SEPULANG dari menziarahi makam Nabi Isa as di Bait
al-Maqdis dan Nabi Ibrahim as di Kan’an, pada 1096 M/489 H, al-Ghazali kembali
dari kembara spiritualnya ke Damaskus—jantungnya tanah Syam. Ia beritikaf di
menara barat Masjid Jami’ Umayyah (Umawi) yang dibangun oleh al-Walid bin Abdul
Malik (705-715 M) dengan menelan biaya sebesar 11.200.000 dinar sesuai kurs
saat itu. Berdasar Hadis Nabi Muhammad Saw, menara di timur masjid ini, kelak
akan menjadi tempat turunnya Nabi Isa as dari Surga.
Selama mukim di menara barat, al-Ghazali banyak duduk di
pojok ruangan tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi (kini pojokan itu dinamai
al-Ghazaliyah). Menara inilah yang sekarang menjadi monumen sejarah bagi Muslim
dunia. Karena selama sepuluh tahun mukim di menara barat, al-Ghazali berhasil
merampungkan kitab Ihya ‘Ulûm al-Dîn,
Al-Arba’in, Al-Qisthas, dan Mahakkun
Nadzar. Menara bersejarah yang menjadi saksi bisu peralihan hidup
al-Ghazali dari teolog cum filosof
menjadi sufi.
Tanah Syam (Yaman, Suriah, Irak, Palestina) yang kini
bergolak dan bergelimang darah, adalah pemukiman kuno tempat para nabi, rasul,
dan para wali, pernah hidup. Maka menjadi wajar bila ada begitu banyak Hadis
Nabi Muhammad Saw yang memberitakan Syam sebagaimana yang pernah diriwayatkan
oleh sahabat mulia, Zaid bin Tsabit (radhiallahu’anhu),
saat sedang menemani Rasulullah Saw menukil ayat al-Quran di pelepah kayu:
طُوبَى لِلشَّامِ. فَقُلْنَا : لأَيٍّ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : لأَنَّ مَلَائِكَةَ الرَّحْمَنِ بَاسِطَةٌ أَجْنِحَتَهَا عَلَيْهَا
“’Kebaikan pada negeri Syam.' Kami bertanya, 'Mengapa,
wahai Rasulullah?' Beliau bersabda: '”Karena Malaikat rahmat (pembawa kebaikan)
mengembangkan sayap di atasnya.’”
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi
Abu Hamid Al-Ghazali atau Imam al-Ghazali, lahir di Desa Ghazaleh distrik Thus
pada 1059, di Persia. Pada usia 21 tahun (1080 M), al-Ghazali menuju Nishapur demi
belajar di Madrasah Nizamiyah (setara universitas pada saat ini). Madrasah
Nizamiyah kala itu menjadi pusat pendidikan terpandang (Freely, 2011). Sebab
kualitas para pengajar dan perpustakaannya yang banyak berisi buku dari beragam
literatur.
Salah satu ulama tersohor di Madrasah Nizamiyah adalah
Imam Haramain al-Juwayni. Ia mengajarkan al-Quran, hadis, mantiq (logika), retorika, ilmu hikmah (tasawuf), dan filsafat.
Menurutnya, Imam al-Ghazali merupakan murid yang cerdas dan mudah menangkap pesan-pesan keagamaan yang ia
ajarkan. Sehingga ia menjuluki muridnya yang berdahi lebar berparas panjang,
mata coklat sayu, dan jenggot sampai ke cambang itu, dengan sebutan Bahrun Mughdiq: lautan luas tak bertepi.
Pergaulan anak tukang tenun—sesuai nama laqb-nya (ghazal) ini pun kian meluas semasa belajar di Nizamiyah. Ia bergaul
dengan sesama Muslim lintas mazhab dan lintas pemikiran. Sedari para teolog,
filosof, kaum Syiah, Sunni, Muktazilah, Zindiq, Majusi, Kristen, Yahudi, Ateis,
Zoroaster, dan Animisme.
Kecerdasan al-Ghazali beradaptasi ini kelak jadi salah
satu alasan bagi Nizam al-Muluk, wazir Dinasti Abbasiyah dari klan Seljuk, mendapuknya
sebagai rektor Nizamiyah pada 494 H/1091 M. Jabatan yang kemudian menambah satu
lagi gelar di belakang namanya, Hujjah
al-Islam (Pembela Islam).
Kebanyakan bahan pengajaran Imam Ghazali selama di
Nizamiyah dicatat oleh Sayyid bin Faris, dan Ibnu Lubban. Keduanya mencatat
kira-kira 183 bahan perkuliahan yang diberi nama Majalisul Ghazaliyyah. Pada kedua orang inilah umat Muslim
pascaGhazali berhutang jasa. Andai tak ada mereka, kita tak mungkin bisa
membaca-memelajari 400 buku yang telah ditulis oleh sang rektor.
Dari 400 judul buku yang telah ditulis al-Ghazali, para peneliti
membaginya ke dalam beberapa subjek ilmu, antara lain: teologi (bercorak skolastik),
fiqh, moral, logika, tafsir, filsafat, spiritual. Kitab Ihya ‘Ulûm al-Dîn adalah satu di
antara empat masterpiece yang telah
ia hasilkan seperti; Tahafut al-Falasifah, Misykat al-Anwar, al-Munqidz
Minad Dhalalah. Di dalam kitab Ihya misalnya, al-Ghazali berhasil
mendamaikan tasawuf dengan praktik-praktik non-ortodoks, mendamaikannya dengan
Islam, dan membersihkan mistisisme dari intelektualisme.
Pertanyaan kita, apakah Allah Swt hanya menciptakan
al-Ghazali seorang sebagai pembaru Islam? Tentu tidak. Ada banyak pembaru Islam
yang telah lahir sebelum atau sesudah beliau. Di Nusantara, kita punya Syaikh
Nawawi al-Bantani yang juga berkaliber dunia. 134 judul karyanya masih beredar
hingga kini di banyak pusat keilmuan Islam dunia, khususnya di pondok pesantren
(ponpes) Nusantara.
Bahkan kitab kuning Fath
Majid karya Syaikh Nawawi masih jadi bahan ajar di ponpes bebarengan dengan
Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Perbedaan
mencolok al-Ghazali dengan para ulama pembaru yang lain adalah, ia hidup pada
era Islam sedang berada di puncak kejayaan peradaban. Sehingga wajar apa yang
terjadi saat itu pada semua lini, kerap menjadi acuan bagi Muslim hari ini. Meski
harus diakui, al-Ghazali adalah salah seorang Muslim Abad Pertengahan yang
berpengaruh secara global selain Ibn Rusyd.
Peran dan sumbangsih al-Ghazali yang teramat besar,
selama ini hanya bisa diakses oleh
kalangan terdidik di universitas atau ponpes saja dalam format kitab
kuning. Masih ada begitu banyak kitab beliau (yang tentu masih berwarna kuning)
dan harus segera diterjemahkan. Dua di antaranya yang kini muncul kembali pada
2014 adalah Rahasia Shalat (Asrâr al-Shalâh wa Muhimmâtuhâ [percikan
Ihya ‘Ulûm al-Dîn]), dan Meraih Derajat Ahli Ibadah (Khulâsatu Minhâj Al-‘Âbidin [ringkasan Minhâj Al-‘Âbidin]), Rahasia Zikir dan Doa, Rahasia Amar Ma'ruf Nahi Munkar: Menghindari Turunnya Azab Atas Umat, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia, Menyingkap Hakikat Perkawinan: Adab, Tata Cara, dan Hikmahnya. Kesemuanya diterbitkan
oleh Noura Books (Mizan Grup).
Pada Senin, 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M,
al-Ghazali menutup mata tuk selamanya dalam usia 55 Tahun. Ibnu Jauzi
menceritakan kisah kematian beliau seperti yang kami terakan berikut ini:
“Ketika fajar pada hari tersebut terbit, beliau segera
mengambil air wudhu. Setelah itu beliau minta diambilkan kain kafan oleh
adiknya, Ahmad al-Ghazali (yang sudah menjadi sufi), lalu berkata: ‘”Aku telah
siap memenuhi panggilan-Mu dengan penuh ketaatan.’” Beliau pun membujurkan
kedua kakinya dan menghadap ke arah kiblat, lantas menghembuskan napas terakhir.” []
No comments:
Post a Comment