP), Al-Qa‘ida
in the Lands of the Islamic Magreb (AQIM), Boko Haram, Central Asian Terrorism,
DHKP/C, Greek Domestic Terrorism, HAMAS (Islamic Resistance Movement), Hezb-e-Islami
Gulbuddin, Hizballah (Party of God), Islamic Jihad Union (IJU), Jaish-e-Mohammed
(JEM), Jemaah Anshorut Tauhid (JAT), Jemaah Islamiya (JI), Kongra-Gel (KGK), Lashkar-e-Tayyiba
(LT or LeT), Lord's Resistance Army (LRA), Tehrik-e Taliban Pakistan, Terrorism
in North and West Africa, Turkey Domestic Terrorism.
Kembali
pada Al-Baghdadi. Ia memiliki nama asli Ibrahim Awwad Ibrahim al-Badri. Ia lahir
dari sebuah keluarga dengan kehidupan religi yang khusyuk, di Samarra. Seorang
kerabat yang tidak mau disebutkan namanya menyatakan, al-Baghdadi menyandang
gelar doktor sejarah Islam dari sebuah universitas di Baghdad pada akhir
1990-an. Latar belakang pendidikan itu membuatnya memegang posisi agama yang
strategis dalam komunitas Sunni ketika AS mengangkangi Irak pada 2003. Dari
sinilah ia kemudian terlibat dalam pemberontakan bersenjata dan mulai berjuang
di barat Irak hingga tertangkap pada 2006--dalam status anggota staf intelijen
Saddam Husein yang bermazhab Sunni.
Selama
empat tahun ia berada dalam penjara AS di Irak, Pusat Penahanan Bucca (Bucca
Detention Center) bersama sejumlah komandan al-Qaeda. Begitu bebas pada 2010, ia
menemukan dunia yang sama sekali berbeda. Amerika telah mengoyak Irak. Negeri Seribu
Satu Malam itu porak poranda oleh perang yang kian tak tentu arah. Amerika yang
terampil mengadu domba mendudukkan Nouri al-Maliki yang Syiah sebagai Menteri Perdana
Irak. Suriah yang masih mengidap demam Musim Semi Arab dan dipimpin Bashar al-Assad
yang Syiah, juga jadi target milisi Sunni. Inilah pemantik semangat balas
dendam al-Baghdadi paling utama sebagai pemeluk Sunni. Syiah harus dibabat
habis hingga ke akarnya. Tapi kenapa?
***
Dua
aliran besar Islam—Sunni dan Syiah—berasal dari perbedaan pendapat tentang
siapa yang harus memimpin umat setelah Muhammad Saw. wafat pada 632 Masehi.
Kaum Syiah percaya bahwa Nabi telah menunjuk menantu dan sepupu pertamanya, Ali
bin Abi Thalib Ra, sebagai penerus tampuk kepemimpinan. Namun, para pendukung
Ali kalah dalam pemilihan dan Abu Bakar Ra. terpilih sebagai khalifah pertama.
Dalam
konteks pembahasan kita ini, Abu Bakar Ra., adalah pengejawantahan Sunni dalam
sejarah Islam. Meskipun Ali sempat menjadi khalifah ke-4 (656-661 M) setelah Utsman
bin Affan Ra. dan Umar bin Khattab Ra, penguasaan dunia berpindah dari keluarga
Muhammad Saw. setelah Ali meninggal. Lema dunia yang kami cantumkan itu sesuai
dengan catatan sejarah yang menegaskan kendali Muslim, yang membawahi dua per
tiga wilayah bumi—bahkan mungkin lebih luas lagi.
Muawwiyah
bin Abi Sufyan, yang bertalian darah dengan Utsman bin Affan Ra, merasa berhak
melanjutkan kekhalifahan. Maka, mereka merebutnya dari Hasan bin Ali Ra. Muawwiyah
pun mendirikan Bani (Dinasti) Umayyah, dan memindahkan pusat pemerintahan dari
Madinah ke Damaskus--salah satu pusat konflik Suriah di bawah rezim Bashar al-Assad
kini. Di kota kuno tersebut Bani Umayyah bertahan selama 89 tahun (661-750 Masehi),
dan selama itu terus memantik perang saudara sesama Muslim—terutama dengan
Hasan Ra. dan Husain Ra., dua cucu kesayangan Muhammad Saw.
Puncak
perang saudara dalam Islam terjadi pada 680 Masehi ketika tampuk Bani Umayyah direbut
Bani Abbasiyah—yang lagi-lagi mendapuk diri sebagai pewaris kekuasaan karena
bertalian darah dengan Nabi melalui pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib. Di
sebuah padang berkontur tanah merah di Karbala, Irak, 70-an orang Syiah
dibantai, dan kepala Husain Ra., sang pemimpin, dipenggal Yazid yang waktu itu
menjadi Sultan Bani Abbasiyah. Peristiwa ini, yang sudah dinubuatkan oleh
Muhammad Saw., menandai sejarah panjang perselisihan seputar kepemimpinan yang
sah dan otoritas legal yang serbaneka di kalangan mazhab Islam.
Selain
isu Syiah, perang yang dilancarkan ISIS untuk meruntuhkan kursi kekuasaan Bashar
al-Assad juga dilandasi dua hal lain. Pertama,
Damaskus adalah markas besar Gereja Ortodoks Suriah. Ada masyarakat besar
Katolik di sana. Vatikan, melalui Paus Benediktus XVI, berusaha memiliki
hubungan yang benar dan baik dengan Suriah. Dalam sejarah keuskupan, Suriah telah
dua kali mengirim paus ke Vatikan.
Kedua, Bashar
al-Assad juga punya hubungan unik dengan komunis Italia. Surat elektronik yang
dikirim oleh Kamerad Oliviero Diliberto dari Italia untuk pegawai militer Assad
adalah bukti tak terbantahkan tentang keterlibatan Assad membangun jaringan
rumit tingkat tinggi di Rusia, Cina, Eropa. Seperti Hafeez, ayahnya, Bashar mewarisi
kelicinan dan akrobat berpolitik modern khas klan Assad yang telah berlangsung
hampir setengah abad. Hubungan Paus-Assad-komunis Italia dibocorkan kawat dari WikiLeaks bertitimangsa 12 April 2011
dan 5 Juli 2012.
Hanya
dalam tempo singkat, al-Baghdadi kemudian muncul sebagai pemimpin ISIS. Di
bawah kepemimpinannya, sebagai pelatih tempur yang memiliki analisa dan taktik
yang jitu, al-Baghdadi sukses memikat anak-anak muda agar memilih ISIS tinimbang
al-Nusrah. Sebagai pemimpin yang ditakuti namun misterius, al-Baghdadi adalah
simbol perpaduan kebrutalan, tekad, dan ambisi tingkat akut. Ia tak segan menyiksa,
bahkan membunuh para penentangnya. Hal ini yang kemudian membantunya menguasai
sebagian besar wilayah Irak.
Debat sengit tentang siapa
al-Baghdadi memang terus menghangat hingga buku ini kami tulis. Salah sebuah
media ”gurem” di Indonesia yang mendukung al-Qaeda, Muqawwamah.com, meyakini bahwa namanya tak pernah ada dalam radar
“jihad” di Irak. Ia juga telah menjelma jadi momok bagi al-Qaeda sendiri. Bukan
hanya bagi al-Qaeda, dunia pun dibuat merinding oleh apa yang telah dilakukan
milisi ISIS sejauh ini. Darah semua manusia di luar golongan mereka halal
ditumpahkan. Maka jangan heran bila suatu kali Anda menemukan beberapa situs
non-arusutama di internet menayangkan sebuah rekaman penyembelihan manusia oleh
milisi ISIS. Persis seperti memotong hewan. Bahkan, kami sempat melihat salah
satu rekaman gambar yang menampilkan korban digorok dengan pisau yang tidak
tajam. Naudzubillah tsumma naudzubillahi min dzalik ...
Dalam
proses penggalian data ketika awal mula menulis buku ini, kami sempat menemukan
sebuah pesan singkat dari Ali bin Abi Thalib Ra. yang termaktub dalam kitab Kanzul Ummal, riwayat nomor 31.530,. yang
berbunyi, “Jika kalian melihat bendera-bendera
hitam, tetaplah di tempat kalian berada. Jangan beranjak dan jangan
menggerakkan tangan dan kaki kalian.” Buku tersebut dihimpun oleh ulama
besar al-Muttaqi al-Hindi.
Sebagai
perwujudan “pintu ilmu spiritual” berdasar hadis Nabi Saw. dengan kualitas shahih, Ali pasti hendak menitipkan
semacam nubuat. Pesan di atas laik ditimbang. Bukan tidak mungkin yang beliau
maksud adalah fenomena ISIS yang kini tengah merajalela.
Beberapa
petunjuk kunci dalam hadis Nabi Muhammad Saw. juga bisa kita rujuk untuk
menjelaskan mereka yang menyempal keluar dari barisan Islam, yang kini lebih
dikenal sebagai Khawarij. Kata Nabi, kefasihan lidah mereka membaca Al-Quran,
kemampuan mereka menyitir hadis, dan kealimannya beribadah, membuat Muslim yang
lain kagum. Namun, iman keluar dari hati
mereka lebih cepat dari busur panah. Riwayat tentang Khawarij ini
seperti sudah direncanakan sejarah, karena bertautan juga dengan Ali Ra.
Khawārij
(Arab: خوارج baca
Khowaarij, secara harfiah berarti mereka
yang keluar). Nama ini mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang semula mengakui
kekuasaan Ali bin Abi Thalib Ra, lalu menolaknya. Golongan ini kali pertama
muncul pada pertengahan abad ke-7 Masehi, terpusat di daerah yang kini ada di
Irak selatan.
Awal
mula sekali mereka keluar dari sumpah setia pada pemimpin kaum muslimin adalah ketika
Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra sedang memimpin musyawarah dua utusan. Mereka
berkumpul di suatu tempat yang disebut Khouro, yaitu satu tempat di daerah
Kufah, Irak. Oleh sebab itu mereka juga disebut al-Khoruriyyah. Pembelotan
mereka terus berulang setelah peristiwa tersebut. Bahkan, mereka mengancam
nyawa Ali yang telah menyelamatkan orang-orang Khawarij dari kejaran Mu’awiyyah
yang ingin membalaskan dendam saudaranya yang juga khalifah ketiga Khulafaur-Rasyidin,
Utsman bin Affan Ra.
Demi
menunjukkan kejantanan, mereka pun keluar dari perlindungan Ali, dan kemudian
mengancam nyawanya sekaligus Mu’awiyyah. Pada kemudian hari, Ali berhasil
mereka bunuh melalui tangan Abdullah ibn Muljam--salah seorang anak turunan
pembunuh unta Nabi Shaleh as--karena Ali berdamai (arbitrase/tahkim) dengan Mu’awiyyah. Seiring
waktu, Khawarij muncul di permukaan sebagai barisan paling keras yang pernah
dilahirkan sejarah Islam. Sejauh ini, mereka mengusung keyakinan yang di
antaranya adalah:
·
Kaum
muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir.
·
Kaum
muslimin yang terlibat dalam Perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah,
dan Zubair melawan Ali bin Abi Thalib dan pelaku arbitrase (termasuk yang
menerima dan membenarkannya) dihukumi kafir.
·
Khalifah
harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad Saw. dan
tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang Muslim dari golongan mana pun bisa
menjadi khalifah asalkan mampu memimpin dengan benar.
***
Lantas,
kemudian, bagaimana menilai kondisi terakhir di Timur Tengah pasca-Musim Semi
Arab? Stephen W Malt dari Universitas Harvard, AS, menilai semuanya itu akibat
keterlibatan kuat AS di kawasan. ”Setiap kali AS menyentuh Timur Tengah, hanya
akan membuat keadaan makin buruk. Sudah saatnya keluar dan tidak melihat ke
belakang,“ tulis Walt di Majalah Foreign
Policy, Kamis (7/8/2014).
Pakar
Timur Tengah dari Universitas Johns Hopkins, Eliot A Cohen, dalam tulisannya di
The Washington Post, 31 Juli 2014,
menerangkan bahwa, “Semua masalah itu sebagai puing-puing kebijakan AS di Timur
Tengah. Semua masalah di kawasan itu akibat kegagalan Obama mengakui ”perang
adalah perang”.” Reruntuhan kebijakan luar negeri AS berserakan di Gaza dan
belahan lain Timur Tengah, Asia Selatan, bahkan Afrika Utara. Perang Gaza
adalah contoh tragedi kemanusiaan yang muncul dari reruntuhan itu. Cohen
menyebutnya “perang barbar.” (Bin Saju, Kompas 2014: 8)
Manajemen Kebiadaban ISIS
DALAM
lansiran berita yang dirilis The Daily
Beast, Kamis, 7 Agustus 2014 pukul 12:21 Wib, milisi ISIS telah merekrut
ratusan anak yang kebanyakan berusia di bawah 15 tahun. Seorang bocah bernama
Lawand mengaku bahwa ia dipaksa menjalani sesi pelatihan yang berat untuk
berjihad. Lawand, yang masih 14 tahun, diculik oleh ISIS Mei lalu, dan berhasil
kabur pada 24 Juli bersama beberapa temannya. Menurut pengakuan Lawand, seperti
yang juga dikutip The Daily Beast,
Senin, 4 Juli 2014, ia dan ratusan anak lainnya dipersiapkan untuk berperang,
tepatnya menjadi pengebom bunuh diri.
Lawand
diculik saat perjalanan menempuh ujian sekolah. Menurutnya, di masa awal
penculikan, ISIS memperlakukan ia dan anak-anak lain dengan sangat baik. Para
militan berbicara dengan lembut dan berjanji akan melepaskan mereka tiga hari
kemudian.
“Maaf
jika kami menyakiti kalian. Kami dalam perjalanan ke surga sekarang,” kata Abu
Musa, seorang milisi yang menangani anak-anak yang baru direkrut—seperti yang
ditirukan Lawand. Ia juga mengatakan bahwa anak-anak itu akan dikirim ke Irak
untuk misi bunuh diri.
Selama
penahanan, anak-anak dicekoki ragam materi Islam garis keras. Setiap hari
mereka diajarkan tentang apa itu jihad, jenis-jenis jihad, dan bagaimana jihad
dilakukan. Mereka juga dipaksa menonton video sejumlah aksi pemenggalan dan bom
bunuh diri, serta video yang menampilkan milisi Sunni yang tengah meledakkan
fasilitas ibadah milik kaum Syiah.
Anak-anak
memang dimanfaatkan ISIS untuk menyampaikan propaganda dan agitasinya. Dalam
propaganda ini, ISIS mengklaim bahwa anak-anak itu juga menginginkan berdirinya
sebuah negara Islam. “Mereka punya impian, dan impian mereka adalah mendirikan
negara Islam,” kata salah satu pemimpin ISIS, dalam video yang mereka rilis
Juli 2014 kepada media internasional.
Modus
operandi yang kerap dijalankan ISIS setelah menguasai sebuah wilayah adalah meneror
penduduk dengan penerapan hukum Islam yang sangat ketat. Potong tangan para
pencuri; rajam bagi pezinah—sebagaimana yang dialami Faddah Ahmad di Kota Raqqa
dan Shamseh Abdullah di Kota Tabqa—dan pemenggalan kepala adalah bentuk
penerapan hukum mereka. Kantor berita Associated
Press melaporkan, pada Ramadhan silam (Juli 2014), milisi ISIS mengikat
seorang remaja 14 tahun di sebuah kayu palang dan meninggalkannya selama
beberapa jam di bawah terik sinar matahari musim panas, kemudian melepaskannya.
Tindakan itu merupakan hukuman karena remaja bersangkutan tidak berpuasa selama
Ramadhan. Rekaman kejadian ini bisa disimak dalam video yang dilansir www.vicenews.com dengan judul Islamic States 1-5.
Milisi
ISIS juga melakukan tindakan brutal terhadap kaum Muslim Syiah dan orang-orang
yang dalam pandangan mereka masuk kategori murtad. Di Sinjar, Irak, milisi ISIS
membikin kelompok minoritas agama Yazidi lari dari sejumlah kota dan desa,
setelah mereka merebut kota ini dari Peshmerga pada Minggu (3/8/2014). Ribuan
warga Yazidi yang melarikan diri itu terjebak di puncak gunung selama berhari-hari.
ISIS mengepung mereka. Selain mengejar, ISIS juga menawan 100 perempuan Yazidi
berusia di bawah 35 tahun di sekolah-sekolah Kota Mosul--kota terbesar kedua di
Irak yang mereka kuasai sejak Juni 2014. Laporan ini disampaikan langsung oleh
seorang komandan senior ISIS pada CNN,
Rabu (13/8/2014) waktu AS.
Warga
Yazidi mengungsi ke pegunungan Sinjar. Mereka berjalan kaki. Tak sedikit mereka yang tak
membawa perbekalan—makanan atau air. Salah seorang warga etnis Yazidi yang tak
ingin disebutkan namanya mengungsi ke pegunungan bersama istri dan anaknya.
Dari sana ia menghubungi kantor berita Al
Jazeera.
"Kami
butuh bantuan. Kami tak memiliki makanan, air, tak ada Peshmerga (pejuang
Kurdi). Jika tak ada yang datang dan menolong kami, dalam dua hari kami semua
akan mati. Banyak orang tua dan anak-anak di sini. ISIS sekarang berada tujuh
kilometer di belakang kami. Mereka mengatakan, jika kami tak kembali ke kota
dan memeluk Islam, maka mereka akan naik ke pegunungan dan membunuh kami,"
kata pria itu.
Foto-foto
yang diunggah warga Yazidi ke internet menunjukkan, mereka berdesakan di banyak
gua yang terdapat di wilayah pegunungan Sinjar.
Berdasar
sari berita AFP yang dikutip Kompas.com pada Selasa (5/8/2014) pukul 17:49
Wib, Badan PBB urusan anak-anak,
UNICEF, menyatakan ada 40 anak-anak etnis minoritas Yazidi dikabarkan tewas ketika
ribuan warga etnis ini mengungsi setelah pasukan ISIS merebut Sinjar. Drama
tragedi kemanusiaan ini seolah mengulangi peristiwa eksodus besar-besaran warga
Yahudi dari Mesir menuju Tanah yang Dijanjikan (Promise Land), dua alaf lalu.
Tanah yang kini kita kenal sebagai Israel dan Palestina.
Sebagai
suku non-Arab dan non-Muslim, sejak lama etnis Yazidi menjadi salah satu
komunitas warga yang paling rapuh di Irak. Pada masa pemerintahan Saddam
Hussein, ribuan warga Yazidi juga pernah meninggalkan Irak. Sejumlah bom truk
hampir memusnahkan dua desa Yazidi di Irak utara, pada 14 Agustus 2007.
Akibatnya, 400 orang tewas dalam sebuah insiden tunggal paling mematikan sejak
invasi AS pada 2003. Jerman menjadi tempat berlindung pelarian warga Yazidi
terbesar di luar negeri, dengan jumlah sekitar 40.000 orang.
Sebagian
besar etnis Yazidi memilih meninggalkan kota Sinjar --yang mereka anggap
sebagai kota suci selama ribuan tahun--daripada menunggu nasib mereka
ditentukan para pejuang ISIS yang telah terbukti bersikap intoleran terhadap
kelompok minoritas Irak. Kota di dekat perbatasan Suriah itu merupakan pusat
etnis Yazidi Irak, sebuah komunitas yang memeluk kepercayaan tradisional
Zoroaster—yang oleh ISIS dianggap sebagai penyembah setan.
Etnis
Yazidi di Irak diperkirakan berjumlah 600.000 orang. Estimasi lain menyebut
jumlah etnis ini hanya 100.000 orang di Irak, sementara sisanya tersebar di Suriah,
Turki, Armenia, dan Georgia. Suku Yazidi biasanya hidup sebagai petani atau
peternak. Mereka memeluk kepercayaan yang lahir di Mesopotamia sekitar 4.000
tahun lalu. Kepercayaan etnis Yazidi sebenarnya berakar dari agama Zoroaster. Seiring
bergulirnya waktu, kepercayaan mereka bercampur dengan banyak elemen Islam dan
Kristen.
