KITA sering membaca-mendengar seputar kisah bangsa besar di
masa lalu. Tentang bagaimana mereka lahir, tumbuh, membiak, berkembang, membesar,
mendunia, dan menyejarah. Tapi sedikit saja yang kita ketahui soal bagaimana
semua yang mereka lakukan, menguap begitu saja dalam kehancuran.
Peradaban Yunani diserap Muslim Damaskus dan
membahana di Baghdad. Juga disalin rupa oleh Byzantium hingga dilanjutkan Rusia
hari ini. Peradaban Muslim pelahan runtuh di Andalusia. Lantas dilanjutkan
Barat hingga menjadi Abad Modern seperti sekarang. Namun kenapa umat Muslim
tetap saja terbelakang?
Pertanyaan kita, apa yang menyebabkan semua
adab besar nan unggul yang pernah ada kemudian punah? Kenapa selalu artefak
belaka yang mereka sisakan? Apakah biang keladi kehancuran mereka? Siapa pula
yang menjadi pelanjut tongkat estafet semua peradaban itu sebelum sampai ke
tangan kita? Apa sejatinya yang mereka wariskan pada kita?
Umur kehidupan di Bumi telah terentang
sepanjang 10 juta tahun lamanya. Para ilmuwan sepakat menganggap ada
evolusi-revolusi yang menjadi motor penggerak utama peradaban manusia. Apakah 10
juta tahun itu telah benarbenar kita mengerti dan hayati? Jawabannya, belum dan
tidak.
Kenapa bangsabangsa besar itu raib begitu saja?
Apakah yang terjadi pada mereka juga kita alami hari ini? Adakah benturan
antara agama dan negara juga membuat mereka goyah dan terbelah—lantas kemudian
punah? Sejauh mana kita bisa mengerti proses kejadiannya? Jawabannya, kabur
belaka. Semua serba praduga.
Sebagaimana yang ditulis Walter Benjamin, “Masa
lalu, hanya dapat diraih sebagai sebuah gambaran yang berkelebat seketika, pada
saat ia dapat dikenali dan setelah itu takkan terlihat lagi.” (1968: 225)
Jika memang benar semua bangsa unggul itu telah
mencapai puncak azimut kejayaan dalam segala bidang (termasuk pengetahuan &
spiritualitas), lantas kenapa mereka merosot ke titik nadir? Tak cukupkah dua
anasir peradaban itu bagi mereka? Sementara kedua hal itulah yang dikejar
sekuat tenaga oleh Abad Modern yang kita hidup hari ini.
Jejak yang ditinggalkan nenek moyang kita dari
masa lalu, tak sepenuhnya bisa ditelusuri. Bukan tak mungkin, hal yang sama
juga terjadi pada kita dan generasi mendatang. Malah bisa jadi lebih tragis
dari itu. Sampai hari ini, tak satu pun kita bisa memastikannya. Semua butuh diuji
dan dibuktikan. Sejarah yang akan menjawabnya. Sayang, sedikit sekali manusia
yang mau menyelam ke dalam sejarah. Cicero, filsuf Yunani pernah berkata,
"Orang yang menafikan sejarah dalam hidupnya, maka dia adalah kanakkanak
seumur hidupnya ..."
Hari ini, pengujung Desember 2014, wajah dunia
kita kian diwarnai urbanisasi dan globalisasi yang telah mengubah wajah alam. Permukaan
bumi telah benar-benar berubah makin suram. “How can you be independent from the system if you still enjoy their
products? Measure your needs. Because everything has its consequences,” demikian
yang dipesankan Iskandar Waworuntu, pendiri komunitas Bumi Langit yang aktif
melakukan advokasi penyelamatan manusia dan alam dengan kemandirian di atas
kaki dan dengan tangan sendiri.
Harus diakui, kini wajah dunia kita jadi buruk
rupa kerana ada milyaran orang yang melakukan sesuatu tapi bukan berdasar
kemampuannya. Ada banyak zombie di manamana. Manusia tinggal atribut belaka. Mereka
tak lebih dari onggokan daging yang melekat pada tulang belulangnya.
“Aku
melawan saudara kandungku; aku dan saudara kandungku melawan sepupuku; aku, saudara
kandungku, dan sepupuku, melawan klan lain.” Bunyi pepatah kuno itu kini kita
saksikan di depan mata. Perang pecah di manamana. Sedari tepian Afrika, hingga
Timur Tengah. Manusia telah kehilangan harga dirinya yang sejati selaku makhluk
mulia.
Jadi atas
kepentingan apakah Abad Modern ini dikembangkan? Dari manusia untuk manusia? Sayangnya,
tidak. Apa yang kita alami dan rasakan, jauh panggang dari api. Padahal dalam Sunan al-Kubra, Nabi Muhammad Saw pernah
bersabda, "Permulaan akal, setelah iman/agama, adalah menunjukkan
kecintaan kepada manusia."
Berdasar hasil riset yang masih terus kami
kembangkan, ada beberapa isu utama yang menguntit hidup kita sekarang, dengan
dampak besar yang tak terperikan, seperti; Sains-Teknologi, Industrialilasi, Kapitalisme,
Perbudakan, Agama, Adicita (ideologi), Lingkungan, Virus, serta Cinta-Diri yang
berlebihan (self-love).
Penulisan subjek kajian tersebut dengan huruf kapital,
adalah tanda betapa pentingnya soal tersebut kita mengerti, ditelaah, diurai,
dipecahkan, dan dicarikan jalan keluar. Kita tak lagi bisa berpangku tangan
menunggu PBB, Uni Eropa, NATO, ASEAN, OPEC, APEC, OKI, Obama, pun Jokowi, untuk
menuntaskan kasus per kasus yang merobek jantung kehidupan kita bersama.
Terkadang keberadaan mereka, sangat berdampak
kecil saja dibanding apa yang kita kehendaki (untuk tak menyebutnya tidak
berguna). Sementara fakta di lapangan kehidupan terus membuat bulu kuduk kita
meremang.
Ada sekitar 70.000 kilometer persegi gurun baru
setiap tahunnya. Setelah gurun mulai terbentuk, akan terjadi reaksi berantai.
Pertumbuhan tanaman terhenti, air menghilang, tanah mengering, dan menjadi
keras seperti panser. Dapatkah Anda bayangkan seperti apa wajah Bumi kita lima
tahun mendatang?
Masihkah hutan di Kalimantan dan Amazon
menghasilkan oksigen? Akankah laut merendam daratan akibat pemanasan di Kutub
Utara sana? Berapa banyak lagi sampah tak terurai yang akan dihasilkan manusia?
Lahan pertanian mana lagi yang masih bisa kita olah?
Akankah sumber air kita masih bisa digunakan,
sementara limbah terus dihasilkan? Mungkinkah pembantaian massal manusia bisa
dihentikan? Siapa yang berani dan sanggup menghentikan perang di Timur Tengah
dan melawan penyebaran virus buatan Barat untuk membunuhi masyarakat Afrika?
Benarkah manusia harus termodernkan sedang pada
saat yang sama, banyak komunitas manusia yang hidup apa adanya dan selaras alam
tanpa teknologi, tanpa internet, jejaring sosial, perbankan yang serba tipu
daya?
Kita harus bisa menjawab dari mana muara
kerumitan hidup manusia hari ini. Kita bahkan harus menaikkan keberanian
beberapa tingkat untuk angkat bicara, bertindak, dan menyelamatkan begitu
banyak korban yang masih dan akan terus berjatuhan akibat degradasi alam yang
kita picu sendiri.
Sudah tak ada lagi waktu untuk tuding menuding
hidung orang lain. Timur dan Barat sama saja perannya dalam merusak wajah dunia.
Barat yang terdepan dalam merusak, menyeret Timur yang termodernkan—meski terlampau
lamban dan terkesan malumalu. Kita harus segera mengaktifkan potensi akal pikiran
yang selama jutaan tahun baru tercandak sepuluh persen saja, menjadi 20 persen—mungkin
lebih. Sebagaimana pesan al-Ma’mun[i] pada Abad-7 M di Bagdad, “Tidak ada wisata yang lebih
indah daripada menjelajah alam pikiran manusia.” Jika pikiran manusia berkembang,
hidup yang ia kelola pun kian semarak.
Penalaran yang kami sodorkan di atas semoga
turut menggugah kegelisahan Anda untuk terus bertanya dan mencari jawaban
sendiri. Bertanya dan menjawab lagi. Terus begitu, sampai kita tahu, bahwa
hidup yang kita hadapi pada Abad 21, jauh lebih pelik dari yang selama ini
terbayangkan. Bahkan runtuhnya menara kembar WTC pada 9 September 2001, adalah
puncak pertikaian sarat darah, airmata, dan kebiadaban, selama Perang Salib
merobek persaudaraan dua agama sedarah: Kristen dan Islam. (bersambung)
[i]
Al-Ma'mun ar-Rasyid bergelar Abu
al-Abbas dengan nama asli Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Mahdi, adalah seorang
khalifah Bani Abbasiyah yang berkuasa pada 813-833 M.
No comments:
Post a Comment