Harapan Baru Indonesia[i]

Fotografer oleh Adam Ferguson untuk TIME


JOKO WIDODO mungkin menjadi pemimpin nasional yang paling sederhana di dunia. Apakah ia memiliki semua yang diperlukan untuk menjalankan sebuah bangsa besar?


Penumpang Kursi 42K
BERADA di dalam pesawat kelas ekonomi, memesan segelas susu hangat pada pelayan pesawat, kemudian kembali ke tempatnya dan bersandar di jedela untuk tidur. Pengalaman berikut terjadi ketika penerbangan Garuda GA 226 menuju arah timur, Indonesia, di tanah tercinta Indonesia, Solo.

Terlihat gunung api terus meraung mengirimkan nyala apinya ke langit di malam nan pekat. Ini hanya sebagian fenomena di balik banyaknya erupsi di negara yang memiliki sederet gunung api teraktif di dunia ini.

            Seorang anak mungil bernama Syakira, pelahan menapakkan kakinya ke arah kamar mandi di bagian belakang pesawat. Matanya asyik mengecek para pelancong lain dengan pandangan apa adanya dari seorang anak berusia lima tahun. Sekilas matanya tertuju pada seseorang yang sedang tertidur, lalu menunjuk padanya, laiknya turis yang bahagia karena datang ke Safari, “Dia Pak Jokowi,” teriaknya. Syakira sangat senang dengan apa yang ia temukan. “Ia satu pesawat denganku.”

Pada 20 Oktober, Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi, akan disumpah menjadi presiden ke tujuh Indonesia. Seorang anak dari golongan rakyat bawah itu akan membuat sejarah baru. Ia akan diangkat sebagai kepala negara pertama di Indonesia yang tidak memiliki latar belakang ningrat politik maupun militer.

Hanya berjarak enam belas tahun sejak Indonesia diperintah oleh penguasa diktator, barulah Indonesia bisa memilih presidennya secara langsung, oleh rakyat. Sebuah prestasi membanggakan, di mana dunia ikut merekam ekspresi penyesalan dari negara berkembang lainnya atas usaha serupa yang tengah diusahakan kelompok demokrasi.

Kemenangan Jokowi dalam Pemilu Juli lalu melawan Prabowo Subianto—mantan jenderal sekaligus keturunan politisi (bentuk perkawinan keduanya)—menunjukkan bahwa kemenangan rakyat melawan kelompok penguasa tidaklah mudah, butuh proses yang sangat panjang, jika berbicara tentang sumber daya alam yang kekayaannya mencapai 253 milyar yang secara khusus membutuhkan pengawasan.

Itulah mengapa, seorang dengan latar belakang mantan tukang kayu berumur 53 tahun bisa beralih menjadi seorang pelatih, sebuah kecenderungan yang muncul karena geram pada para oknum presiden beserta jajarannya. (Ia lebih memilih melengkapi atribut pegawainya dengan baju batik daripada harus mengenakan baju seragam militer yang berat, sekaligus untuk memberikan kesan bisnis-kasual). “Saya bukan orang penting sehingga saya harus naik kursi kelas bisnis,” kata Jokowi, yang memiliki tinggi badan 177 cm itu. “Saya orangnya kurus, jadi saya nggak menggunakan banyak tempat.”

Baru satu dekade lalu Jokowi berhasil mendapatkan predikat sebagai pengusaha sukses pabrik mebel dalam acara Bisnis Fair yang dihadirinya di Carolina Selatan, Utrect, dan Cologne. Selain itu, dia berhasil mengangkat nama kota kecil Solo (biasa dikenal dengan nama Surakarta); dia juga tidak meminta upah ketika menjabat sebagai walikota Solo pada tahun 2005; selanjutnya dia pun diangkat menjadi gubernur di pusat metropolitan Indonesia, di ibukota yang ‘tak layak (disebut ibukota),’ Jakarta.

Tujuh tahun kemudian, Jokowi mulai menyingsingkan kerah bajunya, mengensampingkan dunia bisnisnya, mulai mentransformasi penanggulangan sampah, hingga meningkatkan kualitas transportasi umum dan rumah sakit.

Ini merupakan tugas yang berat bagi seorang pemimpin heroik seperti Jokowi. Ia bertolak ke ranah politik Indonesia dan memenangkan dukungan publik—walau pun pada saat pemilihan suara bisa dikatakan justru sebaliknya. Bahkan pernyataan dirinya sebagai fans berat metal telah mengisi lembar kerja dan grafik, begitu juga dengan urbanisasi dan klaim asuransi.

Penampilan bukan menjadi prioritas utama Jokowi, bahkan jika berbicara tentang ikat kepala Metallica. “Ini penting agar kami punya orientasi yang mendetil,” ungkap Jokowi kepada TIME. “Periksa, periksa, periksa, dan terus periksa.” Phillips Vermonte, seorang pengamat politik di Jakarta, dengan setengah bercanda, menyebut Jokowi dengan “Micro-Manager-in-Chief.”

Ada banyak urusan mikro dalam negeri ini. Dalam jangka lima tahun sejak serangan bunuh diri besar di bumi Indonesia, bangsa ini terus sibuk berjuang melawan teroris Muslim di dalam negeri. Meskipun sumber daya alam (SDA) Indonesia sangat banyak, namun kasus endemik korupsi dan tindakan perlindungan terhadapnya turut mengaratkan semangat para penanam modal luar negeri.

Hampir satu dekade lalu, pendapatan Indonesia yang timpang itu telah meluas hingga mencapai level rekor. Hasilnya, setelah bertahun-tahun, ekonomi anya berkembang 6 persen, dan setelah itu mengalami perlambatan. Tetapi Jokowi dengan semangat, berjanji akan meningkatkan 7 persen pendapatan negara pada 2018.

Dia berkata “caranya adalah mengubah gaya hidup yang awalnya konsumtif menjadi produktif.” Kalau saja hal ini bisa terjadi dengan mudah. “Akan ada banyak persoalan yang akan menyapa Jokowi ketika harus memimpin negara besar nan kompleks ini.” Kata Ernest Bower, Ketua CSIS (Southeast Asia Studies at the Center for Strategic and International Studies) di Washington. “Perasaanku berkata bahwa sejarah akan memanggil Jokowi untuk menjadi pemimpin, dan ia akan mengisi kepemimpinan itu.”  

Hendri Tri Widi Asworo/ANTARA 

Negara Besar Namun Kecil
HAMPIR 90 persen penduduk Indonesia adalah Muslim. Mereka mempraktikkan model Islam moderat dan sinkretis. Di sisi lain, negara ini juga menjadi naungan bagi sekitar 25 juta orang Kristen, begitu juga dengan Hindu, Buddha, dan juga pemeluk beberapa aliran kepercayaan yang tetap mempertahankan nilai-nilai sekular.

Sejak pemerintahan transisi pada 1998 yang dipimpin oleh sang diktator, Suharto, yang menjabat sebagai presiden hingga 32 tahun, sangat membahagiakan sekali mengetahui Indonesia telah membuktikan bahwa mayoritas Muslimnya bisa juga menganut politik liberal. Penduduk Jakarta saja, bahkan, menjadi pengguna Twitter teraktif di dunia; dan sebanyak 27 persen fesbuker di dunia dari Indonesia.

Tapi, atas semua perbedaan ini, Indonesia justru bisa dilirik oleh dunia internasional. Ini merupakan sesuatu yang jarang ada di negara diplomatik lain, baik di negara seperti Cina atau yang menyandang posisi sebagai model demokrasi berkembang.

Indonesia berbeda. “Kami bukan pemimpin dunia atau apa pun,” kata Yohannes Sulaiman, seorang pengamat politik dari Universitas Pertahanan Indonesia. “Kami ini nasionalis tulen tetapi pasif pada dunia internasional. Itulah yang harus kami ubah.”

Jokowi, sosok pemimpin rakyat, mungkin saja menjadi sosok pamungkas yang berhasil membuktikan kematangan politik Indonesia—bahkan dia cinta pada rakyat, sambil terus menata diri. Sebagaimana juga ketika mempersiapkan diri ketika hendak dilantik, ia nampak gugup ketika menempati posisi sebagai pemandu acara dalam isu global yang tak terjamah sejak kampanye Pemilu 2014 yang berfokus pada tantangan domestik.

Jokowi perlu bangkit dan mempercepat pacuannya. Ada Laut Selatan Cina, laut maritim raya yang diklaim Cina secara agresif, walaupun sama-sama berkompetisi mengklaim, begitu juga enam pemerintah lainnya, termasuk juga Jakarta. Ada juga perubahan iklim—terima kasih saya ungkapkan setinggi-tingginya, untuk kasus penggundulan hutan di Planet ini. Indonesia adalah negara penyumbang ruang hijau ke tiga setelah Cina dan Amerika Serikat. Indonesia juga menjadi negara dengan gugusan pulau dengan kadar garam yang sangat tinggi dengan seiring berubahnya temperatur.

Menghadapi beberapa pertanyaan tersebut, dan Jokowi menjawabnya dengan beberapa klise dan ungkapan yang sangat hati-hati. Dia mengernyitkan dahi dan menghela nafas panjang. “Saya juga manusia,” katanya, tetapi banyak orang yang ingin mendengarkan pendapat saya tentang apa pun itu.”

mengunjungi Sinabung

Kerjakan! Inilah Kiatnya
DARI sederet sejarah yang sudah tercatat, Indonesia selalu dipimpin oleh sepasang profil yang memaksakan diri untuk menjadi gabungan pribadi Nusantara: Sukarno, presiden pertama Indonesia setelah Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda pada 1945, dan Suharto, mantan jenderal yang memerankan sebagai seorang yang kuat. Jokowi yang masuk ke dalam dunia politik kemudian mulai terpacu dan lebih percaya pada takdir daripada harus putus asa pada rekam jejak yang kelam di negeri ini.

“Saat saya jadi pebisnis, yang saya perhatikan adalah berapa banyak pekerjaan yang telah berhasil kami selesaikan,” ungkap Jokowi pada TIME. “Anda harus menyogok (uang) atau permohonan Anda akan terus bertengger hingga berminggu-minggu, bulan, atau bahkan bertahun-tahun.

Itulah mengapa ketika saya menjadi walikota Solo, saya yakin betul ini akan berubah.” Semasa Jokowi kecil, latar belakang keluarganya yang miskin membuat mereka sering hanya bisa membeli Aspirin ketika dilanda penyakit serius. “Keluarga saya, harus bekerja keras walau hanya demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, seperti makan, sekolah, dan urusan kesehatan” ungkapnya. “Itulah mengapa saya tahu, berdasarkan pengalaman yang saya miliki, bahwa yang namanya demokrasi mesti bisa mengantarkan rakyat pada hidup yang lebih baik.”

Jokowi meningkatkan daya tariknya sebagai orang yang kini populer, yang tidak mengizinkan retorika (kosong) mengisi  kebijakannya. Maka dari itu seseorang menulis tesis di UGM (Universitas Gadjah Mada) dengan judul “Studi Bentuk Kayu Yang Akhirnya Bermanfaat Pada Kota(Madya) Surakarta.”

Pada 1 September 2014, mentari bersinar cukup terik menyinari pinggiran ibukota bagi lelaki yang sedang meneduhkan kepala di bawah daun pisang. Jokowi menyempurnakan pekerjaannya sebagai seorang gubernur dengan mendatangi pembangunan rumah-rumah yang telah mendapatkan subsidi. Hal ini termasuk salah satu proyek urbanisasi—yang dipotong dari lahan sengketa dan perjanjian lewat hati nurani—inilah yang Jokowi kampanyekan saat memperkenalkan Indonesia pada negara lain.

Penduduk lokal sedang menata kembali sarung mereka dan kembali berkelana ke gubug masing-masing, merasa senang karena telah mendapati Jokowi yang seperti demikian—kurang lebih begitu. Iring-iringan mobil Jokowi sepakat untuk tidak mengaspal jalan-jalan ke arah Jakarta. Mobil dibuat terus-terusan tanpa terencana, saat di sisi lain ada proyek rumah tanpa subsidi. Jokowi juga mengingatkan bahwa pembangunan ini seharusnya sudah selesai dalam waktu delapan bulan. Tetapi sekarang sudah lima belas bulan—dari total semestinya berdasarkan standar efisiensi Indonesia, bukan standar pemilihan presiden.

Jokowi keluar dari mobil dan berjalan menyeberang ke arah seorang tukang dan meminta jawaban mereka. “Mereka telah gagal,” Jokowi kemudian berkata. “Rakyat takut karena selalu saya pantau. Saya ingin rakyat itu takut karena mereka ingin mendengarkan arahan saya. Jika saya kaji, sebenarnya mereka tidak melakukan apa pun…” Dia kemudian berjalan kecil dan meletakkan jarinya melewati tenggorokannya.

Para pengawal pemilu berpikir mereka (Jokowi-Prabowo) masih perang. Prabowo—yang notabene seorang jenderal tentara itu dikenal sebagai peleceh HAM sejak era Suharto—telah kalah dalam pemilihan presiden lalu.

Prabowo pun memberikan kado tak mengenakkan kepada Jokowi. Pada September lalu, parlemen negara yang dikuasai oleh Koalisi Merah Putih Prabowo, memilih mengakhiri pemilihan langsung gubernur, walikota, dan pemimpin daerah. Secara sepintas hal ini mungkin terdengar tak terlalu berbahaya, tetapi ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih tidak lagi bisa memilih figur idependen seperti Jokowi—yang berhasil melalui kekuatan struktural yang berbenteng-benteng—bahkan badan legislatif setempat lah yang akan memilih pemimpin setelahnya.

Para penganut asas demokrasi kini mulai merasa putus asa dan berniat untuk kembali kepada keputusan dari parlemen. “Jokowi adalah wajah baru dari politik demokrasi di Indonesia.” Kata Jamie Davidson, penulis mendatang, Indonesia’s Changing Political Economy: Governing the Roads. “Dia baru populer setelah pemilihan langsung lalu.”

Bahkan tanpa bergulirnya kembali pemilihan langsung, barangkali ribuan harapan yang sekarang diletakkan di punggung Jokowi akan jatuh berceceran. “Harapan rakyat akan dipilihnya Jokowi sangatlah tinggi,” dia berkata sambil menunjuk pada pundak sebelahnya.

“Bahaya ini… bagaimana kalau saya tidak berhasil mewujudkan harapan mereka, apa yang mereka inginkan, dan apa yang telah saya katakan, ini akan menjadi masalah besar kemudian.”

Menilik kembali pada kasus metropolitan, sebenarnya keosnya Jakarta tak berhubungan sama sekali dengan regulasi negara berpenduduk 240 juta orang ini. Muryati Sudibyo, salah seorang pengusaha kosmetik dan badan kesetaraan Mary Kay Indonesia telah mendukung Jokowi sejak lama. Tetapi diakuinya, bahwa Jokowi bukan penerima wahyu (terma Indonesia untuk menunjukkan aura Ilahiah yang terpancar dari seorang pemimpin yang hebat dan kharismatik). “Berangkat dari apa yang telah ia lakukan, ia tidak hanya berani bermimpi untuk menjadi walikota, gubernur, bahkan menjadi presiden,” dia menambahkan “bahkan sampai sekarang kita masih belum juga bisa mempercayai hal ini.”


Kepercayaan Politik dan Ekonomi
BEBERAPA warga negara Indonesia optimis. Di dekat sekolah Islam al-Mukmin di Ngruki, salah satu daerah di kota Solo, para pesepak bola muda menjelang petang. Beberapa anak yang bertetangga dengan sekolah tersebut menyaksikan aksi mereka, dan tetap menjaga jarak dari sekolah itu. “Jihad,” itulah ekspresi singkat dari seorang anak bernama Timas, 15. Al-Mukmin, atau yang biasa dikenal dengan Ngruki, menjadi sekolah yang banyak merekrut para jihadis. Para alumni dan guru-gurunya termasuk perancang sekaligus kaki tangan para tentara teroris yang mengampanyekan peledakkan klub malam di Bali, Jakarta Luxury Hotel dan beberapa tempat incaran lainnya.

            Abu Bakar Ba’asyir yang notabene menjadi pendiri sekolah ini, hingga sekarang masih berada di dalam tahanan untuk menjalani hukuman karena telah mendirikan dan mengalirkan dana untuk pelatihan kelompok jihadis, tetapi anaknya sendiri masih mengajar di sekolah tersebut hingga kini, walaupun mengajarkan beberapa pandangan ekstrem.

            Sekitar 2.000-an murid dari sekolah al-Mukmin menyatakan ketidaktertarikan mereka pada politik ekstrem. Faris misalnya, belajar di sekolah tersebut karena permintaan dari orangtuanya. “Umur 17 tahun bukan waktunya menjadi militan.” Dia sendiri bahkan mengidolakan Taylor Swift dan berharap bisa pergi ke Ohio.

“Aku punya mimpi, tapi aku masih belum tahu bagaimana caranya bisa pergi ke sana,” terangnya. “Jokowi memberiku harapan baru, karena dia juga awalnya bukan siapa-siapa. Pertanyaan terbesar saat ini adalah: “Manakah yang lebih menarik bagi para pemuda?—lebih dari seperempat populasi berumur 14 tahun—Apakah mereka lebih tertarik nimbrung ke situs pesan jihad dalam jaringan ataukah pada kehidupan Jokowi?

Semenjak kejadian bom bunuh diri yang meluluhlantakkan JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton pada 2009 lalu, Indonesia tak lagi menyandang negara dengan skala terorisme terluas. Pada masa-masa akhir tahun, politik Islam telah kehilangan kehormatan dan dukungannya. “Kemana pun saya pergi, jika saya katakan bahwa saya dari Solo, mereka langsung menyebut kata Ngruki,” kata Jokowi, yang teringat kembali pada usaha kecil di kampung halamannya.

“Sekarang, daripada kita memikirkan hal ‘kriminal,’ lebih baik memikirkan yang orang-orang bilang ‘Solo itu batik.’ Tak peduli berapa banyak militan yang ikut bergabung di Timur Tengah bersama tentara ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria). Bagi seluruh rakyat Indonesia yang sukses menggaet teroris, dan berbagai usahanya membawa pada model pemikiran yang ortodoks sekaligus mengarahkannya untuk dipenjara oleh pemikiran yang radikal. Ini akan menjadi bom yang akan meluluhlantakkan ide bahwa Indonesia telah gagal menghalau gerakan ekstremis.

Jokowi yang merupakan seorang Muslim menyempatkan tetap beribadah di tengah-tengah rapat. Dia memiliki pemahaman internal yang lumayan bagus tentang pluralisme di Indonesia.  Di Solo, wakil walikotanya adalah seorang Katolik. Di Jakarta pun demikian, wakil yang mendampinginya sebagai gubernur adalah seorang Kristen—dan sekaligus berasal dari etnis Cina.

Setelah lengsernya Suharto, sedari gerakan protes di jalan, krisis ekonomi, program anti Cina yang akhirnya meminggirkan mereka, yang dirasa lebih berada dibanding yang lain, akhirnya berimbas pada kemarahan rakyat atas ketidakadilan ekonomi.

Rumah-rumah serta bisnis yang dimiliki keturunan Cina, dibakar di Solo dan beberapa tempat lainnya di Indonesia. “Apa pun yang ditargetkan oleh orang Cina pasti terjadi,” kata Sumartono Hadinoto, pebisnis gypsum, alumunium dan magnet asal Solo sekaligus pendukung setia Jokowi. Dia menambahkan, “Bahkan pemerintah tidak bertindak sama sekali untuk menghentikan hal tersebut.”

Komplain serupa kini datang dari kalangan kelompok minoritas seperti Syi’ah dan sekte Ahmadiyah, yang telah diserang dan dizalimi oleh golongan Islam garis keras, kendati pun para pemimpin pemerintahan sendiri telah membayar biaya tutup mulut untuk membereskan konflik agama seperti ini.

Tahun lalu Setara Institution for Democracy and Peace di Jakarta mencatat ada 222 kasus kekerasan atas kebebasan beragama, lebih dari 12 tahun lalu. Jokowi mengakui adanya beberapa “masalah.” Akan tetapi ia juga tak lupa untuk merujuk semboyan bangsa Indonesia: walau berbeda-beda tetapi tetap satu jua. “Sikap moderat dan toleransi adalah apa yang telah sama-sama dijunjung rakyat Indonesia,” ungkapnya. “Ini darah daging kami (DNA).”

            Adanya pembatas antara janji Indonesia dan kenyataan di lapangan, juga terjadi di bidang ekonomi. Dengan adanya ledakan komoditas global yang nampaknya hingga kini belum berakhir, Indonesia kini tak bisa lagi jika tidak bergantung pada ekspor mentah. Jokowi ingin mengentas negara kami dengan rantai nilai dan menyatakan dengan tegas posisi Indonesia sebagai “mata rantai maritim dunia.”

            Pertama, dia harus membujuk kembali para penanam modal asing, agar tidak termakan oleh retorika sumber daya negara pada saat kampanye kepresidenan, termasuk dirinya juga. Douglas Ramage, ketua Trade and Investment Committee of the American Chamber of Commerce in Indonesia, mengatakan “Sebenarnya ada keyakinan yang kuat bahwa Indonesia bisa menjalin hubungan dengan beberapa perusahaan luar negeri, dan tanggapannya adalah asas perlindungan diri.

Jokowi menyatakan komitmennya untuk menginvestasikan infrastruktur dalam negeri di mana 15 persen biaya produksi yang digunakan untuk produksi, lebih besar dibanding aturan dunia, seharusnya membuat bisnis internasional senang. Ia juga menggaunkan usaha pemberantasan korupsi yang sangat gigih.

Indonesia menduduki rangking 114 dari 177 negara terkorup menurut indeks dari lembaga transparansi internasional. Akan tetapi Jokowi membenarkan jargon ‘anti korupsi‘ sebagai mantranya, dan banyak pemilihnya yang menyambut baik sikapnya tersebut dan menanti perwujudan dari programnya tersebut.

Presiden terpilih telah berjanji untuk memberikan kemudahan subsidi BBM dan memperkuat pajak negara. “Dengan menunjukkan bahwa kami bisa berubah, menunjukkan bahwa kami bisa mengikuti alur yang berlaku, dan kami akan memberikan tempat bagi para penanam modal yang akan datang ke negara kami,” ungkapnya.

Banyak hal yang telah membuat posisi Jokowi keluar dari kekuatan elite tradisional. Ia juga merupakan pebisnis pertama Indonesia yang berhasil menjadi presiden. Pun wakilnya, Jusuf Kalla juga berlatar belakang sebagai seorang pengusaha. “Jokowi tak mengartikulasikan atau memproyekkan banyak hal,” ungkap Bower dari CSIS. “Akan tetapi ia telah melakukan banyak hal, banyak politikus jahat Indonesia yang ingin melemparkan sepatu kepadanya hanya karena ia telah berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya, itulah kekuatan yang sebenarnya.”

Semua tantangan yang berada di pundaknya—baik ekonomi, politik, kebangsaan, agama—benar-benar terpinggirkan saat dimana Jokowi masih duduk di salah satu warung favoritnya di Solo, warung makan khusus yang menjual sate kambing di tempat terbuka.

Ayah dari ketiga anak ini sangat bangga pada anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, anak berusia 27 tahun ini menjalani bisnis pengolahan makanan lokal dan perencana pernikahan—sangat jauh sekali jika dibanding dengan bisnis besar yang digeluti oleh para turunan pemimpin negara lain di Asia.

Apa yang dinantinya sedari tadi, beberapa tusuk sate akhirnya datang juga. Jokowi langsung mengelap piring plastik dan peralatan makanan lainnya dengan tissu. Ini salah satu makanan yang dijual di warung, makanan lokal, bukan makanan di istana presiden. Ia meliburkan diri sejenak untuk memakan makanan Jakarta “yang mahal-mahal, tapi rasanya tidak terlalu enak.” Ia akhirnya mengambil tusukan sate tersebut, sambil menyeringai beliau berkata “bukankah ini makanan terenak di dunia?” ia bertanya, walaupun sebenarnya ia tidak benar-benar bertanya. “Ketika berada di Jakarta yang saya inginkan makan ini.”

Sangat menyenangkan sekali majalah TIME bisa menghabiskan empat hari bersama dengannya, sedari berbagi masalah sampai makan sate kambing di Solo.

Seorang pemuda lokal sekarang menjalankan negara terbesar keempat di dunia. Sebesar harapan-harapannya. []



Catatan Kaki |



[i] Diterjemahkan oleh Zahrah Akiddh dan Reno Muhammad dari laporan utama majalah TIME edisi 27 Oktober 2014, “A New Hope: Indonesian President Joko Widodo Is A Force For Democracy” by Hannah Beech.

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews