Jokowi: Antara Jalan Rock dan Zaman Bergerak

Fajar Sodiq & Diego Bunûel

Suatu hari pada 2012 di Loji Gandrung, rumah dinas Jokowi yang masih menjabat selaku walikota Solo periode dua, masuk sebuah panggilan telepon dari Jakarta ke nomor pribadi walikota. Obrolan kami yang mulai menghangat malam itu, tetiba terputus karena walikota meminta izin pada saya agar ia diberi kesempatan mengangkat sambungan telepon. Demi menghormati walikota, saya pun menyilakan penuh hormat.

            “Halo, Bapak Jokowi. Ini Jusuf Kalla. Saya mau menantang you untuk mengurusi Jakarta. You jangan cuma berani di Solo saja. Di sini banyak tantangan yang bisa digarap. Saya tunggu ya ...”
            “Tapi saya belum dapat sinyal dari ibu Megawati, Pak. Saya ..,” suara walikota seketika dipotong pak Jusuf.
            “Gampang lah itu. Nanti saya yang urus. You tenang saja,” jawab mantan wakil presiden Republik Indonesia santai.[1] 

            Obrolan singkat mereka itu masih terus berlanjut. Meski sifatnya hanya basa-basi belaka. Tapi dari obrolan itulah kelak lahir sebuah era baru kepemimpinan di Jakarta (juga Indonesia). Tak lama berselang, media lokal di Solo dan Ibukota mulai ricuh. Entah darimana mereka beroleh berita tentang tawaran pak Jusuf ke Jokowi. Intinya, berita itu meresahkan sekaligus melegakan. Meresahkan warga Solo karena salah satu putra terbaiknya akan “dibajak” Jakarta. Melegakan sebab putra terbaik Solo itu akan segera memimpin warga Jakarta yang dahaga kepemimpinannya mulai akut.

          Beragam reaksi pun bermunculan. Warga Solo yang antiJakarta menolak kepergian walikotanya ke Ibukota. Sedang warga Solo yang proJakarta, malah mendoakan walikota mereka selamat dan berhasil memimpin saudaranya di belahan utara Jawa itu. Akhirnya, walikota tetap berangkat ke Jakarta demi memenuhi undangan pak Jusuf. Tak lama setelah kedatangannya di jantung negara, publik pun mulai geger. Lenteng Agung (markas besar PDIP), ternyata benarbenar mengajukan Jokowi sebagai calonnya ke pemilihan gubernur Jakarta pada detik akhir jelang pendaftaran calon ditutup. Era baru itu sedang dimulai.

            Reaksi paling keras menolak kehadiran Jokowi di Ibukota datang dari masyarakat Betawi—yang merasa Jakarta adalah kampung halaman mereka. Sentimen chauvinistik ini mudah dimengerti sekaligus tak bisa ditoleransi. Mereka warga Betawi yang sistem berpikirnya masih berada di masa lalu itu lupa, Jakarta telah menjelma jadi mangkuk raksasa (melting pot), tempat sekian banyak orang dari beragam suku, tumpah ruah. Leluhur mereka telah mukim di Jakarta sejak ratusan tahun lalu. Bahkan nyaris bersamaan dengan kelahiran suku Betawi ke bumi pertiwi pada Abad ke-17 M.

            Kondisi seperti itulah yang dihadapi Jokowi saat ia berhadapan dengan pasangan petahana Fauzi Bowo (Foke) – Nachrowi Ramli (Nara). Jokowi yang bak magnet itu pun segera menyedot perhatian besar dari banyak partai selain PDI Perjuangan, khususnya Gerindra (kelak jadi lawan politik Jokowi pada Pilpres 2014). Hanya dalam waktu singkat, Gerindra segera melamar Jokowi dengan menyodorkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai wakilnya.  

            Ketika dinamika politik Jakarta mulai memanas, “mesin diesel” PDI Perjuangan baru saja dinyalakan. Alhasil, bermunculanlah para relawan yang sudah sejak Jokowi masih di Solo—telah bersimpati pada kinerja dan integritasnya. Mereka membangun selsel kampanye tanpa komando. Murni karena tabula kerinduan pada pemimpin yang didambakan.     
          
            Sementara Jokowi tetap tak berubah. Kecuali penampilan fisiknya yang kini berbalut kemeja kotakkotak warna merah putih. Ia tetap merakyat. Masih doyan blusukan. Enggan berpangku tangan. Tak gentar melawan kampanye hitam lawannya yang menggunakan media cetak dan elektronik. Jokowi berkampanye dengan caranya sendiri. Cara yang sama sekali tak terbayang para politisi karbitan.

Jokowi turun ke jalan. Makan bersama penjual bakso. Duduk santai di warteg. Menjelajah ke ujung kampung kumuh Jakarta. Terlibat langsung dalam kehidupan rakyat yang kelak ia pimpin. Ia tak menjual mimpi. Tapi mengajak bekerja sama. Membangun kota yang menjadi ibunegara Indonesia. Maka dari itu, Jokowi – Ahok pun menyodorkan 19 tawaran kerja yang akan mereka garap setelah terpilih jadi gubernur Daerah Kota Istimewa (DKI) Jakarta:

1. Tidak memakai voorijder untuk merasakan juga kemacetan.
2. Hanya satu jam di kantor. Selebihnya, meninjau pelayanan publik di lapangan.
3. Tidak akan tersinggung dengan pertanyaan wartawan yang menyudutkan pihaknya.
4. Tidak memberikan pentungan dan perlengkapan yang memungkinkan Polisi Pamong Praja memukul warga.
5. Menambah 1.000 unit bus Transjakarta.
6. Memberikan honor tambahan kepada Ketua RT/RW di Jakarta sebanyak Rp500 ribu per bulan, berikut asuransi kesehatan.
7. Memberikan asuransi kesehatan kepada semua anggota RT/RW.
8. Akan memimpin Jakarta selama lima tahun. Tidak menjadi kutu loncat dengan mengikuti Pemilu 2014. (Jumpa pers di rumah Megawati Soekarnoputri, 20 September 2012)
9. Membangun perkampungan yang sehat dan laik huni. Hunian di bantaran Sungai Ciliwung didesain menjadi kampung susun. Melakukan campur tangan sosial untuk merevitalisasi pemukiman padat dan kumuh tanpa melakukan penggusuran. (Debat Calon Gubernur DKI Jakarta, 14 September 2012)
10. Mengatasi banjir dengan melakukan pembangunan embung (folder) untuk menangkap dan menampung air hujan di setiap kecamatan dan kelurahan. Menyatukan seluruh saluran drainase agar terhubung dengan kanalkanal pembuangan air.
11. Memperbanyak armada angkutan umum, terutama bus TransJakarta di koridorkoridor yang tetap dipertahankan sebagai jalur bus khusus. Merintis Mass Rapid Transportation (MRT)/subway. Busway diubah menjadi railbus yang berkapasitas lebih besar. Maka dengan demikian, yang bergerak warga, bukan mobil.
12. Membangun Mall PKL, Ruang Publik & Revitalisasi Pasar Tradisional sehingga tidak mengganggu pengguna jalan. (Jakarta, 18 September 2012)
13. Membangun kebudayaan warga kota berbasis komunitas. Merevitalisasi dan melengkapi fasilitas kawasan Kota Tua Batavia.
14. Membenahi birokrasi bersih dan profesional agar pemerintahan berjalan bersih, transparan, dan profesional.
15. Memberikan pendidikan gratis melalui kartu Jakarta Pintar. Bermodal kartu ini, warga Jakarta dapat mengenyam pendidikan gratis sedari SD hingga SMA. Program ini telah berhasil diterapkan di Solo selama lima tahun. (Kampanye di Kampung Sawah, Gandaria Selatan, Jakarta Selatan, 29 Juni 2012).
16. Melegalkan tanahtanah yang sebelumnya tak diakui oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta atau tanah ilegal. (Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, 15 September 2012)
17. Melakukan desain ulang total dengan membangun Jakarta dari kampungkampung. (Menteng Dalam, 14 September 2012).
18. Setiap kampung punya ruang publik, ruang hijau, serta drainase memadai dan punya tangki pembuangan komunal. (Menteng Dalam, 14 September 2012)
19. Melanjutkan program Kanal Banjir Timur serta pembangunan tanggul di setiap kecamatan.


Berdasar 19 tawaran kerja itu pula, Jokowi yang notabene adalah pendatang baru di Jakarta, tiada sudah dihantam isu kampanye hitam—terutama dari akun Twitter Triomacan2000 @TM2000Back[2]. Pada musim kampanye gubernur lalu, akun yang telah diikuti oleh 204,234 akun (per 30/10/2014) lain ini, seolah jadi rujukan publik untuk media non arusutama selain media massa nasional.

Meski dalam tingkat praksis, data-fakta yang disodorkan Triomacan2000 tak sepenuhnya benar (malah lebih banyak salahnya). Jadi meskipun tiga orang punggawanya bergaul rapat dengan para mantan intelijen negara, apa yang mereka proses jadi informasi tak berbanding lurus dengan validasinya di lapangan. Misal;
Jokowi itu Cina.
Jokowi PKI.
Jokowi antek Amerika.
Jokowi zionis.
Jokowi iluminati.

Lima isu itu pun menggelinding begitu cepat ke publik. Namun takdir sejarah Indonesia memang berbicara lain. Sosok yang sejatinya sudah diperkirakan akan memenangi pemilihan gubernur ini ternyata malah keluar sebagai kampiun pada putaran pertama dengan torehan angka 43 persen, sedangkan Foke-Nara hanya mendapatkan 34 persen. Pemilu putaran kedua pun tak terelakkan.

Pada putaran kedua, semua parpol yang kalah pada putaran pertama bergabung dengan Foke-Nara. Rakyat menamainya dengan “Koalisi Gajah” (Demokrat, Golkar, PAN, PPP, dan PKS) yang harus dihadapi Jokowi dengan total kekuatan di parlemen sebesar 84 persen. Sedangkan Jokowi-Ahok hanya didukung PDIP dan Gerindra dengan torehan suara 16 persen.

Lagi, Jokowi-Ahok malah memenangkan Pilgub DKI Jakarta dengan raihan suara 53 persen, mengalahkan pasangan petahana yang didukung Koalisi Gajah. Motto pasangan ini, Jakarta Baru 2012 Bersama Jokowi-Ahok kemudian mewujud nyata. Jutaan raut wajah warga Jakarta tampak berseri dan sumringah. Terutama mereka yang selama ini paling sering terlindas kepentingan penguasa, yang asyik sendiri dengan kekuasaannya.

Antusiasme warga Jakarta itu kemudian terlihat secara kasat mata pada pelantikan Jokowi-Ahok pada Senin, 15 Oktober 2014. Ribuan orang berjejalan di Jl. Medan Merdeka Selatan. Tepatnya di halaman depan Balai Kota DKI. Sekadar ingin melihat pemimpin baru mereka tampil di hadapan umum. Jakarta pun memasuki eranya yang baru.

***

Harapan Baru Indonesia
Pada 27 Desember 1949, Belanda menyerahkan lagi bayi Republik Indonesia kepada pemerintah. Sehari setelahnya, Presiden Sukarno pun kembali ke Jakarta sejak memindahkan Ibukota ke Jogjakarta pada 4 Januari 1946. Hari itu, presiden dan rombongan mendarat di Bandara Kemayoran. Rakyat sudah berjejalan dan menyemut hingga ke Istana. Presiden disambut hangat rakyatnya setelah pergi nyaris tiga tahun lebih dari Jakarta. Jutaan orang tumpah ruah di jalanan. Mereka abai pada diri sendiri. Namun bergitu perhatian pada sosok pemimpinnya yang mendunia. Ya, saat itu Presiden Sukarno sedang menjadi megabintang di panggung politik internasional.

            Pada 1990, sejarahwan Jepang, Takashi Siraishi, menerbitkan disertasinya yang berjudul Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912–1926 (1990).[3] Karya monumental ini merekam dengan baik bagaimana spirit zaman era kemerdekaan yang gerbongnya ditarik oleh pemuda sekelas Tirto Adhi Suryo, Mohammad Natsir, Sukarno, Tan Malaka, Mas Marco Kartodikromo, Sukarni, Tirto Mangunkusumo, Dr. Sutomo, Dr. Wahidin Sudirohusodo, dll. Ledakan spirit itu semula terjadi pascakepulangan Sukarno ke Jakarta pada 1949. Saat menentukan bagi rakyat Indonesia untuk mengurus diri sendiri di bawah arahan putra terbaiknya.

            Kini, seabad lebih dari era keemasan republik, fenomena tersebut terulang kembali dengan sendirinya. Tanpa komando.

            Jokowi yang berhasil melewati halang rintang Pilpres 2014, resmi menjabat presiden Republik Indonesia ke-7 pada Senin, 20 Oktober 2014. Fakta yang sudah kami yakini kali perdana menyusun buku ini bersama Bang Yon (kini telah anumerta). Pada pukul 11.30 Wib, iringiringan rombongan presiden baru Indonesia keluar dari gedung MPR/DPR RI, menuju Bunderan HI, kemudian diarak menuju Istana Merdeka. Tapi wajah Jakarta hari itu sungguh berbeda. Belum pernah ada presedennya sama sekali.

            Jutaan manusia turun ke jalan demi melihat pemimpin anyar mereka yang telah dilantik MPR. Sedari masyarakat pariah hingga mereka yang jadi kampiun ekonomi Jakarta. Semua berbaur jadi satu. Tujuan mereka hanya satu: melihat Jokowi/Jusuf Kalla (JK) dari jarak paling dekat, lantas turut mengantar keduanya menuju istana. Sesederhana itu. Namun semangat dibalik upacara ini yang patut dicatat. Sebab bukan hanya warga Jakarta yang turun ke jalan. Nyaris di tiap provinsi, ada perhelatan/syukuran yang digelar demi menyambut presiden baru Indonesia. Bahkan ada banyak warga luar Jakarta yang datang sukarela melihat presiden anyarnya.

            Ketika iringiringan rombongan presiden baru memasuki Jalan Jenderal Sudirman dari Jalan Gatot Subroto, rakyat sudah berjejalan dan tentu menghambat laju rombongan. Jokowi/JK tak punya pilihan lain kecuali menyapa rakyat yang kelak mereka pimpin. Voorijder pun kelimpungan membelah jalur selama dua jam lebih. Persis ketika Jokowi/JK menaiki kereta kencana yang dibawa langsung dari Solo, haru-biru rakyat kian memuncak. Gairah mereka meletup. Membuncah ke angkasa Indonesia. Baru kali ini ada presiden terpilih yang diarak rakyatnya menuju Istana.

            Luapan enerji atau euforia yang memuncak kala itu tepat juga bila kita sebut sebagai kekuatan rakyat (people power). Menurut James Putzel dalam sebuah kertas kerja, A Muddled Democrazy-“People Power” Philippine Style, (Development Destin Studies Institute, November 2001), people power merupakan ekspresi demokrasi yang paling tinggi.

            Fenomena itu hanya bisa dicari persamaannya pada era kepulangan Sukarno 65 tahun silam (1949). Meski berbeda konteks, tapi keduanya adalah potret sejarah peralihan Indonesia yang dinamakan Siraishi sebagai zaman bergerak. Jokowi memang tengah menggerakkan semangat rakyat Indonesia—serta para simpatisannya dari dunia internasional. Seperti yang kami amati dari foto unggahan perdana menteri Singapura, Lee Hsien Loong di laman pribadi Facebooknya. Foto itu diambil oleh Lee saat ia berada di balkon Hotel Indonesia. Komentar pertama di bawah foto itu digurat oleh warga Singapura, Ng Hooi Ming, “Read in a magazine feature of him - this was before he ran for President... when still Mayor of Jakarta, he said two things that struck me (I paraphrase):

1. If I am in my office, I am not doing my job - I need to be out there where my people are living every day, to understand them and know how to help them.
2. I wear white and black - just like the man on the street... so I can blend in and people feel like I am one of them.. which I am.”
            Respon salah seorang warga Singapura itu adalah lanjutan dari gelombang positif Jokowi (Jokowi Effect) ketika awal memimpin Jakarta. Ia begitu mudah menyedot perhatian internasional. Bukan dengan pernyataan atau pikirannya yang bernas semacam Sukarno, melainkan dengan aksi nyata: kerja.

Lee Hsien Loong 

Basis Metalica, vokalis Lamb of God (band favorit Jokowi) dan band asal Inggris, Arkarna, adalah simpatisannya. Bahkan Arkarna telah datang dua kali demi Jokowi. Kali perdana saat ia menjabat gubernur Jakarta, dan kini setelah jadi presiden RI. Tak tangungtanggung, dalam akun Twitter resminya, Arkarna menulis seperti berikut ini:

Arkarna Official
@arkarna
The Official Arkarna Twitter Account! We NEVER use admins and always respond in person. Download our music for free at http://Arkarna.net  Jokowi is the man! (cetak tebal oleh penulis).
           
Salah sebuah majalah terkemuka dunia yang bermarkas di Amerika, TIME, ternyata juga telah menguntit jejak Jokowi nun jauh saat ia baru saja hendak mencalonkan diri sebagai presiden—dan berkeyakinan bahwa ia akan memenangi kontestasi tanpa hambatan berarti. Berdasar itulah, TIME berani memasang wajah Jokowi sebagai sampul depan mereka pada Senin, 27 Oktober 2014. Padahal ketika Hannah menaikkan laporannya, Jokowi belum lagi dilantik. Dunia masih berada pada titimangsa 15 Oktober 2014. Pada kepala beritanya, Hannah Beech (@hkbeech) si pengintai Jokowi, melansir tulisan berjudul The New Face of Indonesian Democracy:

Joko Widodo may be the world’s most modest national leader. does the President-to-be have what it takes to run the vast nation?
The passenger sitting in 42K, deep in economy class, orders a cup of milk from the flight attendant, then leans against the window for a nap. Far below, as ­Garuda Indonesia Flight GA 226 heads east toward the Indonesian heartland city of Solo, an angry mountain sends a vermilion blaze into the night sky, just another eruption in a country with the most active volcanoes on earth. A little girl named Shakira slowly makes her way to the bathrooms at the back of the plane, checking out each traveler with the forthright stare of a 5-year-old. She glances at the sleeping figure, then points, like an overexcited tourist on safari. “It’s Mr. Jokowi,” she says, delighted at her discovery. “He’s on the plane with me.”
Pada sampul depan majalah TIME itu tertulis, A New Hope.

Liputan media asing yang cukup bergengsi juga datang dari Aljazeera melalui Step Vaessen, koresponden versi Inggris dalam Indonesia 101 East - Indonesia's Rock Governor. Rekaman video berdurasi 25 menit itu, juga menyertakan pernyataan Fadli Zon sebagai wakil Gerindra, yang dengan santai mengatakan bahwa Jokowi tak punya konsep apa pun untuk mengurusi Indonesia.

Mari kita kembali pada zaman bergerak Takashi Siraishi. Kesamaan mendasar masa prakemerdekaan dengan era Jokowi hari ini adalah, lokomotif perubahannya dikendalikan para pemuda. Merekalah penggerak utama aksi massa. Kualitas pemuda hari ini mungkin tak sebanding dengan para pemuda pergerakan dulu, atau malah memang tak bisa dibandingkan sama sekali. Namun yang jelas, kerja keras mereka memberi bahu dan memeras keringatnya demi mengangkat Jokowi ke tampuk tertinggi pemerintahan, berbuah manis. Mereka tak perlu berpikir keras dan beradu dirkursus di ranah pemikiran. Modal mereka hanya tekad dan berbuat.

            Kehadiran para pemuda kelas menengah dari beragam disiplin itu, sedikit banyak turut memengaruhi kecenderungan publik memercayakan amanahnya pada Jokowi. Ia unggul bukan semata karena meritokrasi yang digaungkannya hingga berhasil menjaring 34 menteri pilih tanding. Ia muncul sebab rakyat sudah terlalu lama berada di titik nadir penderitaan. Sudah terlalu banyak pemimpin yang cuma bisa bicara tapi tak tahu cara bertindak, dan bekerja. Maka wajar bila kemudian Jokowi menamai pemerintahannya sebagai Kabinet Kerja.  

Dukungan publik yang mengalir deras pada Jokowi, juga dilengkapi oleh seorang perempuan luarbiasa yang sangat pemalu. Perawakannya khas perempuan Indonesia kebanyakan. Kulitnya sawo matang, bersih, terawat. Ia pintar menempatkan diri. Terlihat dari pakaian yang ia kenakan, juga komentar yang disampaikannya pada awak media. Ada kelembutan dan keanggunan yang terpancar dari parasnya. Halus tutur katanya menyiratkan sesuatu yang lebih tepat kita sebut, menawan. Dialah kini yang jadi perempuan nomor satu Indonesia. Lady Iriana.

Di hadapan sebagian besar rakyat Indonesia hari ini, Jokowi adalah presiden baru mereka yang membanggakan dan dihormati. Dijunjung di atas kepala. Bahkan nyaris menembus mitos mesianik Ratu Adil. Namun di hadapan Iriana—juga ketiga anak mereka, niat Jokowi terjun ke ranah politik tak pernah berjalan mulus sedari awal. Lobi terberat yang jadi hambatan terbesarnya justru berasal dari dalam rumah sendiri.

Gibran Rakabuming Raka, Kahiyang Ayu, dan Kaesang Pangarep, kerap menjadi ganjalan Jokowi manakala ia telah berhasil meyakinkan Iriana untuk terus maju mengurusi masyarakat melalui medan politik. Paling tidak telah tiga kali mereka membentengi bapaknya (begitu Jokowi biasa mereka sapa), dari dunia politik yang abu-abu. Sedari maju jadi walikota Solo, gubernur Jakarta, dan akhirnya kini menjabat sebagai presiden Republik Indonesia. Keluarga kecil Jokowi yang sederhana, seolah batu ujian paling depan baginya untuk membulatkan tekad demi mengurusi rakyat.

Tantangan pertama bagi pasangan Jokowi/JK memimpin Indonesia bersama Kabinet Kerja dan Koalisi Indonesia Hebat adalah, Koalisi Merah Putih yang dikomandoi Gerindra. Karena baru kali inilah partai pemenang pemilu (PDIP) tak beroleh kursi ketua MPR dan DPR.
Meski secara sah menjadi orang nomor satu di negeri ini, sebagian besar kursi parlemen diisi Koalisi Merah Putih yang dipimpin Prabowo Subianto. Alih-alih menyuarakan suara rakyat, para anggota dewan dikhawatirkan akan ditunggangi oleh kepentingan golongan tertentu yang bisa mengganggu pemerintahan Jokowi. Pria asal Solo ini harus mampu menyusun strategi untuk menghindari terjadinya kudeta legislatif.

Tantangan kedua adalah, perlambatan ekonomi. Seiring memudarnya ledakan komoditas, pertumbuhan tahunan yang hanya mencapai 6% terlihat lebih sulit untuk dipertahankan. Jokowi menjanjikan pertumbuhan 7% pada tahun 2018 dengan memindahkan Indonesia ke atas rantai nilai serta meningkatkan logistik dan posisi negara kepulauan terbesar di dunia sebagai pusat transportasi global.

Tantangan ketiga adalah birokrasi kotor. Jokowi telah mengambil hati rakyat dengan gerakan anti-korupsinya selama menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Dengan gebrakannya, ia mampu membersihkan birokrasi daerah yang terkenal kotor. Namun, apakah hal ini mampu ia terapkan di setiap tingkat pemerintahan saat menjadi presiden? (TIME, 2014)

Tapi sampai tulisan ini rampung kami susun, pemerintahan Jokowi masih mendapat sambutan positif dari rakyat—khususnya mereka yang menjadi konstituen PDIP. Para menteri yang digandeng Jokowi pun jauh lebih berkualitas tinimbang kabinet era Presiden SBY—meski Kabinet Kerja Jokowi juga tetap menuai keraguan dari masyarakat.

Jokowi yang sederhana namun mengagumkan itu, memang pantas memimpin Indonesia sebagai satu-satunya negara maritim di dunia; negara demokrasi terbesar ketiga di kolong langit; negara yang sanggup menjaga keragamannya kendati berulang kali direcoki pedagang asing dari Portugis, Spanyol, Belanda, Prancis, Inggris, dan dijajah Jepang dalam rentang 3,5 tahun. 

Pada 2012 lampau, Jokowi tiba di Jakarta dengan niat tulus demi memimpin Jakarta sebagai gubernur. Kini ia telah menjadi presiden Indonesia. Jabatan prestise itu ia raih hanya dalam tempo dua tahun saja. Keduanya sama dilantik pada Senin di bulan Oktober.

Sejatinya, mari kita sama mensyukuri karunia Allah Swt yang telah melahirkan Jokowi di Indonesia. Harus pula diamini bahwa Jokowi memang lahir untuk kita. Meski kerja kepresidenannya masih merentang lima tahun ke depan, dan jelas membutuhkan koreksi, saran, kritik dari rakyat yang sedang ia pimpin. Sebab ia tidak muncul dari suatu tempat di entah. Jokowi telah mempersiapkan diri dan disiapkan tuhan untuk mengubah wajah bangsa ini jadi lebih semarak. Bukti itu dapat kita simak dalam kicauan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli pada 22 Juli 2014:

Suatu hari pada 2008 lalu. Majalah Tempo memilih 10 kepala daerah terbaik sebagai cover story dan dipilih oleh panel juri yang independen. Ini merupakan apresiasi kami terhadap program otonomi daerah.
Kami mengundang mereka wawancara dan sesi foto ke kantor. Seorang bertubuh kurus datang lebih awal. Ia tak berpengawal atau pendamping. Ia sendiri duduk di ruang tamu, menunggu—seperti pendatang asing.
Hingga akhirnya seorang wartawan yang tak terlibat proyek ini sambil lalu menyapanya, “Bapak siapa? Mau bertemu siapa?”
Ia mengeluarkan kartu nama dari dompetnya, mengajukan dengan dua tangan teramat sopan. Katanya, “Perkenalkan, saya Joko Widodo…”
Sebagai penutup, berikut ini kami terakan lagi sebuah ungkapan singkat dari seseorang nun di Prancis sana, yang duapuluh tahun lalu memanggil nama koleganya berbisnis mebel, Joko Widodo, menjadi Jokowi;
"For me, Jokowi not a politician. He is a natural leader. He is very simple, smart, and see things advance: Bagi saya, Jokowi bukan seorang politisi. Ia adalah pemimpin alamiah. Ia begitu sederhana, cerdas, dan melihat jauh ke depan." ~Bernard Chene. []





[1] Nukilan kisah di atas kami rekam dalam ingatan saat bertemu Bang Yon—sehari usai kepulangannya dari Solo saat meriset latar kehidupan Jokowi dan kemudian menjadi buku Jokowi: Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker terbitan Noura Books, 2012.
[2] Pada awal November 2014, ketiga admin (HK, ES, RN) akun Twitter ini akhirnya diciduk pihak kepolisian akibat memeras salahseorang pejabat PT Telkom Tbk (Kompas, 2014).
[3] Judul asli, An Age In Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 (New York; Cornel University Press, 1990).

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews