Fotografer oleh Adam Ferguson untuk TIME |
JOKO WIDODO mungkin menjadi pemimpin
nasional yang paling sederhana di dunia. Apakah ia memiliki semua yang diperlukan
untuk menjalankan sebuah bangsa besar?
Penumpang Kursi 42K
BERADA di dalam pesawat kelas ekonomi,
memesan segelas susu hangat pada pelayan pesawat, kemudian kembali ke tempatnya
dan bersandar di jedela untuk tidur. Pengalaman berikut terjadi ketika
penerbangan Garuda GA 226 menuju arah timur, Indonesia, di tanah tercinta Indonesia,
Solo.
Terlihat gunung api terus
meraung mengirimkan nyala apinya ke langit di malam nan pekat. Ini hanya
sebagian fenomena di balik banyaknya erupsi di negara yang memiliki sederet gunung
api teraktif di dunia ini.
Seorang
anak mungil bernama Syakira, pelahan menapakkan kakinya ke arah kamar mandi di
bagian belakang pesawat. Matanya asyik mengecek para pelancong lain dengan
pandangan apa adanya dari seorang anak berusia lima tahun. Sekilas matanya
tertuju pada seseorang yang sedang tertidur, lalu menunjuk padanya, laiknya
turis yang bahagia karena datang ke Safari, “Dia Pak Jokowi,” teriaknya. Syakira
sangat senang dengan apa yang ia temukan. “Ia satu pesawat denganku.”
Pada 20 Oktober, Joko
Widodo atau yang akrab disapa Jokowi, akan disumpah menjadi presiden ke tujuh
Indonesia. Seorang anak dari golongan rakyat bawah itu akan membuat sejarah baru.
Ia akan diangkat sebagai kepala negara pertama di Indonesia yang tidak memiliki
latar belakang ningrat politik maupun militer.
Hanya berjarak enam belas
tahun sejak Indonesia diperintah oleh penguasa diktator, barulah Indonesia bisa
memilih presidennya secara langsung, oleh rakyat. Sebuah prestasi membanggakan,
di mana dunia ikut merekam ekspresi penyesalan dari negara berkembang lainnya atas
usaha serupa yang tengah diusahakan kelompok demokrasi.
Kemenangan Jokowi dalam Pemilu
Juli lalu melawan Prabowo Subianto—mantan jenderal sekaligus keturunan politisi
(bentuk perkawinan keduanya)—menunjukkan bahwa kemenangan rakyat melawan
kelompok penguasa tidaklah mudah, butuh proses yang sangat panjang, jika
berbicara tentang sumber daya alam yang kekayaannya mencapai 253 milyar yang secara khusus membutuhkan pengawasan.
Itulah mengapa, seorang
dengan latar belakang mantan tukang kayu berumur 53 tahun bisa beralih menjadi
seorang pelatih, sebuah kecenderungan
yang muncul karena geram pada para oknum presiden beserta jajarannya. (Ia lebih
memilih melengkapi atribut pegawainya dengan baju batik daripada harus
mengenakan baju seragam militer yang berat, sekaligus untuk memberikan kesan
bisnis-kasual). “Saya bukan orang penting sehingga saya harus naik kursi kelas
bisnis,” kata Jokowi, yang memiliki tinggi badan 177 cm itu. “Saya orangnya
kurus, jadi saya nggak menggunakan banyak tempat.”
Baru satu dekade lalu Jokowi
berhasil mendapatkan predikat sebagai pengusaha sukses pabrik mebel dalam acara
Bisnis Fair yang dihadirinya di Carolina Selatan, Utrect, dan Cologne. Selain
itu, dia berhasil mengangkat nama kota kecil Solo (biasa dikenal dengan nama
Surakarta); dia juga tidak meminta upah ketika menjabat sebagai walikota Solo pada
tahun 2005; selanjutnya dia pun diangkat menjadi gubernur di pusat metropolitan
Indonesia, di ibukota yang ‘tak layak (disebut ibukota),’ Jakarta.
Tujuh tahun kemudian,
Jokowi mulai menyingsingkan kerah bajunya, mengensampingkan dunia bisnisnya, mulai
mentransformasi penanggulangan sampah, hingga meningkatkan kualitas
transportasi umum dan rumah sakit.
Ini merupakan tugas yang
berat bagi seorang pemimpin heroik seperti Jokowi. Ia bertolak ke ranah politik
Indonesia dan memenangkan dukungan publik—walau pun pada saat pemilihan suara bisa
dikatakan justru sebaliknya. Bahkan pernyataan dirinya sebagai fans berat metal
telah mengisi lembar kerja dan grafik, begitu juga dengan urbanisasi dan klaim
asuransi.
Penampilan bukan menjadi
prioritas utama Jokowi, bahkan jika berbicara tentang ikat kepala Metallica.
“Ini penting agar kami punya orientasi yang mendetil,” ungkap Jokowi kepada TIME. “Periksa, periksa, periksa, dan terus
periksa.” Phillips Vermonte, seorang pengamat politik di Jakarta, dengan
setengah bercanda, menyebut Jokowi dengan “Micro-Manager-in-Chief.”
Ada banyak urusan mikro
dalam negeri ini. Dalam jangka lima
tahun sejak serangan bunuh diri besar di bumi Indonesia, bangsa ini
terus sibuk berjuang melawan teroris Muslim di dalam negeri. Meskipun sumber
daya alam (SDA) Indonesia sangat banyak, namun kasus endemik korupsi dan
tindakan perlindungan terhadapnya turut mengaratkan semangat para penanam modal
luar negeri.
Hampir satu dekade lalu, pendapatan
Indonesia yang timpang itu telah meluas hingga mencapai level rekor. Hasilnya,
setelah bertahun-tahun, ekonomi anya berkembang 6 persen, dan setelah itu
mengalami perlambatan. Tetapi Jokowi dengan semangat, berjanji akan
meningkatkan 7 persen pendapatan negara pada 2018.
Dia berkata “caranya
adalah mengubah gaya hidup yang awalnya konsumtif menjadi produktif.” Kalau
saja hal ini bisa terjadi dengan mudah. “Akan ada banyak persoalan yang akan
menyapa Jokowi ketika harus memimpin negara besar nan kompleks ini.” Kata
Ernest Bower, Ketua CSIS (Southeast Asia Studies at the Center for Strategic
and International Studies) di Washington. “Perasaanku berkata bahwa sejarah
akan memanggil Jokowi untuk menjadi pemimpin, dan ia akan mengisi kepemimpinan
itu.”
Negara Besar Namun Kecil
HAMPIR 90 persen penduduk Indonesia
adalah Muslim. Mereka mempraktikkan model Islam moderat dan sinkretis. Di sisi
lain, negara ini juga menjadi naungan bagi sekitar 25 juta orang Kristen,
begitu juga dengan Hindu, Buddha, dan juga pemeluk beberapa aliran kepercayaan
yang tetap mempertahankan nilai-nilai sekular.
Sejak pemerintahan
transisi pada 1998 yang dipimpin oleh sang diktator, Suharto, yang menjabat sebagai
presiden hingga 32 tahun, sangat membahagiakan sekali mengetahui Indonesia
telah membuktikan bahwa mayoritas Muslimnya bisa juga menganut politik liberal.
Penduduk Jakarta saja, bahkan, menjadi pengguna Twitter teraktif di dunia; dan sebanyak 27 persen fesbuker di dunia
dari Indonesia.
Tapi, atas semua perbedaan
ini, Indonesia justru bisa dilirik oleh dunia internasional. Ini merupakan
sesuatu yang jarang ada di negara diplomatik lain, baik di negara seperti Cina
atau yang menyandang posisi sebagai model demokrasi berkembang.
Indonesia berbeda. “Kami bukan
pemimpin dunia atau apa pun,” kata Yohannes Sulaiman, seorang pengamat politik
dari Universitas Pertahanan Indonesia. “Kami ini nasionalis tulen tetapi pasif
pada dunia internasional. Itulah yang harus kami ubah.”
Jokowi, sosok pemimpin rakyat,
mungkin saja menjadi sosok pamungkas yang berhasil membuktikan kematangan
politik Indonesia—bahkan dia cinta pada rakyat, sambil terus menata diri.
Sebagaimana juga ketika mempersiapkan diri ketika hendak dilantik, ia nampak
gugup ketika menempati posisi sebagai pemandu acara dalam isu global yang tak
terjamah sejak kampanye Pemilu 2014 yang berfokus pada tantangan domestik.
Jokowi perlu bangkit dan
mempercepat pacuannya. Ada Laut Selatan Cina, laut maritim raya yang diklaim
Cina secara agresif, walaupun sama-sama berkompetisi mengklaim, begitu juga enam
pemerintah lainnya, termasuk juga Jakarta. Ada juga perubahan iklim—terima
kasih saya ungkapkan setinggi-tingginya, untuk kasus penggundulan hutan di
Planet ini. Indonesia adalah negara penyumbang ruang hijau ke tiga setelah Cina
dan Amerika Serikat. Indonesia juga menjadi negara dengan gugusan pulau dengan
kadar garam yang sangat tinggi dengan seiring berubahnya temperatur.
Menghadapi beberapa
pertanyaan tersebut, dan Jokowi menjawabnya dengan beberapa klise dan ungkapan
yang sangat hati-hati. Dia mengernyitkan dahi dan menghela nafas panjang. “Saya
juga manusia,” katanya, tetapi banyak orang yang ingin mendengarkan pendapat
saya tentang apa pun itu.”
Kerjakan! Inilah Kiatnya
DARI sederet sejarah yang sudah
tercatat, Indonesia selalu dipimpin oleh sepasang profil yang memaksakan diri
untuk menjadi gabungan pribadi Nusantara: Sukarno, presiden pertama Indonesia
setelah Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda pada 1945, dan Suharto, mantan
jenderal yang memerankan sebagai seorang yang kuat. Jokowi yang masuk ke dalam
dunia politik kemudian mulai terpacu dan lebih percaya pada takdir daripada
harus putus asa pada rekam jejak yang kelam di negeri ini.
“Saat saya jadi pebisnis,
yang saya perhatikan adalah berapa banyak pekerjaan yang telah berhasil kami selesaikan,”
ungkap Jokowi pada TIME. “Anda harus menyogok
(uang) atau permohonan Anda akan terus bertengger hingga berminggu-minggu,
bulan, atau bahkan bertahun-tahun.
Itulah mengapa ketika saya
menjadi walikota Solo, saya yakin betul ini akan berubah.” Semasa Jokowi kecil,
latar belakang keluarganya yang miskin membuat mereka sering hanya bisa membeli
Aspirin ketika dilanda penyakit serius. “Keluarga saya, harus bekerja
keras walau hanya demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, seperti makan, sekolah,
dan urusan kesehatan” ungkapnya. “Itulah mengapa saya tahu, berdasarkan
pengalaman yang saya miliki, bahwa yang namanya demokrasi mesti bisa mengantarkan
rakyat pada hidup yang lebih baik.”
Jokowi meningkatkan daya
tariknya sebagai orang yang kini populer, yang tidak mengizinkan retorika
(kosong) mengisi kebijakannya. Maka dari
itu seseorang menulis tesis di UGM (Universitas Gadjah Mada) dengan judul
“Studi Bentuk Kayu Yang Akhirnya Bermanfaat Pada Kota(Madya) Surakarta.”
Pada 1 September 2014,
mentari bersinar cukup terik menyinari pinggiran ibukota bagi lelaki yang
sedang meneduhkan kepala di bawah daun pisang. Jokowi menyempurnakan
pekerjaannya sebagai seorang gubernur dengan mendatangi pembangunan rumah-rumah
yang telah mendapatkan subsidi. Hal ini termasuk salah satu proyek
urbanisasi—yang dipotong dari lahan sengketa dan perjanjian lewat hati nurani—inilah
yang Jokowi kampanyekan saat memperkenalkan Indonesia pada negara lain.
Penduduk lokal sedang
menata kembali sarung mereka dan kembali berkelana ke gubug masing-masing, merasa
senang karena telah mendapati Jokowi yang seperti demikian—kurang lebih begitu.
Iring-iringan mobil Jokowi sepakat untuk tidak mengaspal jalan-jalan ke arah
Jakarta. Mobil dibuat terus-terusan tanpa terencana, saat di sisi lain ada proyek
rumah tanpa subsidi. Jokowi juga mengingatkan bahwa pembangunan ini seharusnya
sudah selesai dalam waktu delapan bulan. Tetapi sekarang sudah lima belas
bulan—dari total semestinya berdasarkan standar efisiensi Indonesia, bukan
standar pemilihan presiden.
Jokowi keluar dari mobil
dan berjalan menyeberang ke arah seorang tukang dan meminta jawaban mereka. “Mereka
telah gagal,” Jokowi kemudian berkata. “Rakyat takut karena selalu saya pantau.
Saya ingin rakyat itu takut karena mereka ingin mendengarkan arahan saya. Jika
saya kaji, sebenarnya mereka tidak melakukan apa pun…” Dia kemudian berjalan kecil
dan meletakkan jarinya melewati tenggorokannya.
Para pengawal pemilu berpikir
mereka (Jokowi-Prabowo) masih perang. Prabowo—yang notabene seorang jenderal
tentara itu dikenal sebagai peleceh HAM sejak era Suharto—telah kalah dalam
pemilihan presiden lalu.
Prabowo pun memberikan
kado tak mengenakkan kepada Jokowi. Pada September lalu, parlemen negara yang
dikuasai oleh Koalisi Merah Putih Prabowo, memilih mengakhiri pemilihan
langsung gubernur, walikota, dan pemimpin daerah. Secara sepintas hal ini mungkin
terdengar tak terlalu berbahaya, tetapi ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia
yang memiliki hak pilih tidak lagi bisa memilih figur idependen seperti Jokowi—yang
berhasil melalui kekuatan struktural yang berbenteng-benteng—bahkan badan
legislatif setempat lah yang akan memilih pemimpin setelahnya.
Para penganut asas
demokrasi kini mulai merasa putus asa dan berniat untuk kembali kepada
keputusan dari parlemen. “Jokowi adalah wajah baru dari politik demokrasi di
Indonesia.” Kata Jamie Davidson, penulis mendatang, Indonesia’s
Changing Political Economy: Governing the Roads. “Dia baru populer setelah
pemilihan langsung lalu.”
Bahkan tanpa bergulirnya
kembali pemilihan langsung, barangkali ribuan harapan yang sekarang diletakkan
di punggung Jokowi akan jatuh berceceran. “Harapan rakyat akan dipilihnya Jokowi
sangatlah tinggi,” dia berkata sambil menunjuk pada pundak sebelahnya.
“Bahaya ini… bagaimana
kalau saya tidak berhasil mewujudkan harapan mereka, apa yang mereka inginkan, dan
apa yang telah saya katakan, ini akan menjadi masalah besar kemudian.”
Menilik kembali pada kasus
metropolitan, sebenarnya keosnya Jakarta tak berhubungan sama sekali dengan regulasi
negara berpenduduk 240 juta orang ini. Muryati Sudibyo, salah seorang pengusaha
kosmetik dan badan kesetaraan Mary Kay Indonesia telah mendukung Jokowi sejak
lama. Tetapi diakuinya, bahwa Jokowi bukan penerima wahyu (terma Indonesia
untuk menunjukkan aura Ilahiah yang terpancar dari seorang pemimpin yang hebat
dan kharismatik). “Berangkat dari apa yang telah ia lakukan, ia tidak hanya
berani bermimpi untuk menjadi walikota, gubernur, bahkan menjadi presiden,” dia
menambahkan “bahkan sampai sekarang kita masih belum juga bisa mempercayai hal
ini.”
Kepercayaan Politik dan Ekonomi
BEBERAPA warga negara Indonesia
optimis. Di dekat sekolah Islam al-Mukmin di Ngruki, salah satu daerah di kota
Solo, para pesepak bola muda menjelang petang. Beberapa anak yang bertetangga
dengan sekolah tersebut menyaksikan aksi mereka, dan tetap menjaga jarak dari
sekolah itu. “Jihad,” itulah ekspresi singkat dari seorang anak bernama Timas,
15. Al-Mukmin, atau yang biasa dikenal dengan Ngruki, menjadi sekolah yang
banyak merekrut para jihadis. Para alumni dan guru-gurunya termasuk perancang
sekaligus kaki tangan para tentara teroris yang mengampanyekan peledakkan klub
malam di Bali, Jakarta Luxury Hotel dan beberapa tempat incaran lainnya.
Abu
Bakar Ba’asyir yang notabene menjadi pendiri sekolah ini, hingga sekarang masih
berada di dalam tahanan untuk menjalani hukuman karena telah mendirikan dan
mengalirkan dana untuk pelatihan kelompok jihadis, tetapi anaknya sendiri masih
mengajar di sekolah tersebut hingga kini, walaupun mengajarkan beberapa
pandangan ekstrem.
Sekitar
2.000-an murid dari sekolah al-Mukmin menyatakan ketidaktertarikan mereka pada
politik ekstrem. Faris misalnya, belajar di sekolah tersebut karena permintaan
dari orangtuanya. “Umur 17 tahun bukan waktunya menjadi militan.” Dia sendiri
bahkan mengidolakan Taylor Swift dan berharap bisa pergi ke Ohio.
“Aku punya mimpi, tapi aku
masih belum tahu bagaimana caranya bisa pergi ke sana,” terangnya. “Jokowi memberiku
harapan baru, karena dia juga awalnya bukan siapa-siapa. Pertanyaan terbesar
saat ini adalah: “Manakah yang lebih menarik bagi para pemuda?—lebih dari
seperempat populasi berumur 14 tahun—Apakah mereka lebih tertarik nimbrung ke situs
pesan jihad dalam jaringan ataukah pada kehidupan Jokowi?
Semenjak kejadian bom
bunuh diri yang meluluhlantakkan JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton pada 2009
lalu, Indonesia tak lagi menyandang negara dengan skala terorisme terluas. Pada
masa-masa akhir tahun, politik Islam telah kehilangan kehormatan dan dukungannya.
“Kemana pun saya pergi, jika saya katakan bahwa saya dari Solo, mereka langsung
menyebut kata Ngruki,” kata Jokowi, yang teringat kembali pada usaha kecil di
kampung halamannya.
“Sekarang, daripada kita memikirkan
hal ‘kriminal,’ lebih baik memikirkan yang orang-orang bilang ‘Solo itu batik.’
Tak peduli berapa banyak militan yang ikut bergabung di Timur Tengah bersama
tentara ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria). Bagi seluruh rakyat Indonesia
yang sukses menggaet teroris, dan berbagai usahanya membawa pada model
pemikiran yang ortodoks sekaligus mengarahkannya untuk dipenjara oleh pemikiran
yang radikal. Ini akan menjadi bom yang akan meluluhlantakkan ide bahwa
Indonesia telah gagal menghalau gerakan ekstremis.
Jokowi yang merupakan
seorang Muslim menyempatkan tetap beribadah di tengah-tengah rapat. Dia
memiliki pemahaman internal yang lumayan bagus tentang pluralisme di
Indonesia. Di Solo, wakil walikotanya
adalah seorang Katolik. Di Jakarta pun demikian, wakil yang mendampinginya sebagai
gubernur adalah seorang Kristen—dan sekaligus berasal dari etnis Cina.
Setelah lengsernya
Suharto, sedari gerakan protes di jalan, krisis ekonomi, program anti Cina yang
akhirnya meminggirkan mereka, yang dirasa lebih berada dibanding yang lain,
akhirnya berimbas pada kemarahan rakyat atas ketidakadilan ekonomi.
Rumah-rumah serta bisnis
yang dimiliki keturunan Cina, dibakar di Solo dan beberapa tempat lainnya di
Indonesia. “Apa pun yang ditargetkan oleh orang Cina pasti terjadi,” kata
Sumartono Hadinoto, pebisnis gypsum, alumunium dan magnet asal Solo sekaligus
pendukung setia Jokowi. Dia menambahkan, “Bahkan pemerintah tidak bertindak
sama sekali untuk menghentikan hal tersebut.”
Komplain serupa kini
datang dari kalangan kelompok minoritas seperti Syi’ah dan sekte Ahmadiyah,
yang telah diserang dan dizalimi oleh golongan Islam garis keras, kendati pun
para pemimpin pemerintahan sendiri telah membayar biaya tutup mulut untuk
membereskan konflik agama seperti ini.
Tahun lalu Setara
Institution for Democracy and Peace di Jakarta mencatat ada 222 kasus kekerasan
atas kebebasan beragama, lebih dari 12 tahun lalu. Jokowi mengakui adanya beberapa
“masalah.” Akan tetapi ia juga tak lupa untuk merujuk semboyan bangsa Indonesia:
walau berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
“Sikap moderat dan toleransi adalah apa yang telah sama-sama dijunjung rakyat
Indonesia,” ungkapnya. “Ini darah daging kami (DNA).”
Adanya
pembatas antara janji Indonesia dan kenyataan di lapangan, juga terjadi di
bidang ekonomi. Dengan adanya ledakan komoditas global yang nampaknya hingga
kini belum berakhir, Indonesia kini tak bisa lagi jika tidak bergantung pada
ekspor mentah. Jokowi ingin mengentas negara kami dengan rantai nilai dan
menyatakan dengan tegas posisi Indonesia sebagai “mata rantai maritim dunia.”
Pertama, dia harus membujuk kembali para
penanam modal asing, agar tidak termakan oleh retorika sumber daya negara pada
saat kampanye kepresidenan, termasuk dirinya juga. Douglas Ramage, ketua Trade
and Investment Committee of the American Chamber of Commerce in Indonesia, mengatakan
“Sebenarnya ada keyakinan yang kuat bahwa Indonesia bisa menjalin hubungan
dengan beberapa perusahaan luar negeri, dan tanggapannya adalah asas
perlindungan diri.
Jokowi menyatakan
komitmennya untuk menginvestasikan infrastruktur dalam negeri di mana 15 persen
biaya produksi yang digunakan untuk produksi, lebih besar dibanding aturan
dunia, seharusnya membuat bisnis internasional senang. Ia juga menggaunkan usaha
pemberantasan korupsi yang sangat gigih.
Indonesia menduduki
rangking 114 dari 177 negara terkorup menurut indeks dari lembaga transparansi
internasional. Akan tetapi Jokowi membenarkan jargon ‘anti korupsi‘ sebagai
mantranya, dan banyak pemilihnya yang menyambut baik sikapnya tersebut dan
menanti perwujudan dari programnya tersebut.
Presiden terpilih telah
berjanji untuk memberikan kemudahan subsidi BBM dan memperkuat pajak negara.
“Dengan menunjukkan bahwa kami bisa berubah, menunjukkan bahwa kami bisa
mengikuti alur yang berlaku, dan kami akan memberikan tempat bagi para penanam
modal yang akan datang ke negara kami,” ungkapnya.
Banyak hal yang telah
membuat posisi Jokowi keluar dari kekuatan elite tradisional. Ia juga merupakan
pebisnis pertama Indonesia yang berhasil menjadi presiden. Pun wakilnya, Jusuf
Kalla juga berlatar belakang sebagai seorang pengusaha. “Jokowi tak
mengartikulasikan atau memproyekkan banyak hal,” ungkap Bower dari CSIS. “Akan tetapi ia telah melakukan banyak
hal, banyak politikus jahat Indonesia yang ingin melemparkan sepatu kepadanya
hanya karena ia telah berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya, itulah kekuatan
yang sebenarnya.”
Semua tantangan yang berada
di pundaknya—baik ekonomi, politik, kebangsaan, agama—benar-benar terpinggirkan
saat dimana Jokowi masih duduk di salah satu warung favoritnya di Solo, warung
makan khusus yang menjual sate kambing di tempat terbuka.
Ayah dari ketiga anak ini
sangat bangga pada anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, anak berusia 27
tahun ini menjalani bisnis pengolahan makanan lokal dan perencana
pernikahan—sangat jauh sekali jika dibanding dengan bisnis besar yang digeluti
oleh para turunan pemimpin negara lain di Asia.
Apa yang dinantinya sedari
tadi, beberapa tusuk sate akhirnya datang juga. Jokowi langsung mengelap piring
plastik dan peralatan makanan lainnya dengan tissu. Ini salah satu makanan yang
dijual di warung, makanan lokal, bukan makanan di istana presiden. Ia
meliburkan diri sejenak untuk memakan makanan Jakarta “yang mahal-mahal, tapi
rasanya tidak terlalu enak.” Ia akhirnya mengambil tusukan sate tersebut,
sambil menyeringai beliau berkata “bukankah ini makanan terenak di dunia?” ia
bertanya, walaupun sebenarnya ia tidak benar-benar bertanya. “Ketika berada di
Jakarta yang saya inginkan makan ini.”
Sangat menyenangkan sekali
majalah TIME bisa menghabiskan empat
hari bersama dengannya, sedari berbagi masalah sampai makan sate kambing di
Solo.
Seorang pemuda lokal
sekarang menjalankan negara terbesar keempat di dunia. Sebesar
harapan-harapannya. []
Catatan Kaki |
[i] Diterjemahkan oleh Zahrah Akiddh dan Reno Muhammad dari laporan utama
majalah TIME edisi 27 Oktober 2014, “A
New Hope: Indonesian President Joko Widodo Is A Force For Democracy” by Hannah
Beech.
No comments:
Post a Comment