"...
Untuk mengalahkan bangsa yang besar tidak harus mengirimkan pasukan perang,
tapi
hapuslah pengetahuan mereka atas kejayaan para leluhurnya... Maka mereka akan
hancur
dengan sendirinya..." ~Tzun-Tzu, dalam The Art of War.
Oktober yang
anomali telah tiba pada hari keenam 2014. Bulan ini kering kerontang.
Pengalaman semasa kami kecil dulu tentang bulan hujan berakhiran (ber), kini
sirna. Bumi kita sedang sakit parah. Sementara manusia yang mendiaminya tetap
saja terlena.
Perjalanan Ziarah
Budaya kali ini sungguh tak terencana. Sebab digelar usai mengurusi ritual
kurban di Desa Cikadu, Pelabuhan Ratu, sehari sebelumnya. Hari Senin yang sarat
kerja itu, entah bagaimana ceritanya malah kami jadikan ajang berziarah ke
situs megalitik Batu Gede di Kampung Cengkuk, Desa Margalaksana, Kecamatan
Cikakak, Kota Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Selain Batu Gede,
sejatinya masih ada satu situs lagi di areal tersebut, warga menamainya
Penguyangan. Sayang, kami urung bertandang ke sana. Sebab terpikat pesona Batu
Gede yang ‘kan kami terakan berikut ini.
Areal situs itu
terhampar seluas 2 ha lebih. Berada persis di sebuah ceruk (lembah) yang
kemudian lebih dikenal sebagai cengkuk oleh masyarakat sekitar. Pilihan
tempat ini jelas diperhitungkan secara matang. Suhu udara adalah salah satu
yang pasti ditimbang oleh para pengembang Batu Gede kala itu.
Apabila mengikuti
rute konvensioanl hasil ekskavasi, peziarah akan lebih dulu menemukan tugu Batu
Gede yang tingginya sekira ±6
meter. Tiga meter di atas tanah, tiga meter ke dalam tanah. Tapi naluri
avonturir kami berbeda arahnya, sebab rute itu sangat tidak lazim—setelah
melihat bahwa situs ini lebih tepat disebut sebagai tamansari atau kaputren (keputrian) istana zaman batu besar (mega-lithios).
Bukan sebagai tempat persembahan.
ilustrasi artis dari Khatulistiwamuda |
Alvin Wardhana,
salah seorang anggota rombongan Khatulistiwamuda, secara tidak sengaja membawa
kami pada proses penemuan gerbang masuk ke Batu Gede. Berjalanlah sedikit agak
ke timur. Pada lekukan tertinggi lembah itu, Anda akan menemukan dua buah batu
besar yang saling bersandingan sejauh 6-7 meter.
Penempatan gerbang di timur
ini, entah kenapa sama belaka dengan banyak tradisi peradaban di belahan dunia
mana pun. Kendati milenianya telah terpaut jauh. Menggunakan logika sederhana
ini, tugu Batu Gede yang pada bagian bawahnya terdapat sebuah purwarupa kursi,
akan mudah dimengerti sebagai singgasana raja—atau apa ‘lah sebutan mereka pada
zaman itu.
Menyadari bahwa kami bukanlah
arkeolog murni, maka kami pun mengamini hitungan karbon para juru hitung batu
yang menandai umur situs ini berkisar antara 3-5 ribu tahun silam. Semasa
dengan saat Nabi Ibrahim as hidup di Kan’an, Timur Tengah. Hitungan itulah yang
akan kami gunakan untuk mendedah situs Batu Gede.
Kami hanya akan
mengambil peran terkait apa sebenarnya fungsi batu dakon, dolmen, menhir, batu
kursi, bak mandi (penampungan air mancur), juga beberapa kolam yang ada di
kitaran situs. Demi mewarnai cara pandang baru tentang bagaimana menilai situs
ini secara lebih bertanggungjawab dan santun.
panggung pertunjukkan |
Batu Waktu
Bagi Anda yang nanti
menyempatkan bertandang ke Tugu Batu Gede, jangan terburuburu menyimpulkan
“keisengan” masyarakat prasejarah yang membangunnya. Bagaimana tidak. Ribuan
batu dengan bobot tak ringan tersebut, mereka angkut ke puncak bukit—yang jika
kita lalui hari ini niscaya membuat napas terengah dan kaki pegal linu.
Rujuklah sebentar data yang
dikumpulkan para geolog dunia. Amati berapa meter naiknya daratan dari
permukaan laut sejak jutaan tahun lalu akibat gempa tektonik-vulkanik. Setelah
itu, berdirilah sejenak di puncak tertinggi di tepian jalan raya menuju Pantai
Sawarna. Dari situ Anda akan melihat bahwa jarak 11 kilometer yang harus
ditempuh dari jalan raya Pelabuhan Ratu menuju Batu Gede, sama dengan di tepi
pantai pada lima alaf (5000 tahun) lalu.
Pendekatan holistik yang kami
gunakan, khususnya sosiologi, sangat membantu bagaimana seharusnya menilai
situs ini. Bila sudut pandang yang dipakai adalah kita manusia moderen yang
pintar dan mereka manusia batu yang pandir, segala peninggalan mereka itu akan
mudah terkena hukum nonkebudayaan.
Seolah mereka membangun situs
tersebut semata karena iseng belaka. Paling banter, memuja roh (harusnya ruh)
leluhur, menyembah pohon, hewan (totem), dan tentu, batu. Padahal mereka tumbuh
dengan fatsun dan kekhasan adabnya.
Menhir (tugu batu) yang masih
tegak berdiri itu, adalah singgasana raja mereka yang juga digunakan sebagai
jam matahari, karena letaknya menghadap laut selatan. Jadi selama matahari
merambat dari timur ke barat, tugu itu akan membantu masyarakat Tugu Gede
menandai waktu biologis mereka.
Masyarakat Sunda kuno menyebut
pola penghitungan waktu itu sebagai kala-ider (putaran waktu). Orang Portugis yang
datang kali perdana ke bumi Nusantara kemudian menyebutnya, Caleinder (kalender). Ya, bangsa kita
sudah menentukan penanggalan Matahari dan Bulan dalam sebutan Surya Sang Kala
dan Chandra Sang Kala.
Di situs Batu Gede
inilah leluhur kita menentukan penanggalan terkait peri kehidupan mereka saat
itu. Kemampuan astronomis yang jelas tak dikuasai masyarakat awam. Artinya,
peradaban di Cengkuk, terbilang unggul. Menjadi wajar bila tak jauh dari areal
ini terdapat sebuah kampung yang dinamai Ghana (kini Ganesha). Simbol penguasa
Ilmu Pengetahuan dari peradaban Mohenjo-Daro di India yang berbentuk gajah.
Sebuah batu yang
juga kadung disalahartikan adalah, batu dakon (yang berlubang sepuluh)—cikal
bakal permainan congklak. Inilah batu Sang Hyang Kalaider (penanggalan tertua
di dunia), yaitu pola hitungan waktu yang asali (Dasa = 10 [Desember]). Bukan
seperti yang kita kenal hari ini (Desember = 12) yang sudah diacakacak oleh
Julius Caesar.
Bentuk kerancuan
lain adalah, situs ini dipercaya masyarakat adalah bekas tinggalan Kerajaan
Galuh Pakuan (Pakwan) yang beribukota di Pajajaran. Padahal kerajaan
Sunda kuno ini berdiri pada 1030 dan runtuh pada 1579 M. Era kerajaan ini
berdiri saja, sudah dikenal huruf dan tulisan. Sementara era megalitik
rentangnya sampai 5000 tahun silam sejak dari milenium kita.
Bila kemudian
masyarakat Galuh menggunakan Batu Gede pada era itu, sangat masuk di akal. Jadi
benda sejenis tembikar, gerabah, keramik Tiongkok, genta kecil berbahan
perunggu, dan patung Dewi Sri yang ditemukan di kitaran Batu Gede, tak masuk
tinggalan sejarah masyarakat megalitik.
Teka-Teki Batu
Keahlian manusia
prasejarah menggunakan batu pada era megalitik, sama saja dengan kemampuan
manusia moderen menciptakan telepon seluler. Artinya, kemampuan mengaryakan
batu itu telah menjadi sebuah tren yang mendunia dalam skala prasejarah.
Ada begitu banyak
situs yang sama di belahan dunia kita hari ini. Menariknya, produk kebudayaan
mereka sama belaka. Berkisar antara kapak persegi, kapak lonjong, beliung,
menhir, dolmen, kubur batu (sarcofagus), waruga, punden berundak, atau
lukisan di dinding batu.
Situs megalitik
terluas di dunia sejauh ini adalah Carnac Stone, lazim disebut Batu Karnak—yang
merupakan sekumpulan di Desa Carnac, selatan Brittany Mobirhan di barat laut
Prancis. Batu Karnak terdiri dari deretan batu (alignment), dolmen,
tumuli, dan menhir.
Para arkeolog
memperkirakan, batu-batu misterius tersebut jumlahnya lebih dari 3.000 buah.
Didirikan sekitar tahun 4.500 SM sampai 2.000 SM. Sulit untuk menentukan
tanggal batu didirikan. Tetapi fase utama situs kegiatan ini biasanya dikaitkan
dengan abad 33 SM. (Onewebid, 2014)
Dalam skala
Nusantara, juga ada situs megalitik terluas. Terletak di Lembah Napu, Bada dan
Besoa, Kecamatan Lore Utara dan Lore Selatan, Kabupaten Poso, Sulawesi
Tenggara. Situs ini memiliki 1.451 tinggalan yang masih belum terbaca dengan
baik hingga hari ini.
Pertanyaan yang
bisa kita ajukan adalah: Apa alasan terkuat mereka mengaryakan batu, bukan besi?
Hipotesis yang kami
tawarkan adalah, pilihan mereka pada batu jelas berkenaan dengan umur bangunan
yang kelak akan mereka bangun. Selain tanah dan kayu, batu adalah yang terkuat.
Sementara besi baru ditemukan oleh Nabi Daud as, di era sejarah—setelah manusia
mengenal huruf dan tulisan. Dalam batu, ada ruang-waktu yang membeku.
Sebagaimana yang pernah kami terakan dalam Waktu Batu-Aku
Masyarakat
prasejarah lebih memilih batu karena leluhur mereka sudah memiliki teknik
unggul terkait pengelolaannya. Era megalitikum yang sejajar dengan masa
kehidupan Nabi Ibrahim as, terpaut ±10.000
ribu tahun ke atas sampai ke Nabi Adam as yang sama kita ketahui sebagai Bapak
Manusia.
Berdasar Hayat al-Qulub karya Sayyid Muhmmad Bagir al-Majlisi
(2013), usia para nabi sebelum Ibrahim as adalah sebagai berikut:
Nabi Adam as 930
tahun
Nabi Idris as 865
tahun
Nuh as 2500 tahun
Hud as 760 tahun
Sholeh as (tidak
dijelaskan dalam kitab yang terwariskan pada kita, kecuali saat berusia 120
tahun, ia memunculkan mukjizat unta betina yang kemudian direkam al-Quran).
Angka 10 ribu tahun
yang kami sodorkan di atas, adalah hasil kalkulasi kasar dengan usia anakanak
para nabi tersebut—yang selalu memunculkan nabi-rasul yang baru. Masyarakat
yang hidup selama rentang sepanjang ini, terutama masih di era para nabi dan
rasul, musykil tidak memiliki pengetahuan ketuhanan.
Sebelum Muhammad
Saw mikraj ke Langit, hanya ada dua manusia yang pernah bertemu Allah Swt,
yaitu Adam dan Hawa. Apa yang mereka saksikan selama di Surga, tentu akan terus
diceritakan pada 20 orang anaknya dan terus begitu hingga hari ini.
Perkara paling
mendasar adalah, Adam tentu akan mengalami hambatan ketika membahasakan Zat
yang Tak Terbatas itu pada keturunannya—yang hidup di alam yang terbatas
seperti dirinya. Harus ada media lain yang digunakan oleh Adam sebagai
perantara dan kini kita mengenalnya sebagai Simbol.
Manusia adalah
makhluk simbolik, bukan animal
symbolycum yang diyakini oleh
Ernst Casirrer. Batu, adalah simbol pertama dan terbaik yang bisa diigunakan
manusia prasejarah sebagai perantara antara tuhan dan makhluknya. Antara khaliq dan makhluq.
Menyebut masyarakat
pada era itu sebagai sekelompok manusia terbelakang dan jauh dari tuhan, jelas
gegabah. Analoginya tak jauh beda dengan ketergantungan anak dengan ibunya.
Meski dipisah jarak, bahkan kematian, setiap anak akan selalu merindukan
kehadiran ibunya—sebab dalam darah setiap anak, ada darah ibu yang menjadi
lokus kelahirannya ke dunia.
Penalaran yang sama
juga bisa kita kerjakan untuk masyarakat prasejarah bahkan hingga umur manusia
berakhir di bumi. Manusia mungkin bisa menolak agama dalam hidupnya, tapi
menafikan kehadiran tuhan apalagi menepis keberadaan-Nya, sama saja dengan
mengatakan bahwa peran ibu bisa kita ganti dengan pohon atau apa saja.
Begitukah?
Terkait pelencengan
atau bid’ah yang kemudian lazim terjadi dalam upaya pencarian tuhan oleh
manusia, tak hanya terjadi di zaman prasejarah (yang sering dengan gegabah kita
sebut animis-dinamis). Hari ini pun, peran tuhan malah sudah kita ganti dengan
Google. [bersambung]
No comments:
Post a Comment