Sebagai
studi banding, etnis Yazidi berdoa kepada tuhan sambil menghadap matahari dan
memuja tujuh malaikat tuhan. Malaikat
yang terpenting dalam kepercayaan mereka adalah Melek Taus atau Malaikat Merak.
Etnis Yazidi melarang pernikahan dengan orang di luar komunitas mereka atau yang
melanggar sistem kasta mereka. Mereka juga punya keyakinan unik, yaitu beberapa
warganya dilarang makan bayam dan hanya mengenakan pakaian berwarna biru.
Sebelum
direbut ISIS, kota Sinjar merupakan salah satu tujuan pengungsian warga etnis
minoritas lainnya, seperti etnis Syiah Turkmen, yang meninggalkan kota Tal Afar
yang juga direbut ISIS pada 9 Juni 2014. Krisis kemanusiaan Sinjar kemudian
mendorong AS melancarkan serangan udara dan menurunkan bantuan lewat udara pada
ribuan warga Yazidi yang malang itu. Setelah akhirnya melancarkan serangan
udara pada Selasa, 12 Agustus 2014, Amerika memastikan diri jadi kontestan
perang melawan ISIS—sambil bersembunyi di balik dalih kemanusiaan,
menyelamatkan 30.000-an warga Yazidi yang sedang dikepung ISIS di pegunungan
Sinjar.
Serangan
udara AS berhasil memukul milisi ISIS. Pengungsi Yazidi selamat dari ancaman
kematian dan kelaparan. Dua hari pascaserangan, giliran Prancis, Jerman, dan Belanda
yang menerjunkan diri. Taktik mereka setali tiga uang. Prancis-Jerman-Belanda dengan
pasokan senjata, kendaraan tempur, teropong malam, dan pendeteksi bom untuk Peshmerga.
Sedang AS mulai menyusupkan 130 penasihat militernya ke Kurdi.
Selain
merusak tatanan keyakinan Sinjar yang sudah berumur ribuan tahun, ISIS juga mengambilalih Gereja Mar Behnam di dekat Kota
Mosul, yang merupakan simbol masyarakat Kristiani dan juga tempat ziarah sejak
abad ke-4 M. Para biarawan gereja sempat meminta agar diperbolehkan mengamankan
beberapa barang peninggalan zaman dahulu, tetapi ditolak oleh ISIS. Umat
Kristen di Mosul terpaksa mengungsi setelah ISIS mengambil alih gereja itu. Setelah
mendapat ultimatum dari ISIS, yang menyuruh mereka berpindah keyakinan ke agama
Islam dan membayar pajak (jizyah),
atau mati, umat Kristen Mosul seketika itu memilih keluar dari kota.
Ancaman
tersebut disampaikan ISIS dalam sebuah surat yang diedarkan usai shalat Jumat,
18 Juli 2014. Dokumen ancaman yang diperoleh Al Ajazeera itu menyatakan bahwa perintah pembunuhan tersebut
dikeluarkan setelah pemimpin umat Kristen tak menghadiri sebuah pertemuan yang diselenggarakan
ISIS. Kelompok ini menegaskan dalam suratnya, bahwa umat Kristen harus memilih
pindah ke agama Islam, membayar pajak sebagai warga non-Muslim yang dikenal
dengan sebutan jizyah, menyerahkan
seluruh harta bendanya, atau meninggalkan kota. Bila tak bisa memberi jawaban, maka
pilihannya: mati.
Gereja
Mar Behnam sebelumnya dikelola oleh perkumpulan gereja Katolik Suriah yang
dekat dengan Qaraqosh di tenggara Mosul, yang juga berpenduduk Kristen. Pada Februari 2014, ISIS juga mengeluarkan ultimatum
serupa pada umat Kristen di Kota Raqqa, Suriah. Agar mereka selamat dari
ancaman kematian, ISIS mengajukan syarat, yakni membayar setengah ons emas
murni. Sejatinya, Irak merupakan rumah kuno bagi komunitas Kristen tertua di
dunia, yang jumlahnya terus berkurang seiring meningkatnya kekerasan sektarian
sejak AS mulai belajar menduduki Irak pada 2003.
Sebelum
ISIS menyerang, komunitas Kristen Mosul diperkirakan berjumlah 3.000 orang.
Setelah ISIS dan kelompok bersenjata menguasai kota tersebut, banyak umat
Kristen eksodus sehingga yang tinggal hanya sepertiga. Beberapa laporan media
internasional menyebutkan, setelah umat Kristen meninggalkan Mosul, sejumlah
gereja dan toko ,mereka dijarah. Mosul adalah kota terbesar kedua di Irak yang
direcoki ISIS dan pelbagai aliansi milisi
lain. Unit-unit militer Irak yang bertugas di kota ini kocar-kacir setelah
ISIS kembali dari Suriah dan melancarkan serangan ke wilayah utara Irak.
Peta persebaran konflik di Syam
Selama
ISIS di Mosul, mereka beroleh sekitar 12 juta dollar per bulan dengan cara
memeras. Pendapatan itu digunakan untuk mendanai operasi mereka di Suriah. ISIS
menguasai warga kota pada malam hari, mengumpulkan uang mereka, dan pergi dalam
diam ke luar kota pada siang hari. Mereka juga meminta semua mantan tentara
atau polisi untuk membayar sebesar 850 dollar sebagai ”dana bertobat.” Dari sekian
banyak faksi “jihad” yang ada, mungkin hanya ISIS yang sepenuhnya dapat
membiayai urusan logistik secara mandiri. Dengan tambang minyak yang mereka
kuasai, dan menarik pajak di daerah taklukkan, cukup untuk menggaji tentara
mereka.
Gerak
cepat ISIS telah dipersiapkan dengan matang sejak beberapa bulan sebelum Juni
2014 di kisaran Sungai Eufrat dan Sungai Tigris, yang terkenal sebagai tempat
lahirnya peradaban (cradle of
civilization). Al-Baghdadi berhasil mengendalikan milisi dan musuhnya
dengan cara yang nyaris dingin. Sejauh ini, praktis hanya sekali ia terlihat di
depan publik, ketika ia naik mimbar usai menjalankan shalat dan berbicara
dengan nuansa kebencian begitu tebal pada Barat—sementara saat yang bersamaan
di tangan kirinya terikat jam merek Rolex, produk asli Barat. Al-Baghdadi
menjalankan organisasi militernya jauh lebih efisien tinimbang yang pernah
dikerjakan Zarqawi. Ia juga tidak melakukan pengontrolan rutin, karena mendelegasikan
otoritas kepada letnannya. Ia memberikan orang-orangnya kewenangan mengambil
keputusan mendesak, dengan kebijakan yang lentur.
Bukti
betapa cermat dan cerdiknya langkah ISIS adalah, mereka telah menampilkan sisi
lain wajah mereka di Mosul dengan menggelar “hari yang menyenangkan” untuk anak-anak.
Mereka membuang kesan brutal dengan memberikan hadiah dan makanan ketika Idul
Fitri 2014, menggelar kompetisi membaca Al-Quran, memberikan pelayanan bus,
membuka sekolah, mengurus peradilan, dan mengurus segala yang berkenaan tata
kelola pemerintahan. Anda memang akan melihat betapa menyenangkannya kehidupan
di Raqaa, Suriah, di bawah kendali ISIS dalam video di situs berita independen
asal Kanada ini: https://news.vice.com/video/the-islamic-state-part-1.
Kemampuan
ISIS melingkari setengah wilayah Suriah dan setengah bagian Irak menandakan
betapa al-Baghdadi bukan sosok sembarangan. Ia jelas tak bisa dipandang sebelah
mata. Kita juga tak bisa menelan mentah-mentah semua informasi yang datang dari
media Barat tentang kelompok milisi ini, pun tak serta-merta harus menolaknya.
Kita hanya memerlukan kehati-hatian menilai, bertindak, dan memutuskan. Karena
kita hidup di zaman yang tunggang-langgang, dan nyaris tak memberi kita
kesempatan barang sekian jenak untuk rehat dan menengok ke dalam diri. []
No comments:
Post a Comment