Masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah Muhammad Saw pada 1 Hijriyah/622 Masehi di Quba |
DALAM sebuah
berita yang diturunkan Tempo
(06/08/2014), Ketua Komunitas Intelijen Daerah Kota Bekasi Maryono mengatakan, adicita
kelompok Islamic State of Iraq and Sham/Islamic State (ISIS/IS) sudah menyebar
ke delapan masjid di Kota Bekasi. Cara yang mereka lakukan adalah, pertama, memengaruhi pengurus dewan
kemakmuran masjid (DKM) terlebih dahulu. Ketika sudah berhasil, baru kelompok
tersebut membuat kegiatan, misalnya bedah buku tentang adicitanya.
Kedua,
mereka akan meminta jadwal menjadi imam dan khatib shalat Jumat. Ketiga, bila sudah 'menguasai' masjid,
pengurus DKM lama bakal diganti dengan kelompoknya, seperti yang terjadi di
Masjid Muhammad Ramadhan, Bekasi—mengatasnamakan Komite Umat Islam Bekasi (KUIB).
Keempat, dan ini yang paling
mengkhawatirkan, mengafirkan orang lain. Ciri-ciri khusus mereka adalah, menolak
jadi makmum shalat jika yang menjadi imam adalah anggota masyarakat di luar
kelompoknya. Orang lain mereka anggap kafir. Penanda yang paling kentara adalah,
mereka tidak bergaul dengan masyarakat umum. Inilah yang kerap dilakukan
kelompok Islam garis keras. Mereka merasa harus menepikan dirinya dari keriuhan
masyarakat agar tidak mudah ”dicemari.”
Sejatinya,
pola penguasaan masjid seperti yang terjadi di Bekasi itu berlangsung di banyak
tempat di Indonesia. Kendati tak semua masjid memiliki pengurus yang mahfum betul
peran penting kelembagaan masjid, tapi masjid sebagai sebuah ikon—intitusi keagamaan—tetap
berpengaruh kuat pada tumbuh-kembang masyarakat Islam di belahan dunia mana
pun—apalagi di Indonesia. Menilai pelik dan menyeramkannya soal yang dihadapi
umat Islam hari ini, sebaiknya masjid tak lagi hanya digunakan sebagai tempat
menggelar shalat wajib lima waktu, meskipun jamaahnya tak selalu
menggembirakan. Masjid harus diberi ruang baru dalam laku keberagamaan kita.
Tulisan
sederhana ini sengaja kami tuangkan demi meneruskan tesis cendekiawan Muslim,
Kuntowijoyo, dalam Muslim Tanpa Masjid
(Mizan, 2001). Kuntowijoyo mengamini betul kelahiran golongan Muslim baru dari
masyarakat ekonomi tengah di kota besar, yang pengalaman keberagamaannya jauh
dari masjid. Mereka tumbuh di sekolah yang rutin menggelar peringatan mawlid
Nabi, Isra’ Mi’raj, pesantren kilat. Mereka hanya belajar mengenal Islam satu
jam saja dalam sepekan. Mereka mendengar nukilan ayat dibacakan khatib dalam
khutbah Jumat yang digelar seminggu sekali. Selebihnya, generasi yang diyakini
Kuntowijoyo lahir persis pada Mei 1998 itu, mengeruk pengetahuan keislamannya
dari beragama sumber yang otoritasnya diragukan—bahkan teramat sering
bermasalah. Mereka tak seperti Nurcholish Madjid, misalnya, yang pelahan tumbuh
menjadi guru bangsa Indonesia berdasar penguasaannya pada pengetahuan Islam
klasik dan modern yang ia gali dari masjid ke masjid. Sedari pondok pesantren
hingga Chicago University.
Transformasi & Gerakan Kembali ke Masjid
FAKTA yang
tak bisa dibantah hingga hari ini adalah, Indonesia merupakan negara dengan
penganut Islam terbesar dunia. Pada 2010, penganut Islam di Indonesia sekitar
205 juta jiwa, atau 88,1 persen dari total 237.641.326 juta penduduk (BPS,
2010). Menurut data Kementerian Agama (Kemenag RI), pada 2013 jumlah sebaran
masjid mencapai 432.176 unit. Selain itu, Islam sendiri telah menjadi agama
dengan penganut terbesar di planet ini. Jumlah penduduk dunia pada 2013 adalah
7.021.836.029 jiwa. Sebaran menurut agama adalah: Islam 22.43%, Kristen Katholik
16.83%, Kristen Protestan 6.08%, Orthodoks 4.03%, Anglikan 1.26%, Hindu 13.78%,
Buddha 7.13%, Sikh 0.36%, Yahudi 0.21%, Baha’i 0.11%, Lainnya 11.17%, Non-Agama
9.42%, dan Atheis 2.04% (www.30 days.net,
2014).
Merujuk
fakta di atas, apakah lantas membuat umat Muslim Indonesia pun dunia
serta-merta menjadi unggul? Jelas tidak. Bahkan jauh panggang dari api. Sebagian
besar umat manusia yang berada di tubir jurang kemiskinan dalam jumlah satu
milyar, adalah komunitas Muslim. Sementara enam milyar manusia yang lain,
adalah mereka yang tak pernah menganggap urusan agama sebagai perkara serius. Agama—apalagi
di era moderen hari ini, nyaris seperti artefak dari zaman lalu yang masih
tetap “dihidupkan” semata demi menjaga api keselamatan yang rapuh.
Ada
begitu banyak nilai yang telah bergeser pada ranah agama dalam perilaku
keberagamaan umat manusia hari ini. Satu di antaranya yang paling akut adalah, pola
pergeseran secara signifikan pada pemahaman akan masjid bagi kaum Muslim. Masjid
kini, tak lebih sekadar simbol belaka. Ikon yang tetap dianggap penting namun
ironis. Posisinya dilematis dan serba canggung. Hanya sedikit saja masjid di
dunia Muslim yang berhasil menjadi institusi terhormat dalam skala masyarakat
moderen. Masjid tak lagi memiliki peran vital bagi umat. Bahkan dengan mudah,
kita bisa menghapus posisi masjid hari ini dan memindahkannya ke bilik rumah
kita. Islam dan Masjid, sudah tak lagi identik. Keduanya terpaksa berpisah
jalan untuk menentukan nasibnya sendiri di masa datang.
Mari
sejenak kembali ke masa di mana masjid memiliki pesona luar biasa besar bagi
umat Muslim yang sedang tumbuh sedari Madinah hingga Timur Tengah. Jika becermin
pada masa Rasulullah Saw, Masjid Nabawi saat itu, bukan hanya berfungsi sebagai
tempat ibadah, namun juga tempat menyiarkan ilmu pengetahuan pada anakanak dan
orang dewasa; tempat peradilan; tempat berkumpulnya tentara; dan tempat
menerima para duta negeri asing. Bahkan, di masa Dinasti Umayyah dan Dinasti
Abbasiyah, masjid yang didirikan oleh penguasa umumnya dilengkapi serbaneka
fasilitas pendidikan, seperti ruang kelas dan ruang perpustakaan dengan koleksi
buku dari bermacam disiplin keilmuan yang berkembang pada saat itu.
Pada
masa Dinasti Abbasiyah, sekolah yang berada di masjid terdiri dari beberapa
tingkat, yaitu:
Tingkat Rendah,
(lazim disebut Kuttab) sebagai tempat
belajar anakanak. Ada pun yang diajarkan meliputi: membaca dan menghafal Al-Quran,
pokok ajaran Islam, menulis kisah tokoh besar Islam, membaca dan menghafal syair-syair
atau prosa, berhitung, dam juga pokokpokok nahwu
sharaf a la kadarnya. (Yatim,
2000)
Tingkat Menengah, majelis
sastra dan ilmu pengetahuan di masjid—yang berfungsi sebagai sambungan
pelajaran di Kuttab. Materi pelajarannya
meliputi: Al-Quran, Bahasa Arab, fikih, tafsir, hadis, nahwu, sharaf, balaghah, ilmu pasti, mantiq (logika), falak, sejarah, ilmu
alam, kedokteran, dan juga musik.
Tingkat Perguruan Tinggi
(seperti Bait al-Hikmah di Bagdad, Irak, dan Dar al-‘Ilm di Kairo, Mesir). Pada
tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan:
1) Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta
kesusastraan. Ibn Khaldun menamainya dengan ‘Ilm
al-Naqliyah. Ilmu yang diajarkan jurusan ini meliputi: tafsir Al-Quran, hadis,
fikih, nahwu, sharaf, balaghah, dan
juga Bahasa Arab.
2) Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Ibn
Khaldun menamainya dengan ‘Ilm al-Aqliyah.
Ilmu yang diajarkan jurusan ini meliputi: mantiq
(logika), ilmu alam dan kimia, musik, ilmu pasti, ilahiah (ketuhanan), ilmu
hewan, dan juga kedokteran. (Sunanto, 2004)
Selain
menjadi tempat belajar-mengajar, di masjid pula para ulama, filosof, saintis,
negarawan, budayawan, dan seniman duduk berdiskusi, berembuk membicarakan
perkembangan ilmu pengetahuan dalam masyarakat mereka. Tradisi tersebut menumbuhkan
masyarakat berperadaban unggul, seperti yang ada di Damaskus, Bagdad, Isfahan,
Samarkand, dan Andalusia. Belajar dari keberhasilan pengelolaan masjid pada masa
puncak peradaban Islam itu, kita bisa melakukan proses transformasi sejarah
masa lalu ke masa kini. Masjid zaman kita, jelas sangat mungkin dijadikan Bait al-Ummah alias Rumah Umat, tempat
dikelolanya sekian banyak kepentingan Muslim dalam menghadapi perubahan zaman
yang lajunya kian tak terbendung.
Secara
kasat, Islam hari ini adalah agama yang tumbuh dalam lingkup geografis. Lintas benua.
Islam tumbuh di atas tanah yang masih mengandung unsur hara dari adab limabelas
abad silam. Dinamisasi Islam yang nampak ingin bertahan dari kemerosotan zaman,
membawa penganutnya pada model teologi bebas yang bisa dikomparasi ke dimensi
terdalam agama lain yang masih ada. Ruang keislaman pun berpindah tempat ke
media baru via saluran internet. Meninggalkan dan menjauhi bukubuku rujukan pengetahuan
Islam—yang membusuk di rak perpustakaan.
Masjid
bukan hanya untuk shalat fardhu dan shalat Jumat; bukan sekadar tempat
menggelar majelis taklim; bukan pula sarana berbuka puasa bersama pada bulan
Ramadhan; apalagi media resepsi pernikahan. Bukan. Mengembalikan fungsi masjid
dan membangun ulang pemaknaannya, adalah kebutuhan mendesak bagi Muslim
Indonesia. Sebab institusi masjid telah berada di titik nadir keruntuhannya,
dan gagal menjadi media pemberdayaan umat. Jika tak segera dilakukan upaya serius
yang mengarah ke sana, cepat pun lambat, masjid hanya tersisa kenangan dengan
aroma lapuk dari masa lalu. Kemudian pelahan runtuh, menjadi puing, dan
seketika kita tersadar—bahwa kaum Muslim sejatinya sudah tak lagi memiliki
masjidnya sejak alaf ketiga bergulir satu dekade lalu. Islam, telah berpisah
jalan dengan umat yang ia kandung sendiri. []
wah. bahasanya mengalir banget ya tulisan ini...
ReplyDeleteApa yang disebut Kuntowijoyo sebagai generasi Muslim menengah Kota hari ini memang menjadi dominan dalam percaturan intelektual dan sosial.
Indikasi yang paling jelas adalah tumbuh dan berkembangnya model baru organisasi pengelolaan masjid berupa Rohani Islam atau Rohis. Sebelumnya yang dikenal adalah kelompok-kelompok Remaja Masjid. Kegiatan Remas biasanya memang sangat normatif dan aksidental untuk peringatan-peringatan hari besar Umat Islam. Sebagai model baru, Rohis menawarkan kegiatan yang lebih segar dan inilah yang menjadi daya tawar.