MEMANDANGI dua buah foto jepreten jurnalis Reuters, Khalil Ashawi di Deir al-Zor, yang bertitimangsa 4 April 2013, dada kami seolah sesak bagai terimpit batu gunung. Dalam dua foto itu, Khalil tidak mengabadikan satu pun korban jiwa yang bersimbah darah. Ia merekam dengan mata lensanya, egotisme buta yang menghasilkan kebekuan waktu. Tak ada rasa yang menyublim di gambar yang ia badikan itu. Kecuali dingin yang meringkus.
Dalam foto pertama, seorang Tentara Syria Bebas (Free
Syrian Army) sedang duduk di sebuah sofa warna merah pudar yang berada persis
di perempatan jalan, sambil memangku AK47-nya. Sejauh mata memandang, foto itu
hanya bercerita tentang rumah yang telah pergi. Mata tentara itu, menerawang
jauh. Barangkali ke masa lalunya. Mungkin juga terbit sesal dalam hatinya.
Tentang segala kerusakan dan kehancuran yang suka atau tidak, juga disebabkan
oleh pilihannya mengangkat senjata. Entahlah.
Pada foto kedua, tampak dua orang
remaja lelaki di antara reruntuhan bangunan tiga-empat lantai. Remaja yang satu
sedang bergaya sambil merentangkan tangan di atap gedung yang sebagiannya sudah
ambrol. Sedang temannya, mengabadikan momen itu dengan kamera telepon seluler.
Keduanya mungkin tak paham benar apa yang sejatinya membuat kota mereka,
Damaskus, Daraa, Aleppo, Latakia, dan Homs (kota tempat Bilal bin
Rabbah ra hijrah setelah Nabi Muhammad Saw wafat) luluh lantak. Mereka juga tak
pernah peduli siapa yang kelak akan berkuasa di Syria pascaklan al-Assad.
Mereka hanya tahu, kami kehilangan jalan menyusuri masa depan dan tersesat di
masa lalu.
Khalil Ashawi/Reuters |
Khalil Ashawi/Reuters |
Medio akhir Juli 2014 lalu, bertepatan
dengan tuntasnya bulan politik Indonesia dan menghasilkan Joko Widodo (Jokowi)
sebagai presiden terpilih masa jabatan 2014-2019, konsentrasi publik seketika
beralih pada Timur Tengah yang bergolak membara. Di satu sisi, kita dihadapkan
pada kekejaman zionis Israel memborbardir Gaza. Sedang di sisi lainnya, kita
dibikin tercengang melihat dan mendengar kebrutalan perang saudara yang
menghantam Suriah (Syria). Efek bola salju dari gelombang Musim Semi Arab (al-Rabi’
al-‘Arabi).
Kenapa
amatan masyarakat Indonesia bisa begitu cepat beralih pada Timur Tengah? Mudah
saja menjawabnya. Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar
dunia; penyumbang angka terbesar yang membuat Islam sebagai agama terbanyak
pengikutnya dalam tataran global; dan negara paling strategis di kawasan
tenggara Asia. Ketiga fakta tersebut, menjadikan bangsa Indonesia memiliki
posisi tawar tinggi dalam kancah percaturan politik dunia. Apalagi presiden
terpilih kita telah menyatakan tekadnya mendukung kemerdekaan Palestina dari jajahan
Israel.
Muslim Indonesia yang memang terkenal
sebagai penganut Islam paling toleran di muka bumi, pun wajar menaruh perhatian
besar pada miniatur perang dunia ketiga yang terjadi Suriah. Sampai buku ini
ditulis, sejak Musim Semi Arab pecah 2011 silam, sudah 150,000-an orang
meregang nyawa, 2,5 juta orang terusir dari kampung halamannya sendiri, dan
berdasar data yang dilansir PBB, ada sekitar 6,5 juta orang yang kini tak lagi
memiliki tempat tinggal di negeri para nabi yang tengah porak poranda itu.
Krisis
kemanusiaan terbesar abad ini, terbentang di atas bumi Syam—khususnya Irak dan
Syria. Nama Syam, lazim kita temukan dalam banyak literatur Arab sebelum
Dinasti Ottoman runtuh. Bahkan dalam beberapa catatan sejarah Islam, Nabi
Muhammad Saw dan para sahabatnya, sempat berdagang di negeri paling tua yang
pernah didiami manusia ini. Berdasar cerita turun temurun yang beredar di sana,
penamaan Syam terambil dari Sham atau Shem (kakak dari Ham dan Yefit, ketiganya
anak Nabi Nuh as). Sham memilih tinggal di wilayah Damaskus (sekarang)
pascabanjir raya Nuh. Pada waktu itu, Syam meliputi wilayah Palestina, Yordania,
Lebanon, Syria. Lantas apa gerangan yang membuat wajah Syam seolah buruk rupa?
Petaka Syam hari ini bermula dari
seabad lalu, ketika Mark Sykes dan Francois Georges-Picot—dua diplomat asal
Inggris dan Prancis, terlibat dalam pembuatan Perjanjian Sykes-Picot.
Perjanjian ini disepakati kedua negara pada 1916 demi membelah teritori jajahan
mereka (Syam) yang sebelumnya dikuasai oleh Dinasti Ottoman. Garis batas
kolonial inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal Timur Tengah modern.
Perjanjian ini sejak mula telah menafikan adanya ragam etnik, warna-warni
kesukuan, dan komposisi kelompok agama di Syam—yang pelahan tapi pasti, mulai
terbelah.
Kondisi silang sengkarut ini menemu
momentumnya saat Islamic State of Iraq and Syria /Levant (ISIL), atau Islamic
States of Iraq dan Syria (ISIS), berdiri. Pada 29 Juni 2014 lalu, ISIS membuang
Irak dan Suriah dari nama mereka, dan kemudian menjadi Islamic State: Negara
Islam (IS). Kenapa? Karena Abu Bakr al-Baghdadi, “khalifah” IS berkeinginan
kuat menata ulang batas kolonial tersebut dan mengembalikan wajah Syam yang
dulu—sekaligus menyatukan dunia Islam ke dalam kekuasaannya.
Gairah “jihad” IS dan varian mereka
sebelum ini, sejatinya dilandasi oleh perkara apakah agama bisa menopang sebuah
negara, ataukah negara mampu merangkul agama? Kaum Muslim sering menunjuk masa
sepuluh tahun kepemimpinan Muhammad Saw di Madinah (622-632 M) dan masa Khulafa’
ar-Rasyidun (632-661 M) sebagai zaman keemasan yang memberikan model untuk
diikuti. Sistem ini berjalan dengan baik bagi ruang dan waktunya. Namun
demikian, ada banyak masalah serius, termasuk perlakuan terhadap orang Yahudi
di Madinah dan dorongan kampanye militer. Kaum Muslim menjelaskan masalah
tersebut dalam konteksnya. Akan tetapi, konteks kita sekarang jauh berbeda.
Seberapa baik model pemerintahan semacam ini dapat berjalan sekarang? (Kimball,
2013: 211)
Sejak pecah perang antara Khalifah ‘Ali
kw dengan para pengikutnya yang membelot (lazim dikenal sebagai Khwarij), Islam
kerap berada di antara jepitan kepentingan politik dan keutuhan umat. Al-Quran
dan Sunnah kerap dijadikan landasan atas segala kejahatan perang yang terjadi
sedari masa itu. Beberapa kekhilafahan besar seperti Dinasti Umayyah, Dinasti
Abbasiyah, Dinasti Ottoman, adalah tiga dinasti yang paling sering menumpahkan
darah sesama pengikut Islam demi memperjuangkan pengaruh kekuasaan mereka.
Pada pengujung Abad ke-19 dan memasuki
awal Abad ke-20, kaum Muslim yang tengah berada di titik nadir peradabannya,
dicengkeram kuat oleh kolonialisme akut. Mesir, Afrika barat, Asia tengah,
Timur Tengah, tenggara Asia, berada persis di kaki imperialisme yang mematikan.
Muhmmad Abduh, Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani, Thaha Husain, KH Hasyim
al-‘Asyariy, Ahmad Dahlan, Sukarno, Hasan al-Banna, adalah beberapa nama yang
tercatat sejarah berupaya mengangkat Islam dan Muslim dari kubangan lumpur
sejarah. Para penyintas ini memang berhasil menghalau penjajah negeri mereka.
Namun efek lanjutan yang mengikuti kerja keras mereka, meledak seperti bom
waktu. Dunia baru saja mengganti riasan wajahnya dengan sistem demokrasi dan
sosialis, meninggalkan monarki absolut dan teokrasi di gerbong paling belakang
peradaban modern.
Pakistan, satusatunya negara yang
secara eksplisit menyatakan sebagai negara Islam, memiliki sejarah yang penuh
hiruk-pikuk selama lebih dari 50 tahun. Apa pun tujuan yang ingin dicapai
negara bentukan Muhammad Iqbal ini, tak banyak menarik simpati negara lain
untuk mengulangi eksperimen ini. Tak seorang Muslim pun yang saya kenal melihat
Pakistan sebagai model yang akan mereka terapkan di negara mereka. Di Sudan,
usaha islamisasi Hasan al-Turabi—dengan memaksakan adicita politik Islam—tidak
berjalan dengan baik. Meskipun menerima versi adicita Islam yang terbuka dan
toleran terhadap orang lain, negara ini bergulat dengan ragam persoalan sejarah
kesukuan dan perang sipil di antara banyak kelompok etnis yang sangat beragam,
berikut dengan ratusan bahasa mereka.
Gerakan Islamis di Aljazair, FIS (Front
Penyelamatan Islam), hampir memenangkan pemilu pada awal 1992, namun pemilu ini
dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah, para pemimpin FIS dipenjara, dan
situasi yang tak menentu itu mengakibatkan perang saudara yang kacau selama
bertahun lamanya. Pelbagai versi pemerintahan Islam yang diterapkan di Sudan,
Aljazair, dan Afghanistan selama 1990-an menarik simpati kaum Muslim yang
kecewa dan miskin di banyak wilayah dunia. Namun, tidak ada bukti yang
menyatakan bahwa banyak Muslim bersedia mengambil pelajaran dari gerakan atau
rezim semacam itu atau tertarik mempelajari bagaimana membentuk suatu negara
Islam di tempat mereka. (Kimball, 2013: 190-191)
Disadari atau tidak, wajah dunia abad
ini pelahan berubah. Ada keniscayaan di situ. Segala yang terjadi hari ini
adalah keharusan sejarah. Kita terpaksa menanggung beban masa lalu di pundak
masingmasing. Kendati memang tak ada yang lebih pasti dari hari ini, namun kita
tak bisa menutup mata atas apa yang pernah terjadi di belakang sana, dan di
kemudian hari. Persis seperti yang diguratkan penyair WS Rendra dalam lirik
syair gubahannya, Kemarin dan esok adalah
hari ini. Sebab manusia adalah “anak kandung waktu.”
BERDASAR laporan Tempo.co, Senin, 28 Juli 2014, pukul 03:11 Wib, milisi ISIS telah
meluluhlantakkan wilayah barat dan timur Irak sejak awal tahun ini. Ibukota
Irak, Bagdad, nyaris lebur. Pusat peninggalan budaya dunia itu harus terkoyak
lagi sejak dihajar Amerika pada 2003 silam. Entah sudah berapa banyak situs
warisan dunia yang rata tanah di negeri seribu satu malam ini. Baik yang
bernuansa peradaban, maupun situs reliji. Kali ini, pelaku penghancuran itu
adalah anakanak yang dilahirkan bumi Irak sendiri. Bukan mereka yang berambut
jagung.
Salah satu daerah di Irak yang rusak
parah adalah, Mosul. Kota yang terletak di utara Irak dan terbesar kedua
setelah Baghdad ini, mengandung puluhan/ratusan situs sejarah yang sekarang babak
bundas. Rekaman penghancuran peninggalan budaya Irak di Mosul oleh milisi ISIS dilaporkan oleh The Wall Street Journal.
Seperti ketika mereka membom waktu makam Nabi Yunus as (Jonas Prophet) di Mosul.
Makam Nabi Yunus as adalah pusat peziarahan umat Kristen, Islam, dan Yahudi. Tindakan ISIS tersebut, sama saja mengoyak jalinan silaturahim anak cucu Ibrahim yang telah
terajut selama lima ribu tahun. Karena bukan hanya makam orang suci yang mereka
nistakan, rumah ibadah—termasuk masjid pun menjadi sasaran.
"Mereka meratakan makam dengan
tanah bersama dengan semua makam dan tempat ibadah lainnya," kata Omar
Ibrahim, seorang dokter gigi di Mosul. Penghancuran makam Nabi Yunus as,
menurut Omar, merupakan peristiwa paling menyedihkan bagi penduduk Mosul.
"Nabi Yunus as berbeda. Makam itu simbol Kota Mosul. Kami menangisinya
dengan darah," kata Omar.
Sejak buku ini ditulis, milisi ISIS telah
menghancurkan sedikitnya 24 tempat suci di Mosul. Belum termasuk tempat suci
umat Syiah dan beberapa museum di Mosul. Milisi ISIS berkeyakinan, telah terjadi
perilaku syirik di tempat tersebut. Islam memang melarang umatnya melakukan
peribadatan atau berdoa di dalam makam. Tapi Islam tidak membenarkan cara
kekerasan. Jika memang ISIS berniat memperbaiki kebobrokan itu (jika memang
demikian adanya), mereka terlebih dahulu bisa menggunakan pendekatan persuasif
sebelum mengambil keputusan penyerangan. Lagipula kenapa harus makam dan rumah
ibadah itu yang harus dihancurkan? Awal dari perilaku syirik bukan dari sebuah
tempat. Melainkan dari sebuah keyakinan yang tidak hanif (lurus).
Milisi ISIS tak hanya menghancurkan pusat
peradaban di Irak. Mereka juga mengeluarkan tiga ultimatum kepada umat
Kristiani di Mosul, yang isinya; berganti agama menjadi Islam, membayar pajak (jizyah), atau dihukum mati. Ultimatum
ini membuat ribuan umat Kristen di Mosul berduyunduyun mengungsi ke tempat
aman. Populasi umat Kristen di Mosul mencapai 60 ribu orang ketika Amerika
Serikat mengakhiri invasinya di Irak pada 2003. Pada Juli 2014, populasi umat
Kristiani tinggal sekitar 35 ribu orang.
Ketiga ultimatum itu sama sekali belum
pernah ada presedennya dalam sejarah Islam di era Nabi Muhammad Saw. Muhammad Saw
tak pernah memaksa umat lain memasuki Islam. Sebab Islam menganut prinsip. “la ikraha fi ad-din (tak ada paksaan
dalam agama)” sebagaimana termaktub dalam (QS al-Baqarah [2]: 256).
Peristiwa paling dekat terkait kasus di
atas, ketika Nabi Muhammad Saw dijepit lima suku besar Yahudi (Quraizah, Aus, Nadir,
Khajraj, Qainuqa) di Madinah. Pada kemudian hari, kelima suku tersebut memang
terusir dari Madinah. Bahkan kaum Muslim, melalui sahabat Sa’ad bin Muaz yang
diutus Nabi untuk menghadapi perlawanan Quraizah, terpaksa menerapkan hukum
konvensional Arab kuno pada 700 orang lelakinya, dengan memenggal kepala
mereka. Istri dan anak mereka dijual ke pasar budak. Harta benda mereka dibagi
rata di kalangan Muslim. Sebelum eksekusi ini dijalankan, Sa’ad terlebih dahulu
memohon izin pada Nabi—yang lantas bersabda, “Kau telah menghakimi sesuai
dengan ketetapan Allah di langit ketujuh!” (Ibn Ishaq dalam Armstrong, 2007:
253).
Quraizah sebagai terdakwa dalam kasus
peperangan di atas, berbeda tegas dengan rakyat Mosul yang dibantai milisi IS
dan perusakan akut yang meleka lakukan. Suku Quraizah adalah bani paling keras
yang menentang Nabi. Bahkan bukan hanya keras, mereka juga melakukan
penyerangan terselubung dan aktif memproduksi fitnah yang berpotensi besar
memecah belah Muslim Madinah dengan saudara barunya, Anshar.
Polemik Timur Tengah yang berkaitan
dengan umat Islam juga memengaruhi para teroris dan kelompok jihad di sana.
Misalnya kasus Mesir. Lengsernya Presiden Morsi makin mengukuhkan kebencian
para jihadi terhadap sistem
demokrasi. Menurut mereka, demokrasi bukan hanya musyrik, tapi juga sebuah
sistem akalakalan kaum sekular dan Barat untuk memberangus umat Islam. Morsi
yang dipilih secara demokratis pun akhirnya dilengserkan dengan cara kudeta
kaum sekular. Pascalengsernya Morsi, Mesir kini jadi ajang konflik antara
kelompok Islamis dengan pemerintah yang berujung pada maraknya aksi teror.
Kasus internasional lainnya yang memengaruhi para teroris bahkan sampai ke Indonesia
adalah kasus Myanmar, di mana minoritas Muslim Rohingya, beradu tegang dengan
kaum mayoritas Buddha.
Plot pemboman Kedutaan Myanmar serta pemboman sebuah
vihara di Jakarta, merupakan aksi balas dendam para teroris di Indonesia
terhadap kasus Rohingya. Selain kasus Myanmar, yang perlu diperhatikan juga
adalah perkembangan situasi di Cina terutama di Propinsi Xin Jiang yang
mayoritas penduduknya berasal dari etnik Uigur yang beragama Islam. Di sana
muncul kelompok Muslim yang didukung oleh East Turkistan Islamic Movement (ETIM),
yang melakukan gerakan pemberontakan memisahkan diri dari Cina. Konflik di Cina
ini malah bisa memicu aksi balas dendam dari banyak kelompok jihad di Indonesia
terhadap pelbagai kepentingan Cina di Indonesia.
Selain itu, salah satu yang jadi
perhatian sekarang adalah euforia “jihad” Syria di Indonesia. Kelompokkelompok
jihad di Indonesia begitu bersemangat membantu para mujahidin Syria sedari mengumpulkan dana, mengirimkan bantuan
kemanusiaan hingga mendorong orang agar ikut berperang ke sana. Pihak
Departemen Luar Negeri Indonesia memperkirakan ada 50-an orang Indonesia yang
berperang di Syria melawan pasukan pemerintah Basyar al-Asad. Bahkan akhir
November 2013 lalu, diberitakan ada orang Indonesia yang meninggal akibat ikut
perang. Tak hanya di Syria, dikabarkan juga ada warga Indonesia yang ikut
berperang di Yaman. Keberangkatan Muslim Indonesia ke Yaman dan Syria ini
mengkhawatirkan. Indonesia pernah punya pengalaman dengan kasus Afghanistan.
Para veteran Afghanistan ketika kembali ke Indonesia kemudian terlibat pelbagai
kasus terorisme. Hal serupa bukan tidak mungkin terjadi pula pada veteran Syria
dan Yaman.
Menilik apa yang terjadi di Timur
Tengah akhir-akhir ini, kita tidak bisa menutup mata atas riwayat sejarah
masyarakat beragama di sana—khususnya umat Muslim selama 60 tahun belakangan.
Mau tidak mau, suka atau tidak, kita harus memasukkan nama seorang pemuda
berusia dua puluhan pengagum Afghani, Abduh, dan Ridha, yang menyadari betul
bahwa, “Kaum Muslim belum menghasilkan gerakan fundamentalis, karena proses
modernisasi mereka belum cukup maju. Mereka masih dalam tahapan membentuk ulang
tradisitradisi agamanya demi memenuhi tantangan baru modernitas dan menggunakan
Islam guna menolong orang memahami semangat dunia baru itu.” (Armstrong, 2013)
Pemuda belia itu bernama Hasan
al-Banna (1906-1949). Ia sangat mengesankan. Berpikiran kuat, kharismatik, dan
dapat membuat orang mengikutinya. Pada suatu petang di bulan Maret 1928—nyaris
bebarengan dengan lahirnya Sumpah Pemuda di Indonesia, enam pemuda setempat di
Ismailiyah datang dan memintanya bertindak:
Kami tidak tahu
cara praktis mencapai kemuliaan Islam dan kesejahteraan kaum Muslim. Kami bosan
dengan kehidupan yang dihina dan dikekang ini. Kami melihat orangorang Arab dan
Muslim tidak memiliki status dan martabat. Mereka tak lebih dari orang upahan
yang dimiliki orang asing. Kami tidak memiliki apa pun selain darah ini ... jiwa
ini ... dan beberapa keping mata uang ini. Kami tidak mampu melihat jalan
menuju tindakan sebagaimana Anda melihatnya, atau mengetahui jalur menuju
pengabdian bagi tanah air, agama, dan umat, sebagaimana Anda mengetahuinya. (Schauer, Sinnot-Armstrong dalam
Armstrong, 2013)
Malam harinya, Banna dan mereka yang
hadir dalam pertemuan kecil itu, bersumpah akan menjadi jund (laskar)
bagi risalah Islam dan mendirikan Ikhwan al-Muslimin (IM). Persis seperti
Sukarno di Indonesia—yang bermain mata dengan Jepang dan blok Komunis Soviet-Tiongkok,
Banna mulai mengumpulkan dana taktis bagi operasionalisasi IM dengan merapat ke
Inggris dan Raja Faisal di Saudi, dan mengoreksi kerja pemerintahan perwira
muda angkatan darat yang tangguh, Gamal Abdul Nasser (1918-1970).
IM tumbuh dengan caranya yang
mengagumkan. Mereka membangun, masjid, sekolah, universitas, bahkan banayk pabrik
sebagai unit usaha bagi kesejahteraan buruh—dan itu benar-benar mereka lakukan.
Namun sejarah memaksa IM bergerak ke arah yang lain. Ledakan pengikutnya yang
drastis, menciptakan paradigma baru yang sialnya, mengarah pada puritanisme
akibat tidak adanya celah menenggang pendapat dari para pemimpin IM bagi para
anggotanya. Itu semata berdasar pada asas ketaatan mutlak yang ditanam kuat
oleh Banna.
Puncak kekacauan—untuk tidak
mengatakannya sebagai kegagalan—IM yang tak bisa diredam Banna, terjadi pada
1943. Ketika unit teroris dari kelompok pinggiran yang dikenal sebagai “Aparat
Rahasia (al-Jihaz al-Sirri),” menyempal dari tubuh IM yang mulai membengkak.
Lima tahun kemudian, aksi mereka mulai kentara dengan membunuh seorang hakim
terhormat, Ahmed al-Khazinder; Menyerang secara membabi buta distrik Yahudi di
Kairo, dan terakhir, membunuh menteri perdana Muhammad al-Nuqrashi.
Efek bola salju dari tindakan keji
Aparat Rahasia, berlanjut hingga Ibrahim al-Hadi menjabat sebagai menteri perdana
Mesir yang baru. Kali ini korban yang harus terpaksa jatuh adalah Banna
sendiri, yang ditembak di jalanan di luar markas Asosiasi Pemuda Muslim pada 12
Februari 1949. Pemerintahan Mesir yang baru, di bawah kendali Ibrahim, mulai
kapok berkompromi pada IM yang mulai dirasa mengganggu kinerja mereka.
Hanya saja, Ibrahim lupa, Banna yang
telah ia bunuh melalui tangan orang lain, telah mewariskan 2000 cabang IM di
seantero Mesir. Dari semua cabang, terhimpun anggota sebanyak 300.000 sampai
600.000 orang (lelaki dan perempuan). Inilah organisasi raksasa Mesir yang
menjadi afiliasi setiap lapisan masyarakat sedari pegawai negeri, pelajar,
buruh perkotaan, dan petani. Menjadi wajar ketika memasuki Perang Dunia II, IM
telah tampil sebagai kontestan utama arena politik Mesir. Pembalasan dendam pun
dimulai. Wajah IM praktis berubah menjadi abu-abu.
Pada perkembangan berikutnya, IM
terlibat penuh dalam pendirian (Harokah al-Muqowamah al-Islamiyah (HAMAS) di
Palestina pada 1987, dan membantu mujahidin pada perang Afghanistan
versus Soviet yang terjadi selama medio 1979-1989, juga turut bertanggungjawab
dalam pembentukan sayap mahasiswanya yang kemudian menyempal, Jamaah Islamiyah
(JI)–kelanjutan dari sempalan IM sebelumnya yang dikenal dengan kelompok
Thalai’ul Fath (Kelompok Pelopor Pembebasan) pada 1973.
Sejatinya, JI lahir dalam kondisi
sosial politik yang khas di Negeri Piramida. JI selalu identik dengan gerakan
Islam radikal. Gerakan ini lahir menjelang tewasnya Presiden Anwar Sadat pada
1981. Pada saat itu, Mesir tengah mengalami situasi sosial politik yang sangat
sensitif, karena dua tahun sebelum tewasnya Sadat, telah terjadi kesepakatan
damai antara Israel dan Mesir yang dikenal dengan Perjanjian Camp David pada
1979. Masa dua tahun itu (1979-1981) disebut sensitif karena Sadat betulbetul
telah melakukan terobosan politik yang sangat berbeda dan sangat tidak popular,
yaitu menandatangani perjanjian damai.
Sebelum Thalai’ul Fath berkibar,
pada saat yang sama, di Mesir juga lahir sebuah gerakan Islam yang lebih
radikal, yang nantinya dikenal bernama Tandzimul Jihad (Jaringan Jihad). Jadi,
ada dua sayap radikal yang merupakan sempalan IM, yakni Jamaah Islamiyah dan
Tandzimul Jihad. Dua sayap radikal ini diduga kuat bergabung, sehingga kemudian
dikenal sebagai Jamaah al-Jihad yang dipimpin Ayman Al-Zawahiri, yang saat ini
menjadi orang kedua di Tandzimul Qaidah (Jaringan Al-Qaidah/Al-Qaeda). Jamaah al-Jihad
inilah kelompok yang berhasil membunuh Presiden Sadat pada bulan Oktober 1981.
(Rahman, 2003)
Kini, jaringan rumit IM bersemi di
beberapa negara Timur Tengah, terutama Teluk. Libya, Suriah, Irak, Turki, dan
Qatar, adalah beberapa di antaranya. Dalam kasus terbaru, pada 5 Maret 2014,
Dewan Kerjasama Teluk yang beranggotakan Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab,
Kuwait, dan Kesultanan Oman, memutus keanggotaan Qatar karena menampung para
pelarian IM dari Mesir pascapenggulingan Morsi pada 2013. (Kompas, 2014)
Musim Semi Demokrasi
DRAMA
perebutan kekuasaan di Mesir yang sudah terjadi sejak era 40-an, kembali
meruyak pada 2011. Pemantiknya sederhana belaka. Seorang pedagang sayur-mayur, Muhammed
Bouazizi, yang sedang memperjuangkan haknya, membakar diri pertanda protes pada
pemerintahan Tunisia. Ali Bouazizi, sepupu sang martir revolusi, merekam aksi
Menobia, ibu Bouazizi, yang melakukan protes tunggal di depan kantor walikota,
dan mengunggahnya ke jejaring sosial—yang lantas ditaut oleh al Jazeera. Tanpa menunggu waktu lama,
pesan kemanusiaan ini pun menggelinding ke antero dunia. Gerakan ini dimulai
pada 18 Desember 2010 dan berhasil melengserkan rezim Ben Ali pada 14 Januari
2011. Lokomotif sejarah Timur Tengah sedang bergerak menuju rel yang lain. Mesir,
Libya, Yaman, Bahrain, dan Syria terus membara hingga kini. Era baru sedang
menggelinding. Dunia kini mengenal momentum itu sebagai Musim Semi Arab.
Ada dua mazhab dalam melihat
perubahan radikal di Timur Tengah saat ini–perubahan yang oleh pengamat dan
media Barat disebut Musim Semi Arab (Arab
Spring). Yang pertama adalah mazhab optimis-liberal; yang kedua mazhab
pesimis-konservatif. Mazhab pertama melihat perubahan-perubahan di Timteng saat
ini sebagai kabar baik yang akan mengubah kawasan itu menjadi lebih demokratis
di masa-masa mendatang, dan karena itu harus didukung.
Kekuatan sipil yang demokratis dan
liberal justru akan diuntungkan oleh perubahan tersebut. Kekuatan ini, dalam
waktu yang sangat panjang, dihambat dan dimatikan oleh rejim-rejim otoriter di
kawasan itu, begitu rupa sehingga akhirnya hanya ada satu kekuatan yang mampu
membangun oposisi terhadap pemerintah yang otoriter di sana–yakni kekuatan
oposisi yang memakai bahasa agama (religious
opposition). Biasanya, mereka menjadikan masjid sebagai basis kekuatannya.
Sementara kekuatan oposisi sekular sama sekali tak diberi kesempatan. Dengan
tumbangnya banyak rezim totaliter di Timur Tengah sekarang, diharapkan
kekuatan-kekuatan oposisi sekuler akan tumbuh dan berkembang guna mengimbangi
kekuatan Islamis. Inilah tafsiran kubu optimis-liberal.
Mazhab kedua (yakni mazhab
pesimis-konservatif) memandang perubahan itu sebagai pintu gerbang dari mana
Islamisme akan masuk dan menguasai negeri-negeri Arab. Menurut mazhab ini,
runtuhnya rezim-rezim otoriter di Timteng akan membuka lebar kesempatan bagi
kelompok Islamis-fundamentalis untuk naik ke permukaan dan memenangkan pemilu.
Mazhab kedua ini mencoba menjustifikasi dirinya dengan menunjuk kepada
kemenangan sejumlah partai Islamis di beberapa negara di kawasan itu: al-Nahdah
di Tunisia, Partai Pembangunan dan Keadilan di Maroko, dan Partai Kebebasan dan
Keadilan di Mesir. (Abdalla, 2011)
Setelah meletus tiga tahun silam,
revolusi Musim Semi Arab dapat dibagi menjadi tiga kanal: revolusi melawan
rezim totaliter, revolusi meredam disintegrasi, dan revolusi mengentaskan
kemiskinan. Namun praktis, hanya revolusi melawan rezim totaliter saja yang
belum sungguh terlaksana. Nasib Tunisia, Mesir, Yaman, dan Syria, setali tiga
uang. Sebagian besar rakyatnya bertungkus lumus dalam kemiskinan akut. Inilah
hulu ledak revolusi mereka. Sedang rezim totaliter Arab lainnya, tetap aman di
singgasana mereka. Bahrain satu di antaranya.
Sejatinya, Musim Semi Arab beritikad
mengarah pada demokratisasi yang disponsori Amerika. Maka menjadi wajar jika
dalam setiap negara yang sedang diterpa badai musim semi itu, nama Amerika
selalu berada di garda depan. Samuel Huntington (1991) menandai tiga gelombang
demokratisasi yang menyapu dunia modern. Pertama,
dimulai dengan semakin meluasnya hak pilih di Amerika Serikat pada 1820-an,
hingga beberapa ratus tahun kemudian sampai munculnya fasisme. Kedua, bertepatan dengan dekolonisasi
Eropa setelah Perang Dunia II, berlanjut hingga 1962.
Demokratisasi gelombang ketiga dimulai di Semenanjung Iberia
pada 1974, bermula di Portugal, lalu Spanyol, dan kemudian menyerang Amerika
Latin dan Asia Timur. Dalam babak selanjutnya, kita melihat bahwa runtuhnya
Tembok Berlin telah menimbulkan gelombang revolusi rakyat di Eropa Timur, yang
mengakibatkan hancurnya komunisme dan pada akhirnya disintegrasi Uni Soviet.
Tamatnya politik apartheid juga
menimbulkan gelombang demokratisasi di sub-Sahara Afrika. Setelah itu, sepertinya
gelombang ketiga demokratisasi berhenti pada 1990-an.
Dunia seolah mengalami semacam
”resesi demokratik.” Itu terjadi setelah sejumlah negara yang sebelumnya
tercatat sebagai negara demokrasi berubah menjadi otoritarianisme. Tetiba dunia
dikejutkan oleh munculnya gelombang baru yang menyapu wilayah Afrika utara:
Tunisia, Mesir, lalu disambung Libya, melompat ke wilayah Arab—Yaman dan
Bahrain—kemudian ke Syria. Apa yang terjadi di kawasan Afrika utara dan
kemudian Arab mempertegas bahwa demokratisasi cenderung terjadi di kluster
geografik.
Tunisia, Mesir, dan Libya, seketika
dijadikan tolok ukur bagi negara tetangganya dalam rangka bagaimana caranya
menumbangkan kekuasaan despotik. Para pemuda di Yaman, Bahrain, Syria, yang
memiliki jejaring dan organisasi telah mendorong banyak orang di negara mereka turun
ke jalan. Kaum muda di dunia Arab—yang jumlahnya sekitar 60 persen—tidak hanya
merupakan ”bom demografis,” ”beban ekonomi”, atau ada yang menyebut sebagai
”cadangan ekstremisme”—tetapi juga menjadi kekuatan perubahan. (Kuncahyono,
2012)
Pada masa modern, Syria identik
dengan rezim klan al-Assad. Bermula dari kudeta militer pada 16 November 1970,
Hafez al-Assad berhasil mengambil alih kekuasaan. Ia dikenal sebagai pemimpin
yang memegang teguh adicita dan memainkan peranan penting dalam panggung
politik Timur Tengah. Melalui Partai Baath, ia mengukuhkan sosialisme Arab yang
lantang menyuarakan pentingnya persatuan, kebebasan, dan sosialisme. Sejak
berkuasa, Hafez al-Assad telah membangun hubungan erat dengan Moskwa, khususnya
sebagai gudang persenjataan di Timur Tengah (Kuncahyono, 2012: 35). Alasan
inilah yang menyebabkan dukungan Rusia terhadap Syria tak bisa digoyahkan oleh
negara adidaya Amerika Serikat. Jika rezim al-Assad tumbang, Rusia akan
kehilangan mitra strategisnya di Timur Tengah.
Di Timur Tengah, Hafez al-Assad
berhasil memainkan politik dengan sangat baik karena menjadi salah satu
kekuatan politik paling lantang melawan Israel. Ia menggalang aliansi strategis
Iran-Lebanon dengan tidak kehilangan persahabatan dengan Mesir dan Jordania
yang notabene mempunyai perjanjian damai dan hubungan diplomatik dengan Israel.
Selama puluhan tahun, Syria telah menjadi kantor politik Hamas yang juga
merupakan musuh bebuyutan Israel.
Fakta itu menjelaskan mengapa
tekanan politik dari Mesir tidak mampu mengakselerasikan jatuhnya rezim Basyar
al-Assad. Syria di bawah rezim ini nampaknya tak bisa dicampurtangani oleh
negara Timur Tengah lainnya karena berdaulat secara politik dan ekonomi. Sejak
berkuasa pada 2000, Basyar al-Assad menjadi kekuatan absolut yang tak bisa
digoyahkan para oposisi. Pada mulanya ia diharapkan mampu membawa angin
perubahan bagi modernisasi ekonomi dan reformasi politik di Syria. Namun,
struktur dan kultur politik telah menyebabkan rezim Basyar al-Assad hanya
melanjutkan kepemimpinan orangtuanya yang dikenal otoriter.
Pertanyaan kita, mengapa musim semi
di Suriah berlangsung lebih lama, sedangkan di negara Arab lainnya lebih cepat?
Revolusi telah berlangsung hampir dua tahun, tetapi rezim al-Assad belum juga
tumbang. Michael Bröning dalam The Sturdy
House That Assad Built: Why Damascus is Not Cairo (Foreign Affairs, Maret
2011) menegaskan setidaknya terdapat empat pilar yang menjadi penyangga
kekuasaan Basyar al-Assad. Pertama,
rezim dibangun di atas pertalian klan Al-Assad. Kekuatan militer dan lumbung
bisnis dikuasai oleh klan ini sehingga mampu menciptakan soliditas di dalam
lingkaran kekuasaan. Dalam hal ini, teori relasi kesukuan (al-qabilah) sebagaimana dipopulerkan Muhammad Abid al-Jabiry
menjadi faktor penting di Syria sehingga rezim ini bisa bertahan lebih dari tiga
dekade.
Kedua,
membangun soliditas pengikut Syiah Alawite. Meski jumlahnya hanya 11 persen,
mereka cenderung solid. Di sini tersirat betapa dekatnya hubungan antara Syria
dan Iran pascarevolusi 1979. Keduanya dikendalikan faksi Syiah yang secara adicita
berdekatan. Di sini, teori kekuasaan yang berbasis adicita keagamaan (akidah)
semakin memperkokoh kedigdayaan politik klan al-Assad.
Ketiga,
mengendalikan seluruh kekuatan militer dan intelijen. Sejak berkuasa, rezim ini
telah menerapkan ”darurat militer” yang memberikan mandat kepada rezim yang
berkuasa untuk membonsai dan membunuh kalangan oposisi dengan mengatasnamakan
stabilitas politik dan keamanan nasional. Keempat,
mengendalikan Partai Baath sebagai alat politik rezim penguasa. Partai ini
mempunyai latar sejarah yang kuat dan basis massa yang nyata. Bahkan, melalui
partai ini pula al-Assad berhasil merekrut kaum Sunni agar aktif terlibat dalam
kancah politik praktis meski tidak menempati posisi strategis. Intinya, melalui
partai inilah Al-Assad mendapatkan pengakuan politik yang kuat dari rakyat.
Sejatinya, sejak revolusi berkobar
pada Maret 2011, kekuatan politik al-Assad semakin mengalami kemerosotan.
Pasalnya, pihak oposisi mendapatkan mandat dari rakyat untuk menggulingkan Basyar
al-Assad. Pertempuran berlangsung sengit di sejumlah kota. Sedari Damaskus,
Daraa, Homs, Aleppo, hingga Latakia. Amerika Serikat—yang tengah berunding
dengan Rusia dan Cina—dan negara Barat lainnya sudah memberikan dukungan
politik kepada pihak oposisi.
Angin perubahan itulah yang kini
tengah berembus kencang menerpa wajah Syria. Meskipun ada begitu banyak
kepentingan di sana, yang kemudian berubah sedemikian cepat jadi
ketegangan—yang kerap berujung sektarian, rakyat Syria hanya tetap percaya satu
hal: Basyar al-Assad harus turun tahta dari kursi kepresidenan. Sebuah harga
mati yang tak bisa ditawar. Sementara dalam saat bersamaan, Syria terus
dibanjiri darah anak kandungnya sendiri. Dilukai luar-dalam oleh mereka yang
sama mengaku sedang berjuang membela agama Allah dan percaya sepenuh hati,
bahwa surga telah menanti nun di sana. [bersambung]
www.alwanalkuwait.com |
No comments:
Post a Comment