Menyelamatkan Indonesia



KPK telah menyelamatkan dana republik setara dengan ongkos pambangunan dua juta rumah sederhana pada 2004-2011. Tepatnya, Rp153,3 tiriliun, jumlah yang juga cukup apabila digunakan membangun 1,2 juta ruang kelas sekolah dasar, atau membuat 700 kilometer jalan raya. Tentu, dana yang ditilap para bandit negara sejauh ini, jauh melampaui angka tersebut.

            Jebulnya, para bandit itu terdiri dari mereka yang seharusnya menjadi warga terhormat di masyarakat. Kita nyaris tak bisa mengerti bila laporan penangkapan KPK diputar ulang satu demi satu. Akan ada deretan manusia dengan label prestise yang selama ini diidamkan banyak orang, ternyata berjejer di dalam tahanan. Sedari pejabat setingkat menteri, anggota dewan, jaksa, hakim, dosen, guru besar, gubernur, duta besar, walikota, bupati, camat, lurah.

            Rentang usia para bandit pun kini mulai menunjukkan gelagat peremajaan. Pada 2005, tidak ada koruptor berusia 20-40 tahun. Namun pada 2012, sebanyak sembilan koruptor termasuk dalam golongan usia muda itu. Memang, jumlah terbanyak koruptor berusia 40-60 tahun. Namun, banyaknya pemuda yang terlibat perkara korupsi menunjukkan koruptor berkembang biak dengan sangat cepat. Kasus Budi Gunawan yang menyeret anaknya, Herviano, adalah bukti nyata dari penalaran ini.

            Korupsi juga tak mengenal agama, jender, dan tingkat pendidikan. Berdasar jenis kelamin, sekitar tujuh persen pelaku korupsi pada 2004-2012 adalah perempuan. Angka ini termasuk sejumlah nama pesohor, seperti, Angelina Sondakh, dan Miranda S. Goeltom.

            Ditilik dari sisi tingkat pendidikan, 25 dari 332 terpidana korupsi pada 2004-2012 merupakan lulusan jenjang strata (S3) alias doktor. Jumlah terbesar dari barisan pecundang ini sebanyak 147 orang, jenjang S1 sebanyak 119 orang, dan sisanya dari sekolah menengah atas, sejumlah 41 orang. Kesimpulan sederhananya, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang di Indonesia, ia berpeluang besar menjadi koruptor mumpuni.


            Lalu dari segi agama sesuai sebaran jumlah penduduk. Pelaku korupsi terbanyak adalah Islam (236 orang, Kristen (89 orang), Buddha (enam orang), dan Hindu (satu orang). Dari sini kita juga mengambil kesimpulan termudah; penganut Hindu terlindung dari kebejatan korupsi karena tidak berada di komunitas pecinta rasuah (Budi, 2012).


Mental Revolusi
PERTANYAAN ini mungkin klasik, tetapi tetap punya landasan, terutama ketika Presiden Joko Widodo mengemukakan visi besar pemerintahannya tentang ”revolusi mental.” Pertanyaan kami, mental seperti apa yang perlu direvolusi?

Sebagai sebuah negara, Indonesia satu.
Namun, yang satu ini terdiri atas sekumpulan etnis. Tutur bahasa dan tradisinya beragam, sekali pun terdapat beberapa ciri perilaku mirip. Kesamaan itu salah satunya soal korupsi yang menyebar luas, melampaui sekat etnis, agama, dan partai.

Korupsi dan koruptor adalah salah satu potret manusia Indonesia yang mulai mudah dikenali di seantero dunia. Potret manusia Indonesia lainnya, seperti diungkap sosiolog Universitas Indonesia (UI), Ricardi S. Adnan (Potret Suram Bangsaku, 2006), adalah budaya cepat jadi dan boros sehingga minim inovasi.

Jika Jepang menganut prinsip first imitation then innovation, menurut Ricardi, orang Indonesia mengikuti prinsip imitasi saja, tanpa diikuti inovasi. Padahal, dengan inovasi, Jepang yang awalnya meniru teknologi Barat kemudian memimpin industri strategis, seperti otomotif dan elektronik.

Beberapa ciri lain juga ia sebutkan, yakni aji mumpung, premanisme, mudah terpancing, senang komentar, dan cenderung tidak menyeluruh. Selain itu, disebut pula karakter positif, seperti gotong royong, ramah, dan tepa selira.

Gambaran Ricardi tersebut mengingatkan kita pada diskursus yang diwacanakan Mochtar Lubis (1977). Pada pidato kebudayaan ”Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban)” di Taman Ismail Marzuki, Mochtar Lubis menyebut enam ciri orang Indonesia.

Urutan teratas adalah munafik, yang menyuburkan sikap asal bapak senang (ABS). Ciri berikutnya enggan bertanggungjawab, feodal, percaya takhayul, artistik, dan lemah karakternya. Kala itu, pidato ini langsung mengundang polemik sengit.

Sebagai jurnalis, Mochtar Lubis berangkat dari observasi, walaupun stereotip memang kerap problematik karena bertendensi menggeneralisasi.

Namun, penggambaran manusia Indonesia oleh orang Indonesia sendiri memang sangat minim sehingga otokritik Mochtar Lubis dan Ricardi S. Adnan menjadi penting. Studi tentang manusia Indonesia sejak dulu lebih banyak dilakukan orang luar, seperti Snouck Hurgronje.


Menjabarkan Diri
DISKURSUS tentang Manusia Indonesia seharusnya bisa dilakukan dengan kepala dingin dalam rangka membenahi karakter negatif dan memperkuat yang positif. Seperti disebut Lawrence Harrison (Culture Matters, 2010), budaya amat menentukan keberhasilan atau kegagalan pembangunan bangsa.

Maka, riset-riset sosial yang mendalam jadi penting di sini. Sebab, beragam masalah pembangunan fisik di Indonesia kerap berakar pada soal sosial budaya. Contohnya, polemik tanggul laut raksasa Jakarta tak bisa diabaikan dari perilaku warga yang gemar membuang limbah ke sungai. Ketika muara 13 sungai Jakarta akan ditanggul dan dijadikan sumber air bersih, kekhawatiran tanggul ini akan jadi comberan raksasa sangat beralasan.

Faktanya, orang Indonesia gagal menjabarkan diri. Menurut Prof Peter Carey, sejarahwan Inggris penulis biografi Diponegoro, ”Indonesia negeri yang paling tidak bisa membentuk persepsi dirinya. Sekitar 90 persen artikel tentang Indonesia di luar negeri, dibuat orang asing atau warga Indonesia yang tinggal di luar negeri.”

Pendapat Carey memang beralasan. Data Kementerian Riset dan Teknologi, dalam kurun 2001-2010, kita hanya memublikasikan 7.847 karya ilmiah—baik sosial maupun eksakta—di jurnal internasional. Angka itu sangat jauh dibandingkan Malaysia dan Thailand, yang masingmasing menghasilkan lebih dari 30.000 karya ilmiah di jurnal internasional. Demikian juga dalam hal paten internasional. Selama tahun 2011, Indonesia hanya mendaftarkan 11 paten internasional, Malaysia 263 paten, dan Thailand 67 paten (Kompas, 2014).

Apa yang dirumuskan Mochtar Lubis, Ricardi S. Adnan, dan Peter Carey, bisa juga salah total. Nol besar. Sebagai bangsa tua lagi raksasa, bangsa Indonesia yang majemuk, memang harus mengalami dalam laku kesehariannya, sebuah proses keterbelahan pada banyak hal. Hal itu terjadi terus menerus tanpa bisa ditentang—bahkan dimengerti. Mochtar Lubis misalnya, yang berdarah Batak, tak syak menyebut diri sepenuhnya Batak. Sebab alam pikirannya terbaratkan. Pola hidupnya terjawakan. Serta banyak lagi sendi lain yang membuat Mochtar lebih mirip sebuah puzzle hidup yang ajaib. Pola begini, entah bagaimana ceritanya, hanya berlaku bagi Manusia Indonesia.

Keramahan orang Indonesia membuka diri pada banyak hal, pada apa saja di luar dirinya, menyebabkan ia tak ubahnya sebuah kanvas seorang pelukis. Ada begitu banyak keragaman yang turut berperan membentuk dirinya. Setelah melalui proses perbenturan tiada henti. Proses peleburan yang halus tapi pasti. Maka tak heran, masyarakat Indonesia mudah sekali terlibat dalam soal sederhana yang kemudian menasional. Pun sebaliknya.

Bangsa yang warni-warni ini tak pernah lelah mengurusi perkara yang berpotensi menjadi kepentingan bersama, secara sosial-budaya. Demi memberadabkan hidupnya sesuai asas dan perikehidupan ketimuran. Masih ingat bukan pada pesawa airbus  Air Asia QZ8501? Upaya pencariannya begitu heroik. Selain mengundang decak kagum dunia manca, juga membuat iri negara tetangga. Pesawat mereka, Malaysia Airlines MH370 yang ditembak jatuh Amerika itu, raib entah ke mana. Sementara pesawat Air Asia, bangkainya pun dicoba angkat dari dasar lautan. Hebat nian bangsa kita.

Manusia Indonesia punya kecenderungan memiliki apa saja yang adalah bagian dari dirinya juga. Contoh nyata soal ini, juga dapat kita lihat dalam kasus KPK vs Polri jilid 3. Sedari penjaja makanan hingga mereka yang berada di kelas menengah atas, merasa punya wewenang mengoreksi apa yang sedang terjadi dalam pemerintahan. Seolah Samad, Budi, dan Jokowi, adalah tetangga sebelah rumah. Membicarakan soal mereka, jelas tak usah pakai buku filsafat politik atau kitab undangundang hukum Belanda. Tesisnya, kita adalah Indonesia.

Bangsa Indonesia cukup belajar banyak dari media massa-nya. Belajar lebih kritis. Belajar terbuka dan bukabukaan. Belajar bijak karena dibodohi. Belajar jadi seolah pintar supaya tak terlihat bodoh. Belajar memusingkan kepala dengan berita sampah yang berseliweran dalam hitungan menit, terutama di media dalam jaringan (online).

Belajar jadi njelimet. Belajar jadi penghujat. Belajar jadi pemfitnah!
Kualitas wartawan yang kian merosot, jadi faktor utama macetnya opini publik di ruang terbuka. Reformasi tak melahirkan generasi pemikir yang terdidik lagi cerdik cendekia. Reformasi hanya melahirkan begitu banyak orang nyinyir yang dengan begitu mudah menyebut dirinya, misal, sebagai pakar politik Timur Tengah (tapi mukim di Indonesia).

Perahnya lagi, para pemilik media massa kita adalah bos partai. Jadi mudah ditebak arah pemberitaannya. Partai mereka yang benar, partai tetangga salah. Kita sedang diarahkan menjadi bangsa multipartai. Tak ada kebenaran di luar partai. Persis seperti Gereja di Abad Pertengahan. Bukan Indonesia yang laik diperjuangkan matimatian, tapi belalah partai yang membayar. Miris...

Maka wajar belaka bila demokrasi di negara ini berjalan setengah hati. Demokrasi, dengan sekian banyak anasirnya, sekian cacat dalam tubuhnya, sama sekali tak menggelinding di negeri ini. Kita punya sistem lain yang lebih tepat disebut pseudo-demokrasi. Mengaku berdemokrasi tapi barbarian. Disebut barbarian, tapi sok demokratis. Jadi serba nanggung dan serba salah. Kalau sudah begini, yang paling apes ya rakyat kecil.

“Kami ini mau belajar peduli. Tapi mau peduli pada apa dan siapa, itu yang bikin mumet,” ujar seorang pedang bakso di kitaran rumah kami.

Memang, pendidikan kenegaraan kita baru setengah abad lebih. Masih sangat belia. Tapi usia bangsa kita sudah jauh dari cukup menjadi tolok ukur menjelaskan betapa sejatinya kita bukan peradaban kerdil. Kita punya modal yang lumayan besar untuk menjadi bangsa unggul. Jadi peradaban mercusuar melalui poros maritim—yang baru kali ini sinyalnya diaktifkan lagi oleh Jokowi—setelah sekian lama mandeg.

Bila pemahaman seperti itu tak dicerna sejak dini, jangan kaget ketika melihat mahasiswa hanya menjadi segolongan pemuda yang hidungnya sudah dicokok kapitaliseme dan tak tahu harus melakukan apa, selain memperbudak diri dalam korporasi skala global.

Sebagai sebuah bangsa dengan torehan sejarah mengagumkan yang pelahan mulai terkuak, mafhum bila bangsa lain/negara lain, kerap mencemburui kita dari segi mana pun. Bentuk kecemburuan itu bisa pusparagam bentuknya. Ada yang terangterangan, ada yang malumalu kucing. Segala hal yang mereka bisa lakukan, termasuk upaya penggebosan dari dalam, kerap dilakukan. FBI dan CIA (untuk menyebut salah dua dari sekian banyak agen rahasia besar di dunia), tak pernah berhenti mengganggu Indonesia sejak mula dideklarasikan oleh Sukarno-Hatta.

Pemimpin bangsa kita yang bernyali besar dan berpotensi melawan, secepatnya dibungkam. Sukarno, Suharto, dan Gus Dur, adalah contohnya. Kini Jokowi sedang diuji coba oleh rongrongan tersebut. Aneh memang. Dikala ada begitu banyak orang menaruh harap dan berbaik sangka pada masa depan Indonesia, selalu saja ada orang yang punya itikad sebaliknya. Padahal dalam darah dan tubuhnya juga mengalir air, tanah, api, dan udara Indonesia.   

Sebagai pemungkas bab akhir ini, berikut kami cukilkan buah pikiran Taufiequrachman Ruki, bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia yang menjabat sejak 16 Desember 2003,[1] yang ia sampaikan pada siaran langsung Indonesia Lawyers Club TvOne, 27 Januari 2015:

“Assalamualaikum...
Selamatkan pemberantas korupsi dan selamatkan KPK, harus. Negeri ini dicengkeram habis oleh korupsi, dan satu-satunya lembaga yang mampu menerobos cengkeraman itu adalah KPK, dan itu diawali pada 2004.
Sebelumnya, polisi, jaksa, dan pengadilan, nol. Saya berani mengatakan itu dan bertanggungjawab atas ucapan itu. Tetapi, KPK itu komisi negara, Saudara, dan kita punya yang namanya kepala negara.
KPK itu mandiri dan tidak boleh dipengaruhi oleh siapa pun, tetapi harus membangun komunikasi yang baik dengan kepala negara. Mengapa ini terjadi (Cicak vs Buaya jilid III)? Karena tidak terjadi komunikasi yang baik antara pemimpin KPK yang lima orang itu dengan kepala negara (lag of communication).
Akhirnya terjadilah saling semprot seperti ini. Pemberantasan korupsi itu ada berbagai macam caranya. Memang yang paling menarik dan bisa didramatisir adalah represif, tapi refresif juga punya dampak kerusakan yang tidak kecil. Suatu kali seorang teman saya berkata begini, “Ada sebuah candi yang ketika kita ketahui batunya keropos, dan bila batu tadi kita tarik, maka candi itu bisa runtuh. Lebih baik untuk sementara kita pertahankan batu keropos yang satu itu daripada runtuh semua.”
Selamatkan pimpinan KPK! Maaf mau pimpinan KPK, mau itu ketua Mahkamah Agung, mau itu Kapolri, mau jaksa agung, adalah manusia biasa yang tidak pernah lepas dari kesalahan. Memangnya manusia itu setengah dewa apa? Saya ini mantan pimpinan KPK, paling suci? Enggak.
Tapi saudara tidak perlu tahu saya kotor di mana, itu rahasia saya ‘lah (tertawa ringan). Saya ini bukan orang planet Mars. Saya orang planet Senen. Enggak ada yang bersih, dan manusia punya ambisi-ambisi kekuasaan.
Saudara Budi Gunawan pasti punya ambisi menjadi Kaplori, siapa yang tidak mau jadi Kapolri karena itu sebuah jabatan terhormat? Siapa yang tidak mau jadi ketua KPK seperti saudara Abraham Samad? Bahkan terdengar kabar ingin menjadi wakil presiden, menurut saya itu sah-sah saja.
Tetapi KPK ini adalah lembaga yang sangat ketat diawasi. Karena itu komite-komite etiknya, etikanya sangat keras. Saya terus terang ampun deh, bayangkan ketika saya dilarang bermain golf, saya bilang oke. Tapi larang juga orang main gaple, larang main tenis, larang berenang, semuanya dilarang, biar kita manusia di dalam kaca semua.
Sehingga ada kalimat “dilarang bermain golf dengan orang-orang yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan,” kuncinya pada konflik kepentingan. Komite etiknya begitu tinggi, jadi bagaimana mungkin seorang pimpinan KPK muncul dalam sebuah perhelatan politik.
Saya tunjuk saja ketika saudara Abraham Samad bersama saudara Ganjar, saudara Anis Baswedan, dan Jokowi dalam acara Mata Najwa saat pemilihan presiden 2014. (Ini tautannya ~> Mata Najwa on Stage - Penebar Inspirasi - Jokowi, JK, Anies, Abraham Samad, Ganjar
Apa kepentingannya seorang Ketua KPK muncul dalam acara seperti itu? Menurut saya di situ saja sudah terjadi pelanggaran kode etik.
Seperti yang saya katakan tadi, represif. Jadi pimpinan KPK itu bisa saja punya ambisi dan represif itu paling dramatis, tetapi yang namanya represif itu bukan cuma hukum acara pegangannya. Ada adab, ada ruang, waktu dan atmosfer yang memengaruhi cara bertindak.
Oh kenapa musti di borgol? Lihat saja di film-film Amerika, begitu penjahat tertangkap pasti di borgol. Tak pedulia siapa pun, mau senator sekali pun pasti diborgol. Karena itu sudah protap (prosedur tindak penangkapan).
Tapi pertanyaannya sekarang, apakah perlu memperlakukan saudara BW (Bambang Widjajanto) ditangkap oleh Bareskrim di depan anank-anaknya kemudian diborgol? Memangnya BW itu sebahaya apa sih? Halah kalau di mata saya, BW itu secara fisik tidak usah diperhitungkan.
Kalau teroris bolehlah diperlakukan seperti itu. Pak BW ‘kan orang biasa saja. Orang terhormat seperti kita. Sebenarnya dipanggil saja sudah bisa, tapi karena diperlakukan secara tidak etis, maka ada tuduhan “ini balas dendam,” akhirnya tersulut balas dendam.
Tapi KPK juga harus ingat pernah melakukan hal yang sama pada bupati yang diborgol itu, kemudian etika penegakan hukum yang seperti dalam acara tadi. Misalnya saudara HP (Hadi Poernomo) sudah hampir 11 bulan dijadikan tersangka.
Kami dulu tidak pernah menahan orang lebih dari 20 hari. Begitu kami jadikan sebagai tersangka, 20 hari sudah sampai ke pengadilan. Kalau sampai 100 hari atau satu tahun apa bedanya KPK dengan kejaksaan? Apa bedanya dengan polisi? Sekarang berapa banyak utang kasus yang sudah 11 bulan jadi tersangka, dan belum diperiksa?
Menjadi tersangka itu sakit, Saudara. Saya memang belum pernah menjadi tersangka. Tapi saya coba membayangkan saat ada anak seorang teman mengatakan, “Om, kok tega sekali. Om ‘kan kawannya,” Sakitnya tuh di sini (sambil menunjuk dadanya).
Akhirnya kemudian HP ini rupanya titipan. Lantas kenapa SDA (Surya Dharma Ali) dengan BW seperti ini? Oh... ini dendam politik, karena penyelasaiannya bertele-tele. Ketika sudah ditetapkan jadi tersangka harus ada keyakinan bahwa dari sekurang-kurangnya 20 hari sudah bisa jadi terdakwa, ini enggak ada kepastian.
Kalau sekarang saudara BG (Budi Gunawan) sudah diajukan ke pengadilan, tambah tebang pilih. Masak saudara BG yang baru satu bulan dijadikan tersangka sudah ke pengadilan sementara yang sudah 11 bulan belum diapa-apakan.
Oh memang BG dijadikan target, kenapa? Karena kita kerja tidak menggunakan sistem. Jadi refresif itu kita harus pakai hukum acara, tapi diluar itu semua kita gunakan yang namanya etika, perlihatkan ruang dan waktu.
Nah, karena itu, seorang pimpinan aparat penegak hukum, entah itu dia Kapolres, Kapolda, Kabareskrim, Kapolri, pimpinan KPK, pimpinan Kajagung, yang diperlukan adalah kematangan dan pemikiran yang bijak sebagai negarawan, bukan cuma sekadar pimpinan penegak hukum.
Sebagai solusinya, saya hanya ingin minta kepada bapak Presiden, “Hati-hati mengambil keputusan.” Kalau Presiden terkesan memihak KPK, maka bapak akan berhadapan dengan birokrasi, dan tidak mustahil birokrasi ini akan slowdown. Karena sebanyak 356 kepala daerah sudah dijadikan tersangka.
Jujur, saya sekarang sudah lima tahun keluar dari KPK. Saya ini jadi monster diluar. Sudah judek lihat KPK itu. Sifat antipati sudah besar bergulir dari birokrasi pada KPK. Jadi kalau bapak presiden berpihak pada KPK, bapak akan berhadapan dengan sifat melawan diam.
Tetapi kalau bapak Presiden terkesan membela Polisi, maka bapak akan berhadapan dengan penggiat antikorupsi dan itu adalah kekuatan massa (people power). Karena buat kita pemberantasan korupsi adalah sesuatu yang harus dilakukan, kalau tidak mau negeri ini hancur.
Berikutnya, maaf adik saya, junior saya, tolong jangan campuri masalah-masalah yang bersifat teknis. Karena ini adalah hukum. Di sini kemandirian orang-orang hukum harus dihormati karena itu tidak perlu dibentuk tim pencari fakta.
Di KPK itu ada yang disebut komite etik. Saya pun dulu pernah hampir diperiksa juga. Tapi beruntung pimpinan yang lain tidak setuju, karena apa? Karena sebelum main golf dengan Kapolri, saya sudah melapor. Menang pula waktu itu.
Pertama, jadi sebagai kepala negara, perintahkan saja Ketua KPK untuk menggelar komite etik dalam rangka pemeriksaan dugaan adanya pelanggaran kode etik. Itu sah. Ada undang-undangnya. Wajar seorang kepala negara memerintahkan komisi negara. Kalau tidak mau nurut, coret saja anggarannya.
Kedua, dalam kepolisian sendiri, ada Propam (Profesi dan Pengamanan), ada etika profesi. Perintahkan saja pada PLTK Polri untuk melakukan pemeriksaan. Sebab saudara BW dan saudara BG sedang mengajukan ke pra pengadilan. Kita hormati saja. Silakan diselesaikan.
Dalam komite ini, libatkan orang-orang yang mandiri dan jujur, supaya hasil kerjanya pun bisa dipercaya dan diterima oleh publik. Mudah-mudahan kita bisa menyelesaikan masalah ini. Bangsa di negeri ini sudah terlalu capek buang-buang energi.”

