Nenek Bulan Sabit

 
Padi menguning di Tanjung Morawa

Mei telah menginjak hari ke delapanbelas. Tepatnya Minggu malam. Aku dan Putri baru saja kembali dari memimpin latihan Teater Semoet di Tangerang. Putri adalah keponakan penyanyi kesohor, Dian Pisesha—sekaligus warga Khatulistiwamuda yang keahliannya menyanyi dibutuhkan dalam pertunjukkan Semoet di Semarang pada 23 Mei 2014. Ketika melintasi jalan di belakang Terminal Lebak Bulus, ada sekawanan gagak yang terus mengikuti motor yang sedang kami naiki. Kusampaikan keganjilan ini pada Putri, ia menimpali sekadarnya. Namun yang membuatku tercenung adalah, siapa gerangan yang akan berangkat Pulang?

            Nuansa kematian yang kurasa malam itu, begitu kuat dan lekat. Tapi aku berusaha menghibur diri. Barangkali hanya lintasan kegelisahan belaka. Celakanya, makin ditolak malah kian merajalela. Nun jauh di Sumatera Utara sana, memang ada seseorang yang sedang bersiap menyambut kedatangan El-Maut. Sementara aku masih terus berupaya menepis sekuat tenaga perihal perasaan janggal yang sedang melilitku malam itu.

            Pada Kamis malam, 22 Mei 2014, pasukan Semoet pun mendarat dengan selamat di Semarang. Tigabelas perawan dan dua orang ibuibu, terpaksa harus kami langsir karena mobil yang dipakai jenis kijang keluaran 90-an. Pada saat langsiran kedua tepat pukul 23.46 Wib, intuisiku ketika membonceng Putri dalam perjalanan pulang dari Tangerang itu, terjawab. Sebuah pesan singkat masuk via WhatsApp dari sepupuku di Medan, “Innalillahi wa inna ilaihi rozi’un. Nenek sudah berangkat menuju Sang Ilahi.”

            Usai membaca pesan itu, seketika darahku berdesir tak karuan. Kerongkongan seperti tercekat oleh suara sendiri. Belum cukup, Ibu menyempatkan diri meneleponku. Suara riuh rendah dalam mobil seketika lenyap tatkala aku melafalkan kata yang sama seperti berita kiriman sepupuku itu. Sepanjang jalan menuju rumah yang akan kami singgahi di Pedurungan, mataku terus menembus jauh, jauh sekali, ke masa lalu. Masa di mana aku tumbuh di bawah asuhan nenek yang memungkasi usianya pada angka 85 tahun.

            Nenek lahir ketika Bung Karno telah berusia 23 tahun, yaitu pada 1929. Sayang, Beliau tak tahu tanggal dan bulannya. Tapi sepanjang yang kutahu, itu bukan semata ia tak ingat. Karena ingatannya setajam intan. Nenek tak beroleh informasi apa pun dari orangtuanya, terkait tanggal-bulan kelahirannya. Beliau turut mengalami aroma revolusi dan dua kali masa penindasan oleh Belanda dan Dai Nippon (Jepang). Perawakannya hanya setinggi 150 cm. Sorot matanya sanggup menelan badai dan memeram perih.

Nama nenekku, Siti Arbaiyah. Aku lebih senang mengenangnya sebagai Nenek Bulan Sabit. Dari mana nama itu kuperoleh? Begini kisahnya.

            Meski bermarga Lubis, nenek besar di Madiun, Jawa Tengah. Kekejaman Jepang memaksanya hijrah ke Medan, Sumatera Utara. Di kota inilah, nenek bertemu jodohnya yang kelak kami panggil atuk. Panggilan itu berasal dari kata datuk berdasar tradisi Melayu. Karena atuk berdarah Brunei Darussalam. Setelah keduabelas anaknya tumbuh dewasa dan sebagiannya sudah menikah, atuk memboyong keluarga besarnya ke Tanjung Morawa. Di tepian jalan raya Medan-Jakarta, beliau membangun rumah gedong berbentuk huruf U. Inilah rumah tempatku tumbuh berkembang bersama beberapa orang sepupu.

            Di lingkungan baru ini, ada banyak Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera) yang juga membangun keluarga. Maka jadilah kami tumbuh di tengah dua masyarakat dari suku terbesar di Nusantara. Hasilnya, lidahku adalah perpaduan manis dialek Melayu-Jawa. Di rumah kami bermelayu ria, di lingkungan sekolah dan bermain, menjadi Jawa. Sebagai anak yang lahir pada era 80-an, aku masih mengalami kondisi kampung yang tak banyak dialiri listrik. Maka tak ayal, bila tiba malam bulan purnama, semua anak kecil akan berlari berhamburan dari dalam rumah, demi bermandikan cahaya rembulan sambil bermain apa saja yang diinginkan.

          Nenek adalah orang pertama yang dengan tekun menggiring kami para cucunya, bermain di luar rumah jika bulan bulat sempurna. Nenek jua lah yang menarik kami keluar rumah pada malam terakhir Sya’ban, demi mengintip kedatangan Ramadhan. Sampai usiaku mendekati kepala tiga, kami semua masih menggantungkan keputusan berpuasa pada hasil terawangan nenek ke bulan. Sungguh. Ia berbakat astronom. Bedanya, ia tak menggunakan teropong bintang, astrolabe, atau armilari sperik, melainkan hanya berbekal selembar selendang hitam. Setelah beranjak dewasa, kemampuan nenek ini kubuktikan secara saintifik, dan ternyata benar. Nampaknya, nenek punya keterikatan batin pada bulan.

            Selendang hitam yang dipakai nenek menerawang bulan, biasanya akan digilir ke kami satu per satu. Kesabarannya menjelaskan tata cara menghitung guratan pada bulan tandan tua dan tandan muda, membuka cakrawala berpikirku. Ya, dunia bisa dimengerti hanya dengan cara yang paling sederhana sekali pun. Sampai saat ini, aku tak pernah kehabisan cara mengagumi setiap kedatangan bulan sabit. Nenek berandil besar mematri hatiku mencintai keindahan alam berbekal caranya yang begitu bersahaja.

Pohon Keluarga dan Godmother Sejati
Sering aku membayangkan apa yang ada dalam pikiran nenek bila ia melihat anak-cucu-cicit-canggahnya berkumpul pada hari Lebaran? Dari dirinya, telah lahir 12 orang anak, 38  cucu, 40 cicit dan satu canggah. Di antara puluhan cucu itu, aku adalah yang paling sering berinteraksi dengannya. Nenek berhasil mengajariku cara makan yang Benar, dan kukira, Beliau adalah satu dari sedikit neneknenek di usianya yang sanggup mengubah sambal pedas jadi kebun bunga di lidahku.

“Kalau kau rajin makan sambal, nanti kau cepat besar,” katanya berulangulang setiap menemaniku makan. Kata ‘cepat besar’ itu kini kumengerti sebagai kedewasaan. Ya, aku lah cucu nenek yang usia dan kedewasaannya paling tidak berbanding lurus.

Nenek juga berjasa mengajariku arti kejujuran meski harus dengan cubitan di paha kiri yang luarbiasa sakitnya. Hadiah cubitan itu akan mendarat di pahaku, manakala sepulang sekolah aku dan beberapa orang sepupu nekat mandi di tali air demi belajar berenang. Tali air itu, sodetan sungai yang dialirkan membelah petakan sawah sebagai sarana irigasi, warisan presiden Suharto. Meski sudah dikeringkan angin sawah di bawah atap bangsal batu bata, nenek tetap tak bisa dikelabui. Ia cukup menggores kulit di tangan kami, melihat rambut kami yang terbakar matahari, dan tentu, mata yang merah karena terpapar air, maka cubitan legendaris itu pun mendarat sempurna di landasannya.

Aku sempat bertanyatanya, kenapa nenek begitu khawatir jika kami mandi di tali air? Setelah diberitahu para bibi dan paman, barulah kumengerti, ternyata nenek pernah kehilangan anak lelakinya karena terjepit di pintu air (dam) yang alirannya mengalir ke tali air tempat kami biasa berenang. Tapi dasar bocah ingusan. Mendengar itu, kami tak jera. Kalau tak boleh berenang secara diamdiam, mungkin jika minta izin, nenek berubah pikiran. Ajaib! Nenek malah mengizinkan. Detik itu juga aku sadar arti kejujuran.

Kata filsuf Yunani, Aristoteles, "We are what we repeatedly do; excellence, then, is not an act but a habit." Tradisi mencubit itulah yang kini kutularkan ke siapa pun mereka yang ingin belajar mengenal dirinya, bersamaku. Pasukan Semoet adalah yang paling sering mengalaminya. Dari kenekatan berenang di tali air itulah, aku juga jadi tahu betapa sebagai anak Nusantara yang dua pertiga wilayahnya dikelilingi lautan, kita wajib bisa berenang. Kemampuan berenang ini pula yang sekarang jadi kebanggaan tersendiri bila aku berkunjung ke pedalaman yang dilintasi aliran sungai. Aku tak segan menceburkan diri dan menikmati airnya sepuas mungkin.

Sebagai induk dari keluarga kami, aku bisa merasakan betapa berat beban yang dipikul nenek sejak atuk tiada. Ia harus membesarkan anakanaknya seorang diri tanpa mengeluh, dengan berjualan sayur-mayur. Ia menuntun cucunya satu demi satu agar tak terjerembab ke lembah nista. Meski sebagian besar anak perempuannya terlihat sedang mengulangi nasibnya sendiri, tapi nenek tetap tenang seperti batu karang. Ia seolah menyadari betul, bahwa “lingkaran setan” keluarga seperti sebuah keniscayaan. Tak bisa dinafikan. Harus dijalani sebagai sebuah proses menjadi sempurna. Menyelami nenek, aku kembali menemukan mutiara manikam dari dalam kehidupannya: Beruntunglah orang yang pernah menderita. Kerana dibalik penderitaannya, ada sejumput kebahagiaan—yang ‘kan melatihnya terampil mengurai luka.

Nenek, Ibu, dan Guru
Bagiku, nenek adalah ibu sekaligus guru. Sebagaimana laiknya perempuan yang lain, nenek adalah ibu dari anakanaknya dengan cinta tak bersyarat. Ia mencintai kami, bukan sebab kami baik, membanggakan, atau bahkan memalukan—tapi kerana kami adalah anak keturunannya.

            Tiga hari jelang Ramadhan, nenek pasti memanggilku untuk membawa baskom berisi makanan lezat ke masjid. Di masjid, sudah menunggu puluhan baskom lain nantinya akan saling bertukar. Orang Jawa di kampung kami menamai tradisi ini sebagai munggahan. Nah, dari sekian banyak jamaah yang hadir membawa baskomnya masingmasing, hanya aku seorang yang masih kencur. Dulu, aku sama sekali tak mempertanyakan soal ini. Karena kakiku akan selalu melangkah ringan dengan hati riang, menuju masjid. Bukan karena bisa bersantap enak. Melainkan rasa senang bukan kepalang, karena di masjid, aku menjelma jadi anak yang dihormati karena membawa nama baik keluarga Nenek Bulan Sabit.

      Tanpa banyak bicara, nenek telah memberiku pelajaran berharga tentang arti penting menjaga kehormatan keluarga, percaya diri, dan berbudaya. Gelar sarjanaku sebagai penstudi agama—termasuk Islam, berbiak dari tradisi munggahan ini.

Bila tiba awal Ramadhan, nenek dengan tekun merebus air yang didalamnya terdapat beberapa helai daun pandan, tandan pinang muda, perasan jeruk limau, dan janur kelapa. Air rebusan ini, akan kami pakai mandi sore sebelum berangkat tarawih ke masjid. Harum rebusan air itu, mengalahkan sabun mandi paling wangi yang pernah kupakai. Dari momen ini, nenek mengajarku arti penampilan, kebersihan, dan kesucian. Ya, kita teramat sering mengabaikan hal sepele dalam hidup—yang ternyata penting dan bisa mengubah wajah masa depan. Laiknya burung berkicau, bunga bermekaran, rinai hujan yang jatuh satusatu di atas pelangi, hidup adalah sukacita abadi. Seolah dengan kebiasaan itu nenek ingin mengatakan dari Alam Baqa sana, “Membuat hidup jadi indah, semudah menjadikannya bertambah susah.”

      Nenek Bulan Sabit juga gemar bercerita, persisnya mendongeng. Ia pernah mendengar pidato menggentarkan Bung Karno di Lapangan Merdeka, Medan; Ia pernah makan kulit batang pisang di zaman Jepang; Ia belajar dengan menggunakan batu lai di Sekolah Rakyat; Mampu menghitung lebih cepat dari kalkulator; Menguasai Bahasa Belanda; Ia adalah anak angkat dengan status suami yang sama dengannya; Ia juga mahir mengisahkan riwayat Pak Belalang, Lancang Kuning, dan Hang Tuah; serta banyak cerita mengagumkan yang lain. Kini aku memaknai cerita nenek itu menjadi: Ingatlah, keberadaan kita pada hari ini, terjadi setelah kita menginjak banyak bahu orangorang terbaik di masa lalu. Belajarlah berterimakasih pada hidupmu.

            Jika tak bisa berbuat banyak, setidaknya lakukanlah satu hal penting dalam hidupmu.

         Setelah kurenangkan sedalam mungkin, ternyata apa yang telah diajarkan nenek itu adalah saripati Islam yang telah ia peras sedemikian rupa selama puluhan tahun hidup yang ia jalani. Nenek telah menunjukkan secara gamblang bagaimana menjadi Muslim dalam balutan budaya. Ia juga telah menanamkan modal besar dalam hidupku, yang ternyata berguna dalam banyak sisi kehidupan yang kujalani. Melihat hidupnya yang sarat pengorbanan dan pengabdian, aku seperti terpanggil melakukan hal yang sama. Aku jadi teringat petuah dari pesantren yang sering disampaikan kawankawan yang pernah menjadi santri, “Al-'ilmu bi ta'alum, wal barakah bi al-khidmah: Ilmu diperoleh melalui belajar, sedang keberkahan diperoleh dengan pengabdian.”

Marcel Proust pernah berujar, "The real voyage of discovery consists not in seeking new landscapes, but in having new eyes." Selepas kepergian nenek, aku diberkahi mata baru dalam menilai hidup ini. Bila hati sudah merekah, kita bisa melihat bunga di mata setiap orang. Dalam semesta ciptaan ini, tiada yang lebih indah selain Keindahan itu sendiri. Sebagai pecinta dan pegiat buku, diamdiam aku pun bersepakat dengan apa yang pernah dikatakan oleh St. Augustine, “The world is a book, and those who do not travel read only one page."

Selepas kepulangan nenek, dapat kubayangkan betapa hambarnya rumah masa kecilku itu. Tak ada lagi “tiang penyangga” yang dengan sabar menanti kedatangan anak keturunannya pada setiap Lebaran. Tiada pula sosok perempuan hebat yang sanggup meredam kegelisahan anakanaknya tentang masa depan. Di selatan Jakarta ini, 5000 km dari Kota Medan, aku hanya sanggup membayangkan lintasan masa lalu berkelebat dalam ingatan. Tentang tumpukan jerami yang biasa kami pakai main layangan. Pak tani yang mengajari kami cara memanggil angin hanya dengan bersiul, serta kenakalan kami mencuri timun dan rambutan di kebun milik tetangga rumah. 


Terimakasih atas segala yang telah nenek beri kepada kami selama ini. Tanpa hadirmu, aku tentu hanya setitik debu di jagat raya ini. Semoga tuhan mengganjar nenek dengan lencana emas bertatahkan safir, dari surga. Sampai usiaku ditutup nanti, jasa nenek tetap tak mampu kubalas—kendati dengan cara apa pun. 

Akhir kalam, selamat jalan nenenda. Tolong sampaikan salam kami pada al-Haq, Raja Diraja semesta, juga pada kekasih-Nya yang luarbiasa itu, Muhammad Saw—serta pada keluarga dan para sahabat utamanya. Semoga kita segera bersua, Nek. Sebelum karangan ini berakhir, awak hadiahkan pada nenek pahala membaca Al-Fatihah, dan sebait puisi dari Sitor Situmorang:

Mari, Dik, tak lama hidup ini
semusim dan semusim lagi
burung pun berpulangan. []

Kebaya yang sering dipakai nenek ketika aku kecil




Teruntuk Nenek dan pamanda, Syamsul Bahri—yang Pulang bersama ibunya, pada Rabu yang dini, sebelas Juni 2014.

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews