KPK telah menyelamatkan dana republik setara
dengan ongkos pambangunan dua juta rumah sederhana pada 2004-2011. Tepatnya,
Rp153,3 tiriliun, jumlah yang juga cukup apabila digunakan membangun 1,2 juta
ruang kelas sekolah dasar, atau membuat 700 kilometer jalan raya. Tentu, dana
yang ditilap para bandit negara sejauh ini, jauh melampaui angka tersebut.
Jebulnya,
para bandit itu terdiri dari mereka yang seharusnya menjadi warga terhormat di
masyarakat. Kita nyaris tak bisa mengerti bila laporan penangkapan KPK diputar
ulang satu demi satu. Akan ada deretan manusia dengan label prestise yang selama
ini diidamkan banyak orang, ternyata berjejer di dalam tahanan. Sedari pejabat
setingkat menteri, anggota dewan, jaksa, hakim, dosen, guru besar, gubernur,
duta besar, walikota, bupati, camat, lurah.
Rentang
usia para bandit pun kini mulai menunjukkan gelagat peremajaan. Pada 2005,
tidak ada koruptor berusia 20-40 tahun. Namun pada 2012, sebanyak sembilan
koruptor termasuk dalam golongan usia muda itu. Memang, jumlah terbanyak
koruptor berusia 40-60 tahun. Namun, banyaknya pemuda yang terlibat perkara
korupsi menunjukkan koruptor berkembang biak dengan sangat cepat. Kasus Budi
Gunawan yang menyeret anaknya, Herviano, adalah bukti nyata dari penalaran ini.
Korupsi
juga tak mengenal agama, jender, dan tingkat pendidikan. Berdasar jenis
kelamin, sekitar tujuh persen pelaku korupsi pada 2004-2012 adalah perempuan.
Angka ini termasuk sejumlah nama pesohor, seperti, Angelina Sondakh, dan
Miranda S. Goeltom.
Ditilik
dari sisi tingkat pendidikan, 25 dari 332 terpidana korupsi pada 2004-2012
merupakan lulusan jenjang strata (S3) alias doktor. Jumlah terbesar dari
barisan pecundang ini sebanyak 147 orang, jenjang S1 sebanyak 119 orang, dan
sisanya dari sekolah menengah atas, sejumlah 41 orang. Kesimpulan sederhananya,
semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang di Indonesia, ia berpeluang besar
menjadi koruptor mumpuni.
Lalu
dari segi agama sesuai sebaran jumlah penduduk. Pelaku korupsi terbanyak adalah
Islam (236 orang, Kristen (89 orang), Buddha (enam orang), dan Hindu (satu
orang). Dari sini kita juga mengambil kesimpulan termudah; penganut Hindu
terlindung dari kebejatan korupsi karena tidak berada di komunitas pecinta
rasuah (Budi, 2012).
Mental Revolusi
PERTANYAAN ini mungkin klasik, tetapi
tetap punya landasan, terutama ketika Presiden Joko Widodo mengemukakan visi
besar pemerintahannya tentang ”revolusi mental.” Pertanyaan kami, mental
seperti apa yang perlu direvolusi?
Sebagai sebuah negara,
Indonesia satu.
Namun, yang satu ini
terdiri atas sekumpulan etnis. Tutur bahasa dan tradisinya beragam, sekali pun
terdapat beberapa ciri perilaku mirip. Kesamaan itu salah satunya soal korupsi
yang menyebar luas, melampaui sekat etnis, agama, dan partai.
Korupsi dan koruptor
adalah salah satu potret manusia Indonesia yang mulai mudah dikenali di
seantero dunia. Potret manusia Indonesia lainnya, seperti diungkap sosiolog
Universitas Indonesia (UI), Ricardi S. Adnan (Potret Suram Bangsaku, 2006),
adalah budaya cepat jadi dan boros sehingga minim inovasi.
Jika Jepang menganut
prinsip first imitation then innovation,
menurut Ricardi, orang Indonesia mengikuti prinsip imitasi saja, tanpa diikuti
inovasi. Padahal, dengan inovasi, Jepang yang awalnya meniru teknologi Barat
kemudian memimpin industri strategis, seperti otomotif dan elektronik.
Beberapa ciri lain juga ia
sebutkan, yakni aji mumpung, premanisme, mudah terpancing, senang komentar, dan
cenderung tidak menyeluruh. Selain itu, disebut pula karakter positif, seperti
gotong royong, ramah, dan tepa selira.
Gambaran Ricardi tersebut mengingatkan
kita pada diskursus yang diwacanakan Mochtar Lubis (1977). Pada pidato
kebudayaan ”Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban)” di Taman Ismail
Marzuki, Mochtar Lubis menyebut enam ciri orang Indonesia.
Urutan teratas adalah
munafik, yang menyuburkan sikap asal bapak senang (ABS). Ciri berikutnya enggan
bertanggungjawab, feodal, percaya takhayul, artistik, dan lemah karakternya. Kala
itu, pidato ini langsung mengundang polemik sengit.
Sebagai jurnalis, Mochtar
Lubis berangkat dari observasi, walaupun stereotip memang kerap problematik
karena bertendensi menggeneralisasi.
Namun, penggambaran
manusia Indonesia oleh orang Indonesia sendiri memang sangat minim sehingga
otokritik Mochtar Lubis dan Ricardi S. Adnan menjadi penting. Studi tentang
manusia Indonesia sejak dulu lebih banyak dilakukan orang luar, seperti Snouck
Hurgronje.
Menjabarkan Diri
DISKURSUS tentang Manusia Indonesia
seharusnya bisa dilakukan dengan kepala dingin dalam rangka membenahi karakter negatif
dan memperkuat yang positif. Seperti disebut Lawrence Harrison (Culture
Matters, 2010), budaya amat menentukan keberhasilan atau kegagalan pembangunan
bangsa.
Maka, riset-riset sosial
yang mendalam jadi penting di sini. Sebab, beragam masalah pembangunan fisik di
Indonesia kerap berakar pada soal sosial budaya. Contohnya, polemik tanggul
laut raksasa Jakarta tak bisa diabaikan dari perilaku warga yang gemar membuang
limbah ke sungai. Ketika muara 13 sungai Jakarta akan ditanggul dan dijadikan
sumber air bersih, kekhawatiran tanggul ini akan jadi comberan raksasa sangat
beralasan.
Faktanya, orang Indonesia
gagal menjabarkan diri. Menurut Prof Peter Carey, sejarahwan Inggris penulis
biografi Diponegoro, ”Indonesia negeri yang paling tidak bisa membentuk
persepsi dirinya. Sekitar 90 persen artikel tentang Indonesia di luar negeri,
dibuat orang asing atau warga Indonesia yang tinggal di luar negeri.”
Pendapat Carey memang
beralasan. Data Kementerian Riset dan Teknologi, dalam kurun 2001-2010, kita
hanya memublikasikan 7.847 karya ilmiah—baik sosial maupun eksakta—di jurnal
internasional. Angka itu sangat jauh dibandingkan Malaysia dan Thailand, yang
masingmasing menghasilkan lebih dari 30.000 karya ilmiah di jurnal
internasional. Demikian juga dalam hal paten internasional. Selama tahun 2011,
Indonesia hanya mendaftarkan 11 paten internasional, Malaysia 263 paten, dan
Thailand 67 paten (Kompas, 2014).
Apa yang dirumuskan
Mochtar Lubis, Ricardi S. Adnan, dan Peter Carey, bisa juga salah total. Nol
besar. Sebagai bangsa tua lagi raksasa, bangsa Indonesia yang majemuk, memang
harus mengalami dalam laku kesehariannya, sebuah proses keterbelahan pada
banyak hal. Hal itu terjadi terus menerus tanpa bisa ditentang—bahkan
dimengerti. Mochtar Lubis misalnya, yang berdarah Batak, tak syak menyebut diri
sepenuhnya Batak. Sebab alam pikirannya terbaratkan. Pola hidupnya terjawakan.
Serta banyak lagi sendi lain yang membuat Mochtar lebih mirip sebuah puzzle hidup yang ajaib. Pola begini, entah
bagaimana ceritanya, hanya berlaku bagi Manusia Indonesia.
Keramahan orang Indonesia
membuka diri pada banyak hal, pada apa saja di luar dirinya, menyebabkan ia tak
ubahnya sebuah kanvas seorang pelukis. Ada begitu banyak keragaman yang turut
berperan membentuk dirinya. Setelah melalui proses perbenturan tiada henti.
Proses peleburan yang halus tapi pasti. Maka tak heran, masyarakat Indonesia
mudah sekali terlibat dalam soal sederhana yang kemudian menasional. Pun
sebaliknya.
Bangsa yang warni-warni ini
tak pernah lelah mengurusi perkara yang berpotensi menjadi kepentingan bersama,
secara sosial-budaya. Demi memberadabkan hidupnya sesuai asas dan perikehidupan
ketimuran. Masih ingat bukan pada pesawa airbus
Air Asia QZ8501? Upaya pencariannya begitu heroik. Selain mengundang
decak kagum dunia manca, juga membuat iri negara tetangga. Pesawat mereka,
Malaysia Airlines MH370 yang ditembak jatuh Amerika itu, raib entah ke mana. Sementara
pesawat Air Asia, bangkainya pun dicoba angkat dari dasar lautan. Hebat nian
bangsa kita.
Manusia Indonesia punya
kecenderungan memiliki apa saja yang adalah bagian dari dirinya juga. Contoh
nyata soal ini, juga dapat kita lihat dalam kasus KPK vs Polri jilid 3. Sedari
penjaja makanan hingga mereka yang berada di kelas menengah atas, merasa punya
wewenang mengoreksi apa yang sedang terjadi dalam pemerintahan. Seolah Samad,
Budi, dan Jokowi, adalah tetangga sebelah rumah. Membicarakan soal mereka, jelas
tak usah pakai buku filsafat politik atau kitab undangundang hukum Belanda. Tesisnya,
kita adalah Indonesia.
Bangsa Indonesia cukup
belajar banyak dari media massa-nya. Belajar lebih kritis. Belajar terbuka dan
bukabukaan. Belajar bijak karena dibodohi. Belajar jadi seolah pintar supaya
tak terlihat bodoh. Belajar memusingkan kepala dengan berita sampah yang
berseliweran dalam hitungan menit, terutama di media dalam jaringan (online).
Belajar jadi njelimet. Belajar jadi penghujat.
Belajar jadi pemfitnah!
Kualitas wartawan yang
kian merosot, jadi faktor utama macetnya opini publik di ruang terbuka.
Reformasi tak melahirkan generasi pemikir yang terdidik lagi cerdik cendekia.
Reformasi hanya melahirkan begitu banyak orang nyinyir yang dengan begitu mudah
menyebut dirinya, misal, sebagai pakar politik Timur Tengah (tapi mukim di Indonesia).
Perahnya lagi, para
pemilik media massa kita adalah bos partai. Jadi mudah ditebak arah
pemberitaannya. Partai mereka yang benar, partai tetangga salah. Kita sedang
diarahkan menjadi bangsa multipartai. Tak ada kebenaran di luar partai. Persis
seperti Gereja di Abad Pertengahan. Bukan Indonesia yang laik diperjuangkan
matimatian, tapi belalah partai yang membayar. Miris...
Maka wajar belaka bila demokrasi
di negara ini berjalan setengah hati. Demokrasi, dengan sekian banyak
anasirnya, sekian cacat dalam tubuhnya, sama sekali tak menggelinding di negeri
ini. Kita punya sistem lain yang lebih tepat disebut pseudo-demokrasi. Mengaku
berdemokrasi tapi barbarian. Disebut barbarian, tapi sok demokratis. Jadi serba
nanggung dan serba salah. Kalau sudah begini, yang paling apes ya rakyat kecil.
“Kami ini mau belajar
peduli. Tapi mau peduli pada apa dan siapa, itu yang bikin mumet,” ujar seorang pedang bakso di kitaran rumah kami.
Memang, pendidikan kenegaraan
kita baru setengah abad lebih. Masih sangat belia. Tapi usia bangsa kita sudah
jauh dari cukup menjadi tolok ukur menjelaskan betapa sejatinya kita bukan
peradaban kerdil. Kita punya modal yang lumayan besar untuk menjadi bangsa
unggul. Jadi peradaban mercusuar melalui poros maritim—yang baru kali ini
sinyalnya diaktifkan lagi oleh Jokowi—setelah sekian lama mandeg.
Bila pemahaman seperti itu
tak dicerna sejak dini, jangan kaget ketika melihat mahasiswa hanya menjadi
segolongan pemuda yang hidungnya sudah dicokok kapitaliseme dan tak tahu harus
melakukan apa, selain memperbudak diri dalam korporasi skala global.
Sebagai sebuah bangsa
dengan torehan sejarah mengagumkan yang pelahan mulai terkuak, mafhum bila
bangsa lain/negara lain, kerap mencemburui kita dari segi mana pun. Bentuk kecemburuan
itu bisa pusparagam bentuknya. Ada yang terangterangan, ada yang malumalu
kucing. Segala hal yang mereka bisa lakukan, termasuk upaya penggebosan dari
dalam, kerap dilakukan. FBI dan CIA (untuk menyebut salah dua dari sekian
banyak agen rahasia besar di dunia), tak pernah berhenti mengganggu Indonesia
sejak mula dideklarasikan oleh Sukarno-Hatta.
Pemimpin bangsa kita yang
bernyali besar dan berpotensi melawan, secepatnya dibungkam. Sukarno, Suharto,
dan Gus Dur, adalah contohnya. Kini Jokowi sedang diuji coba oleh rongrongan
tersebut. Aneh memang. Dikala ada begitu banyak orang menaruh harap dan berbaik
sangka pada masa depan Indonesia, selalu saja ada orang yang punya itikad
sebaliknya. Padahal dalam darah dan tubuhnya juga mengalir air, tanah, api, dan
udara Indonesia.
Sebagai pemungkas bab
akhir ini, berikut kami cukilkan buah pikiran Taufiequrachman Ruki, bekas Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia yang menjabat sejak 16 Desember 2003,[1]
yang ia sampaikan pada siaran langsung Indonesia Lawyers Club TvOne, 27 Januari 2015:
“Assalamualaikum...
Selamatkan pemberantas korupsi dan selamatkan KPK, harus.
Negeri ini dicengkeram habis oleh korupsi, dan satu-satunya lembaga yang mampu
menerobos cengkeraman itu adalah KPK, dan itu diawali pada 2004.
Sebelumnya, polisi, jaksa, dan pengadilan, nol. Saya
berani mengatakan itu dan bertanggungjawab atas ucapan itu. Tetapi, KPK itu
komisi negara, Saudara, dan kita punya yang namanya kepala negara.
KPK itu mandiri dan tidak boleh dipengaruhi oleh siapa pun,
tetapi harus membangun komunikasi yang baik dengan kepala negara. Mengapa ini
terjadi (Cicak vs Buaya jilid III)? Karena tidak terjadi komunikasi yang baik
antara pemimpin KPK yang lima orang itu dengan kepala negara (lag of
communication).
Akhirnya terjadilah saling semprot seperti ini. Pemberantasan
korupsi itu ada berbagai macam caranya. Memang yang paling menarik dan bisa
didramatisir adalah represif, tapi refresif juga punya dampak kerusakan yang
tidak kecil. Suatu kali seorang teman saya berkata begini, “Ada sebuah candi yang
ketika kita ketahui batunya keropos, dan bila batu tadi kita tarik, maka candi
itu bisa runtuh. Lebih baik untuk sementara kita pertahankan batu keropos yang
satu itu daripada runtuh semua.”
Selamatkan pimpinan KPK! Maaf mau pimpinan KPK, mau itu
ketua Mahkamah Agung, mau itu Kapolri, mau jaksa agung, adalah manusia biasa
yang tidak pernah lepas dari kesalahan. Memangnya manusia itu setengah dewa
apa? Saya ini mantan pimpinan KPK, paling suci? Enggak.
Tapi saudara tidak perlu tahu saya kotor di mana, itu
rahasia saya ‘lah (tertawa ringan). Saya ini bukan orang planet Mars. Saya
orang planet Senen. Enggak ada yang bersih, dan manusia punya ambisi-ambisi
kekuasaan.
Saudara Budi Gunawan pasti punya ambisi menjadi Kaplori,
siapa yang tidak mau jadi Kapolri karena itu sebuah jabatan terhormat? Siapa
yang tidak mau jadi ketua KPK seperti saudara Abraham Samad? Bahkan terdengar
kabar ingin menjadi wakil presiden, menurut saya itu sah-sah saja.
Tetapi KPK ini adalah lembaga yang sangat ketat diawasi. Karena
itu komite-komite etiknya, etikanya sangat keras. Saya terus terang ampun deh,
bayangkan ketika saya dilarang bermain golf, saya bilang oke. Tapi larang juga
orang main gaple, larang main tenis, larang berenang, semuanya dilarang, biar
kita manusia di dalam kaca semua.
Sehingga ada kalimat “dilarang bermain golf dengan
orang-orang yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan,” kuncinya pada
konflik kepentingan. Komite etiknya begitu tinggi, jadi bagaimana mungkin
seorang pimpinan KPK muncul dalam sebuah perhelatan politik.
Saya tunjuk saja ketika saudara Abraham Samad bersama
saudara Ganjar, saudara Anis Baswedan, dan Jokowi dalam acara Mata Najwa saat
pemilihan presiden 2014. (Ini tautannya ~>
Mata Najwa on Stage - Penebar Inspirasi - Jokowi, JK, Anies, Abraham Samad, Ganjar)
Apa kepentingannya seorang Ketua KPK muncul dalam acara seperti itu? Menurut
saya di situ saja sudah terjadi pelanggaran kode etik.
Seperti yang saya katakan tadi, represif. Jadi pimpinan
KPK itu bisa saja punya ambisi dan represif itu paling dramatis, tetapi yang
namanya represif itu bukan cuma hukum acara pegangannya. Ada adab, ada ruang,
waktu dan atmosfer yang memengaruhi cara bertindak.
Oh kenapa musti di borgol? Lihat saja di film-film
Amerika, begitu penjahat tertangkap pasti di borgol. Tak pedulia siapa pun, mau
senator sekali pun pasti diborgol. Karena itu sudah protap (prosedur tindak
penangkapan).
Tapi pertanyaannya sekarang, apakah perlu memperlakukan
saudara BW (Bambang Widjajanto) ditangkap oleh Bareskrim di depan anank-anaknya
kemudian diborgol? Memangnya BW itu sebahaya apa sih? Halah kalau di mata saya,
BW itu secara fisik tidak usah diperhitungkan.
Kalau teroris bolehlah diperlakukan seperti itu. Pak BW ‘kan
orang biasa saja. Orang terhormat seperti kita. Sebenarnya dipanggil saja sudah
bisa, tapi karena diperlakukan secara tidak etis, maka ada tuduhan “ini balas
dendam,” akhirnya tersulut balas dendam.
Tapi KPK juga harus ingat pernah melakukan hal yang sama
pada bupati yang diborgol itu, kemudian etika penegakan hukum yang seperti
dalam acara tadi. Misalnya saudara HP (Hadi Poernomo) sudah hampir 11 bulan
dijadikan tersangka.
Kami dulu tidak pernah menahan orang lebih dari 20 hari.
Begitu kami jadikan sebagai tersangka, 20 hari sudah sampai ke pengadilan.
Kalau sampai 100 hari atau satu tahun apa bedanya KPK dengan kejaksaan? Apa
bedanya dengan polisi? Sekarang berapa banyak utang kasus yang sudah 11 bulan
jadi tersangka, dan belum diperiksa?
Menjadi tersangka itu sakit, Saudara. Saya memang belum
pernah menjadi tersangka. Tapi saya coba membayangkan saat ada anak seorang
teman mengatakan, “Om, kok tega sekali. Om ‘kan kawannya,” Sakitnya tuh di sini
(sambil menunjuk dadanya).
Akhirnya kemudian HP ini rupanya titipan. Lantas kenapa
SDA (Surya Dharma Ali) dengan BW seperti ini? Oh... ini dendam politik, karena
penyelasaiannya bertele-tele. Ketika sudah ditetapkan jadi tersangka harus ada
keyakinan bahwa dari sekurang-kurangnya 20 hari sudah bisa jadi terdakwa, ini enggak
ada kepastian.
Kalau sekarang saudara BG (Budi Gunawan) sudah diajukan
ke pengadilan, tambah tebang pilih. Masak saudara BG yang baru satu bulan
dijadikan tersangka sudah ke pengadilan sementara yang sudah 11 bulan belum
diapa-apakan.
Oh memang BG dijadikan target, kenapa? Karena kita kerja
tidak menggunakan sistem. Jadi refresif itu kita harus pakai hukum acara, tapi
diluar itu semua kita gunakan yang namanya etika, perlihatkan ruang dan waktu.
Nah, karena itu, seorang pimpinan aparat penegak hukum,
entah itu dia Kapolres, Kapolda, Kabareskrim, Kapolri, pimpinan KPK, pimpinan
Kajagung, yang diperlukan adalah kematangan dan pemikiran yang bijak sebagai
negarawan, bukan cuma sekadar pimpinan penegak hukum.
Sebagai solusinya, saya hanya ingin minta kepada bapak
Presiden, “Hati-hati mengambil keputusan.” Kalau Presiden terkesan memihak KPK,
maka bapak akan berhadapan dengan birokrasi, dan tidak mustahil birokrasi ini
akan slowdown. Karena sebanyak 356 kepala daerah sudah dijadikan tersangka.
Jujur, saya sekarang sudah lima tahun keluar dari KPK. Saya
ini jadi monster diluar. Sudah judek lihat KPK itu. Sifat antipati sudah besar
bergulir dari birokrasi pada KPK. Jadi kalau bapak presiden berpihak pada KPK,
bapak akan berhadapan dengan sifat melawan diam.
Tetapi kalau bapak Presiden terkesan membela Polisi, maka
bapak akan berhadapan dengan penggiat antikorupsi dan itu adalah kekuatan massa
(people power). Karena buat kita pemberantasan korupsi adalah sesuatu yang
harus dilakukan, kalau tidak mau negeri ini hancur.
Berikutnya, maaf adik saya, junior saya, tolong jangan campuri
masalah-masalah yang bersifat teknis. Karena ini adalah hukum. Di sini kemandirian
orang-orang hukum harus dihormati karena itu tidak perlu dibentuk tim pencari
fakta.
Di KPK itu ada yang disebut komite etik. Saya pun dulu
pernah hampir diperiksa juga. Tapi beruntung pimpinan yang lain tidak setuju,
karena apa? Karena sebelum main golf dengan Kapolri, saya sudah melapor. Menang
pula waktu itu.
Pertama, jadi sebagai kepala negara, perintahkan saja Ketua
KPK untuk menggelar komite etik dalam rangka pemeriksaan dugaan adanya
pelanggaran kode etik. Itu sah. Ada undang-undangnya. Wajar seorang kepala negara
memerintahkan komisi negara. Kalau tidak mau nurut, coret saja anggarannya.
Kedua, dalam kepolisian sendiri, ada Propam (Profesi dan Pengamanan),
ada etika profesi. Perintahkan saja pada PLTK Polri untuk melakukan
pemeriksaan. Sebab saudara BW dan saudara BG sedang mengajukan ke pra
pengadilan. Kita hormati saja. Silakan diselesaikan.
Dalam komite ini, libatkan orang-orang yang mandiri dan jujur,
supaya hasil kerjanya pun bisa dipercaya dan diterima oleh publik.
Mudah-mudahan kita bisa menyelesaikan masalah ini. Bangsa di negeri ini sudah
terlalu capek buang-buang energi.”
Terlepas dari utang budi Presiden
Jokowi pada Megawati yang sudah terlalu banyak—sejak ia baru menjabat sebagai
Walikota Solo (Surakarta) pada 28 Juli 2005, kami tidak akan memilih langkah #SaveKPK
atau #SavePolri.
Budi melanggar kode etik
Polri dengan praktik rasuah. Samad juga, dengan duduk bareng Hasto pada Pilpres
2014. PDIP blunder dengan menawari Samad posisi capres. Samad menjerat diri
dengan menjemput tawaran PDIP. Kata para aktivis #SaveKPK ini fitnah. Nanti dulu.
Lantas bagaimana cara menjawab kehadiran Samad di studio Mata Najwa, MetroTV
edisi Pemberi Inspirasi itu? Mari berpikir secara baik dan jernih. Di studio
televisi (yang siarannya bisa menjangkau antero Indonesia saja Samad alpa pada
kode etik KPK), apa pula di belakang kita?
Sampai di sini, Samad dan Budi,
sama payahnya.
Sebagai pemungkas buku,
kami sertakan liputan khusus majalah Tempo
yang mewawancarai Presiden Jokowi di Istana Merdeka, pada Jumat, 30 Januari
2015. Hasil wawancara ini, sedikit banyak akan berguna bagi para pembaca guna
memahami silang sengkarut sengketa KPK vs Polri, di mana presiden mengambil
posisi, dan apa yang akan ia tempuh selaku kepala negara. Berikut kita simak
hasil wawancara yang sengaja kami pilihkan beberapa bagian, berkenaan kasus
terkait:
Kisruh mengenai pencalonan Budi Gunawan ini dianggap
merusak kinerja pemerintahan Anda?
Menurut saya, malah baik
hal seperti ini terjadi di awal, ketimbang nanti-nanti.
Anda ditekan agar segera melantik Budi?
Lihat saja, mana ada
tekanan? Soal pencalonan Kepala Kepolisian, tekanannya di mana? Partai meminta
(Budi) dilantik? Sampai sekarang apakah sudah saya lantik? Kan, belum.
Tapi Anda mengajukannya ke DPR, padahal publik meminta
Anda menarik pencalonan Budi setelah muncul keputusan tersangka dari KPK?
Kalau memakai logika yang
benar, apa yang harus dilakukan Dewan setelah calon yang saya ajukan dijadikan
tersangka?
Anda mengharapkan Dewan menolaknya?
Nah... kan. Logikanya kan
seperti itu.
Tapi kan Anda punya andil karena mengajukan Budi?
Lho, kok punya andil?
Masak, nama yang baru saya masukkan saya tarik lagi? Kelau memakai logika yang
benar, ya, harus seperti itu tadi (ditolak DPR).
Jusuf Kalla meminta Anda melantik Budi karena sudah
direstui DPR?
Berpendapat kan boleh,
tapi keputusan kan di saya.
Jadi ada kemungkinan Budi tidak dilantik?
Ya, nanti kita lihat saja.
Diputuskan saja belum, kok, pada grusa-grusu.
Kita harus mengikuti proses hukum.
Kenapa tidak meminta pertimbangan KPK dan PPATK saat
mencalonkan Budi?
Tidak semuanya dong harus
ke KPK dan PPATK.
Kenapa?
Mereka semua kan lembaga penegak
hukum, jadi jangan ada yang merasa satu di atas yang lain. Ini lembaga negara, lho.
Sebaliknya, ketika memilih pemimpin KPK, Anda kan bisa
rujuk silang ke polisi?
Tidak, tidak, saya kira
tidak. Dirujuk silang itu malah membenturkan.
Anda tidak minta pendapat ke KPK dan PPATK ketika memilih
Kapolri karena tahu nama Budi Gunawan sudah distabilo merekaa saat diajukan
sebagai calon menteri?
Tidak bisa saya sampaikan.
Itu rahasia negara. Siapa pun yang bertanya tidak akan saya jawab.
Bagaimana Anda memilih Budi Gunawan?
Kan, ada prosedurnya,
yaitu lewat Komisi Kepolisian Nasional. Mereka sudah menjaring jauh hari
sebelumnya. Yang diberikan ke saya waktu itu ada sebelas atau berapa nama,
kemudian mengerucut jadi lima calon.
Sebenarnya apa urgensi mengganti Kapolri Jenderal
Sutarman yang baru akan pensiun Otober nanti?
Ada juga yang dua tahun
sebelum pensiun sudah diganti, mislanya Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan, Tedjo Edhy Purdijatno saat menjadi Kepala Staf Angkatan Laut.
Semuanya perlu penyegaran organisasi.
Betulkah Sutarman diganti karena tidak loyal kepada Anda,
membela Prabowo, saat pemilihan presiden?
Saya tidak berpikir
begitu.
Anda memilih orang yang Anda percaya?
Terutama di tempat-tempat
yang startegis. Dalam manajemen apa pun, di keuangan sebuah sebuah perusahaan,
misalnya, kita akan menempatkan orang yang kita percaya untuk memegang uang.
Dan itu hak prerogatif saya. Jangan tanya-tanya terlalu detil. Jangan tanya
terus kenapa, kenapa... sebab, itu adalah hak prerogatif saya.
Anda percaya pada Budi Gunawan?
Kepada Kompolnas memang
saya bertanya tentang masalah rekening. Jawaban mereka, dia (Budi) bersih.
Artinya tidak ada masalah. Saya juga diberi klarifikasi berupa surat dari
Kepolisian. Kepolisian harus saya percayai. Jangan sampai kita tidak percaya
terhadap lembaga negara.
Presiden biasanya meminta masukan dari Kapolri tentang
siapa yang pantas menggantikannya...
Masing-masing kan punya
cara sendiri. Tidak usah disama-samakan. Buka saja undang-undangnya, apakah
cara seperti itu ada?
Bagaimana dengan pernyataan kontroversial dari Menteri
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Tedjo Edhy Purdijatno, yang menyebut
rakyat tidak jelas? Apakah ini contoh menteri yang tidak Anda inginkan?
Begini. Bukan masalah gaya
saya atau cara saya ya, tapi kan kita ingin kerja cepat. Kemudian sistemnya
mendukung, itu yang kadang-kadang harus dibenahi.
Anda yakin 34 menteri ini adalah pilihan yang terbaik?
Saat itu iya.
Kami dengar hanya 40 persen dari jumlah menteri yang
sesuai dengan keingina Anda pada saat itu? Selebihnya adalah keinginan partai.
Siapa yang bilang? Saya
mau tanya, yang dari partai itu berapa? Kok, malah dibalik-balik.
Menteri dari partai kabarnya tidak perform, ya?
Enggak, menteri dari
partai banyak juga yang baik. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo itu bagus.
Anda dinilai belum independen dan masig mementingkan
partai?
Kalau dalam urusan
politik, saya mendengar dari partai, itu wajar. Kalau saya mendengar dari para
ekonom, yang berkaitan dengan ekonomi, wajar juga. Memang tipikal saya senang
mendengar.
Anda bukan ketua umum partai, tentu punya ruang gerak
terbatas?
Tidak. Apa dari luar
terlihat terbatas? Kan, enggak.
Dalam beberapa keputusan, sepertinya begitu...
Lihat, dong, apakah
keputusan saya terbebani keinginan partai atau tidak. Tanya saja orang-orang di
dalam Istana ini.
Dari luar, campur tangan itu terlihat jelas. Misalnya,
dalam pemilihan sejumlah pejabat negara, Anda sepertinya tak pernah benar-benar
independen?
Meminta pendapat partai
itu realitas politik. Yang penting, jangan memaksakan.
Anda dipaksa partai?
Lho,
saya justru ngomong, “Jangan memaksakan.”
Ada yang menilai Anda terlalu sering berhubungan dengan
Megawati.
Tanya saja ke sana. Saya
tidak mau berkomentar.
Tadi malam (Kamis malam pekan lalu—Red), Anda di kediaman
Megawati?
Saya di Istana. Coba tanya
tadi malam saya sama siapa dan sampai jam berapa.
Sebenarnya bagaimana pola hubungan Anda dengan Megawati?
Biasa saja, dari dulu kan
begitu.
Kapan terakhir bertemu dengan Megawati?
Pertemuan seperti itu
tidak perlu saya sampaikan kapan atau bagaimana. Urgensinya apa? Sebenarnya
saya ingin pertemuan-pertemuan itu terbuka. Pers melihat supaya terang
benderang. Tidak menebak-nebak. Tapi belum tentu beliau-beliau (elite partai)
ini mau.
Muncul juga kabar bahwa sekitar Anda kini diisi
orang-orang yang menghambat partai pendukung untuk berkomunikasi?
Yang di partai bilang,
kanan-kiri saya aktivis semua. Sebaliknya, aktivis berbicara, saat ini yang di
kanan-kiri saya orang partai semua. Silakan tanya orang yang di sini (Istana)
saja.
Pertemuan Anda dengan Prabowo di Bogor membicarakan apa?
Pertama, Ikatan Pencak
Silat Seluruh Indonesia. Pak Prabowo mau membawa organisasi IPSI ke Istana dan
mengangkat saya sebagai pendekar. Kami juga membicarakan masalah KPK dan Polri.
Dia menyampaikan dukungan kepada pemerintah.
Setelah bertemu dengan Prabowo, Anda tampak lebih
ceria...
Dari kemarin-kemarin juga
ceria. Sama saja, hanya kemarin-kemarin itu saya ketularan flu dari istri.
Anda sepertinya sudah lama tidak blusukan?
Kata siapa? Selasa lalu,
saya ke Kuala tanjung dan Semangke, Sumatera Utara.
Biasa di lapangan, kemudian sekarang di dalam Istana
dalam tembok tebal. Siksaan buat Anda?
Ya, kan saya banyak ke luar ruang juga. Banyak
ke pasar dan menemui rakyat. .
Kawan pegiat antirasuah,
di mana pun kalian berada, percayalah, kami juga gandrung pada kebaikan. Rindu
melihat kebenaran maujud di negeri kita. Tapi bukalah mata sedikit lebih lebar.
Samad cs di KPK, jangan dijadikan malaikat. Mereka punya lemah dan celah juga.
Bahkan kita sama tak tahu rekam jejak mereka selama ini sebelum memimpin KPK.
Jangan sampai ketika suatu saat hal yang selama ini kita harapkan terjadi pada
Budi, dialami juga oleh Samad, kerana KPK hari ini telah kehilangan marwah.
Kehilangan sopan santun dan etika bernegara.
Jadi pilihan Megawati nabok nyilih tangan melalui Hasto itu,
kami anggap wajar belaka. Secara de facto,
Megawati pula yang mendorong lahirnya KPK di negeri ini. Mustahil ia tak
beritikad mulia pada "anak ideologis" yang dilahirkannya semasa
menjabat presiden RI pada 2001-2004. Membela siapa yang benar itu baik. Namun
membela kebenaran, jauh lebih diutamakan.
Maka berdasar itulah, kami
lebih memilih #SaveIndonesia!
Semoga Allah Swt meridhai.
Amin berdaundaun. []
[1] Irjen Pol.
Drs. Taufiequrachman Ruki, SH adalah politikus, purnawirawan polisi, dan
anggota DPR RI. Lulusan terbaik Akademi Kepolisian 1971 ini, terpilih menjadi
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia pada 16 Desember 2003.
No comments:
Post a Comment