Fajar
Sodiq/Diego Bunûel |
SEDARI
masa pemerintahan Sultan Kartikeyasingha II memegang tampuk kekuasaan bersama
Shri Ratu Sima di Kesultanan Kalingga pada 648 M—atas titah Imam Ali r.a,
dikenal sebuah tradisi luhur bernama pisowanan
alit. Agak sulit mencari padanan frasa ini ke dalam Bahasa Indonesia. Tapi
terjemahan harfiahnya bisa berbunyi begini; upaya permintaan hak dengar oleh kawulo (rakyat) pada seorang gusti (pembesar) kesultanan. Si kawulo akan duduk di tengah alun-alun
yang berhadapan langsung dengan paseban pembesar. Hingga kemudian ia dipanggil
masuk untuk menyampaikan keluh-kesah, uneg-uneg, atau kritikannya.
Berdasar
hal serupa di atas, kami pun memilih jalan yang sama atas kehendak pribadi dan
tidak mewakili kepentingan golongan mana pun. Namun semata demi kemaslahatan
bangsa Nusantara. Maka perkenankanlah kamiyang fakir ini menyampaikan pisowanan alit versi terbarukan kepada
Kanjeng Gusti Jokowi.
Salam
damai dari kami, di mana pun panjenengan
berada.
Sejujurnya,
kami bangga sekaligus bungah ketika mengetahui bahwa panjenengan akhirnya berkenan maju meneruskan tongkat estafet
kepemimpinan dari presiden keenam Republik Indonesia. Pasalnya sederhana,
keberhasilan panjenengan menata Solo
(Surakarta) hampir dua periode, dan dua tahun memimpin Jakarta dengan torehan
prestasi mengagumkan dalam skala dunia. Lebih dari itu, kami tak melihat dan
mencermati kesan lain. Selain Sukarno dan Gus Dur, negeri ini patut bersyukur
dianugerahi pemimpin sekaliber panjenengan
yang dengan gagah berani membela rakyat hingga ke ruang paling musykil.
Kami
yakin sepenuh hati, kelak panjenengan
akan memimpin bangsa ini ke depan—setidaknya dalam tempo lima tahun mendatang.
Atas dasar itulah kami memberanikan diri menyampaikan kritik-saran yang semoga
berguna bagi kemaslahatan bangsa. Kritik kami jelas mengarah pada visi panjenengan bila nanti menjabat selaku
presiden. Saran kami pun, tentu ditujukan sebagai penguat misi kabinet yang
akan dibentuk.
Enam
visi besar terkait ranah Pendidikan,
Pertanian, Kelautan, Energi, Infrastruktur, dan Administrasi Birokrasi yang
kemudian bertalian dengan misi Revolusi Mental, Indonesia Pintar, Indonesia
Sehat, Tol Laut, dan Pembangunan Indonesia Timur, sudah lebih dari memadai
untuk dikerjakan lima tahun ke depan. Panjenengan
lebih paham bagaimana cara mewujudkannya. Kami percaya itu. Tapi ada yang
nampaknya terlewat begitu saja, padahal perannya penting dalam upaya
mendongkrak harga diri bangsa dalam kancah global. Lantas apakah yang tak terpikirkan itu?
Ketahanan
Pangan & Penyelamatan Agraria
MENGEMBALIKAN HARKAT MARTABAT bumi (tanah) pada peran asalinya sebagai Ibu manusia, saat ini
tak bisa ditawar lagi. Bahkan tingkat keseriusannya harus berjalan beriringan
di semua negara dunia. Termasuk Indonesia yang notabene adalah negara agraris cum bahari. Meredam laju konversi lahan
pertanian jadi ruang industri itu, bagus; Menyuplai pupuk pada petani, juga
bermanfaat; Membangun terminal agro tentu berguna bagi rakyat.
Namun
yang tak kalah pentingnya adalah, melepaskan ketidakberdayaan bangsa ini melawan
cengkeraman negara maju yang ingin mengangkangi Indonesia—terkait soal
pemberdayaan lahan. Kenapa kita harus menyoroti soal ini? Lebih dikarenakan,
negeri yang sama kita hidupi sekarang adalah pusat agraria terbesar dunia. Lahan
tempat bergantungnya negaranegara Teluk, Timur Tengah, Korea Selatan, Jepang,
Cina, Uni Eropa, Amerika Utara, terkait soal pangan.
Sudah
terlalu banyak petani yang hidupnya berkalang kemiskinan dari tahun ke tahun.
Lahan mereka kian menyempit diterjang konglomerasi bisnis—properti dan
industri. Ini hanya sekelumit cerita saja yang barangkali juga sudah panjenengan ketahui. Masih ada soal lain
yang membuat mereka seolah mati angin. Bertani salah, tak bertani tambah
masalah.
Sebagian
kecil masyarakat dunia kini mengenal istilah land grabbing: akuisisi lahanlahan pertanian, yang jika ditelusuri
pola kerjanya, tak jauh beda dengan kolonialisme model baru. Setali tiga uang
dengan penguasaan lahan di zaman Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles
dulu. Negaranegara Teluk yang berniat menghentikan produksi gandum mereka pada
2016, mulai mencanangkan alih daya (outsourcing)
pengendalian proses produksi pangan dunia.
Sebagai
studi kasus, di Bangun Purba, Sumatera Utara, soal akuisisi lahan itu bisa
dipelajari dengan baik seluk likunya. Ke mana pun mata memandang, yang tampak
hamparan sawah belaka. Namun sejatinya wilayah ini dikepung oleh perkebunan
sawit dan karet sisa penjajahan Belanda awal Abad-19. Bahkan di Pulau Sumatera
yang memesona inilah, kapitalisme Barat mulai menancapkan kukunya kali pertama
di dunia, di tanah yang pada era Dinasti Tiongkok diberi nama Svarnadvipa—karena kandungan emasnya
yang melimpah.
Tanah
luas itu dikuasai Perimex (Perusahaan Impor Export), PTPN (Perseroan Terbatas
Perkebunan Nusantara) III Tanjung Morawa, dan PT London Sumatera Tbk (Lonsum)
yang sahamnya dikuasai Salim Grup. Sepanjang jalan hanya ada perkebunan sawit,
karet, sawit, dan karet. Meski sesekali terlihat sepetak sawah atau kebun
singkong terselip di antara jejeran sawit yang berdiri angkuh. Petakan sawah
atau kebun kecil yang ada itu, adalah milik rakyat yang notabene petani miskin.
Sementara perusahaan yang dikendalikan dari jarak ribuan kilometer dari luar
Indonesia sana, beroleh lahan beribu hektar untuk dikeruk keuntungannya secara
semena-mena.
Lantas
apa bedanya Perimex, Lonsum, dan PTPN III? Jawabannya ada pada fasilitas
perumahan dan lapangan sepak bola yang bisa dilihat sepanjang kiri-kanan jalan.
PTPN III atau Perimex memang memiliki perumahan karyawan dan lapangan
sepakbola, tapi tak sebagus Lonsum—yang semua fasilitasnya terawat baik lagi
bersih. Sejarah bercokolnya Lonsum erat kaitannya dengan kolonialisme yang
enggan angkat kaki dari negeri ini. Mulanya, Belanda memang sudah mulai
membudidaya tanaman sawit dan karet di Sumatera, demi membiayai kegiatan
kolonialisnya di antero Asia-Afrika. Namun pascaIndonesia merdeka, Sukarno
selaku presiden pertama, melakukan nasionalisasi semua aset Belanda yang masih
tersisa. Dari sinilah masalah bermula.
Bayi
Indonesia yang waktu itu merangkak pun payah, tak mampu mengendalikan
perusahaan raksasa-transnasional pertama dunia sebesar Lonsum. Sehingga
dikembalikanlah hak pengolahannya kepada pemilik awal, yaitu Kerajaan Inggris.
Saat Suharto berhasil merebut kepemimpinan dari Sukarno, kebijakan pun berubah
drastis. Perimex dan Lonsum dipersempit ruang geraknya dengan pendirian PTPN III. Namun masalah tetap menjadi masalah di
tingkat petani. Baik Perimex, Lonsum maupun PTPN III, tak memberi kesempatan
pada buruh yang adalah petani setempat, menjadi makmur dan sejahtera.
Sejak
perkebunan berdiri, bahkan sampai kini mereka beranak-pinak, keluarga buruh
tani tetap statis taraf hidupnya. Nyaris tak ada yang berubah di sini secara
fisik. Sedari infrastruktur sampai suprastrukturnya. Hal ini kami amini sendiri
karena telah melihatnya saat masih kecil dulu di PTPN III. Di sini, waktu
serasa berhenti merambat. Hanya manusianya saja yang nampak tumbuh. Tapi
situasi di sekeliling mereka mukim, tak jauh lebih baik tinimbang era
penjajahan dulu. Menyedihkan dan menggiris hati.
Di
Indonesia sekarang, melalui konsorsium 15 perusahaan, Arab Saudi mendirikan
Merauke Integrated Food and Energy Estate di atas lahan 1,6 juta ha. Belum di
negara pertanian lain sekitaran Asia Tenggara. Ini menjadikan akuisisi lahan
pertanian berlangsung massif. Dari data yang diolah International Food Policy
Research Institute (2009), akuisisi lahan pertanian di negara berkembang oleh
negaranegara kaya sejak 2006 mencapai 15-20 juta ha, atau setengah luas daratan
Eropa dengan nilai transaksi US$ 20-30 miliar. Gila!
Belum
lagi jika mengamati upaya busuk korporasi raksasa agrobisnis lain seperti
Cargill, Syngenta, Archer Daniel Midlands (ADM), Bayer, dan Monsanto. Juga
lembaga asuransi raksasa, seperti Goldman Sachs dan Morgan Stanley serta Black
Rock Inc—penyedia dana investasi terbuka terbesar dunia yang juga mengakuisisi
tanah. Saat ini, ada lebih 90 lembaga penanam modal baru yang dibentuk khusus
berinvestasi langsung di Afrika-Asia melalui akuisisi lahan pertanian.
Kita
sedang dicengkeram “gurita.” Semoga panjenengan
bisa merasakan hal sama seperti kami dan jutaan petani Indonesia serta dunia.
Segeralah
membendung liberalisasi ekonomi dengan mengamandemen Undang-Undang Penanaman
Modal, yang membolehkan swasta asing masuk ke semua lini, termasuk pertanian,
yang targetnya adalah penguasaan lahan seluasluasnya. Jika hal ini terus
diabaikan, bukan tak mungkin, kelak Indonesia meski mengimpor pangan (mengemis)
pada negaranegara Teluk, Uni Eropa dan Cina. Tak ubahnya ayam mati di lumbung
padi. Namun ini masih belum cukup. Karena diakui atau tidak, Indonesia bukan
negara kontinental (berbasis daratan), tapi oksidental (berbasis lautan).
Tonggak
Spiritualitas Dunia
PANJENENGAN tentu
masih ingat dengan semboyan “Jalesveva
Jayamahe?” Sejak kali perdana mendengarnya semasa duduk di Sekolah Dasar
dulu, semboyan legendaris itu terus tertanam di benak kami dalam bentuk
pertanyaan sederhana. Kenapa para leluhur kita dulu bangga dengan lautnya?
Jawaban bernas dari pertanyaan itu
kami peroleh kemudian dalam dua buah buku bermutu tinggi. Pertama, Penjelajah Bahari:
Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika (2008) karya Robert Dick-Read. Kedua, Majapahit Kesultanan Islam (2014)
karya Herman Sinung Janutama. Menopang kehidupan nelayan supaya mereka hidup
layak, itu bagus; Menyediakan kapalkapal besar pengangkut manusia dan barang dengan
membangun tol laut, itu berilyan. Namun ada sejarah besar dibalik itu semua
yang harus disadari betul peran sertanya dalam membentuk bangsa yang gagah
perkasa bernama Nusantara ini.
Sebagai satusatunya negeri samudra
di dunia, yang diapit tiga lempeng gempa paling mematikan (Eurasia,
Indo-Australia, dan Pasifik), negeri ini sudah diperhitungkan posisi pentingnya
sejak satu-dua alaf silam oleh bangsa lain. Jalur Sutra Laut dan Sutra Darat
adalah kuncinya. Indonesia berada di ujung paling selatan dari kedua jalur itu.
Maka tak heran bila ada begitu banyak bandar penting di sini—bahkan sejak era
Fir’aun dan Hamurabbi berkuasa di Mesir. Beberapa yang paling ramai adalah, Bandar
Khalifah (Aceh), Barus, Sunda Kelapa, Tuban, Gresik, Lasem. Semua bangsa
kontinental tak punya jalan lain kecuali menunggu kiriman segala produk budaya,
pengetahuan, dan perkembangan agama dari tanah ini. Saking tak berdayanya,
Columbus harus matimatian tersasar ke Amerika yang ia yakini betul sebagai
Nusantara.
Segala komoditi terbaik dan
puncakpuncak peradaban manusia, ada dan bermula dari Nusantara. Hasilnya, laju
perdagangan serta akulturasi manusia dunia, bersemai di sini. Jadilah Nusantara
memiliki ribuan bahasa, lima ratusan suku, yang semuanya terasimilasi dengan
baik oleh sebuah ajaran luhur monoteistik warisan Nabi Ibrahim a.s (Abrahamik)
yang disalahtafsirkan para orientalis sebagai agama Hindu. Padahal Islam telah tiba
di sini, nyaris bersamaan dengan Imam Ali karamallahu
wajhahu menginjakkan kakinya di Nusantara dan membantu pendirian Kesultanan Kalingga pada Abad ke-7 M.
Rantai kesultanan Islam ini terus menguat
hingga Kesultanan Majapahit berdiri (1293) dan mencapai puncak kejayaan dengan
dwitunggalnya, Sultan Hayyun Waraq (bukan Hayam Wuruk) dan Gaj Ahmada (bukan
Gajah Mada) melalui Sumpah Palapa yang luarbiasa: “Tan ayun amuktia palapa, lamun huwus kalah Nuswantara isun amukti
palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjung Pura, ring Haru, ring
Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik (Singapura), samana isun
amukti palapa.”
Dalam
sumpah tersebut, terselip kata nuswantara
yang tersusun dari kosa kata Sanskerta: nuswa+swa+anta+tara. Nuswa artinya negeri patirtan (perairan) subur makmur. Swa, berdiri sendiri dan berdaulat. Anta, kesatria gagah perwira. Tara, artinya trah manusia suci—avatara (nabi, wali, kiyai, ulama). Nama
itu terekam dalam banyak teks kuno karangan pelancong Tiongkok dan Arab pada
awal Masehi. Penamaan ini sekali lagi menegaskan bahwa kita adalah bangsa yang
di dalam darahnya mengalir misi suci spiritualitas sejak era Nabi Ibrahim a.s
hingga Nabi Muhammad Saw.
Sinar
kejayaan Majapahit terus berlanjut hingga pada Kesultanan Banten (1527–1813).
Secara keseluruhan, ada sekitar 300-an kesultanan yang pernah memerintah di
sini secara bergantian dan turun temurun. Lantas kenapa harus spiritual dan
Islam?
Fakta yang tak bisa dibantah hingga
hari ini adalah, Indonesia adalah negara dengan penganut Islam terbesar dunia. Pada
2010, penganut Islam di Indonesia sekitar 205 juta jiwa atau 88,1 persen dari
jumlah penduduk. Muslim di Indonesia juga dikenal dengan sifatnya yang moderat
dan toleran (Kompas, 2012). Islam sendiri
telah menjadi agama dengan penganut terbesar di planet biru ini. Jumlah
penduduk dunia pada 2013 adalah 7.021.836.029 jiwa. Sebaran menurut agama
adalah: Islam 22.43%, Kristen Katolik 16.83%, Kristen Protestan 6.08%, Orthodok
4.03%, Anglikan 1.26%, Hindu 13.78%, Buddha 7.13%, Sikh 0.36%, Yahudi 0.21%,
Baha’i 0.11%, Lainnya 11.17%, Non-Agama 9.42%, dan Atheis 2.04% (www.30 days.net, 2014). Jadi selain
diamanahi sumber daya alam paling melimpah seantero bumi, panjenengan juga dititipi sumber daya manusia yang agamanya adalah
penyempurna dua agama samawi sebelumnya: Yahudi dan Nasrani. Agama dengan
bangunan epistemologi paling adekuat, ushuluddin
(landasan) paling kukuh, dan syariat (perangkat) terlengkap menuju tangga
spiritual (tariqat, makrifat, dan hakikat).
Secara tegas dan santun, Islam mengatur
pemeluknya hidup disiplin secara fisik dan batin sedari bangun tidur hingga
beranjak ke peraduan lagi. Tak satu lini pun dalam kehidupan manusia yang alpa
dari aturan dan pengamatan Islam. Mohon maaf, tawaran kami ini jelas jauh dari
unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Golongan). Karena sejak era nabi kita
Muhammad Saw hidup di Makkah dan Madinah, para penerusnya telah membuktikan
kejeniusan Islam menata peradaban manusia.
Damaskus,
Baghdad, Andalusia (Spanyol), Kairo (Qohira), Istambul, Isfahan, Samarkand, adalah
kotakota permata dunia yang rekam jejak kebesarannya tercatat dengan tinta emas
dalam sejarah. Bukan dengan mendeklarasikan berdirinya kekhalifahan atau negara
Islam, tapi dengan mengejawantahkan aturan Islam dalam perikehidupan manusia
yang pusparagam jenis dan laku hidupnya. Kisah kegemilangan Islam bersama dua
agama samawi itu, dijelaskan dengan baik oleh Maria Rosa Menocal (2006) dalam Sepotong Surga di Andalusia: Kisah Peradaban
Muslim, Yahudi, Kristen Spanyol Pertengahan (750-1492).
Muslim Indonesia harus digerakkan lagi
elan vital hidupnya melalui masjidmasjid yang jumlahnya mencapai ratusan ribu
di negara ini.
Harus
ada upaya sistematis pengajaran serta studi Al-Quran dan Hadis di setiap
lembaga pendidikan bagi semua jenjang.
Targetnya
jelas, mencetak generasi Manusia Unggul (al-Insan
al-Kamil) di semua bidang, melalui ajaranajaran luhur Islam. Beberapa di
antaranya adalah, semangat cinta ilmu pengetahuan, cinta kasih, cinta
kebenaran, sama rata sama rasa, kepekaan, kepedulian, kesabaran, ketekunan,
berpendirian teguh, kekeluargaan, tolong menolong dalam berbuat baik, rendah
hati, kejujuran, kemandirian, keikhlasan, menghormati orangtua, menyayangi
generasi muda, dan banyak lagi—sebagaimana yang sudah kami dedah dalam tulisan
berikut: Menyelamatkan Islam Dari Muslim.
Kita
harus sama berjibaku membalik stigma bahwa Muslim Indonesia adalah Islam KTP.
Muslim
Indonesia juga harus membangun kesadaran mencintai keragaman dan menjaga
lingkungan hidupnya.
Jika
penalaran di atas bisa terwujud, besar kemungkinan Muslim Indonesia akan
menularkan semangat itu pada penganut agama lain tanpa pelecehan dengan
memegang prinsip menenggang beda. Ing
Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani (Jika di
depan memberi contoh, jika di tengah memberi dukungan-semangat, dan jika di
belakang memberi dorongan). Bhineka
tunggal ika (eka). Kata eka merujuk pada ketunggalan yang jamak. Sementara
esa merujuk pada ketunggalan yang satu dan hakiki. Maka wajar jika sila pertama
Pancasila berbunyi, Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah modal besar bangsa kita
yang selama ini terpendam di lemari sejarah. Perkara spiritualitas, jauh berbeda
dan meng-atasi ranah agama.
Bangsa
ini jadi kian karut-marut kondisinya karena ada begitu banyak orang yang
berlomba menjadi orang lain, dan lupa pada dirinya sendiri. Abai pada fitrah
kelahirannya ke muka bumi.
Demikian
surat cinta ini kami tulis. Semoga selain memikirkan begitu banyak soal
kebangsaan, panjenengan masih terus mau
berpikir visioner—bahwa bangsa ini bukan lagi boneka mainan yang bisa
dipelintir kaki-tangan dan kepalanya sesuka hati oleh bangsa dan negara lain. Bersama
panjenengan, kami rakyat Indonesia
akan terus memperjuangkan hak dan harga diri kita sebagai bangsa yang
bermartabat dan digdaya. []
Dirgahayu ke-53 Bapak Joko Widodo
No comments:
Post a Comment