Cinta itu Sebatang Kara

Foto amatir seorang kawan astronom

KETIKA belum lagi ada apa pun yang bernama, dan kekosongan meraja begitu maha, begitu murni, kudus, dan azali, mengalunlah bait demi bait kalimat indah berikut ini:
“kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafuniAku pada mulanya adalah harta tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk, maka melalui Aku mereka mengenal-Ku.”

Hadis Qudsi di atas lazim diamini para sufi dalam tradisi esoterik Islam. Dia yang adalah al-Haq—Maha Tunggal dalam ketunggalannya yang Manunggal, seakan sedang berdialog dengan Diri-Nya sendiri, lantas kemudian mencipta. Maka sejak itu ... jadilah Dia Pencipta. Dia menciptakan waktu untuk diberi amanah besar. Namun waktu yang tahu benar apa yang akan terjadi sedari mula ia ada hingga di ujung Sana nanti, menolak secara hormat. Waktu yang sudah diserahi tugas menjaga zaman, sadar bahwa ia sama sekali takkan sanggup mengemban amanah besar dan sarat cobaan itu.

Maka Dia pun menciptakan ruang sebagai calon lain pengemban amanah. Sama belaka. Tawaran Agung itu pun ditolak penuh khidmat.

Lantas Dia mencipta langit. Hasilnya sama.

Diciptakan pula oleh-Nya bumi, juga nihil.

Evolusi penciptaan-Nya pun terus berlanjut hingga kemudian tibalah saat kehadiran sang penyempurna ciptaan; manusia (‘Adam). Ia tiada berayah-ibu. Ia yatim-piatu sejak renjana penciptaan disusun perdana di Lauh al-Mahfudz. Dulu ... sekali.

Tanpa babibu, ‘Adam menerima amanah al-Haq agar menjadi khalifah (wali/wakil) di semesta ciptaan-Nya. Sang Maha Absolut, menitipkan jagat gedhe-Nya kepada ‘Adam yang adalah jagat cilik agar ia menjadi al-Insan al-Kamil. Maka wajar bila sebelumnya Dia sendiri yang meniupkan Ruh-Nya kepada ‘Adam yang masih dalam bentuk lempung hitam. Segala aktus (potensi) zahir-batin yang berasal Dari-Nya, dititipkan dalam diri ‘Adam sesuai Hadis Nabi Muhammad Saw riwayat Bukhari-Muslim;

إِنَّ اللهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ
“sesungguhnya Allah menciptakan ‘Adam as berdasarkan bentuk-Nya.”

Bentuk yang dimaksud dalam Hadis tersebut jelas bukan penyamaan zat melainkan potensi sifat keilahian. ‘Adam bisa mencipta, tafakur, bicara, melihat, berpikir, mendengar, merasa, mengasih–menyayangi, dan begitu banyak potensi kebaikan yang lain. Sampai di sini, menjadi sah bila kita mengatakan ‘Adam adalah “tuhan” yang mewadag dan berjalan di muka bumi. Perintah-Nya agar manusia menjadi khalifah tak lain adalah demi membangun surga di dunia (QS. Al-Baqarah [2]: 3). Dia mencintai Diri-Nya sekaligus ciptaan-Nya. Ya ... Dia lah sumber cinta dan Sang Maha Cinta. Karena Cinta-Nya kita mengada.

Tak cukup sampai di sini. Allah masih terus memuliakan kita manusia dengan Hadis berikut, ”qalbun mukmin baitullahHati seorang mukmin itu istana Allah.” Dia yang Maha Tak Terbatas, merelakan diri-Nya masuk ke dalam Hati kita. Tentu hati di sini bukan hati secara zahir, melainkan hati batin.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
dan apabila hambahamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 186)

وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡ‌ۚ
dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al-Hadiid [57]: 4)

Ternyata Dia tetap tak mau berjauhan dengan ciptaan-Nya yang paling puncak. Paling paripurna. Semua kerana Cinta-Nya yang terwaris pada kita. Maka tak ayal, semua manusia takkan sanggup berjauhan dari-Nya. Itulah kenapa kaum sufi sering menyitir adagium ini: huwa la huwa—Dia tetapi bukan Dia. Terjemahan sederhananya, Dia itu kita, tapi kita bukan Dia. Cinta sebagai lokus utama penciptaan—yang tak masuk kategori tercipta kerana merupakan bagian dari Diri-Nya, jadi motor utama bergeraknya semua sendi kehidupan sejak zaman azali—ketika waktu belum bisa dihitung, hingga di ujung nanti.

Kerana berasal langsung dari al-Haq, cinta mengandungi sifat tak berujung. Tanpa batas. Tak meruang-waktu. Ia di sini juga di sana. Ada di atas dan juga bawah. Ia di manamana sekaligus tidak di manamana. Ia melingkar-memanjang. Mungkret dan mengembang. Ia bisa dipupuk-dirawat, tapi tak bisa dibinasakan. Ia abadi dalam keabadian tuhan.

Cinta juga bisa menjadi sumber panas, sekaligus dingin. Sesiapa pun yang didatanginya, tak bisa menolak. Ia tak bisa diunduh pun diunggah. Hanya cinta yang tahu apa kelak akan terjadi pada dirinya. Kita nyaris tak mengerti apa pun tentangnya, kecuali melulu paradoks belaka. Sama seperti pemilik-Nya Yang Maha Paradoks. Ia bisa datang dan pergi begitu saja. Ia muncul dari kebencian dan bisa berakhir di atas kebahagiaan. Tak satu pun kita bisa menepis kehadirannya—bahkan hingga usia renta. Cinta, tak butuh penjelasan apa pun. Ia hanya harus dijalani, dirasa, dimamah, diresapi ... sepenuh hati.

Sejak dulu sekali, nun jauh di belakang sana—yang tak satu pun kita bisa membahasakan dan menggambarkan kondisinya, cinta sudah ikut menggelinding bersama waktu; meruang seluas cakrawala yang tak berbatas tapi terbatas; mewarnai langit; menghiasi bumi; lalu bersemayam dalam hati setiap manusia yang lahir dan mati bak cendawan musim penghujan. Cinta tak kenal lelah. Ia terus merambati sulursulur zaman. Ia juga tak menua sebab ia belum pernah muda, dan tak dilahirkan. Ia telah ada, bersama Sang Maha Ada.

Cinta kan tetap menjadi misteri mengagumkan yang tak bisa didedah.

Cinta kan terus mengalirkan darah anak manusia.


Cinta kan membawa kita kembali pulang ke Rumah. Kerana Cinta ... kita ada lantas kemudian tiada—sekaligus menegaskan bahwa semua adalah kehampaan absolut, kekosongan yang dingin, dan hanya ada Dia yang setia dalam Kesendirian Abadi. []  

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews