Ahok: Naga Dari Belitung



Setelah membabarkan bagaimana Cinta Mati Gaya Ahok, pada tulisan kali ini kami akan mengemas kisah Ahok—yang romannya agak menyerempet kisah para pendekar silat. Kehidupan mereka identik dengan latihan, kerja keras, mengembara, dan beradu tanding, lalu menghilang bak legenda yang tak lekang oleh waktu.

Ketika masih muda dulu, setiap Sabtu Ahok sering nongkrong di rumah sakit. Tentu bukan karena sedang sakit atau sekadar bersantai menikmati suasana para pesakitan. Tetapi ternyata Ahok hobi menemani dan mendoakan orang yang hendak meninggal alias sedang sekarat.

Ketaatan Ahok dalam beragama, juga menyebabkan ia dijuluki sebagai “anak gereja.” Pasalnya, sedari era 90-an sampai 13 tahun berikutnya, ia aktif mengajar di sekolah minggu. Maka tak heran bila kemudian Ahok didapuk menjadi Ketua Majelis di Gereja Pluit Pintu Gede, Jakarta Utara, pada tahun 2000 sampai 2003.

Saat meniti karir sebagai anak gereja yang taat dan cinta damai, pada 90-an Ahok sering melayani orangorang yang tak berduit, dan hidup sebatang kara. Kebanyakan dari mereka tak memiliki cukup biaya untuk berobat. Nah pada saat itulah Ahok yang juga penggemar musik dangdut—tanpa malumalu menceritakan kepada kami bagaimana ia nyelonong masuk ke tiap kamar rawat inap demi menemui mereka.

Sedari sekadar berbincang, berdoa, hingga diakhir perjumpaan, Ahok membagikan isi kotak amal yang dikumpulkannya dari para dermawan. Padahal waktu itu Ahok hanya berstatus sebagai pemuda yang lebih suka nongkrong timbang bekerja. Latar cerita itu adalah bukti nyata betapa sebenarnya Ahok yang kini berstatus sebagai wakil gubernur DKI—dan segera menjabat gubernur Jakarta, memang telah ditempa alam untuk menjadi pemimpin masa depan. Ia begitu cekatan mengurusi persoalan remeh-temeh hingga sekarang mengurusi hal ikhwal banyak orang.

Selain suka nongkrong di rumah sakit dan gereja, ternyata Ahok juga memiliki tempat tongkrongan lain. Sama seperti para pendekar, yang kadang sukar ditebak langkah kakinya. Tak hanya doyan nongkrong di padepokan atau di kuil saja, ada kalanya pendekar menjadikan sungai, hutan, goa, atau tongkorongan saung bambu a la film silat Tiongkok (kedai makan untuk sekadar mampir minum teh manis, kopi, dan pisang rebus) sebagai ajang mengasah diri.

Meskipun hidupnya berkecukupan, anak kandung Belitung yang satu ini juga hobi nongkrong di tempat tak terduga laiknya pendekar silat, yakni di gang sempit dan kumuh, bersama temanteman setongkrongannya dari kalangan tak berada. Lorong gang kumuh di daerah Pademangan Barat, Jakarta Utara, adalah sekolah alam yang telah mendidik “pendekar” kita ini dalam menilai realitas kehidupan.

“Menonton warga yang sedang mencuci pakaian dan sikat gigi di sungai berair keruh adalah hal yang lumrah bagi kami. Saya juga pernah menyaksikan bagaimana lelaki hidung belang bertransaksi dengan pekerja seks komersial yang kala itu dihargai hanya dengan Rp5 ribu saja,” kenang Ahok.

Beradu Kesaktian
Tahun 1998. Boleh juga dibilang sebagai tahun berkabungnya Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, pada tahun itu banyak orang berkepala botak, juga bapakbapak berperut tambun yang memainkan politik devide et empera atawa politik adu domba.

Para  pendekar kacangan kelas RT dan RW bertebaran di jalan raya Ibukota. Penjarahan terjadi di manamana. Akses jalan lumpuh total selama 10 hari. Bak kemasukan setan mabuk cendol dioplos bensin, di sana-sini Jakarta nampak keos, terluka parah, dan pertempuran pun tak terelakkan lagi.

Mesin politik memanas di titik didih. Imbasnya, isu kesenjangan ekonomi yang diembuskan ke publik, menelan korban. Warga Tionghoa diburu bak binatang liar. Termasuk keluarga Ahok yang  baru saja ia bangun setahun sebelumnya.

Waktu itu, 14 Mei 1998, Ahok sedang menjemput Veronica, istrinya, yang sedang kuliah di Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci, Tangerang. Perkara itu jelas tantangan besar bagi pengantin baru ini—khususnya Veron yang sedang hamil lima bulan. Karena di banyak tempat, termasuk Karawaci, banyak perempuan jadi korban pemerkosaan lelaki tak bertanggungjawab. Belum lagi Jalan Tol Kebon Jeruk yang sudah di blokade mobil-mobil besar.

“Akhirnya kami putuskan keluarga menyatu saja di satu tempat. Jangan pisahpisah,” tutur Ahok. Pasalnya, adik kandung Ahok yang kini menjabat sebagai Bupati Belitung Timur, Basuri, sedang berada di rumahnya, di Muara Karang, Jakarta Utara. “Tiap malam dia menjadi “janda” alias jaga ronda,” seloroh Ahok.

Demi menjaga kehormatan dan keselamatan keluarga, sebagai pertahanan, A-B alias Ahok dan Basuri sudah menyiapkan molotov minyak, beberapa samurai, dan golok di rumah. Kakak beradik ini dengan mantap berduet “menjanda” untuk mempertahankan keselamatan keluarga.

Ahok mirip betul dengan bapaknya, Tjung Kim Nam, yang dengan gagah menghadapi senapan. Ia berani mentas di Jakarta nyaris tanpa bekal, kecuali tangan hampa dan kenekatan akut. Tindak-tanduk sosok yang satu ini agak sulit ditelaah kapan ia begitu berani dan kapan bertindak nekat. Keduanya samar.

Ahok sekeluarga yang mukim di kompleks perumahan Muara Karang, Pluit, Jakarta Utara, tidak ciut nyalinya untuk maju membela keluarga dan harga diri. Ia masih mengingat betul ujaran bapaknya semasa masih di Belitung, “Tiongkok itu tanah leluhur kita, tapi tanah air kita adalah Indonesia.” Bagi Ahok saat itu, tak ada alasan untuk menyerah dari kebrutalan. “Jika mereka ingin membunuh keluarga saya dan semua warga Tionghoa di Muara Karang, maka kami juga akan membunuh mereka yang berani masuk ke sini.” Itu terbukti saat seorang penyerang datang menghampiri pagar penahan di gapura depan kompleks. Karena tak menggubris peringatan warga Tionghoa yang sedang bertahan di balik pagar, akhirnya orang malang itu pun terpaksa ditembak.

“Saat itu, kami sampai berkelakar tentang perkara mati dengan kalimat seperti ini: kalau merantau ke Eropa namanya choi sie (kerja setengah mati). Kalau ke Tiongkok itu chim sie (cari mati). Nah, di Indonesia namanya ten sie (menunggu mati),” kenang Ahok tentang masamasa kelam Indonesia moderen itu. Dua cerita yang bertautan dengan soal kematian tadi, hanya bagian kecil dari bagaimana Ahok dididik bapaknya dan ditempa begitu keras oleh keadaan. Hingga ia sama sekali tak memiliki rasa takut—termasuk pada kematian.

Ahok sadar betul, posisinya di Jakarta berada di tengah mara bahaya. Sedikit banyak, pasti ada saja oknum yang ingin menghabisi nyawanya. Tapi apa yang ia sampaikan pada kami, lagilagi memancing decak kagum, “Banyak orang kaya di dunia ini. Tapi waktu mereka mati, siapa yang mengingat? Banyak juga orang miskin yang mati dan sudah pasti takkan ada yang peduli, apalagi mengingatnya! Jika saya mati sekarang, setidaknya orang sudah pernah tahu apa yang saya perjuangkan. Inilah dasar yang menjadikan para manusia hebat dikenang dalam sejarah.”

Menurut penilaian Ahok, pembantaian etnis Tionghoa tiga abad lalu (Chineezenmoord 1740) di tempat yang sama, dengan motif yang sama, dan oleh subjek yang sama seperti masa kelahiran Reformasi, adalah ulah para oknum pemerintah kolonial Belanda yang menduduki Nusantara. Pada waktu itu, koloni Belanda membutuhkan pasukan pengamanan yang mantap. Sedari jaringan militer dan senjata, komunikasi, hingga massa.

Menurut Ahok, seandainya etnis Tionghoa bergabung dengan Melayu, pihak Belanda pasti akan kelimpungan. Maka menjadi wajar jika Belanda membangun China Town. Itu supaya etnis Tionghoa tidak bermasyarakat dan mengurangi kekompakan antara etnis Tionghoa dengan Melayu. Karena membiarkan kedua etnis itu membaur sama saja seperti mendiamkan teh bercampur dengan gula. Kolaborasi pihah Melayu-Tionghoa adalah momok menakutkan bagi pihak Belanda.

Lantas bagaimana juntrungannya Ahok bisa terjun ke ranah politik Indonesia?

Berpolitik Sesudah Bangkrut
Sudah menjadi rahasia umum, sepak terjang perpolitikan Indonesia sarat dengan beragam kepentingan. Sedari zaman kisanak dan para pendekar sakti mandraguna duduk di kedai kopi, hingga zaman tuan muda dan godfather duduk di dalam mansion untuk lobi tingkat tinggi demi mencapai kata sepakat di atas meja bundar.

Hal yang sama terjadi saat Ahok kali perdana berjibaku dalam dunia politik pada 2003. Bermula ketika ia sedang menikmati kejayaan CV Panda, pabrik yang bergerak dalam usaha pakan ternak pada era 2001, ditikam belati kepentingan oleh para pejabat pengejar kemewahan dunia. Tak kenal musim, tak kenal era. Orde Baru hingga Orde Reformasi. Statusnya sebagai pengusaha selalu terjegal oleh pemangku kebijakan.

Kelakuan (Zhoung) Tjung Kim Nam, bapaknya yang doyan berkelahi dengan pejabat Belitung, tak sengaja terulang kembali, dan terwarisi pada Ahok.

Selain penggemar musik dangdut, Ahok juga dikenal sebagai corong publik yang kalau bicara agak ‘slengean.’ Kepada kami, Ahok bercerita soal momen kebangkitannya dalam ranah politik praktis yang sedari kecil sudah ditanam Tjung Kim Nam.

Usai menamatkan studi S1 Teknik Geologi, Ahok pulang kampung mengurusi perusahaan ayahnya yang bergerak di bidang timah, dan bekerjasama dengan PT Timah. Sebagaimana pepatah kuno dari Tiongkok, “Ini adalah piring dan nasi kita, maka kita harus menjaganya bersama.” Maka manajemen perusahaan pun dipegang Ahok dan pamannya.

Meski Ahok dan pamannya sudah sekuat tenaga membina perusahaan warisan Kim, tetap saja aral yang dihadapi ialah siluman berbaju dinas. Ahok menggantikan posisi Kim yang sedang sakit dan harus dilarikan ke Jakarta untuk beristirahat pada 1991. Selepas kepulangan Kim yang sudah membaik ke Belitung, prahara manajemen di perusahaan keluarga “naga” ini pun pecah. Titik didih di antara ayah dan anak pun memuncak. “Saya urusin perusahaannya, dan sudah mulai jalan. Lalu bapak saya pulang. Karena nggak cocok, kami ribut berdua,” kenang Ahok.

Tak lama berselang, Ahok pun mendapat titah, “Ibu menyuruh saya sekolah lagi. Lantas saya pilih MBA. Waktu itu saya pikir, mengambil S2 di Sekolah Tinggi Manajemen Universitas Prasetya Mulya bidang Keuangan bisa dapat tambahan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan Prasetya Mulya Group.”

Setelah bergelar master, Ahok diterima menjadi pegawai di PT Sixmaxindo Primadaya, kontraktor pembangunan listrik, sebagai akuntan. Tak lama bertahan, joki surat cinta semasa kuliah S1 itu pun mengundurkan diri. “Sewaktu saya melamar di Prasetya Mulya Group, bapak saya sakit lagi, karena perusahaannya bangkrut. Saya pun harus pulang gantikan dia,” cerita Ahok.  

Kim tetaplah Kim, sekeras apa pun pendiriannya, Ahok jelas adalah penerus perusahaannya yang paling mungkin—mengingat penyakitnya yang kembali kambuh.

Sebelum pulang, sulung dari empat bersaudara itu bingung. Pasalnya, ia harus mengatur lagi CV. Panda yang kadung karut-marut. Tak dinyana, kepulangannya pun membawa angin segar bagi keluarga ‘naga.’

Ahok memaparkan bahwa waktu itu, “Ada kerabat kami, Bapak Fasih Dewo, yang kasih uang $1 juta untuk membuka pabrik.” Maka setelah itu, bermunculanlah macammacam perusahan keluarga di era Ahok, termasuk kilang pengeboran minyak, Gravel Send Pack pada 1995. Sambil terus membereskan perusahaan timah milik Kim yang tengah limbung.

Orangtua boleh saja memiliki perusahaan, namun anak sebagai penerus tak serta-merta bisa duduk menggantikannya. Tak jauh beda seperti Putra Sampoerna, yang ditatar oleh etos kerja kakeknya, Liem Seeng Tee. Putra boleh bersekolah, tapi tak ada uang saku, tak ada fasilitas ekslusif, apalagi berharap bisa meneruskan perusahaan raksasa seperti PT Hanjaya Mandala Sampoerna begitu saja. Semua butuh proses, jalan, dan bekal yang panjang. Semata demi menjaga piring nasi keluarga.

Begitu juga yang dilakukan mendiang Soedono Salim (Liem Sioe Liong - Lin Shaoliang), pendiri Bank Central Asia, Indomobil, Indofood, Indocement, Indosiar, dan masih banyak perusahaan lain yang ia dirikan pada era Orde Baru, pada anak-cucunya.

Karir Ahok dalam dunia bisnis memang belum sebanding dengan Putra. Namun awal perjalan karier bisnis Ahok tak berbeda jauh dengan taipan Liem Sioe Liong di masa mudanya. Samasama tengah berjuang mendapatkan akses, berupa jaringan.

Bila Liem Sioe Liong menggandeng Suharto, Ahok pun tak kalah gesit. Ia membangun rekam jejak kekuatan yang baik melalui jaringan survei miliknya.

Senada dengan yang disampaikan budayawan budayawan Radhar Panca Dahana pada kami, “Bahwa kunci kesuksesan berpolitik dan berdagang sudah bukan lagi dari hulu ke hilir, tapi jaringan.”

Dilema Bisnis dan Politik
Pada 1995, niat Ahok membangun kampung halaman, menciptakan lapangan pekerjaan dengan membuat pabrik, semula berjalan baik. Namun lambat laun sampai medio 2001 ke atas, perusahaan yang ia pimpin malah jadi hamsyong alias bangkrut.

“Padahal pada 2001, saya sudah dapat uang banyak, sampai bisa mengembalikan dana pinjaman dari Fasih Dewo.” Tapi gara-gara ribut dengan pejabat di Belitung, karir Ahok dalam bisnis harus tutup buku. Ahok merasa bahwa karirnya di Belitug sudah tamat. Tak ada harapan, apalagi sekadar bangkit.

“Dalam kondisi kejepit begitu, masih ada juga tetangga yang datang meminjam uang untuk biaya berobat, dan biaya sekolah anaknya. Saya mau bantu, tapi uang saya kurang,” kenang Ahok. Hingga kemudian datang seseorang dari Partai Indonesia Baru (PIB) yang sebelumnya telah menghubungi paman Ahok untuk mengajaknya bergabung. PIB dideklarasikan oleh Mari Elka Pangestu (Féng Huìlán), anak dari ekonom terkenal Indonesia, J. Panglaykim, yang saat itu sedang menjabat sebagai menteri perdagangan Indonesia.

“Ormas yang bermetamorfosis menjadi parpol itu lagi cari ketua untuk Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Belitung,” kata Ahok.

Delegasi dari PIB itu menelepon pamannya untuk meminta nomor kontak Ahok. “Dalam hati paman saya, mana mungkin Ahok menerima tawaran mereka untuk terjun ke ranah politik,” seru Ahok sembari mengenang masamasa perdananya tercebur di kancah politik.

Ahok menganggap tawaran itu konyol. Pada pamannya ia pun berkata, “Mana mungkin saya mau. Partai besar saja saya nggak mau, apalagi partai kecil seperti itu.”

Lalu keputusan apa yang  kemudian dipilih Ahok?
Masih ingat bukan, cerita Sun Go Kong. Tokoh protagonis yang terlahir dari batu dan terkenal susah diatur. Bocah biasa itu diantar oleh takdir ke padepokan persilatan para anak dewa dan raja. Usai lulus dari padepokan, Go Kong bertapa di gua Shu Lian, dan berhasil mengusai 72 jurus perubahan. Tak hanya itu, jurus sakti awet muda pun berhasil ia kuasasi.

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ialah pria keras kepala, tak mau kalah, dan pantang menyerah. Ketiga sifatnya itu terbumikan, dan mari kita simak bersama.


Perkara 2003
Sejak pabriknya bangkrut lantaran gratifikasi yang menyedot pengeluaran CV Panda, Ahok pun mulai “bertikai” melawan pejabat. “Berantem lagi aku sama pejabat,” buka Ahok. Di tengah-tengah birokrasi ribet yang merontokkan mata pencahariannya, dan kemudian bangkrut—datang tawaran menjadi politisi dari Partai Indonesia Baru (PIB).

“Saya pikir sudah selesai dengan Pulau Belitung, karena belum bisa bantu orang miskin,” ucap Ahok. Tetapi takdir berkata lain, pada 2003 Ahok menerima pinangan dari Partai Indonesia Baru. Mulanya ada seorang utusan partai yang menelepon paman Ahok. “Om saya dipaksa, dan Om bilang; Mana mungkin ponakan sama mau, partai besar saja dia tidak mau, apalagi partai kecil begitu,” ingat Ahok. Lantaran jengkel, pamannya malah langsung memberikan nomor kontak ponsel Ahok.

Begitu Ahok di telepon oleh formatur utusan PIB, Ahok malah berkelakar dalam hati, “cocok juga nih PIB—Partai Ikut Basuki.”

Semula, Ahok diminta menjadi Dewan Pengurus Cabang (DPC), sebab pada 2003 ada kabupaten baru di Provinsi Bangka Belitung yakni Belitung Timur. Perjalanan politiknya dimulai dari Dewan Perwakilan Daerah DPRD Belitung Timur.

Bagai pendekar mabuk yang jurusjurusnya tak terduga, meski terlihat santai, dibalik itu semua—Ahok memaparkan rahasia strategi kemenangannya, “Banyak calon legislatif yang kasih duit dan makanan kepada orang untuk dapetin kursi. Nah kalau saya lakukan itu, matilah saya!”

Andai pun Ahok menang—pasti pemilih yang semula tak memilih Ahok akan meminta bagian sesudahnya. “Jangankan membagi-bagikan uang dan makanan untuk non-simpatisan yang mengaku milih, untuk simpatisan saja saya nggak sanggup. Ditambah pula—kita tak bisa bedakan mana yang pilih kita dan tidak,” tambah Ahok.

Ahok juga mengaku “saya memang beli kaos di PIB, tapi kalau orang-orang minta uang dan lainnya, saya tolak.”

Perjalanan panggung politik pun dimulai. Mantan pengusaha, dan pedagang roti itu menang, dan menjadi anggota DPRD Belitung Timur Fraksi PPIB periode 2004 - 2005. Usai pemilihan, “Ada orang datang minta duit sama saya, dan saya sudah tahu mereka bukan pemilih saya.”

Lucunya ada juga, orangorang yang dulu pernah datang ke Ahok meminta imbalan datang lagi. Namun kali ini mereka justru bersimpati merasa menyesal—enggak memilih mantan bocah penjual roti ini. Karena alasan itulah Ahok bersemangat maju menjadi bupati.

Jurus Rahasia
Di film-film laga, para pendekar sebelum turun gunung atau keluar pulau dan goa—mereka konsisten kepada apa yang telah dilatihnya sewaktu di gunung. Sudah pasti, banyak aral menghadang baik dari sesama pendekar maupun alam. Lantas bagaimana dengan Ahok.

“Rahasianya mesti konsisten. Kita itu mendidik masyarakat, bukan ngajarin dia milih kita. Kalau ada calon yang lebih baik dari saya, jangan pilih saya,” tegas Ahok. Tak hanya itu, dalam kampanye, Ahok si “kepala batu” itu juga menyajikan film dokumenter perjalanan dirinya.

Sudah menjadi rahasia umum, banyak oknum bak lintah darat yang mendatangi para calon berkedok membarter proposal bernuansa uang, makanan, atau barang.

“Tapi mereka memang terlihat orang susah—ya dibantu. Tapi kalu ada orang yang minta uang sama saya, apalagi dia bilang kalau tidak mau kasih uang, kami tidak pilih. Ya saya bilang enggak usah pilih,” tegas Ahok dengan wajah memerah.


Melaju ke Tingkat Bupati
Benar saja, doa para “lintah darat dan pemimpi imbalan” yang sudah bertobat itu, membumi. “Jurus mabuk” Ahok berhasil mengangkatnya menjadi Bupati sekaligus menampar para pemilih untuk kembali ke jalan yang benar. Namun aral belum habis sampai di situ, dan memang takkan pernah habis.

Nuansa kebangsaan yang kering dan besarnya aroma sinis, membuat isu SARA mudah tercetus dan menghantam Ahok. Banyak lawan bahkan kawan ingin menghabisi karir politiknya. Sedari dilabeli kafir, bahkan hingga bertaruh nyawa, pernah dialami Ahok. “Mulai dari polisi sampai kapolsek, semua sampai angkat tangan,” ingat Ahok.

Lucunya, sampai ada salah seorang ajudan Ahok yang memberikan pistolnya lantaran ia tak sanggup lagi menjaga keamanan bupati Belitung periode 3 Agustus 2005 - 22 Desember 2006 itu. Bahkan si ajudan malah berkata, “Kalau abang sampai nembak, biar saya saja yang mengaku,” kenang Ahok.

Kini setelah ia mendarat di Jakarta dan bekerja bersama Jokowi, Ahok pun menyitir sebuah lagu yang digubah oleh Wage Rudolf Supratman, “Bagunlah jiwanya ... Bangunlah badannya. Hiduplah Indonesia Raya ...” Lirik lagu Indonesia Raya itulah yang menjadi spirit utama Ahok dalam memperjuangkan nasib warga Jakarta yang sedang ia pimpin.

Dalam sesi akhir wawancara pada 4 April 2014, di tengah riuh rendah lalu lintas di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Ahok berujar penuh semangat, “Aku kepengin sekali lihat burung garuda Indonesia bisa sejajar dengan burung elang Amerika!” []


No comments:

Post a Comment

Total Pageviews