Kehancuran Manusia Abad-21 (Bagian Satu)


KITA sering membaca-mendengar seputar kisah bangsa besar di masa lalu. Tentang bagaimana mereka lahir, tumbuh, membiak, berkembang, membesar, mendunia, dan menyejarah. Tapi sedikit saja yang kita ketahui soal bagaimana semua yang mereka lakukan, menguap begitu saja dalam kehancuran.

Peradaban Yunani diserap Muslim Damaskus dan membahana di Baghdad. Juga disalin rupa oleh Byzantium hingga dilanjutkan Rusia hari ini. Peradaban Muslim pelahan runtuh di Andalusia. Lantas dilanjutkan Barat hingga menjadi Abad Modern seperti sekarang. Namun kenapa umat Muslim tetap saja terbelakang?

Pertanyaan kita, apa yang menyebabkan semua adab besar nan unggul yang pernah ada kemudian punah? Kenapa selalu artefak belaka yang mereka sisakan? Apakah biang keladi kehancuran mereka? Siapa pula yang menjadi pelanjut tongkat estafet semua peradaban itu sebelum sampai ke tangan kita? Apa sejatinya yang mereka wariskan pada kita?

Umur kehidupan di Bumi telah terentang sepanjang 10 juta tahun lamanya. Para ilmuwan sepakat menganggap ada evolusi-revolusi yang menjadi motor penggerak utama peradaban manusia. Apakah 10 juta tahun itu telah benarbenar kita mengerti dan hayati? Jawabannya, belum dan tidak.

Kenapa bangsabangsa besar itu raib begitu saja? Apakah yang terjadi pada mereka juga kita alami hari ini? Adakah benturan antara agama dan negara juga membuat mereka goyah dan terbelah—lantas kemudian punah? Sejauh mana kita bisa mengerti proses kejadiannya? Jawabannya, kabur belaka. Semua serba praduga.


Sebagaimana yang ditulis Walter Benjamin, “Masa lalu, hanya dapat diraih sebagai sebuah gambaran yang berkelebat seketika, pada saat ia dapat dikenali dan setelah itu takkan terlihat lagi.” (1968: 225)

Jika memang benar semua bangsa unggul itu telah mencapai puncak azimut kejayaan dalam segala bidang (termasuk pengetahuan & spiritualitas), lantas kenapa mereka merosot ke titik nadir? Tak cukupkah dua anasir peradaban itu bagi mereka? Sementara kedua hal itulah yang dikejar sekuat tenaga oleh Abad Modern yang kita hidup hari ini.

Jejak yang ditinggalkan nenek moyang kita dari masa lalu, tak sepenuhnya bisa ditelusuri. Bukan tak mungkin, hal yang sama juga terjadi pada kita dan generasi mendatang. Malah bisa jadi lebih tragis dari itu. Sampai hari ini, tak satu pun kita bisa memastikannya. Semua butuh diuji dan dibuktikan. Sejarah yang akan menjawabnya. Sayang, sedikit sekali manusia yang mau menyelam ke dalam sejarah. Cicero, filsuf Yunani pernah berkata, "Orang yang menafikan sejarah dalam hidupnya, maka dia adalah kanakkanak seumur hidupnya ..."

Hari ini, pengujung Desember 2014, wajah dunia kita kian diwarnai urbanisasi dan globalisasi yang telah mengubah wajah alam. Permukaan bumi telah benar-benar berubah makin suram. “How can you be independent from the system if you still enjoy their products? Measure your needs. Because everything has its consequences,” demikian yang dipesankan Iskandar Waworuntu, pendiri komunitas Bumi Langit yang aktif melakukan advokasi penyelamatan manusia dan alam dengan kemandirian di atas kaki dan dengan tangan sendiri.

Harus diakui, kini wajah dunia kita jadi buruk rupa kerana ada milyaran orang yang melakukan sesuatu tapi bukan berdasar kemampuannya. Ada banyak zombie di manamana. Manusia tinggal atribut belaka. Mereka tak lebih dari onggokan daging yang melekat pada tulang belulangnya.

            “Aku melawan saudara kandungku; aku dan saudara kandungku melawan sepupuku; aku, saudara kandungku, dan sepupuku, melawan klan lain.” Bunyi pepatah kuno itu kini kita saksikan di depan mata. Perang pecah di manamana. Sedari tepian Afrika, hingga Timur Tengah. Manusia telah kehilangan harga dirinya yang sejati selaku makhluk mulia.

            Jadi atas kepentingan apakah Abad Modern ini dikembangkan? Dari manusia untuk manusia? Sayangnya, tidak. Apa yang kita alami dan rasakan, jauh panggang dari api. Padahal dalam Sunan al-Kubra, Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, "Permulaan akal, setelah iman/agama, adalah menunjukkan kecintaan kepada manusia."

Berdasar hasil riset yang masih terus kami kembangkan, ada beberapa isu utama yang menguntit hidup kita sekarang, dengan dampak besar yang tak terperikan, seperti; Sains-Teknologi, Industrialilasi, Kapitalisme, Perbudakan, Agama, Adicita (ideologi), Lingkungan, Virus, serta Cinta-Diri yang berlebihan (self-love).

Penulisan subjek kajian tersebut dengan huruf kapital, adalah tanda betapa pentingnya soal tersebut kita mengerti, ditelaah, diurai, dipecahkan, dan dicarikan jalan keluar. Kita tak lagi bisa berpangku tangan menunggu PBB, Uni Eropa, NATO, ASEAN, OPEC, APEC, OKI, Obama, pun Jokowi, untuk menuntaskan kasus per kasus yang merobek jantung kehidupan kita bersama.

Terkadang keberadaan mereka, sangat berdampak kecil saja dibanding apa yang kita kehendaki (untuk tak menyebutnya tidak berguna). Sementara fakta di lapangan kehidupan terus membuat bulu kuduk kita meremang.    

Ada sekitar 70.000 kilometer persegi gurun baru setiap tahunnya. Setelah gurun mulai terbentuk, akan terjadi reaksi berantai. Pertumbuhan tanaman terhenti, air menghilang, tanah mengering, dan menjadi keras seperti panser. Dapatkah Anda bayangkan seperti apa wajah Bumi kita lima tahun mendatang?

Masihkah hutan di Kalimantan dan Amazon menghasilkan oksigen? Akankah laut merendam daratan akibat pemanasan di Kutub Utara sana? Berapa banyak lagi sampah tak terurai yang akan dihasilkan manusia? Lahan pertanian mana lagi yang masih bisa kita olah?

Akankah sumber air kita masih bisa digunakan, sementara limbah terus dihasilkan? Mungkinkah pembantaian massal manusia bisa dihentikan? Siapa yang berani dan sanggup menghentikan perang di Timur Tengah dan melawan penyebaran virus buatan Barat untuk membunuhi masyarakat Afrika?

Benarkah manusia harus termodernkan sedang pada saat yang sama, banyak komunitas manusia yang hidup apa adanya dan selaras alam tanpa teknologi, tanpa internet, jejaring sosial, perbankan yang serba tipu daya?

Kita harus bisa menjawab dari mana muara kerumitan hidup manusia hari ini. Kita bahkan harus menaikkan keberanian beberapa tingkat untuk angkat bicara, bertindak, dan menyelamatkan begitu banyak korban yang masih dan akan terus berjatuhan akibat degradasi alam yang kita picu sendiri.

Sudah tak ada lagi waktu untuk tuding menuding hidung orang lain. Timur dan Barat sama saja perannya dalam merusak wajah dunia. Barat yang terdepan dalam merusak, menyeret Timur yang termodernkan—meski terlampau lamban dan terkesan malumalu. Kita harus segera mengaktifkan potensi akal pikiran yang selama jutaan tahun baru tercandak sepuluh persen saja, menjadi 20 persen—mungkin lebih. Sebagaimana pesan al-Ma’mun[i] pada Abad-7 M di Bagdad, “Tidak ada wisata yang lebih indah daripada menjelajah alam pikiran manusia.” Jika pikiran manusia berkembang, hidup yang ia kelola pun kian semarak.

Penalaran yang kami sodorkan di atas semoga turut menggugah kegelisahan Anda untuk terus bertanya dan mencari jawaban sendiri. Bertanya dan menjawab lagi. Terus begitu, sampai kita tahu, bahwa hidup yang kita hadapi pada Abad 21, jauh lebih pelik dari yang selama ini terbayangkan. Bahkan runtuhnya menara kembar WTC pada 9 September 2001, adalah puncak pertikaian sarat darah, airmata, dan kebiadaban, selama Perang Salib merobek persaudaraan dua agama sedarah: Kristen dan Islam. (bersambung)





[i] Al-Ma'mun ar-Rasyid bergelar Abu al-Abbas dengan nama asli Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Mahdi, adalah seorang khalifah Bani Abbasiyah yang berkuasa pada 813-833 M.

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews