Google Generation Loves Story

Foto oleh Geby Nasution

STASIUN SENEN kembali kucatat dalam ingatan sebagai tempat bersejarah yang laik dikenang sepanjang hidup. Dari stasiun ini pada 2009, aku sempat melakoni perjalanan bersama sembilan orang pasukan Teater Semoet dalam misi Ziarah Budaya ke Ngayogyakarto. Empat tahun berselang, lagilagi bersama Semoet, kami kembali menaiki ular besi pada Kamis, 22 Mei 2014. Kali ini menuju Semarang. Dua kali misi muhibah budaya ini, sama berkualitasnya. Hanya beda formasi dan ruang-waktu saja.

            Pasukan yang berangkat kali ini, kondisi kejiwaannya agak sulit diukur. Berbanding terbalik dengan para pendahulunya pada edisi 2009. Meski pencapaian kualitas pertumbuhan mereka tak bisa dianggap remeh. Hal itu bisa ditandai sedari kami mulai antre di pintu masuk stasiun. Peraturan anyar jawatan kereta api yang seketat hot pants, nyaris bikin darah mendidih. Seluruh penumpang harus memegang tiket sesuai nama yang tertera di kartu penduduknya. Inilah masalah yang harus kami hadapi. Salah tiga dari tiket yang telah dibeli, bernama orang lain.

Anehnya, dua tiket lolos periksa. Satunya nyangkut. Sialnya lagi, satu orang ini adalah pemain yang harus tampil pada Festival Drama Pelajar Nasional di IKIP PGRI, Semarang. Tuhan langsung menguji ketangguhan tembok kesabaran kami mulai detik itu. Sebagai pimpinan rombongan tentu aku tak berpangku tangan. Segala jurus rayuan maut langsung kukeluarkan di hadapan dua penjaga pintu yang tampang bloonnya, sama tolol dengan peraturan yang tak masuk akal itu. Bagaimana tidak. Memang, nama pemegang tiket tak sesuai dengan nama pemesan. Tapi tiket itu dibeli. Bukan difoto copy.

Hani si pemegang tiket “gadungan,” mulai panik. Wajahnya memerah. Di bola matanya seolah ada kaca yang hampir pecah. Sementara dua rekannya, Gojali dan Gabe, langsung bergerak mencari tiket baru—yang ternyata sudah ludes di loket. Ujian belum berhenti. Ketiga gadis ini mulai melancarkan perang urat syaraf melawan dua lelaki tengik yang berlagak galak tapi bengak.

Berhasil.
Kami pun digelandang ke ruang kepala stasiun. Persis seperti pencopet yang ketangkap basah mandi di empang.

Di ruang penguasa Stasiun Senen, drama a la Korea pun diputar. Si kepala stasiun, lelaki paruh baya bertubuh agak tambun. Parasnya jelas tak setampan artis dari Negeri Ginseng. Riasan wajahnya cuma dua, debu stasiun dan asap lokomotif yang ia lepas pada setiap keberangkatan. Ternyata di ruangan itu, ada beberapa orang yang bernasib sama dengan kami. Bedanya, mereka tak sengotot tiga calon artis drama Korea yang kubawa. Airmata mereka mulai berderaiderai cemara. Sedih bukan kepalang. Lelaki mana yang tak jatuh mentalnya melihat perempuan menangis? Aroma keberhasilan mulai tercium dari akting busuk mereka.

Sepuluh menit jelang keberangkatan pukul 14.10 Wib, hati si kepala stasiun meleleh. Barangkali ia merasa sedang menghadapi rengekan anak gadisnya sendiri. Tawaran menggiurkan pun meluncur dari mulutnya yang seperti kena lakban. Hani tetap berangkat meski terpisah rombongan. Ia menumpangi kereta bisnis yang meluncur persis di belakang kami. Anak manja semata wayang kesayangan orantuanya ini, terpaksa menelan mentahmentah latihan dari alam. Ia tak punya pilihan selain belajar hidup mandiri. Kami pun lari sipat kuping menuju Kertajaya yang sudah bersiul di jalur tiga. Kali ini, kami seperti sedang berburu satusatunya toilet demi menunaikan hajat.

Di dalam gerbong tiga, pasukan yang kukirim lebih dulu sejak kami tertahan di pintu masuk, telah duduk manis bak para putri raja yang mau plesir tapi bergaya orang udik mau mudik. Siti Rohmah adalah pemudik sejati nomor urut satu. Ia dan mamanya, membawa koper besar seolah mereka mau pindah rumah. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan berdecak kagum melihat kelakuan ibu-anak ini. Keduanya sama cuek. Sama berkulit gelap. Sama bocor halusnya. Beda mereka yang paling tegas hanya satu: ukuran tubuh Omah (nama samaran Siti Rohmah), kalah jumbo dibanding mamanya.

Rizky Amelia, adalah pemudik berikutnya. Di kalangan para seleb kampung Cadas, Tangerang, tempat ia mukim, gadis ini biasa disapa Tante. Siapa pun kalian yang berwajah cantik, jangan pernah nekat foto bareng dengannya. Karena bila hasil foto itu diperlihatkan pada lelaki, niscaya mereka akan memilih Tante sebagai tambatan hati. Meski bila akhirnya mereka bertemu, si lelaki langsung melaknati keputusan yang telah ia buat secara gegabah saat memandangi foto si Tante—yang juga konon tidak berdarah India ini. Alasannya sederhana. Ia berbakat menggantikan Elia Kadam Si Boneka dari India itu. Mulutnya mahir betul menyanyikan lagu apa saja dari Bollywood.

Lalu ada Arsyilfa Yulisa Deputri. Pemuja kelas berat para penyanyi melambai asal Korea. Bagi Syilfa, merekalah lelaki paling perempuan sejagat raya. Namun seiring waktu, kegemaran ini mulai ia sadari keanehannya. Bontot yang kini semata wayang semenjak kepergian kakaknya ke alam baka pada 3 Agustus 2010, lebih tepat disebut gadis jeruk dalam gaya bahasa Jostein Gaarder si pencipta Dunia Sophie. Tubuhnya kurus-ringkih dan lebih sering meriut pada siapa saja. Terutama pada ibunya, yang juga turut mengawal rombongan Semoet. Aku hampir berkeyakinan, jika mungkin, ia pun akan meminta bantuan ibunya untuk sekadar mengedipkan mata.

Dwivi Utami. Gadis pendiam dalam rombongan. Tepatnya, paling tak bisa berbaur dengan para pemudik lain yang mulutnya bisa mengeluarkan serbaneka suara. Dwivi lebih senang menyelami dirinya sendiri. Ia terancam antisosial. Sebab ia telah kehilangan banyak ruang apresiasi—baik di rumah maupun di sekolah. Hanya keluarga besar Semoet yang rela menampungnya. Berbicara dengannya, harus pintar memilin kata. Jika meleset, siapa pun lawan bicaranya bisa langsung tahu bahwa mulutnya jauh lebih tajam dari Feni Rose. Obat mujarab untuk mengobati sakitnya kemungkinan adalah, ia harus bekerja di pantipanti sosial. Supaya ia tahu, betapa hidup jauh lebih berwarna bila diisi dengan cara yang benar.

Dwi Annisa Ramadhanty. Inilah dia kembaran Melody JKT48 yang untungnya tak diketahui banyak orang. Perawakannya adalah perpaduan sempurna burung unta dan belalang sembah. Di antara rekan seperjuangannya di Semoet, Sasa yang paling trendi. Ia sadar mode dan fesyen. Lidahnya bukan asli buatan Indonesia. Karena ia antisambal. Meski terkesan lamban mengolah informasi dan data, ia punya semangat belajar dan citacita luhur. Sasa ingin sekolah yang tinggi sekali, agar dapat membantu ibunya—persis seperti iklan layanan pemerintah pada medio akhir pemerintahan Orde Baru. Ya, ia ingin melanjutkan studinya ke Britania Raya demi belajar tentang dunia kecantikan. Ini aneh. Kenapa dia tidak belajar saja pada dirinya yang sebenarnya sudah cantik. Pendapatku tadi, adalah riset para ahli dunia. Perempuan paling cantik di kolong langit, ya perempuan Indonesia.

Pani Oktaviani. Gadis mungil berdarah Jawa korban pencatatan sipil. Gegara nama depannya, ia bisa dipitnah sebagai orang Sunda. Bola matanya bagus. Sebagus perangainya yang suka main kucingkucingan sama orangtua, bila hendak bertemu remaja lelaki yang nampaknya belum berhasil ia cintai. Di tangannya, gadget bisa menempel seperti kena lem. Selalu ada waktu yang ia sempatkan sekadar memperbarui status di jejaring sosial, mengunggah foto, mendengar-menonton musik, atau bermain game. Fani punya bakat terpendam yang belum ia gali. Tapi di Semoet, bakat itu pelahan mulai mencuat. Ya, ia berbakat jadi pedagang ponsel.

Tiara Emilia. Anak sulung ini terancam jadi pewaris sebuah lembaga pendidikan yang dikelola orangtuanya. Pipinya agak gembil. Kulitnya coklat tanah. Jika bicara, lidahnya sering menyeret huruf hingga menjeritjerit. Tia, tak terlalu senang bicara ngalor-ngidul. Ia lebih tertarik jika bicara ngetan-ngulon. Jadi kalau bicara dengannya, mulailah dengan dua kata itu. Jika tidak, selalu ada tembok komunikasi yang akan tertabrak. Nampaknya ia perlu segera menyekolahkan lidahnya di SPLTL (Sekolah Pendidikan Lidah Tingkat Lanjut).     

Hani Awaliyah. Sebenarnya, kami sama sekali tak meyakini ia memiliki darah Eropa. Tapi entah kenapa, ia keukeuh dipanggil Bule. Memang sih, segala syarat yang ia miliki di tubuhnya, cukup untuk itu. Hidup si Bule bisa dibagi dalam tiga bagian. Rumah, sekolah, pacar. Selebihnya, ia nyaris tak tahu apaapa. Jadi bagi kalian yang mendambakan perempuan cantik berwawasan secemerlang Sarah Sechan, jangan harapkan itu dari Bule. Ia tipe perempuan kampung yang tersesat hidup di kota. 

Naszalillah Ida Gabe Nasution. Mengamati susunan namanya, besar kemungkinan gadis ini berdarah Arab-Bali-Batak. Tapi semua itu hanya isapan jempol belaka. Geby—nama panggilan yang ia sukai, adalah murni anak Batak yang anehnya belum pernah ke Danau Toba—tanah leluhurnya. Tak ada kesan feminin dalam penampilannya saat itu. Ia hanya memakai paduan kaos biru dan celana pendek, dilengkapi sepatu kets tanpa kasut. Tubuhnya menjulang 167,8 cm. Wajar jika kemudian ia terlihat seperti pentolan rombongan. Dalam keseharian, mental pentolan itu memang jadi miliknya. Ia tak segan mendamprat kakak kelasnya yang lakilaki bila berlaku sewenangwenang pada teman sepermainannya. Hatinya seperti Xena, kekasih Hercules.

Lia Indah Pramesti, yang lebih senang dipanggil Gojali/Jali. Nama yang lebih dekat pada Godzila. Entahlah. Ia adalah ketua Semoet periode 2013-2014. Takdir memaksanya berpisah dari perilaku manja sebagai bontot dari tiga bersaudara. Pernah dengar suara kaleng kerupuk kosong jatuh ke lantai? Nah, begitulah kiranya suara Jali bila sedang ikut ambil bagian dalam obrolan tak bermutu bersama para anggotanya di Semoet. Ia punya bakat jadi perempuan yang baik. Totalitas bekerjanya sama persis dengan kuli bangunan. Ia juga bertanggungjawab dan gemar mencontohkan cara mengerjakan sesuatu pada para anggotanya tanpa harus berkoakoak laksana gagak.    

Ghea Kusuma Dewi. Gadis ayu delapanbelasan berdarah Jawa-Sunda. Aku senang bertukar dialog dengan Ghea dalam Bahasa Jawa. Terdengar lucu dan menggemaskan. Alumni Idola Cilik ini punya kegandrungan yang sama seperti Syilfa. Bedanya, ia fasih bernyanyi dan gemar berjoget. Tubuhnya seperti disusun dari  tangga nada. Musik apa pun yang ia dengar, bisa membuat tubuhnya bergoyang. Tak ubahnya masmas katrok yang sedang dilanda alunan dangdut Rhoma Irama.

Salahsatu gadis paling dewasa di antara rombongan Semoet adalah mojang Priangan. Sebut saja ia Putri (padahal itu nama aslinya). Ia dan Ghea kakak beradik berbeda ayah-ibu. Tapi garis darah mereka dipertemukan lewat jalur ibu—yang mewarisi bakat menyanyi. Keduanya adalah keponakan biduan kondang legendaris, Dian Pisesha. Putri dianugerahi tuhan tubuh sintal setinggi pohon terung, warna kulit seperti biji kopi muda, rambut mayang terurai hitam kemilau surya. Mojang geulis ini sejatinya berbakat jadi penyanyi yang baik. Sayang, ia malah menekuni bidang studi psikologi. Mungkin kelak, ia bisa jadi penasihat kejiwaan para penyanyi papan atas. 
  
           Reni adalah salahdua gadis dewasa yang mau saja menemani kami. Sejatinya, ia adalah alumni Semoet pada zaman purbakala. Beruntung ia masih diberi kesempatan oleh tuhan untuk hidup di zaman teater modern yang cerdas, dan diberi cahaya terang hingga kemudian menggunakan hijab. Sepanjang jalan, ia lebih banyak bicara pada ponsel. Sialnya, kami gagal mengerti bahasa apa yang ia gunakan saat berbicara dengan ponselnya itu. Sesekali ia juga berfoto selfie. Mungkin sebagai bukti bahwa ia benarbenar telah menaiki kereta menuju Semarang. Tapi biarlah, semoga cukup membahagiakan hatinya. Itu jauh lebih baik dibanding ia harus tersiksa bila berbicara dengan si Tante.

Antara Semoet, Semarang, dan Srintil
Setiba di Stasiun Poncol, Semarang, pada pukul 22.23 Wib, kami menunggu kedatangan tuan rumah berhati dewa, Edhie Prayitno. Ia tipe lelaki Jawa tulen. Doyan bercanda dan keramahannya serius betul. Beliau menyilakan kami menempati rumah budenya yang masih kosong sejak pertama dibeli. Rumah itu berada persis di tusuk sate, di wilayah Pedurungan. Ini pertanda buruk yang terlambat kami sikapi.

            Sepintas lalu, rumah itu terlihat seperti rumah biasa. Berpintu, berdaun jendela, bercat putih, memiliki dua kamar, satu kamar mandi, dan dapur di bagian belakang. Saat kami memasuki rumah itu pada malam Jumat, teror mental segera dimulai. Tuan rumah belum sempat membersihkannya. Maka bekerjalah pasukan Semoet merapikan apa saja yang bisa dirapikan. Asal tubuh yang lelah bisa rebah. Tapi apa lacur, ruang tengah itu seketika berubah jadi ruangan yang sedang digodok tungku raksasa dari bawah tanah. Kalau kata orang Semarang, “Puanase pol ...!”

            Pada malam Sabtu, akhirnya punggawa Semoet berkesempatan unjuk gigi di FDPN. Penampilan mereka membawakan reportoar "Google Generation" yang kami godok bersama, sempurna dalam kacamata dramaturgi. Jauh melampaui hasil amatan terakhirku selaku sutradara ketika gladi resik. Tepuk tangan membahana di antero ruangan. Decak kagum berdatangan satu per satu. Bahkan Sasa beroleh penggemar dadakan dari penonton yang nampaknya meyakini ia adalah Melody JKT48 yang sedang menyamar. Malam itu, kami kembali ke Pedurungan dengan kepala tegak. Lalu masuk kandang yang sengak dan mulai berjibaku dengan aura panas.

Sementara aku harus merelakan diri terkantuk di teras demi menjaga mereka tidur dalam keadaan pintu dan jendela yang harus dibuka. Itulah kali pertama aku berada di tengah lingkungan yang dimanamana berbau badan perempuan. Asyik sekaligus aneh. Mereka tidur bergelimpangan tak tentu arah. Tak jauh beda dengan para pengungsi korban bencana alam. Lucu. Saatsaat sendiri inilah aku berdialog dengan seorang bapak berkumis tebal yang kemudian menurut penuturan Ghea pada pagi harinya, tak berwujud. Karena ia sempat mencuri dengar pembicaraan kami dan melongok ke luar rumah. Tragis. Malam itu aku bicara dengan bapak dari kaum lelembut.

            Akibat membawa rombongan anak remaja yang beranjak besar, aku terpaksa meladeni langkah kaki mereka menuju Simpang Lima—sambil bertemu mamanya Geby yang datang menyusul dari Tangerang, sekalian bermalam Minggu sambil mengamen lagu apa saja. Gadisgadis gila ini memang sudah pada putus urat malunya. Mereka cantik dan percaya diri. Ini modal besar bagi anak muda untuk tumbuh kembang. Mereka bermain riang sepuas hati. Begitu bebas dan bahagia. Sebuah momen istimewa lagi mahal yang mungkin takkan bisa diulang sekali seumur hidup. Malam itu, kami pulang ke Pedurungan dengan uang hasil mengamen sebesar Rp250-an ribu lebih. Jos gandos!
  
          Tiba di rumah singgah, malam sudah hampir rebah menuju dini hari. Ketika semua sudah berada dalam kondisi bersih dan siap beranjak tidur, teror mental berikutnya pun dimulai. Tetiba muncul suara misterius entah dari mana. Begitu dekat. Kemudian menjauh. Aku menduga itu suara sirine pabrik. Karena tak jauh dari Pedurungan, ada banyak pabrik berdiri. Bisa juga pluit kereta yang relnya berjarak sepelemparan batu dari kami. Sayang, dugaanku tak berguna. Suara itu datang dari alam lain. Mirip suara perempuan yang sedang menjerit kesakitan, atau merintih perih. Suara yang menyayat keberanian.

Sontak pasukan Semoet yang sudah ditinggal pulang oleh Geby, duduk merapat ke tengah ruangan. Aku segera bertindak. Mencari sumber suara yang tidak senonoh itu. Namun pencarianku nihil. Malam itu pun terpaksa kami lewatkan sambil terus berjaga—sampai ayam jantan berkokok.

Pada Senin siang, kami memutuskan mengunjungi Lawang Sewu sebagai tanda telah hadir di Semarang. Kunjungan sejarah ini lantas diimprovisasi menuju tepian Jawa Tengah, yaitu Kalimanggis di Temanggung. Ajaib! Ini adalah daerah legendaris penghasil tembakau numero uno sedunia. Nama jenis tembakaunya, Srintil. Malam itu kegembiraanku melonjak setinggi langit. Aku nyaris tak percaya, tuhan berkenan mengabulkan doaku untuk bisa menginjakkan kaki di tanah subur ini. Kopi tubruk dan lintingan tembakau dibumbui cengkeh adalah pelengkap sempurna pada malam itu.

Setelah kurenungkan, ternyata tuhan menitip jawaban doaku pada Jali. Karena dialah yang memiliki sanak semenda di Temanggung. Keluarga yang rumahnya kami sambangi, beragama Buddha. Agama mayor di Kalimanggis dan sekitarnya. Meski dalam beberapa keluarga, terjadi percampuran dengan Islam. Seperti ibunya Jali yang kemudian memilih menjadi Muslim. Sebagai penstudi agama, aku sempat bertanya sendiri. Bagaimana ceritanya orang Jawa menjadi Buddha? Tapi kalau ternyata mereka memiliki leluhur dari Tiongkok, hal ini pasti jadi hal lumrah.

Dalam studi agama dunia, Buddha diyakini sebagai Nabi Dzulkifli dalam keyakinan Muslim. Dasarnya melalui kajian filologi. Buddha yang ajarannya kini menyebar ke antero dunia adalah yang ke-29. Nama aslinya Siddharta Gautama asal Kavilavastu. Di zaman ia hidup pada 2000-an tahun Sebelum Masehi, Kavilavastu masuk Jalur Sutra darat. Ujung selatannnya Nusantara, ujung utaranya, Timur Tengah—tepatnya Jazirah Arabia yang pusatnya di Kota Makkah al-Mukarromah. Orang Arab biasa memanggil orang yang mereka kenal berdasar nama laqab (daerah asal). Nama Dzulkifli bila ditasrifh, jadi Dzu al-Kifl (lelaki asal Kavilavastu). Mudah bukan menandainya?

Sehari semalam di Temanggung, sudah cukup melampiaskan rasa penasaranku pada sejarah-budaya bangsa yang besar ini. Di kejauhan, mata kami masih disuguhi pemandangan menakjubkan dari Gunung Ungaran yang menjulang. Udara dingin nan sejuk Temanggung, juga hiburan tersendiri bagi semua pasukan Semoet. Belum lagi keramahan tuan rumah yang seolah tiada putus meladeni kami. Hidup memang indah jika kita tahu bagaimana cara menciptakannya. 

Aku berterimakasih kepada Gusti Allah sebanyak daun, butir pasir, dan buih lautan di bumi. Sore harinya kami kembali ke Semarang demi menghadiri pengumuman pemenang festival. Semoet ternyata tidak berhasil membawa pulang satu piala pun—dengan alasan sederhana tapi kocak: pertunjukkan mereka paling terkini dan terlalu cerdas. Baiklah, para dewan juri. Syukurlah bila kalian mau menyadari kekurangan diri. Selamat belajar dan mari terus berkarya.

Aku jauh lebih bersyukur setelah mengetahui bahwa mental para pasukan Semoet tak melorot satu inchi pun. Toh pada kenyataanya, kami telah beroleh begitu banyak pengalaman berharga yang tak mungkin didapat di sekolah dan di rumah. Benar kata pepatah, bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Di tengahnya, tuhan menciptakan benih kenangan yang bisa diwarnai dengan tinta emas. Adikadikku yang baik, terimakasih atas segala jerih-payah kalian selama ini dalam menciptakan begitu banyak momen istimewa yang pantas kita ceritakan pada siapa saja, yang mau menghargai kehidupan sebagai berkah terindah dari Tuhan. []



           

              

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews