Dari Wahabisme ke ISIS

www.newstateman.com


Bagaimana Saudi Arabia Mengekspor Sumber Utama Permasalahan Terorisme Global[i]


Meskipun IS adalah sebuah gerakan Islam, gerakan ini bukan tipe maupun model gerakan yang terjadi  pada masa lalu, karena mereka berakar dari Wahabisme, yakni sebuah bentuk praktik Islam yang ada di Saudi Arabia yang berkembang pada Abad ke-18.
Islamic State (IS) dikenal sebagai perusak negara yang didukung oleh orang-orang Eropa hampir satu abad lalu. Keberingasan pencabulan IS nampak seperti lambang kekerasan yang banyak diyakini secara inheren dalam agama secara umum, khususnya dalam Islam.
Gerakan ini juga menunjukkan ideologi neo-konservatif yang diinspirasi dari perang Irak. Dari hal tersebut, diasumsikan bahwa negara liberal merupakan sebuah produk modernitas yang tak terelakkan, saat itu kediktatoran Saddam Hussain telah berakhir.
Irak sukses menjadi sebuah model demokrasi Barat. Bahkan, IS yang ditelurkan dari perang di Irak yang berniat memulihkan kekuasaan mutlak dari khalifah ini, nampaknya malah kembali pada kondisi Barbarisme.
Pada 16 November 2014, para militan merilis video yang memperlihatkan  bahwa mereka telah memenggal kepala seorang pekerja kemanusiaan asal Amerika, Peter Kassig (telah menjadi mualaf dengan nama Abdul-Rahman Kassig),[ii] yang tertangkap oleh para tentara Syiria. Kemudian kita akan melihat kekejaman kelompok irredentisme sebagai bukti ketidakmampuan kronik Islam dalam merangkul nilai-nilai modern.
Pada Juli 2013, parlemen Eropa mengidentifikasi, bahwa Wahabi-lah yang menjadi sumber utama kasus terorisme gobal, dan terlebih lagi mufti dari Saudi Arabia, telah mengutuk IS dalam istilah yang sangat pedas. Dia menekankan bahwa “ide dari ekstremisme, radikalisme, serta terorisme sama sekali bukan milik Islam.”
Akan tetapi, anggota lain dari kepemerintahan Saudi memandang gerakan ini dengan lebih halus, dan mendukung dengan mantap oposisinya terhadap Syiah, serta mendukung kesalehan salafi yang ketaatannya memperlihatkan kemurnian praktik Islam.
Ketidakkonsistenan ini merupakan sebuah peringatan berharga dari ketidakmungkinan pembuatan penyamarataan akurat tentang beberapa tradisi agama. Dalam sejarah pendeknya, Wahabisme telah dikembangkan setidaknya dalam dua bentuk berbeda, yang mana setiap bagiannya memiliki tingkat kekerasan yang juga berbeda.
Sejak Abad-18, gerakan revivalisme mengalami kemajuan di dunia Islam sebagai kekuatan kerajaan yang bermula untuk menghilangkan kontrol dari wilayah pinggiran (periferal teritoris).Pada saat yang sama, di Barat justru tengah dimulai pemisahan gereja dari agama.
Akan tetapi ide sekular ini merupakan sebuah inovasi radikal, yakni sebuah inovasi bersifat revolusioner sebagai dampak ekonomi komersial yang secara serempak telah diciptakan oleh Eropa. Tidak ada kultur lain yang dianggap oleh agama sebagai sebuah aktivitas pribadi yang murni terpisah dari sejumlah cita-cita dunia politik, sejauh politik Muslim mengalami keterpisahan dari masyarakat mereka, hal ini juga menjadi problem agama.
Karena al-Quran sendiri sebenarnya telah memberi mereka misi sakral–untuk membangun ekonomi yang mana seluruh manusia diperlakukan adil dan dihargai—perwujudan politik yang baik dari umat (ummah) yang selalu menjadi bahan pemasukan yang suci. Jika orang miskin ditindas, mereka sangat mudah dimanfaatkan atau menyatakan banyak lembaga itu korup, di sini Muslim wajib mengerahkan segala daya usaha untuk mengembalikan kondisi kepada yang semestinya.
Maka, para pembaharu pada abad ke-18 ini meyakini bahwa jika orang-orang Muslim ingin mendapatkan kembali kekuasaan dan martabat mereka yang telah hilang, mereka mesti kembali kepada keyakinan fundamental, memastikan bahwa Tuhan–lebih mulia daripada materialisme atau sekedar kata-kata ambisi—yang menguasai tatanan politik.
Tidak ada militansi tentang fundamentalisme ini. Lebih jauh, hal ini berakar dari usaha untuk mereorientasi masyarakat dengan tanpa melibatkan jihad. Salah seorang revivalis yang paling berpengaruh antara lain, Muhammad Ibn Abd al-Wahhab (1703-1791), seorang sarjana terpelajar dari Najd, Pusat Saudi Arabia, yang menjadi pengajar, bahkan hingga menginspirasi para pembaharu Muslim dan juga para ekstremis pada era sekarang.
Konsentrasi khususnya terletak pada popularitas pengultus orang suci dan ritual pemberhalaan pada sejumlah kuburan, yang mana, dia percaya bahwa sifat-sifat Ilahiah itu hanya diatributkan kepada manusia saja.
Ia bersikeras bahwa masing-masing individu baik laki-laki ataupun perempuan sejatinya hanya berfokus pada pengkajian al-Quran dan perkataan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Seperti Martin Luther, Ibn Abd al-Wahhab ingin mengembalikan Islam pada tradisi ajaran keimanan terdahulu dan menolak semua pembaharuan yang datang pada Abad Pertengahan. Oleh sebab itu, ia menentang kaum Sufi dan Syiah, yang dianggapnya pembaharu zindiq (bid’ah).
Ia mengajak seluruh Muslim menolak penafsiran yang diajarkan dan berkembang di seluruh negeri Muslim yang dilakukan para ulama (sarjana) yang menafsirkan teks sesuai subjektifitas mereka sendiri.
Tentu saja hal ini menyebabkan para pemimpin agama tidak terima dan mengancam pemerintah setempat, yang percaya bahwa menafsirkan keyakinan kekinian bisa menyebabkan kerusuhan sosial.
Pada akhirnya, Ibn Abd al-Wahhab menemukan patron pada sosok Muhammad Ibn Saud, pemimpin Najd yang mengadopsi ide-idenya. Tetapi ketegangan kemudian meningkat antara keduanya.
Ibn Abd al-Wahhab menolak mendukung kempanye militer Ibnu Saud untuk menjajah. Ia beranggapan bahwa jihad seharusnya tidak dilakukan demi keuntungan pribadi, tetapi diperbolehkan hanya jika umat telah diserang secara militer.
Ia juga melarang orang-orang Arab yang biasa membunuh para tahanan, dengan mempertimbangkan kerusakan harta benda dan pembantaian orang-orang sipil, termasuk juga perempuan dan anak-anak. Juga apakah ia pernah menyatakan bahwa mereka yang berperang itu adalah para syahidin yang akan diganjar dengan tempat yang indah di surga nanti, karena hasrat yang kuat untuk pembesaran diri tidak ada kaitannya dengan jihad.
Dua bentuk Wahabisme yang terbit ke permukaan: di mana Ibn Saud senang memaksa orang-orang Islam dari kalangan Wahabi dengan pedang untuk mendompleng posisinya di dalam politik. Ibn Abd al-Wahhab bersikukuh bahwa pendikan, studi, dan debat hanya diperbolehkan dalam rangka menyebarkan satu keimanan yang sebenar-benarnya.
Walau pun kitab suci telah menjadi poros ideologi Ibn Abd al-Wahhab, namun, ia bersikeras bahwa Islam versi dirinya sendiri-lah yang paling benar. Ia mendistorsi pesan-pesan Qurani. Padahal dengan sangat tegas al-Quran menyatakan bahwa, “tidak ada paksaan dalam beragama” (QS al-Baqarah [2]:256), mengatur bahwa orang-orang Muslim harus percaya kepada wahyu yang dibawa oleh para Nabi (QS Ali ‘Imran [3]:84), dan bahwa pluralisme agama adalah kehendak Tuhan (QS al-Maidah [5]:48).
Muslim secara turun-temurun mewaspadai takfir, yakni praktik pendeklarasian seorang pengikut Muslim menjadi orang yang tidak beriman (kafir). Sufisme sampai hari ini, misalnya, membangun apresiasi agung kepada tradisi agama (keyakinan) lain, merepresentasikan forma Islam yang paling biasa dikenal yang telah memainkan peran penting dalam kehidupan sosial maupun agama.
“Jangan kau agungkan keyakinanmu dengan eksklusif sehingga engkau tidak mempercayai yang bukan selainmu,” demikian motivasi mistikus agung Ibnu Arabi (w.1240). “Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Ada tidak terbatas pada satu keyakinan tertentu saja.”
Ungkapan ini kemudian menjadi pernyataan umum di kalangan sufi untuk mengklaim bahwa dia bukan seorang Yahudi dan dia juga bukan merupakan seorang Muslim, karena sekali saja kamu mendefinisikan dirimu seperti demikian, maka kamu telah menciptakan perbedaan di tengah orang-orang.
Meskipun penolakannya pada forma Islam yang lain, Ibn Abd al-Wahhab membedakan dirinya dengan takfir. Ia berargumentasi bahwa hanya Tuhan saja yang bisa membaca isi hati seseorang.
Akan tetapi pascameninggalnya, Wahabisme justru tertuang dalam bentuk seperti sekarang ini dan kecurigaan kepada kaum sufi semakin meningkat secara drastis. Pascameninggalnya juga, Wahabisme menjadi lebih bengis, sebagai sebuah instrumen dari sebuah negara teror.
Seperti pandangannya untuk membangun negara independen, Abd al-Aziz, anak dari Ibn Saud menggunakan takfiri untuk membenarkan seluruh pembantaian dari para penentangnya.
Pada 1801, tentara Abd al-Aziz meringkus orang-orang Syiah di kota di Karbala yang sekarang dikenal dengan nama Irak, merebut makam Imam Husain, dan membantai ribuan orang Syiah, termasuk wanita dan anak-anak; pada 1803, dalam keadan ketakutan dan kepanikan, kota suci Makkah diserahkan kepada pemimpin Saudi.
Akhirya pada 1815, Kerajaan Ottoman mengirim Muhammad Ali Pasha, Gubernur Mesir, guna menghancurkan pertahanan Wahabi dan juga menghancurkan pusat pemerintahan mereka. Tetapi orang-orang Wahabi sekali lagi menjadi pertahanan politik sejak Perang Dunia I ketika pemimpin Saudi–Abd al-Aziz yang lain—membuat desakan baru pendirian negara bagian dan mulai membangun kerajaan yang besar untuk dirinya di Timur Tengah dengan bala tentara dari orang-orang Badui, yang dikenal dengan sebutan Ikhwan, atau “saudara.”
Dari Ikhwan inilah kita mengetahui akar IS. Demi membongkar kelompok ini dan mengalihkan gaya hidup nomaden yang menegaskan ketidaksesuaiannya dengan Islam, pemimpin Wahabi telah menetapkan orang-orang Badui di Oase, dimana mereka belajar bercocok tanam dan seni menetap di suatu tempat, mereka juga digembleng dengan doktrin IslamWahabi.
Suatu ketika mereka mengubah waktu serangan ghazu, yang tipe jarahannyan berupa hewan ternak untuk keperluan jihad. Para pejuang Badui tersebut menjadi semakin beringas dan ekstrem, mereka menutup wajah ketika bertemu dengan orang-orang Eropa dan orang-orang non-Arab lainnya, mereka berperang dengan menggunakan tombak dan pedang, persenjataan mereka dicibir karena tidak menggunakan senjata seperti pada masa Rasulullah Saw. Dalam serbuan ghazu terdahulu, orang-orang Badui akan senantiasa meminimalisasi korban dan tidak menyerang yang bukan prajurit. Sekarang, para Ikhwan rutin membantai ribuan penduduk desa “murtad” yang tak bersenjata di kawasan mereka, membantai perempuan dan anak-anak, juga menggorok tenggorokan seluruh tahanan pria.
Pada 1915, Abd al-Aziz merencanakan penaklukkan Hijaz (sebuah area di Barat yang pada kemudian hari disebut Saudi Arabia—termasuk di dalamnya Makkah dan Madinah), Teluk Persia di Timur Najd, dan tanah yang sekarang disebut Syiria dan Yordan di utara, tetapi sejak 1920 ia meredam ambisinya mendapatkan posisi diplomatis sebagai sebuah negara dengan Inggris dan Amerika Serikat.
Ikhwan, terkadang melanjutkan serangannya ke Inggris di daerah porektorasi Irak, Transyordan dan Kuwait, mereka bersikeras bahwa jihad itu tidak memiliki batasan tempat, menganggap modernitas sebagai bidah, Ikhwan juga memaksa Abd al-Aziz agar melisensi penggunaan telepon, mobil, telegraf, musik dan rokok–sesuatu yang memang belum ada (belum diketahui) pada masa Nabi–sampai akhirnya Abd al-Aziz memupus pemberontakan mereka pada 1930.
Setelah Ikhwan ditaklukkan, pejabat Wahabi dari kerajaan Saudi Arabia sengaja menelantarkan militan jihad dan menjadi sebuah gerakan agama yang konservatif, mirip dengan gerakan asal pada masa Ibn Abd al-Wahhab, kecuali takfir tadi yang sekarang bisa diterima, dipraktikkan, dan bahkan menjadi kepercayaan paling esensial dari paham Wahabi.
Perkembangan selanjutnya kerap menimbulkan ketegangan antara aturan pemerintah Saudi dan orang-orang yang cenderung Wahabi radikal. Semangat dan impian Abd al-Aziz memperluas teritorial tidak akan pernah pupus, bahkan diakuisisi dengan tanah yang baru pada 1970, ketika kerajaan menjadi sentral kebijakan Barat.
Washington menyambut oposisi Saudi Arabia bagi Naserisme (pendulangan ideologi sosialis dari presiden Mesir yang ke-2, Gamal Abdel Nasser) dan memengaruhi Soviet. Setelah Revolusi Iran, secara diam-diam hal ini memberi semangat tersendiri kepada proyek Saudi untuk menolak Syiah radikal dengan me-Wahabisasi seluruh Muslim di antero dunia.
Melambungnya harga minyak pertama kali diciptakan saat embargo 1973–ketika produsen minyak bumi memotong suplai ke Amerika sebagai protes melawan dukungan militer Amerika untuk Israel–memberi segala yang dibutuhkan kerajaan petrodollar untuk mengekspor atribut asli dari Islam.
Para jihadis tradisional berjihad menyebarkan keyakinan yang sekarang tergantikan oleh budaya tak beradab. Setelah Liga Muslim Dunia (Muslim World League), Saudi membangun markas-markas di setiap wilayah dan dihuni oleh orang-orang Muslim. Bahkan menteri Agama Saudi mencetak dan menyebarkan al-Quran yang ditransliterasi oleh Wahabi.
Doktrin teks Wahabi dan karya-karya pemikir modern yang kini tersebar luas, ditulis oleh orang-orang Saudi yang dikenal ramah oleh seluruh komunitas Muslim, seperti: Sayyid Abul-A’la Maududi, Sayyid Quthb, dan lainnya, sedari Timur Tengah, Afrika, Indonesia, Amerika, hingga Eropa.
Pada banyak tempat tersebut, dibangunlah masjid bergaya bangunan Saudi dengan muballigh-mubaligh yang berasal dari kalangan Wahabi. Selain itu, dibangun pula madrasah-madrasah (sekolah) gratis bagi kalangan miskin, tentunya dengan kurikulum berbasis Wahabi.
Pada saat yang sama, para pemuda dari negara Muslim yang miskin, seperti Mesir dan Pakistan yang biasa bekerja di daerah Teluk pun, akhirnya merasa terdorong membantu keluarga mereka. Pada akhirnya, mereka hidup dalam lingkungan yang baru dengan gaya hidup baru, di antara masjid-masjid a la Saudi serta tempat perbelanjaan yang memisahkan antara lelaki dan perempuan asing.
Saudi–yang merasa telah memberi banyak hal–memaksa para pemuda itu menyetarakan ajaran sebagai bentuk timbal balik kemurahan hati pemerintahan Saudi. Wahabi menolak segala bentuk kepercayaan Islam. Sepanjang keimanan yang lain dapat dijangkau secara mendalam di Bradford, Inggris dan Bufallo, New York, sebagaimana kepada Pakistan, Jordan atau Syiria: setiap tempat merongrong adanya pluralisme Islam tradisional. Generasi Muslim pun akhirnya berkembang dengan model Islam non-konvensional, yang mengajarkan pandangan negatif serta ketidaktoleranan pada keyakinan lain yang tidak sepaham dengan mereka.
Inilah pandangan bagaimana radikalisme berkembang. Penafsiran yang diajarkan oleh para ulama terdahulu ditolak mentah-mentah oleh kaum Wahabi. Sedangkan pada zaman sekarang, penafsiran kitab suci dilakukan oleh para ekstremis. Banyak orang bebas yang tidak memiliki kualifikasi, semacam Osama bin Laden, yang secara bebas menafsirkan al-Quran.
Demi mencegah penyebaran radikalisme, Saudi mencoba mengalihkan para pemuda mereka dari problem internal kerajaan sejak 1980, dengan mendukung pan-Islamisme yang sebenarnya tidak disetujui ulama Wahabi.
Muslim di beberapa negara seperti Mesir, berjuang melawan tirani dan korupsi di negeri mereka. Sedangkan kaum Muslim Saudi lebih berfokus pada penindasan Muslim di antero dunia. Kita bisa lihat di televisi gambaran penderitaan kaum Muslim yang ada di Palestina atau Lebanon, atau ketidaklayakan rumah-rumah orang Saudi, dan lain sebagainya.
Pemerintah mereka juga mendesak para pemudanya bergabung dengan organisasi dari dunia Arab yang tergabung dalam gerakan jihad Afganistan untuk melawan Uni Soviet. Respon dari para militan tersebut menjadi motivasi tersendiri bagi mereka untuk bergabung dalam jihad di Syiria dan Irak hari ini.
Saudi melakukan survei kepada para sukarelawan Afganistan yang memerangi Bosnia dan Kenya, serta menghancurkan kemah-kemah al-Qaidah. Ternyata, kebanyakan dari mereka melakukan hal itu bukan karena terlecut kebencian terhadap Barat, tetapi karena ingin membantu saudara-saudara mereka sesama Muslim.
Lebih jauh, pada 1938 dengan cara yang sama, orang-orang Eropa juga meninggalkan rumahnya untuk memerangi fasis di Spanyol, begitu juga dengan orang-orang Yahudi yang bergegas menuju Israel ketika Perang Enam Hari pada 1967. Kesejahteraan umat akan senantiasa menjadi spirit politik di dalam Islam. Melaksanakan kebaikan dan menjauhi keburukan adalah identitas religius kaum Muslim.
Gerakan pan-Islamisme ini juga menjadi fokus propaganda Osama bin Laden. Video martir Saudi yang turut serta dalam peristiwa 9/11 memperlihatkan bahwa mereka telah dipengaruhi oleh Wahabisme. Hal ini lebih kejam dibanding dengan penistaan yang dialami umat secara keseluruhan.
Sebagai Ikhwan, IS merepresentasikan sebuah pemberontakan melawan Wahabisme modern Arab Saudi. Baik senjata, ditutupnya muka, maupun pemenggalan leher yang mereka lakukan –semua itu diklaim–dapat membangkitkan rasa persaudaraan. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti bahwa IS seluruhnya adalah jihadis bengal.
Hal yang paling penting adalah, bahwa seorang sekularis bernama Ba’athists dari rezim Sadam Husain, dan tentaranya terdahulu telah membubarkan bala tentaranya dan kembali mengirimkan status quo kepada Irak. Hal ini akan menunjukkan bahwa IS memiliki performa perlawanan yang kuat dan profesional dalam segala hal. Intinya, sedikit sekali pemuda yang direkrut itu dimotivasi dengan baik atau dengan ide Muslim tradisional oleh Wahabisme.
Pada 2008, Unit sains perilaku MI5 mencatat bahwa “jauh sebelum keberadaan agama zealots, keterlibatan mereka dalam kegiatan terorisme tidak mempraktikkan keimanan yang sesungguhnya. Masih banyak kekurangan dalam literatur agama, dan bisa jadi ia akan dipertimbangkan sebagai sebuah agama pemula.
Hukuman yang proporsional atas terorisme adalah serangan 9/11 melawan orang-orang yang tak taat, atau pengajaran diri atau seperti orang bersenjata pada perlawanan sebelumnya di Kanada dikonversi ke dalam Islam. Mereka mengklaim hal tersebut dilakukan atas nama Islam.
Bagaimana pun, jika ada seorang pemula yang menyatakan bahwa ia tengah memainkan Soneta Beethoven, maka yang akan kita dengar hanyalah kegaduhan. Demikian juga dua orang jihadis ambisius yang datang dari Brimingham ke Syiria Mei lalu, mereka tengah menawarkan Islam untuk orang-orang bodoh dari Amazon.
Pembunuhan massal telah menjadi fenomena modern yang terjadi di banyak tempat. Bermula dari Revolusi Perancis, mereka diarahkan membuat negara sekular pertama di Eropa, Jacobins secara terang-terangan memenggal kepala sekitar 17.000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Pada Perang Dunia I, pemuda-pemuda Turki membantai sekitar satu juta tentara, termasuk juga di dalamnya wanita, anak-anak, dan para lansia, untuk membentuk Negara Turki yang asli.
Orang Soviet Bolsheviks, Khmer Rounge dan Red Guard, semuanya menggunakan terorisme yang tersistematisasi untuk menumpas korupsi. Seperti halnya IS yang menggunakan kekerasan untuk meraih definisi hakiki (jihad), yang tidak mungkin mereka lakukan tanpa pembantaian. Hal inilah yang menjadi sisi kelam modernitas.
Pada 1922, saat Mustafa Kamal Atatürk memimpin, ia menyempurnakan tugasnya, membersihkan kelompok muda Turki dengan cara mendeportasi orang-orang Yunani Kristen dari Turki. Tahun 1925 ia mengumumkan sistem khalifah ditiadakan. Khilafah memang telah runtuh secara politik, tetapi karena ia menyimbolkan kesatuan umat dan hubungannya dengan Nabi, Orang-orang Sunni meratapi kehilangan ini sebagai trauma spiritual dan budaya.
Namun, proyek kekhalifahan IS ini tidak mendapatkan dukungan dari para ulama internasional dan semakin nyata peningkatannya di dunia. Hal ini benar, khususnya di Timur Tengah, yang masih belum memiliki tradisi nasionalisme yang batas-batasnya tergambar dari para penyerang yang sewenang-wenang, dan hampir mungkin membentuk spirit nasional. Dari sini IS juga tidak sesederhana mendengarkan sesuatu yang telah berlalu. Anehnya, mereka menyatakan berfokus pada dunia modern.   
Negara kesatuan liberal demokratis yang berkembang di Eropa adalah dalam rangka menyiapkan revolusi industri, yang menjadi cita-cita pada periode pencerahan. Hal yang seharusnya mengaspirasi malah dimanfaatkan untuk kebutuhan praktis. Hal ini tidak ideal: tumit Achilles selalu tidak akan bisa menolerir kelompok minoritas–yang merupakan kegagalan tanggung jawab atas setiap kelaliman terburuk pada abad ke-20. Pada bagian dunia yang lain, modernisasi telah berkembang dengan cara berbeda dengan  dengan kebijakan lain pula..
Jadi, negara liberal merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari dari modernisme. Upaya memproduksi demokrasi di Irak dengan melakukan penyerbuan, tidak hanya bisa mengakibatkan kelahiran yang tidak alami–maka demikian juga dengan kemunculan IS yang menghasilkan kejahatan. IS bisa saja telah melampaui dirinya sendiri, kebijakannya tidak bisa dipertahankan dan kehadirannya bergantung pada oposisi, Baik dari Muslim Sunni maupun Syiah itu sendiri.
Menariknya, Saudi Arabia dengan kehebatannya dalam menangkal sumber daya terorisme, telah menghalangi upaya yang dilakukan IS untuk meluncurkan sederet serangan yang ditujukan kepada kerajaan, yang bisa jadi hanya kekuatan dari daerah saja yang mampu menggagalkannya.
Sangat realistis, pada situasi seperti ini, kita butuh hukum Islam yang jelas tentang konflik, yakni untuk mengetahui bahwa IS itu bukanlah kilas balik atavistik[iii] kehidupan lalu yang primitif, tetapi produk modernitas dalam arti sesungguhnya. []


Karen Amstrong adalah penulis “Fields of Blood: Religion and the History of Violence.” (Bodley Head, x25)



Catatan akhir:

[i] Dialihbahasa oleh Zahroh Akiedh & Reno Muhammad dari “Wahhabism to ISIS: How Saudi Arabia Exported The Main Source of Global Terrorism” oleh Karen Amstrong yang dimuat oleh www.newstateman.com pada 27 November, 2014, pukul 10.00 waktu Amerika Serikat.
[ii] Kasus ini menarik. Sebelumnya, ISIS kerap menggorok leher para jurnalis Barat yang notabene non-Muslim. Satu lagi, jika di awal mereka selalu menutupi identitas para penyembelih, saat Kassig yang menjadi korban bersama belasan warga Barat lainnya, mereka membiarkan wajahnya dilihat publik dunia—yang kemudian tercengang: 100 % penyembelih itu adalah warga asli Barat yang telah menjadi mualaf. Tapi diskusi kita belum berhenti sampai di sini. Pada tulisan kami berikutnya, Kehancuran Abad 21, yang akan segera rilis, kami akan mendedah perkara ini sejernih mungkin.  
[iii] Atavisme adalah kemunculan karakteristik dalam organisme setelah absen selama beberapa generasi. Hal ini disebabkan adanya kesempatan berbagai gen melakukan penyatuan kembali. Dengan demikian, akan terjadi pengulangan kembali sifat atau perilaku sebelumnya, setelah hilang untuk jangka waktu yang lama. Lebih sederhana, atavisme merupakan pemunculan kembali sifat-sifat pada seseorang yang sudah lama tidak muncul pada generasi sebelumnya.

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews