Walter Spies (1895 – 1942) - Swabhava |
Teroka Awal
DISKURSUS KEMAJEMUKAN di Nusantara,
bermula setelah zaman Cornelis de Hotman memimpin armada dagang Belanda untuk
kali pertama mendarat di negeri ini. Tepatnya berkisar pada abad ke-15. Pada
waktu itu, seluruh kerajaan Nusantara, secara konsentris ada di bawah panji
Demak Bintoro–yang meneruskan dominasi Majapahit sepanjang tiga abad sebelumnya.
Kedatangan bangsa-bangsa asing dan adanya xenofobia di negeri ini, membuat
pemahaman masyarakat Nusantara pada waktu itu tentang hubungan sosial, menjadi
berubah. Padahal sebelumnya, meski kerajaan-kerajaan di setiap wilayah kerap
bersaing dalam perdagangan, namun dalam ranah kultural sebenarnya tetap
berjalan dengan sangat harmonis. Karena tak pernah tercatat sebelumnya dalam
sejarah, bahwa ada satu peperangan pada zaman itu yang dipicu oleh isu
tribalisme, kecuali selalu bersangkutan dengan urusan perdagangan belaka.
Pasca-ditandatanganinya perjanjian Giyanti
pada 1755, antara raja-raja Jawa yang sudah kehilangan taji, dengan VOC yang
telah menjadi “tuan tanah baru”, maka bermunculanlah jargon-jargon yang
menyesatkan bahkan memenjara pola pikir masyarakat Nusantara ke dalam ruangan
ekslusifisme rasial. Sebagai contoh, istilah inlander untuk perwakilan pribumi, yang sejatinya sudah jatuh di kelas
terbawah dan terhina, masih tetap dibagi sesuai strata hasil konsinyasi
Giyanti. Para kerabat dan pegawai kerajaan, meski masuk kategori pribumi,
tetapi “terselamatkan” dengan label priyayi, lengkap dengan hak privilegiatum[ii] yang dimilikinya.
Pada akhir abad ke-19, mencuat upaya tandingan
atas intimidasi yang diciptakan oleh Belanda tersebut. Sekelompok pemuda-pemuda
terpelajar yang jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari itu, mulai membentuk
organisasi-organisasi awal, yang secara de
jure, adalah juga untuk mengaspirasi semangat kesukuan, semisal Sarekat
Priyayi, Sarekat Dagang (yang kelak berubah menjadi Sarekat Dagang Islam), Jong
Ambon, Jong Batak, dll. Namun bebarengan dengan merosotnya pamor dan kekuasaan
pemerintah Hindia Belanda, beberapa orang Pribumi (tepatnya Bumiputra) terpelajar
gelombang berikutnya, berusaha menghilangkan sekat kesukuan yang dibangun oleh
kalangan pemuda tersebut, dengan meleburkannya dalam Sumpah Pemuda pada 28
Oktober 1928.
Sebenarnya yang menjadi topik permasalahan
adalah, bagaimana efek dan keberlanjutan dari semangat Sumpah Pemuda tersebut
sampai di detik ini? Adakah ia menyisakan kerumitan yang mengakar dalam kepala
orang-orang Nusantara kontemporer? Fakta bahwa masyarakat Nusantara itu
berbeda, telah disintesiskan dengan baik oleh Mpu Prapanca tujuh abad lalu, dengan
semboyannya: bhineka tunggal ika.
Kini semboyan itu pun masih tetap digunakan untuk menjalin semangat kebangsaan
secara utuh. Bedanya, di zaman Prapanca ada Majapahit yang telah memersatukan
Nusantara dengan Sumpah Palapa patih Gaj Ahmada, sedang kini ada Indonesia yang
sedang mengalami krisis kepercayaan dan memudar reputasinya di masyarakat.
Wacana tentang kemajemukan yang kini lazim
disebut dengan multikultural itu, atau penulis lebih suka menggunakan terma
pluralisme, sebenarnya bergerak dalam dua wilayah. Pertama, dalam garis horizontal (antar warga masyarakat). Kedua, secara vertikal (antara
pemerintah dengan rakyatnya). Kedua model pemahaman ini melahirkan sekian
banyak masalah. Namun yang sebenarnya hendak dikaji adalah, bagaimana
seharusnya pemerintah menjalankan sistem kepemerintahan dalam negara yang
warganya terdiri dari ratusan etnis ini–baik asli maupun hasil asimilasi dan
hibridasi.
Tulisan ini akan berusaha mencari titik
temu dari kebuntuan yang terjadi antara pemerintah dengan rakyat sebagai objek.
Semenjak negara ini berdiri secara resmi dan diakui oleh dunia, masalah pluralitas
yang sebenarnya menjadi kelebihan Nusantara, tak dapat dikelola dengan becus
oleh petinggi-petinggi negara, bahkan menjadi “ladang” perseteruan yang paling
empuk pascareformasi bergulir, hingga kemudian ikut pula terseret dalam satu
istilah: SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
Teroka Dua
PERSOALAN PLURALISME dihadapi dan dialami
oleh hampir setiap negara modern yang berada dalam “global village (kampugn
global)” ini. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 1994, didapatkan satu kesimpulan yang
mengatakan bahwa, dari seluruh negara yang ada di dunia, hanya sekitar 10-15 %
saja negara yang masyarakatnya homogen (Vayrinen dan Connor dalam Hikmat
Budiman (ed), 2005: hlm 5). Nusantara kita, termasuk yang di luar 15% itu.
Dengan keragamannyalah, maka negara ini menyimpan potensi yang sarat masalah,
terkait dengan pengambilan kebijakan politik dalam menyikapi persoalan
pluralitas yang berabad lamanya telah terdakukan di negeri Khatulistiwa ini.
Secara spesifik, pluralitas dalam genus
kultural, berkait kelindan dengan populasi penduduk asli, populasi pendiri
negara dan para imigran (Hikmat Budiman [ed]: 2005) yang bergerak kian massif,
seiring kaburnya batas teritori dan pesatnya teknologi informasi. Ada berbagai
jenis kebijakan politik untuk menghadapi kasus etnisitas ini. Salahsatu yang
paling sesuai–meski tidak juga valid–dengan kondisi Nusantara adalah, kebijakan multikulturalisme. Di Amerika Serikat, Kanada dan Australia, model pendekatan
seperti ini terejawantahkan dalam konsep melting pot. Namun apakah demikian juga konsep yang terejawantah di dalam
negeri kita?
Tulisan ini tidak sedang memberikan
penekanan khusus pada konsep melting
pot, sebagaimana yang telah tertulis di bagian atas tadi. Tapi
setidaknya, Amerika sudah selangkah lebih maju dalam menyikapi permasalahan
terkait, meski banyak juga celah yang tidak dapat penulis uraikan, karena arah
tulisan tidak hendak menuju ke sana. Dari konsep melting pot itulah, kemudian muncul derivasi yang di banyak negara dengan
kebijakan multikulturalismenya termasuk di Nusantara, disebut sebagai, politik
asimilasi.
Kelak, politik asimilasi ini juga
menemukan batu sandungan. Karena individu-individu yang terasimilasi itu,
secara genetis dan normatif, masih tetap merasa dirinya lahir dari golongan berbeda.
Walau berada dalam satu kumpulan sosiologis yang baru, namun jejak primordial
masih tetap melekat dalam rekam ingatan mereka. Lalu bermunculanlah
komune-komune yang kelak disebut sebagai, kampung Jawa, kampung Melayu, kampung
Arab, pecinan, dll.
Sehingga dalam perkembangannya, diskursus
multikultural ini terbagi dalam dua wilayah. Pertama, multikultur{al} sebagai kata kerja, yang dilihat sebagai
fenomena keanekaragaman sosial budaya di masyarakat kiwari. Fenomena ini
menggugat sentralisasi norma dan nilai-nilai, klaim kebenaran yang hanya
bertolak dari satu rujukan. Kedua, adalah fenomena kebijakan
multikultural yang merupakan tanggapan pemerintah atas munculnya pelbagai
tuntutan masyarakat yang multietnis, multibangsa dan multiagama. Dalam konteks
ini, kebijakan-kebijakan di masing-masing negara, memiliki keragaman dalam ragam
cara dan tujuan mengelola perbedaan-perbedaan budaya tersebut (M. Nurkhoiron:
2005).
Bertolak dari dua tipologi tersebut, maka
pemerintah yang telah mengurusi negara ini, termasuk gagap dalam menangani
masalah multikultural yang ada di Nusantara. Beberapa kebijakan yang
dilaksanakan terbukti masih menyisakan bias secara praksis. Sebagai misal,
orang-orang Tionghoa yang sudah beratus tahun hidup dan berbaur dalam negeri
ini, masih tetap tak diakui sebagai warganegara, dan kerap menemukan kesulitan
manakala mereka berhadapan dengan urusan birokrasi.
Padahal di sisi yang lain, secara kualitas,
orang-orang etnis Tionghoa mempunyai sumbangan besar bagi bangsa ini dalam
bidang ekonomi. Belum, jika UU No. 62/1958 tentang kewarganegaraan dikenakan
pada mereka (baca: tionghoa dan imigran
lainnya), yang mengharuskan perempuan Nusantara untuk memertahankan
kewarganegaraannya dan dilarang memiliki status ganda, apabila ia bersuamikan
lelaki warga negara asing. Dalam bahasa lain, model kewarganegaraan seperti ini
bersifat konservatif dan sarat jender, serta meniadakan peluang bagi individu
untuk melintasi batas-batas teritori dunia yang kian terbuka seiring pesatnya
semangat globalisasi.
Berbeda halnya dengan masyarakat adat yang
bertebaran di penjuru Nusantara. Dalam tata hukum agraria contohnya, terdapat
empat pasal (3, 5, 22 dan 27) yang pelaksanaannya mengakibatkan,
kelompok-kelompok masyarakat adat setempat menjadi hancur perpangkalan
budayanya, harmoni dan kebebasannya untuk memilih cara hidup yang dianggapnya
baik dan sesuai kebutuhan setempat (Maria Rita Ruwiastuti dalam Taufik Ismail, 2004: h. 282).
Hal itu lebih dikarenakan, semua aturan
perundangan yang dibuat oleh pemerintah, sifatnya masih berbau sentralistik.
Padahal jauh sebelum negara ini berdiri tegak, telah lebih dulu ada hukum adat
berupa Hak Ulayat yang mampu menyatukan antara alam dan manusia yang menjadi
penjaganya. Dalam pasal lain yaitu, pasal 33 UUD ayat 1 1945, yang isinya
kira-kira berbunyi, bahwa
tanah, air dan segala yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, menjadi anasir yang kini
mengandung oposisi biner. Bagaimana peraturan seperti itu dilegalkan tanpa ada
pertimbangan bahwa masyarakat-masyarakat adat di Nusantara akan kehilangan
haknya, demi menjunjung tinggi otoritas sebuah negara, sementara di bagian
lainnya, tanah yang kelak tercerabut dari hak mereka itu, pada kenyataannya,
malah diberikan pada pihak asing dengan dalih penanaman modal demi sekati
devisa.
Penempatan hukum yang terkesan serampangan
ini menjadi terlegitimasi atas nama negara. Padahal pada kenyataannya, kehendak
untuk merdeka dari cengkeraman penjajah dikala itu, adalah lebih karena merasa
senasib sepenanggungan di bawah tindasan kolonial, bukan atas asumsi hendak
menyerahkan segala apa yang dimiliki oleh setiap etnis kepada para pendiri
bangsa. Kami berhipotesis bahwa jika pun ada keinginan seperti itu, lebih
didasarkan atas asumsi bahwa apa yang mereka serahkan itu kelak dapat
didayagunakan dengan baik oleh pemerintah, dan dikembalikan kepada mereka dalam
bentuk yang lain. Argumen ini dilandaskan pada kenyataan bahwa setiap
masyarakat adat telah memiliki peraturan yang bersifat normatif dan sudah
bersinambung sejak zaman kerajaan terpusat.
Seperti dalam konsep nagari yang ada di
Sumatera Barat, pascakedatangan Adityawarman yang asli putra Majapahit.
Terdapat satu pemahaman yang di kemudian hari dirumuskan oleh Habermas sebagai
bentuk toleransi, yang mengandaikan sikap wargenegara terhadap yang lainnya
berdasarkan hak dan kewajiban yang sama. Sehingga tidak ada ruang bagi otoritas
tertentu yang diperbolehkan secara sepihak menentukan batasbatas, apa yang
dapat ditenggang rasa dan apa yang tidak. Sebagai konsekuensinya, keadilan dan
tanggungjawab, diletakkan dalam konteks yang sama (Yudi Latif: 2005).
Pluralitas [minoritas vis
a vis mayoritas]
SEBAGAIMANA yang telah terbukti, manusia
dilahirkan dengan kemampuan akan kebebasan sempurna dan menikmati secara penuh
hak dan keistimewaan dari hukum alam, sejajar dengan orang lain (John Locke
dalam Henry J. Schmandt: 2002, hlm 337). Bagian akhir dari tulisan ini akan
penulis arahkan pada bagaimana seharusnya terma pluralisme itu dipahami dan
diejawantah oleh negara dalam tataran praksis dan pragmatis. Jangan pula
dinafikan bahwa yang bersifat pluralis itu, juga terikut di dalamnya anasir
budaya–genealogis-, agama–yang masih bersilang sengkarut dengan urusan
teologis-, dan juga adicita (ideology).
Negara harus pula memahami adanya hak alamiah manusia seperti yang dikemukakan
oleh John Locke di atas, agar tak terjadi perbenturan kepentingan dalam
kehidupan berbangsa.
Peran pemerintahan yang terbatas seperti
yang juga dikemukakan oleh Locke, dapat pula diaktifasi secara deliberatif, atau
kenyataannya akan berbanding terbalik, jika meminjam ujaran yang terlontar pada
dua millenium lampau dari Yesus Kristus yang mengatakan, “Berikan apa yang menjadi hak kaisar, dan berikanlah apa yang menjadi hak
Tuhan.” Senada pula dengan John F. Kennedy
yang berujar seperti ini, “Jangan
tanya apa yang telah diberikan negara kepadamu, tapi tanyalah apa yang telah
kamu berikan pada negara.”
Menurut pandangan Mouw dan Griffioen,
dalam melihat pluralisme, seyogianya harus dibedakan dua tataran: deskriptif,
yang sekadar mengakui keragaman, dengan normatif-preskriptif yang tidak sekadar
mengakui, tetapi juga mau memperjuangkan keragaman. Pada tataran deskriptif,
pluralisme adalah fakta sosial yang tidak terelakkan, baik karena kondisi awal
masyarakatnya sudah majemuk maupun karena proses pluralisasi kehidupan yang
dibawa oleh arus modernisasi. Namun, ketika kita berbicara pada tataran normatif-preskriptif,
Mouw dan Griffioen meminta agar pembeda ketiga matra ini perlu diperhatikan
secara serius: keragaman pada matra konteks budaya, matra
asosiasi-asosiasi kelembagaan, dan matra sistem nilai yang memberi arahan pada
kehidupan manusia (Trisno Sutanto: 2006).
Adanya suatu dominasi kemajemukan secara kuantitas,
atau secara kualitas, tak dapat dibenarkan proposisinya. Pemerintah tak
berwenang mengatur kehidupan sehari-hari rakyatnya dengan melakukan
homogenisasi secara otoriter, seperti adanya upaya menjadikan kebaya sebagai
pakaian nasional (masa pemerintahan Sukarno dan Suharto). Tak ada lagi
kesemrawutan kebijakan yang menuai kontroversi, mulai dari rumusan dan
pertikaian soal pluralisme agama yang dipicu oleh fatwa MUI. Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi, sampai terbitnya Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun
2005 tentang Pelacuran oleh Pemerintah Kota Tangerang dan perda-perda sejenis
di banyak tempat.
Disparitas atas kemajemukan minoritas di bawah kendali
mayoritas harus pula diakomodasi sedemikian rupa. Karena pada ghalibnya, hal
ini hanya berlaku sebagai konsep saja, di kepala setiap orang yang memahaminya.
Pijakannya hanya bersandar pada persoalan kesempatan mendapatkan kelayakan ekonomi
dan pendidikan yang tidak merata pembagiannya di setiap wilayah. Pemerintah,
harus bertanggungjawab untuk kasus ini, itu jika mereka yang duduk di kursi
kepemimpinan tidak mau disalahkan.
Politik pluralisme ke depan lebih baik
diarahkan untuk mencari kesepakatan-kesepakatan kecil yang landasannya serba-goyah,
yang lahir dari perjumpaan kongkret sehari-hari dalam mengelola kehidupan
bersama. Praktik kehidupan sehari-hari yang melintasi batas-batas suku,
tradisi, adat, maupun kepercayaan menyediakan ranah yang sangat luas bagi
“eksperimen baru” pluralisme ini. Pengalaman ini pada gilirannya membentuk
habitus baru untuk berkembangnya kecambah pluralisme (Trisno Sutanto: 2006).
Satu-satunya tali perekat yang mampu
meredam disintegrasi negara-bangsa yang telah bersenyawa selama 69 tahun ini
adalah, adanya kesatuan bahasa nasional yang di negara juga dengan penduduk
majemuk lainnya, tak pernah dapat terwujudkan. India misalnya. Meski untuk
persoalan linguistik ini, secara diakronis masih dapat diperdebatkan. Karena
paling tidak, upaya penyatuan bahasa yang dilakukan oleh para pendiri dan tetua
bangsa ini, diambil atas dasar bahasa yang secara lingua franca digunakan oleh kalangan
mayoritas (Melayu-Jawa). Sekali lagi, pluralitas yang mayor mengangkangi
pluralitas yang minor. Penting pula untuk dicatat, bahwa penetapan konsensus
bahasa ini, diwarisi dari tradisi dagang kuno (merkantil) hingga pemerintah
Hindia Belanda menjadikannya sebagai bahasa pengantar antara penjajah dengan
yang dijajah. Ironis sekali!
Jika negeri ini masih tetap ingin
dipertahankan secara jantan dan bertanggungjawab, maka berilah kesempatan pada
sekian banyak kemajemukan yang ada di dalamnya untuk berkembang. Selaras dengan
perkembangan zaman. Arahkan ia pada jalan lurus yang pernah dan akan
ditempuhnya nanti. Agar terangkum segala potensi yang kelak muncul sebagai
bentuk kesatuan yang lahir tidak dengan upaya pembodohan dan tipu-tipu semu.
Melainkan dengan kesadaran penuh, bahwa bumi yang kita pijak ini adalah tanah
dan tumpah darah yang membuat kita diakui sebagai manusia yang mandiri.
Jika pemerintahan demokrasi salah kaprah
ini masih tetap abai pada tugas dan kewajibannya—yang secara de facto dan de jure—dapat disebut nirwaras itu,
maka konsekuensi logisnya adalah, terpantiknya dua buah “bom waktu” yang siap
meledak kapan pun ia mau. Aceh serta Papua pun tinggal hanya menjadi kenangan
dalam ingatan saja. Tak lebih. Setelah sebelumnya Timor Leste mampu
menusuk-nusuk jantung pertahanan Ibu Pertiwi, dan telah mendeklarasikan dirinya
sebagai negara yang berdaulat. Tanpa harus mengemis lagi pada Jakarta nun jauh
di mata dari pulau mengharu-biru itu. Bukan tidak mungkin akan ada “bom waktu”
lain yang siap meledak, kapan dan dimana pun tempatnya.
Politik yang dijalankan di negeri ini,
adalah politik yang sekadar perintah dan memerintah. Melulu aturan dan
kekangan. Tanpa pernah jelas, apa sebenarnya substansi dari aturan dan kekangan
itu. Karena persoalan definisinya saja belum lagi tuntas dirampungkan. Rancangan Undang-Undang Pornografi misalnya. Tidak beretika menurut siapa? Apakah etika itu, serta
bagaimanakah membedakannya dengan wilayah estetika? Terkadang hal-hal semacam
inilah yang kerap diributkan. Bukan bagaimana cara menemukan solusi
keterpurukan yang dialami bangsa ini, dan apa pula langkah yang mesti ditempuh saat
membawa kuantitas dan kualitas keragaman itu menuju hari baru yang sama-sama
diimpikan oleh semua orang, yang di dalam tubuhnya mengalir darah dari bangsa
besar yang bernama NUSANTARA ini.
Sebagaimana yang pernah diuraikan oleh
Ignas Kleden dalam esaynya, bahwa politik bukan lebih dari sekadar matematika tentang hubungan
mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika
yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal
sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya, haruslah
dapat di tes dengan kriteria moral. Politik bukan akal-akalan. Ia adalah usaha menemukan
landasan dan hasil terbaik yang dapat diberikan oleh pemimpin kepada orang yang
dipimpinnya (Ignas Kleden, 2006).
Politik yang dijalankan di Nusantara ini
seharunya dapat menemukan bentuk optimalnya, jika saja apa yang telah
dirumuskan oleh salahseorang sastrawan terkemuka negeri ini digarap dengan
baik: maka sesungguhnya tak ada satu pun
pihak, bangsa, etnik bahkan subetnik apa pun di negeri ini yang dapat mengklaim
dirinya sebagai satu entitas yang unik, genuine atau asli. Tak satu pun. Apa yang ternyata bisa kita sadari dan
akui adalah: aku atau kita adalah sesuatu yang tersusun dari pecahan identitas
orang lain; sebuah mozaik yang kemudian kita sebut sebagai tradisi. Sebagai
kebudayaan, sebuah peradaban. (Radhar, 2006).
Dalam bahasa lain, kami menggambarkan
masyarakat di negeri Khatulistiwa ini, sebagai cermin yang memantulkan sekian
banyak objek di luarnya. Hakikatnya adalah satu. Namun pada tampakan luarannya,
ia memperlihatkan adanya begitu banyak corak, yang satu sama lainnya tak dapat
mengasumsikan dirinya sebagai pemegang kendali atas diri orang lain. Pluralitas
adalah keterbelahan, yang sejatinya sedang direkatkan oleh repihan-repihan
subjek-objek ke dalam predikat yang baru, di luar kategori-kategori–substansi,
relasi dan status–yang telah terbentuk sebelumnya. Ia menjadi baru. Tak tepermanai
pijakan “bumi dan langitnya”. Ia pun berdiri secara eksistensial di antara
eksistensi-eksistensi lain yang sejatinya adalah satu: akukau!
Rujukan Pustaka:
Budiman, Hikmat (ed), Hak Minoritas, Dilema
Multikulturalisme di Indonesia. (Jakarta: The Interseksi
Foundation, 2005).
Dahana, Radhar Panca, Menjadi Manusia Indonesia. (Yogyakarta: LKiS, 2001).
Dahana, Radhar Panca, Mencari Tradisi Dalam Diri, (Kompas kolom
Humaniora, Jumat, 16 Juni 2006).
Ismail, Taufik (ed), Horison Esai Indonesia Kitab 2. (Jakarta, The FordFoundation, 2004).
J. Schmandt, Henry, Filsafat Politik, Kajian
Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Socrates. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
Kleden, Ignas, Sutan Sjahrir, Etos Politik dan
Jiwa Klasik. (Kompas kolom Bentara, Sabtu 6 Mei 2005).
Latif, Yudi, dan Dubun Hakim, Abdul, Melampaui Kosmopolitanisme
Politik. (Kompas kolom Bentara, 3 Desember 2005).
Sutanto, Trisno, Membaca (Kembali) Politik
Pluralisme, Catatan Untuk Martin L. Sinaga. (Kompas kolom Bentara, Sabtu 9
April 2006).
Tilaar, H. A. R, Multikulturalisme, Tantangan-tantangan
Global Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004).
Catatan Akhir:
[i]
Baris kedua dari judul di atas, adalah
sebait sajak dari penyair eksistensialis Nusantara, Chairil Anwar.
[ii] Hak
untuk membela diri dihadapan Dewan Pengadilan Hindia Belanda, sebagai seorang
bangsawan. Berbeda dengan pribumi lain,
yang langsung terkena sanksi hukuman tanpa melalui proses persidangan.
No comments:
Post a Comment