Terlepas dari utang budi Presiden Jokowi pada Megawati yang sudah terlalu banyak—sejak ia baru menjabat sebagai Walikota Solo (Surakarta) pada 28 Juli 2005, kami tidak akan memilih langkah #SaveKPK atau #SavePolri.

Budi melanggar kode etik Polri dengan praktik rasuah. Samad juga, dengan duduk bareng Hasto pada Pilpres 2014. PDIP blunder dengan menawari Samad posisi capres. Samad menjerat diri dengan menjemput tawaran PDIP. Kata para aktivis #SaveKPK ini fitnah. Nanti dulu. Lantas bagaimana cara menjawab kehadiran Samad di studio Mata Najwa, MetroTV edisi Pemberi Inspirasi itu? Mari berpikir secara baik dan jernih. Di studio televisi (yang siarannya bisa menjangkau antero Indonesia saja Samad alpa pada kode etik KPK), apa pula di belakang kita?

Sampai di sini, Samad dan Budi, sama payahnya.


Sebagai pemungkas buku, kami sertakan liputan khusus majalah Tempo yang mewawancarai Presiden Jokowi di Istana Merdeka, pada Jumat, 30 Januari 2015. Hasil wawancara ini, sedikit banyak akan berguna bagi para pembaca guna memahami silang sengkarut sengketa KPK vs Polri, di mana presiden mengambil posisi, dan apa yang akan ia tempuh selaku kepala negara. Berikut kita simak hasil wawancara yang sengaja kami pilihkan beberapa bagian, berkenaan kasus terkait:
Kisruh mengenai pencalonan Budi Gunawan ini dianggap merusak kinerja pemerintahan Anda?
Menurut saya, malah baik hal seperti ini terjadi di awal, ketimbang nanti-nanti.
Anda ditekan agar segera melantik Budi?
Lihat saja, mana ada tekanan? Soal pencalonan Kepala Kepolisian, tekanannya di mana? Partai meminta (Budi) dilantik? Sampai sekarang apakah sudah saya lantik? Kan, belum.
Tapi Anda mengajukannya ke DPR, padahal publik meminta Anda menarik pencalonan Budi setelah muncul keputusan tersangka dari KPK?
Kalau memakai logika yang benar, apa yang harus dilakukan Dewan setelah calon yang saya ajukan dijadikan tersangka?
Anda mengharapkan Dewan menolaknya?
Nah... kan. Logikanya kan seperti itu.
Tapi kan Anda punya andil karena mengajukan Budi?
Lho, kok punya andil? Masak, nama yang baru saya masukkan saya tarik lagi? Kelau memakai logika yang benar, ya, harus seperti itu tadi (ditolak DPR).
Jusuf Kalla meminta Anda melantik Budi karena sudah direstui DPR?
Berpendapat kan boleh, tapi keputusan kan di saya.
Jadi ada kemungkinan Budi tidak dilantik?
Ya, nanti kita lihat saja. Diputuskan saja belum, kok, pada grusa-grusu. Kita harus mengikuti proses hukum.
Kenapa tidak meminta pertimbangan KPK dan PPATK saat mencalonkan Budi?
Tidak semuanya dong harus ke KPK dan PPATK.
Kenapa?
Mereka semua kan lembaga penegak hukum, jadi jangan ada yang merasa satu di atas yang lain. Ini lembaga negara, lho.
Sebaliknya, ketika memilih pemimpin KPK, Anda kan bisa rujuk silang ke polisi?
Tidak, tidak, saya kira tidak. Dirujuk silang itu malah membenturkan.
Anda tidak minta pendapat ke KPK dan PPATK ketika memilih Kapolri karena tahu nama Budi Gunawan sudah distabilo merekaa saat diajukan sebagai calon menteri?
Tidak bisa saya sampaikan. Itu rahasia negara. Siapa pun yang bertanya tidak akan saya jawab.
Bagaimana Anda memilih Budi Gunawan?
Kan, ada prosedurnya, yaitu lewat Komisi Kepolisian Nasional. Mereka sudah menjaring jauh hari sebelumnya. Yang diberikan ke saya waktu itu ada sebelas atau berapa nama, kemudian mengerucut jadi lima calon.
Sebenarnya apa urgensi mengganti Kapolri Jenderal Sutarman yang baru akan pensiun Otober nanti?
Ada juga yang dua tahun sebelum pensiun sudah diganti, mislanya Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Tedjo Edhy Purdijatno saat menjadi Kepala Staf Angkatan Laut. Semuanya perlu penyegaran organisasi.
Betulkah Sutarman diganti karena tidak loyal kepada Anda, membela Prabowo, saat pemilihan presiden?
Saya tidak berpikir begitu.
Anda memilih orang yang Anda percaya?
Terutama di tempat-tempat yang startegis. Dalam manajemen apa pun, di keuangan sebuah sebuah perusahaan, misalnya, kita akan menempatkan orang yang kita percaya untuk memegang uang. Dan itu hak prerogatif saya. Jangan tanya-tanya terlalu detil. Jangan tanya terus kenapa, kenapa... sebab, itu adalah hak prerogatif saya.
Anda percaya pada Budi Gunawan?
Kepada Kompolnas memang saya bertanya tentang masalah rekening. Jawaban mereka, dia (Budi) bersih. Artinya tidak ada masalah. Saya juga diberi klarifikasi berupa surat dari Kepolisian. Kepolisian harus saya percayai. Jangan sampai kita tidak percaya terhadap lembaga negara. 
Presiden biasanya meminta masukan dari Kapolri tentang siapa yang pantas menggantikannya...
Masing-masing kan punya cara sendiri. Tidak usah disama-samakan. Buka saja undang-undangnya, apakah cara seperti itu ada?
Bagaimana dengan pernyataan kontroversial dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Tedjo Edhy Purdijatno, yang menyebut rakyat tidak jelas? Apakah ini contoh menteri yang tidak Anda inginkan?
Begini. Bukan masalah gaya saya atau cara saya ya, tapi kan kita ingin kerja cepat. Kemudian sistemnya mendukung, itu yang kadang-kadang harus dibenahi.
Anda yakin 34 menteri ini adalah pilihan yang terbaik?
Saat itu iya.
Kami dengar hanya 40 persen dari jumlah menteri yang sesuai dengan keingina Anda pada saat itu? Selebihnya adalah keinginan partai.
Siapa yang bilang? Saya mau tanya, yang dari partai itu berapa? Kok, malah dibalik-balik.
Menteri dari partai kabarnya tidak perform, ya?
Enggak, menteri dari partai banyak juga yang baik. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo itu bagus.
Anda dinilai belum independen dan masig mementingkan partai?
Kalau dalam urusan politik, saya mendengar dari partai, itu wajar. Kalau saya mendengar dari para ekonom, yang berkaitan dengan ekonomi, wajar juga. Memang tipikal saya senang mendengar.
Anda bukan ketua umum partai, tentu punya ruang gerak terbatas?
Tidak. Apa dari luar terlihat terbatas? Kan, enggak.
Dalam beberapa keputusan, sepertinya begitu...
Lihat, dong, apakah keputusan saya terbebani keinginan partai atau tidak. Tanya saja orang-orang di dalam Istana ini.
Dari luar, campur tangan itu terlihat jelas. Misalnya, dalam pemilihan sejumlah pejabat negara, Anda sepertinya tak pernah benar-benar independen?
Meminta pendapat partai itu realitas politik. Yang penting, jangan memaksakan.
Anda dipaksa partai?
Lho, saya justru ngomong, “Jangan memaksakan.”
Ada yang menilai Anda terlalu sering berhubungan dengan Megawati.
Tanya saja ke sana. Saya tidak mau berkomentar.
Tadi malam (Kamis malam pekan lalu—Red), Anda di kediaman Megawati?
Saya di Istana. Coba tanya tadi malam saya sama siapa dan sampai jam berapa.
Sebenarnya bagaimana pola hubungan Anda dengan Megawati?
Biasa saja, dari dulu kan begitu.
Kapan terakhir bertemu dengan Megawati?
Pertemuan seperti itu tidak perlu saya sampaikan kapan atau bagaimana. Urgensinya apa? Sebenarnya saya ingin pertemuan-pertemuan itu terbuka. Pers melihat supaya terang benderang. Tidak menebak-nebak. Tapi belum tentu beliau-beliau (elite partai) ini mau.
Muncul juga kabar bahwa sekitar Anda kini diisi orang-orang yang menghambat partai pendukung untuk berkomunikasi?
Yang di partai bilang, kanan-kiri saya aktivis semua. Sebaliknya, aktivis berbicara, saat ini yang di kanan-kiri saya orang partai semua. Silakan tanya orang yang di sini (Istana) saja.
Pertemuan Anda dengan Prabowo di Bogor membicarakan apa?
Pertama, Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia. Pak Prabowo mau membawa organisasi IPSI ke Istana dan mengangkat saya sebagai pendekar. Kami juga membicarakan masalah KPK dan Polri. Dia menyampaikan dukungan kepada pemerintah.
Setelah bertemu dengan Prabowo, Anda tampak lebih ceria...
Dari kemarin-kemarin juga ceria. Sama saja, hanya kemarin-kemarin itu saya ketularan flu dari istri.
Anda sepertinya sudah lama tidak blusukan?
Kata siapa? Selasa lalu, saya ke Kuala tanjung dan Semangke, Sumatera Utara.
Biasa di lapangan, kemudian sekarang di dalam Istana dalam tembok tebal. Siksaan buat Anda?
Ya, kan saya banyak ke luar ruang juga. Banyak ke pasar dan menemui rakyat. .


Kawan pegiat antirasuah, di mana pun kalian berada, percayalah, kami juga gandrung pada kebaikan. Rindu melihat kebenaran maujud di negeri kita. Tapi bukalah mata sedikit lebih lebar. Samad cs di KPK, jangan dijadikan malaikat. Mereka punya lemah dan celah juga. Bahkan kita sama tak tahu rekam jejak mereka selama ini sebelum memimpin KPK. Jangan sampai ketika suatu saat hal yang selama ini kita harapkan terjadi pada Budi, dialami juga oleh Samad, kerana KPK hari ini telah kehilangan marwah. Kehilangan sopan santun dan etika bernegara.
Jadi pilihan Megawati nabok nyilih tangan melalui Hasto itu, kami anggap wajar belaka. Secara de facto, Megawati pula yang mendorong lahirnya KPK di negeri ini. Mustahil ia tak beritikad mulia pada "anak ideologis" yang dilahirkannya semasa menjabat presiden RI pada 2001-2004. Membela siapa yang benar itu baik. Namun membela kebenaran, jauh lebih diutamakan.
Maka berdasar itulah, kami lebih memilih #SaveIndonesia!
Semoga Allah Swt meridhai.
Amin berdaundaun. []




[1] Irjen Pol. Drs. Taufiequrachman Ruki, SH adalah politikus, purnawirawan polisi, dan anggota DPR RI. Lulusan terbaik Akademi Kepolisian 1971 ini, terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia pada 16 Desember 2003.

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews